Memoar September (Part Two)

11 September 2012

"Kamu yakin, Cha?" pertanyaan yang sama dengan hari kemarin muncul dari tatapan si kembar.

Lima menit semenjak pertanyaan tersebut terlontar, pikiran Icha kembali berkecamuk luar biasa. Ini sudah memasuki bulan kedua sejak terbersit niatan untuk menghentikan drama kisah cintanya.

"Cowok secakep dan sekeren Andi, mau kamu lepasin gitu aja, Cha. Udah cakep, gagah, cool, putih, tinggi, rajin shalat, gak merokok, kurang apa coba? Bukannya kamu sendiri yang pernah bilang, Andi itu cowok idealis, cowok impian kamu, bukannya kamu juga yang bilang pengen wisuda bareng Andi, masa' kamu lupa Cha?" si kembar menodong Icha dengan rentetan kalimat yang ampuh membuat matanya seketika berkaca-kaca.

"Justru karena dia cowok impianku dan karena dia terlalu idealis sampai-sampai aku harus merelakannya" ujar Icha tersedu-sedu pada si kembar yang tengah terisak pedih. Isak itu sebentar saja sebab detik berikutnya ia segera menyeka mata yang terlanjur basah kemudian berusaha memamerkan garis lengkung di bibirnya pada si kembar yang kini tersenyum.

"La Tahzan, Cha. Innallah ma'ana.:) lebih baik berpisah di awal kan, lagian perpisahan ini bukan akhir:) Semangat Cha, kamu pasti bisa" ucap si kembar kali ini menghibur Icha lewat tatapan mata mereka yang saling terpaut di cermin.

Rabbi, ijinkan kuharapkan cinta ini pada-Mu saja:)

***


Jam kedua sudah lewat hampir sejam, dosen yang dinanti tak kunjung datang.

"Dosennya mungkin gak masuk " seru ketua tingkat di timpali sorak-sorai teman yang lain.

Kelamaan menunggu beberapa teman sekelas Icha pada cabut deluan, beberapa masih setia menanti dosen yang kedatangannya tidak jelas.

"Kapan mau ke kampus 2?" tanya seorang cewek tiba-tiba, Icha yang sedari tadi melamun di kursi deretan paling depan ujung dekat pintu. Tersontak kaget.

"Ke kampus 2?"

"Iya, Cha, nilai kalkulus kita yang belum keluar harus segera di urus"

"Oh,, iya, hmm sekarang saja deh Ky, mumpung dosennya gak ada" Ujar Icha bergegas meraih tas lalu beranjak dari kelas dengan langkah gontai diikuti cewek bernama Kyky.

"Kok kamu keliatan lemes banget, Cha. kamu sakit?" pertanyaan Kyky di jawab dengan gelengan kepala cewek berjilbab abu-abu itu.

Hari ini ia tak melihat sosok Andi.

"Andi mana yah? Apa gak ada kuliahnya?" gumam Icha mengedarkan pandangan ke sekeliling kampus 1 yang ia lewati.

Semalam berulang-ulang ia mencoba meyakinkan diri, berkali-kali ia merangkai kembali kata-kata yang hendak ia utarakan pada Andi. Gadis berusia 20 tahun itu memang sudah mantap dengan keputusannya.   Setelah mengabaikan kehadiran Andi kemarin, hari ini dia bakal menghampiri cowok yang setengah tahun sudah menjadi kekasihnya, meminta maaf atas kecuekannya di hari pertama mereka kuliah di semester lima dan mengungkapkan suara hati yang hampir dua bulan ia pendam sendiri. Dan satu lagi ada sesuatu yang harus ia berikan pada Andi. Sesuatu yang urung ia berikan kemarin, dan masih ia genggam.

"Mungkinkah hari ini???"

***

Benar saja sesampai di kampus 2 , dekat pintu masuk fakultas Tarbiyah tepatnya di ruang tunggu yang biasa ditempati mahasiswa beronline ria atau sekedar nongkrong ia menangkap sosok Andi sedang asyik berkutat dengan laptopnya di bagian sebelah kiri pintu masuk dekat jendela yang menghadap keluar.

"Di sini dia rupanya, sudah kutebak hari ini kita pasti akan bertemu" lirih Icha dalam hati, kakinya tetap melangkah dengan tatapan lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun. Ia tahu Andi memperhatikannya, tapi cowok itu ikutan acuh seolah-olah mereka tak saling melihat, seperti kemarin.

 "Kenapa dia tidak menyapa lebih dulu, haruskah aku yang datang menghampiri?"

Andi memang tipikal cowok cuek. Selama pacaran mereka jarang berkomunikasi lewat hape, ketemunya di kampus doang , gak pernah pergi malam mingguan, kalau Andi ngajak keluar pun gak pernah berdua, pasti diajakin teman-temannya yang lain, dan seingat Icha mereka baru satu kali jalan berdua, itu pun karena Icha yang minta dianterin ke toko buku.

Aneh, gadis yang sudah sering gonta-ganti pacar itu justru menikmatinya. Bagi gadis itu Andi adalah pacar terunik yang pernah ia miliki, tidak ada malming, tidak ada acara telpon-telponan, tidak ada sms-sman yang ada ia setia menemani Andi yang lebih suka tenggelam dengan game online ketimbang ngobrol sayang-sayangan dengannya, ia setia duduk di samping Andi lalu membiarkan cowok itu larut menatap laptop ketimbang menatapnya, ia suka menuruni anak tangga dan mendapati Andi  menunggunya diteras masjid selepas shalat dhuhur dan ashar, ia suka menikmati senja dan melihat Andi dari balik kaca spion.

"Cha.. Icha" suara Kiky menghenyakkan lamunan gadis pencinta senja.

"Ya"

"Kamu dari tadi  melamun mulu, ngelamunin And yah?" tebak Kyky

"Iya, eh.. tidak, setelah urus nilai temani aku yah, Ky. Ada yang mau omongin sama Andi"

"Tapi Cha, ini barusan aku dapat sms dari Arman"

"sekedar info ada dosen sekarang"

"Whaaatt!!!" mata  Icha membelalak menatap layar hape berisikan sms yang ditunjukkan Kyky dari ketua tingkat mereka.

"Gimana nih?" tanya Kyky terlihat panik

"Terlambat Ky. Percuman datang, jam mata kuliah kedua hampir selesai, itung saja perjalanan dari sini kembali ke kampus 1 makan waktu setengah jam, sampai di sana pasti ruangan udah kosong"

"Jadi?"

"Ayoo, gak usah di pikir, paling-paling dosennya masuk cuma kasih kontrak kuliah" ujar Icha bergegas masuk ke ruang jurusan di susul Kyky.

"Kita bolos dong, tetap saja dikasih alpa"

Icha tersenyum kecil. Mau dibilang bolos atau alpa ia tak peduli, sebab yang ada di pikirannya detik ini cuma Andi.

***

"Sudah lima belas menit kita berdiri di sini, Cha plisss dehh"

"Tunggu bentar napa, aku atur napas dulu"

"Yee daritadi atur napas mulu, ketemunya kapan?"  Atau kamu mau aku suruh Andy yang nyamperin kamu?"

"Eh,.. jangan Ky, jangan biar aku yang samperin dia"

"Abisnya kamu kelamaan sih, kaki aku udah pegal nih"

"Iya, iya.. sabar dong... masalahnya jantung aku kayak mau meledak Ky"

Sekali lagi Icha menarik napas dalam banget kemudian ia hembuskan dan untuk kesekian kali Icha kembali mengintip cowok putih berbaju biru yang sedang menekuni laptop. Biasanya kalau ngeliat Andi lagi asyik dengan pacar pertamanya, ia pasti nyosor dan langsung duduk di samping cowok yang selalu tersenyum menyambut kedatangannya. Icha ngerti, Andi  maniak game jadi sebagai cewek yang begitu sayang dengan kekasihnya ia bisa terima dijadikan pacar kedua bagi Andi asal tak ada pacar ketiga, keempat dan seterusnya.

Ah, tapi kenapa sekarang mau ketemu pacar sendiri aja gak berani, jantungnya mendadak aneh. Berpacu lebih kencang dan berdetak lebih kuat, sama seperti saat pertama kali ia jatuh cinta pada seorang Andika Prasetya. Memang, sebelum Andi menyatakan Ich liebe dich padanya Februari lalu, jantung Icha sering berdegup tak karuan setiap kali ketemu cowok yang sefakultas dan sejurusan  namun beda kelas itu lalu setelah mereka jadian jantungnya yang sering berdag dig dug keras perlahan mereda dan kembali normal, bukan karena ia berhenti mencintai cowok yang memiliki warna kesukaan sama dengannya, tapi karena cowok yang ia cintai pun ternyata mencintainya.

"Apa ini pertanda aku sedang jatuh cinta lagi sama pacarku?"

***

Langkah kaki gadis berjilbab abu-abu akhirnya muncul dari balik tembok lalu pelan menapaki lantai, seiring lisannya yang tak henti menyebut asma Allah. Dari jauh Andi yang melihat Icha berjalan kearahnya tersenyum, manis banget, senyuman yang selalu bikin hati Icha merona. Degup jantung gadis itu masih membuncah namun desakan Kyky dan suara hati yang terus saja memberikan bisikan agar ia segera menemui Andi terpaksa membawa kakinya menuju ke tempat duduk Andi dalam keadaan pikiran kacau balau. Kata-kata yang  di rangkainya semalam bahkan sejak dua bulan lalu sudah di konsepnya dengan baik tiba-tiba buyar.

Sebenarnya Icha bisa saja mengutarakan maksud hatinya pada Andi via sms atau telpon, tanpa musti bertemu. Kalau lewat udara dari dua bulan lalu pun bisa ia lakukan. Tapi karena Andi bukan tipikal cowok yang suka ngomong lewat perantara terlebih karena Andi cowok pertama dan satu-satunya cowok gentle yang pernah katakan cinta langsung tanpa mak comblang atau media apapun padanya cuma Andi, sehingga ia pun berinisiatif melakukan hal yang sama. Ia menunggu moment yang tepat, moment dimana ia bisa ngobrol empat mata dengan pacarnya. Hanya empat mata.

"Hai" sapa Andi lembut ketika sosok Icha berhasil sampai di hadapannya

"Kamu gimana kabarnya?" tanya Icha basa basi setelah mengambil tempat di samping kanan Andi.

"Baik, kamu?"

"Seperti yang kamu liat"

Hening sejenak

"Maaf Cha, kemarin selama liburan aku gak hubungi kamu, hape aku rusak"

"Ia nggak papa kok, Hmm Ndi, ada yang mau aku ngomongin, boleh gak?"

"Mau ngomong apa?"

"Jangan di sini, diluar aja yah kita ngobrolnya"

 "Oke"

***

Lama mereka membisu. Icha terhanyut dengan pikirannya begitupun Andi, entah apa yang terlintas di benak cowok yang pikirannya terlalu susah ditebak. Wajah Andi terlihat datar tanpa ekspresi sementara Icha ekpresinya benar-benar nampak, gadis itu gelisah.

"kamu mau ngomong apa?"

"Ndi, kamu tahu kan sekarang aku kayak gini"

Andi mengangguk.

"Maaf kalau sebelumnya aku gak bilang ke kamu"

"Gak masalah, aku ngerti kok"

"Tapi, aku gak bisa seperti dulu lagi"

 "aku tahu, kita bisa ngejaga jarak"

"Bukan itu Ndy"

"Trus kamu maunya apa? aku ikut aja Cha"

"Ndi aku masih sayang sama kamu" jerit Icha dalam hati

"Aku gak bisa berharap lagi Ndi, aku juga gak bisa ngasih kamu harapan"

"Ia terserah kamu, Cha"

"Ndi, untuk saat ini aku mau sendiri saja, gak papa kan?"

 "Iya, aku udah pernah bilang kan, kalau aku terserah dari kamunya saja, Kalau kamu maunya gitu aku ikut"

 "Aku maunya berjodoh sama kamu Ndi, tapi aku gak tahu masa depanku dengan siapa, kalau hari ini aku terlalu berharap banyak sama kamu, aku takut esok Allah akan rebut harapan itu, dan aku pasti kecewa. Ndi semoga kamu ngerti, aku pengen sendiri bukan karena ada orang ketiga bukan karena cintaku padamu menghilang, bukan karena jilbabku, bukan juga karena selama ini kamu terlalu cuek. Bukan, Ndy. Tapi karena Allah, Karena aku ingin berharap sama Allah, aku berharap agar Allah menjodohkan kita di masa mendatang, aku berharap pada Allah maka biar kutitip saja cinta ini, biar Allah yang menjaganya karena aku yakin Allah tak pernah mengecewakan"

"Makasih udah ngerti Ndy..."

Andy hanya tersenyum kecil, kelihatannya dia baik-baik saja, sama sekali tak tampak raut sedih saat Icha berucap kata ingin sendiri, tidak juga berusaha untuk mempertahankan hubungan mereka. Ah, cowok memang misterius. Apa pertanda senyumannya itu? Apa memang dia bahagia atau sebaliknya?

"Ndy aku mau kasih ini ke kamu" ujar Icha menyerahkan sebuah cincin besi putih yang sedari tadi digenggamnya.

Tangan Andy refleks meraih cincin tersebut, lalu ia menatap gadis yang baru saja memutuskannya. Putus? Icha bahkan tidak mengucap kata putus dia hanya bilang pengen sendiri, entahlah bagaimana orang memaknai kata sendiri itu, apakah sama dengan putus atau pisah?

"Makasih, Cha. Oh ya kalau udah gak ada yang mau kamu omongin ayo masuk ke dalam" Gadis itu mengangguk lalu mengikuti langkah Andi dari belakang.

Icha menatap sosok Andi lalu menatap cincin yang melingkar di jari tengahnya, cincin yang sama dengan cincin yang baru saja ia serahkan pada Andi. Cincin perpisahan?

"Ya Allah ternyata semudah inikah, dua bulan aku memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk mengakhiri sesuatu yang kuharapkan padaMu tak berakhir. Mungkinkah Kau memang sedang memudahkan jalanku?"


kubiarkan ia pergi
kubiarkan ia berlalu
kulepaskan genggamanku
hari ini kami berpisah
namun perpisahan ini belum tentu menjadi akhir
hari esok aku masih menanti senja bersamanya
tak mengapa jika ia terlanjur jauh
sebab di sini aku masih mencinta
dan menyemaikan harapan pada Sang Maha Cinta
Biar Allah saja yang menyatukan kami
Jika memang dia jodohku:)

Posting Komentar untuk "Memoar September (Part Two)"