Andai Nyawa Bisa Ditukar

Hidup adalah kesempatan yang diberikan Tuhan agar kita bisa mengecap kasih dan sayang-Nya. Hidup adalah cara Tuhan agar kita bisa belajar mensyukuri segala nikmat-Nya. Hidup adalah pilihan terbaik yang dianugerahkan Tuhan pada kita.

Oleh sebab Tuhan yang telah menghidupkan maka Dia pulalah yang mematikan. Dunia ini memang tempat persinggahan sementara, sejatinya hidup adalah perjalanan menuju kematian. Kita semua pasti akan mati. Mau tidak mau, siap tidak siap, ajal adalah hak mutlak yang telah digariskan Allah di lauh mahfuz-Nya. Entah kapan malaikat maut menghampiri kita? Wallahua'lam bisshawab.

Berbicara tentang kematian, saya sekadar ingin share kisah akhir hidup kedua teman saya semasa sekolah di SMA. Tanpa bermaksud menyindir, kisah ini sengaja saya angkat agar bisa menjadi pelajaran sekaligus intropeksi bagi kita semua terutama diri saya pribadi.

Saya bersekolah di salah satu sekolah negeri yang ada di Kepulauan Yapen, Papua. Mayoritas teman-teman di sekolah saya tersebut adalah orang tarinimai (sebutan untuk penduduk asli sana) yang notabenenya beragama nasrani. Saya sendiri meski lahir dan besar di sana tetap saja tergolong sebagai pendatang.

Alhamdulillah, selama tujuhbelas tahun menghirup udara di tanah Papua, saya setidaknya dapat berbaur dengan putra-putri daerah sana dengan baik sekali pun tidak begitu akrab (sebab kami berbeda keyakinan). Termasuk berteman dengan Osin dan Omi (bukan nama sebenarnya) yang pernah sekelas dengan saya.

Osin adalah teman sekelas saya saat duduk di bangku kelas X SMA. Seorang siswi bertubuh mungil  dan lincah bagai seeokor kelinci. Postur tubuhnya yang mungil itulah yang membuat Osin dengan ringan membawanya dirinya mampu berlari kencang. Yup, teman saya yang satu itu merupakan atletis dan pernah menjuarai lomba lari jarak jauh (saya lupa setingkat apa). Osin pernah menceritakan tentang kemenangannya padaku ketika mengikuti suatu pertandingan olimpiade lari marathon hingga berhasil meraih juara dan mewakili daerah kami keluar kota. Saat itu dia tampak begitu bangga dengan prestasinya dan sebagai teman saya pun bangga punya teman berbakat seperti dia.

Berbeda dengan Osin yang lincah dan kuat lari, Omi malah sebaliknya. Teman saya semenjak naik ke kelas XI hingga ke kelas XII itu memiliki postur tubuh yang juga kecil, kurus namun lemah. Ia bahkan terlihat lebih lemah dan lebih kurus daripada saya. Padahal waktu di kelas X saya terkenal sebagai siswi terkurus dan lumayan lemah yang kalau disuruh lari keliling sekolah sama pak guru olahraga selalu tertinggal belakangan.

Syukur, di kelas XI ada Omi, siswi yang mengganti posisiku sebagai siswi terkurus di kelas. Tapi, Omi tidak pernah ikut olahraga, dia tidak pernah ikut pemanasan lari keliling sekolah sehingga saya (kembali) menjadi pelari paling terakhir mencapai garis finish. Setiap jam Olahraga Omi tetap memakai baju olahraganya sekali pun dia hanya melihat aktivitas kami mulai dari berlari, senam, lompat hingga memantul-mantulkan bola.

Awalnya saya heran, kenapa Omi tidak pernah ikut berolahraga bersama kami. Kenapa teman-teman nggak ada yang protes. dan kenapa Pak Yosep, guru olahraga kami membiarkan Omi cuma berdiri di sudut lapangan sebagai penonton. Uhft, cemburu sempat mampir di benak saya, pasalnya saya juga pengen kayak Omi dibebaskan gak ikut praktik pelajaran yang paling tidak saya sukai sejak SD itu. Jika diberi pilihan, mending saya milih senam otak dan bergelut dengan angka-angka ataupun rumus-rumus fisika ketimbang melakukan senam otot. Sesekali ketika sedang berolahraga saya sengaja melirik Omi dan melihat tatapannya yang seolah berkata dengan logat papua

"aleee, sa juga mo ikut olahraga sama kalian yooo, tapi...."

"Omi pu penyakit jantung, makanya da tara bisa ikut tong olahraga" begitu jawaban yang sampai di telinga saya setelah kepo sana sini.

Gak bisa mengembangkan bakat yang mungkin Omi miliki di bidang olahraga, tidak menutupi bakat lain yang dimiliki cewek asli papua itu. Di kelas Omi cukup pintar. Dia termasuk siswi yang paling rajin mencatat dan memiliki tulisan yang indah dan rapi banget dari awal sampai akhir. Beda dengan saya yang kalau nulis di awalnya aja cantik pertengahan sampai akhir cakar ayam. Kadang juga ogah-ogahan nulis jadi saya lebih sering pinjem buku catatan Omi buat disalin.

Selain memiliki tulisan tangan yang indah dan rapi, Omi ternyata memiliki bakat menggambar atau melukis. Sewaktu kelas XI, kami mendapat tugas melukis pake cat air di atas sebuah kain yang dilekatkan pada sebuah bingkai. Hmm, saya agak lupa bentuknya seperti apa. Tapi saya masih ingat dengan sangat jelas, karya milik Omi termasuk salah satu yang terindah dan yang terbaik. Karena itu, saya bersama Ida, cewek asli Ambon yang merupakan teman akrab saya pernah datang berkunjung ke rumah Omi sekadar meminta ia mengajari kami cara melukis menggunakan cat air.

Di kelas XII, di hari-hari mendekati ujian nasional, Omi sudah jarang masuk sekolah. Kabar yang saya dengar ia jatuh sakit. Kesibukan menghadapi ujian dengan jadwal sekolah yang padat, yang biasanya cuma sampai jam 1 siang ditambah dengan les hingga sore membuat saya dan teman-teman sekelas belum sempat menjenguk Omi.

Barulah di suatu sore saya dapat kabar mengejutkan dari Ida. "Omi merasa dia seperti akan segera mati" kata Ida memberitahukan sms yang dikirimkan Omi padanya. Sore itu juga, saya dan Ida berinisiatif menjenguk Omi di rumahnya.

Kali kedua kedatangan saya di rumah Omi, saya mendapati wajah teman saya itu tampak begitu pucat dengan tubuh yang bertambah kurus. Omi bahkan sudah tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Keesokkan harinya, segera saya sampaikan kabar Omi yang semakin buruk pada teman-teman sekelas. Dan kami sepakat akan menjenguknya di hari selanjutnya.

Hari itu adalah hari sabtu ketika saya beserta rombongan sekelas datang menjenguk Omi yang telah dirawat inap di rumah sakit. Saya merasa senang melihat kondisi Omi yang saya temui di rumah sakit jauh lebih baik dibandingkan Omi yang saya temui di rumahnya. Omi tampak gembira sekali dengan kedatangan kami. Ia sudah bisa tersenyum bahkan tertawa. Jika sebelumnya Omi yang saya temui tak bisa bicara, kali itu saya mendengar sendiri ia begitu antusias menceritakan pada kami bahwa besok (hari minggu) dia akan berangkat ke Jayapura dan berobat di sana. Omi bilang dia akan segera sembuh dan akan kembali bersekolah. Dia juga bercerita bahwa lulus SMA dia ingin kuliah di fakultas kedokteran. Dokter adalah cita-citanya sejak dulu. Saya menangkap gairah hidup Omi begitu menggebu-gebu di tengah penyakit jantung yang dideritanya.

Di penghujung pertemuan hari itu, satu per satu dari kami (teman sekelas Omi) menyalaminya, pun tanganku dan tangannya yang ikut menyatu.

"cepat sembuh ya Omi" ucapku sembari menyalami tangannya.

Harapan itu masih ada, Omi. Kamu harus tetap hidup, agar kamu bisa menggapai mimpi-mimpimu.

***

Ah, siapa sangka? Hari itu adalah hari terakhir pertemuan kami, salaman itu adalah salaman terakhir kami, senyuman dan tawanya hari itu juga adalah senyuman dan tawa terakhirnya yang saya lihat.

Rasanya sulit untuk percaya menyaksikan Omi yang kondisinya mulai membaik, kami bahkan masih sempat bercanda, masih sempat bersalam-salaman masih sempat bercerita, telah tiada keesokkan harinya.

Omi telah pergi jauh meninggalkan mimpi-mimpinya juga harapan-harapannya. Dia tak kuasa melanjutkan hidup-Nya sebab takdir Tuhan berkata lain. Walau seberapa keras ia berjuang melawan jantungnya yang bocor agar tetap berdenyut. Walau seberapa kuat ia menantang penyakitnya bila Tuhan menghendaki apalah daya seorang manusia. TUHAN punya hak membatasi hidup seseorang

Lalu bagaimana dengan Osin?

Osin yang kuat, Osin yang berbakat jadi atletis, Osin yang tak pernah saya dengar memiliki riwayat penyakit kronis. Osin pun telah pergi lebih dulu. Ajal belum datang menjemputnya. Osin lah yang sendiri datang menjemput ajalnya. Melawan takdir, entah dengan alasan pasti seperti apa. Desas-desus yang beredar, katanya karena Cinta. Duh, sebegitu jahatnya kah cinta sampai-sampai dikambinghitamkan menjadi salah satu penyebab kematian seseorang. Padahal usia Osin masih sangat muda, perjalanannya (mungkin) masih panjang. Tuhan tidak membatasi hidupnya seperti Omi. Tapi kenapa?

Dan begitulah hidup, ada orang yang berjuang keras agar tetap hidup, ada pula orang yang berpikir keras untuk mengakhiri hidupnya.

Maaf, saya sama sekali tidak bermaksud membandingkan kisah Osin dan Omi yang mengalami kematiannya dengan cara berbeda. Maksud saya mengangkat cerita ini agar kita terutama saya bisa lebih mensyukuri hidup. Sekian.

040414
Galesong,
Menjemput Senja

8 komentar untuk "Andai Nyawa Bisa Ditukar"

Comment Author Avatar
hidup itu gak selalu seperti apa yang kita pikirkan. gak selalu mulus.
bukan tidak mungkin kalau kita akan mengalami seperti yang dialami osin dan omi.
bisa saja ketika kita telah kehilangan akal sehat karna suatu masalah sehingga nekat mendahului takdir.
tergantung dari kuat tidaknya iman saja. semoga kita dipanggil dalam keadaan yang baik, dengan jalan yang baik pula.
ini jadi pelajaran buat kita semua untuk lebih mensyukuri hidup, brjuang untuk tetap hidup dan memperbaiki diri.
Comment Author Avatar
agak ngejleb baca ceritanya, disaat Omi berjuang untuk terus hidup melawan penyakitnya dan akhirnya menyerah dengan takdir yang diterimanya... di satu sisi ada yang justru menyia-nyiapkan hidupnya hanya karena masalah cinta.. padahal seharusnya Osin bersyukur.. masih diberi kesehatan... kasian keluarga yang ditinggalkan.
Comment Author Avatar
saya suka banget postingan ini entahlah mungkin kebetulan atau apa saya juga tengah mengalami kehilangan sahabat tapi ceritanya sedikit beda dan dia masih ada hanya rasanya dia sudah hilang, mungkin karena itu saya sangat menghayati sekali cerita ini dan cara berceritanya sangat bagus dan saya selalu suka dengan tulisan kak zhie :)
Comment Author Avatar
baca sampe habis bikin susah napas kak. nyesek...
di satu sisi ada yang ingin terus hidup namun tak bisa melawan takdir, di sisi lain ada yang dengan mudahnya mengakhiri hidup. Osin pastinya punya alasan, namun jika iman kuat insyaAllah tidak akan ada Osin Osin yang lain...

semoga almarhumah diberikan ketenangan di sisiNya. aamiin~
Comment Author Avatar
gue ga bisa berkata apa2.
ngomongin kematian ini emang ga enak. terutama buat yang ditinggal. semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari tulisan ini.
bahwa hidup dan mati adalah misteri. semestinya kita sudah siap menghadapinya :)
Comment Author Avatar
huh...mati? ya.....mungkin secara pribadi saya berfikir ini adalah fenomena abstrac...tapi nyatanya pasti datang..dan yang bisa dilakukan adalah kesiapa....salah satunya dengan bersyukur..mari mensyukuri hidup :)
Comment Author Avatar
wow merinding bacanya. ada makna yang dalam.

yang satu pengen hidup melawan penyakit. yang satu menyia-nyiakan tubuhnya yang sehat.

pelajaran bagus.
Comment Author Avatar
Sebelumnya makasih ya kak udah berbagi kisah mereka. Jujur, aku ngerasa kesentil banget sama kisahnya Omi dan Osin. Terutama Omi. Dia yang punya penyakit masih mau berjuang buat hidup dan meraih mimpi, tapi aku malah selalu ngeluh. Rasanya malu sendiri.

Dan kisah Osin juga bisa jadi pelajaran. Cinta memang nggak selalu bahagia. Tapi bukan berarti saat terluka, harus mengakhiri hidup juga. Ya ampun sayang banget, banyak mimpi dan harapan yang masih harus dicapai. Jangan sampai kisah Osin itu terulang lagi deh ya.

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.