Kenalilah Teman Sejati Sejak Dini

Sakit adalah ujian. Ketika menderita sakit yang menderita ujian bukan cuma kita. Keluarga yang ikut menjaga dan merawat kita pun turut diuji. Saya baru menyadari hal tersebut setelah sepekan terakhir ini harus bolak balik rumah (kos) - rumah sakit. 

Pekan lalu, Om (kakak dari mama saya) yang sebelumnya dirawat di RS KH Hayyung Selayar dirujuk ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Beliau menderita penyakit diabetes yang telah merambat ke organ tubuh lainnya. Akibatnya om mengalami komplikasi. Penyakitnya bertambah parah. Beliau sempat kehilangan kesadaran diri. Keluarga jadi panik. Mama bahkan sampai terbang dari Papua ke Sulawesi demi bisa berada di samping om yang kondisinya saat itu cukup kritis.

Alhamdulillaah, ketika dirujuk di RS Wahidin kondisi om mulai membaik, tidak lagi kritis meski sampai saat ini beliau masih terbaring lemah di pembaringan dengan tangan yang dibaluti selang infus. Masih harus dirawat di rumah sakit entah sampai kapan. Belum ada kejelasan dari dokter yang menangani. 

Ini sudah sepekan berlalu namun hasil pemeriksaan om belum juga keluar. Keluarga jadi bingung dan mulai mengeluh. Pasalnya pelayanan di rumah sakit ber-type A itu jauh dari harapan. Kurang maksimal. Detail-detailnya tidak perlulah saya jelaskan di postingan ini toh saya tidak bermaksud ikut protes mengenai perawatnya yang kurang sigap menanggapi keluhan pasien, dokternya yang jika ditanya oleh keluarga pasien jawabannya tidak memberi kepuasan atau memberi sedikit penjelasan tapi dengan bahasa-bahasa medis yang tidak dimengerti oleh orang awam. Entahlah, saya bukan orang medis jadi tidak begitu tahu dengan prosedur-prosedur di rumah sakit yang sudah seharusnya menjadi hak setiap pasien baik pasien umum mau pun pasien yang ber-BPJS.

Kita kembali saja ke topik yang hendak saya bahas. Mengenai ujian yang dialami oleh keluarga si pasien. Bukan pasiennya karena tanpa saya soroti pun ujian yang dialami oleh si penderita sakit tentu sudah jelas. Pastinya tidak enak dan sengsaranya bukan main. Ya iyalah mana ada orang sakit merasa enak dan baik-baik saja. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh keluarga pasien. Tidak enak dan merasa sengsara pula. Lho kok bisa?

Well, meski ujian yang ditimpa keluarga pasien tidak ada apa-apanya dibanding ujian yang dialami oleh anggota keluarga yang menderita sakit bukan berarti mereka baik-baik saja. Pikiran mereka disesaki oleh macam-macam kekhawatiran. Hati mereka dipenuhi oleh segenap harapan. Waktu mereka tersita banyak karena harus tetap stand bye berada di sisi pasien nyaris duapuluhempat jam tiap harinya. Bila sebulan keluarganya di rawat di RS selama sebulan pula mereka akan setia bergantian berjaga di RS, tidak mungkin meninggalkan pasien seorang diri. Makan dan tidur mereka pun ikut-ikutan tak teratur. Ya, siapa yang bisa makan dengan lahap dan tidur dengan nyenyak di rumah sakit yang kondisinya tak begitu kondusif.

Setibanya om di Rumah sakit Wahidin, beliau dirawat di ruang IGD selama dua malam. Waktu itu semua kamar pasien full sehingga selama dua malam itu keluarga yang menjaga om terpaksa harus tidur ramai-ramai bersama keluarga pasien lainnya yang kebanyakan berasal dari daerah di luar ruangan. Tepatnya di sepanjang koridor IGD yang biasa dilewati orang berlalu-lalang. Tampak bagai pengungsi. Aih, dalam kondisi demikian keluarga pasien mana sempat memikirkan mana tempat yang kondusif dan mana yang tidak. Semua tempat seolah menjadi layak begitu saja untuk ditiduri, yang penting bisa untuk merebahkan badan. Cukup dialasi tikar. Beres.

Setelah mendapat kamar pun kondisinya tidak berbeda jauh. Tapi setidaknya masih mendinglah daripada tidak dapat kamar sama sekali meski hanya dua orang yang bisa tidur beralaskan tikar di sisi tempat pembaringan om. Itu pun tidurnya harus berdesakan karena sempit. Selebihnya terpaksa tidur di teras luar kamar yang dikhususkan untuk keluarga pasien.

Ujian yang dialami oleh keluarga pasien bukan hanya masalah tempat yang tidak kondusif, makan yang tidak enak, tidur pun ikut tak enak. Ada ujian lain yang lebih dashyat dan ujian itulah yang saya maksud di sini. Kesabaran. Iya, kalau ada keluarga kita yang sakit yang diuji sabar bukan cuma yang tertimpa penyakit. Kita pun turut diuji oleh Allah dengan ujian yang bernama kesabaran

Ah, ini bukan tentang saya. Ini tentang tante saya yang begitu telaten dan setia menemani suaminya di rumah sakit. Berjaga dari pagi hingga malam dari hari ke hari selama hampir sebulan ini. Hanya tante yang tidak pernah pergi jauh dari sisi om. Mulai dari rumah sakit tempat om di rawat di Selayar hingga dirujuk di rumah sakit di Makassar. I know, tante sudah merasa lelah dan jenuh berada di rumah sakit, tapi demi kesembuhan suaminya dia harus bertahan. Berusaha membujuk dirinya agar tetap strong meski tak pernah berhasil menahan air di matanya jatuh menderas setiap kali mendapati om merintih kesakitan.

Ini juga tentang seorang ibu tua yang setia menemani lelaki tua berusia enampuluh tahun yang pembaringannya persis di depan pembaringan om. Yang hidungnya terpasang oksigen dan tangannya terbalut infus. Yang tubuhnya sisa tulang terbungkus kulit. Kaku dan tak bisa bergerak. Ibu itu sungguh tak putus harapan. Meski anak-anaknya telah pasrah lebih dulu. Dengan penyakit tua yang menggerogoti tubuh sang suami, anak-anaknya menolak ayahnya dirawat di rumah sakit. Mungkin dianggap sia-sia. Percuma. Ayah mereka tidak akan kembali sehat seperti sedia kala. Cukup dirawat di rumah saja. Namun si ibu tetap ngotot. Membawa suaminya ke rumah sakit meski anak-anak yang tinggal berdekatan dengannya tak ada yang setuju. Dari ketujuh anaknya, selain anak yang pergi merantau hanya satu yang menunjukkan kepedulian, mau menemani ibunya di rumah sakit.

Selama mengunjungi om di rumah sakit saya memang tak pernah melihat si ibu ditemani oleh anak-anaknya, kecuali salah seorang anak lelakinya, pemuda yang umurnya kira-kira telah menginjak kepala tiga dan belakangan baru saya tahu ternyata pemuda itu juga mengidap penyakit ginjal yang mengharuskan dia rutin untuk cuci darah. Hanya anaknya yang sakit itu yang menemani ibunya menjaga ayahnya yang sakit tua. Astaghfirullaah. 

Di kamar lain ada seorang ibu paruh baya yang telaten merawat ibunya yang telah sakit-sakitan. Kata si ibu itu ketika kami sedang duduk bersebelahan pinggir lorong rumah sakit sekadar mencari udara segar di luar kamar pasien, beliau sudah hampir tiga bulan menemani ibunya yang dirawat di rumah sakit. Tiga bulan, tinggal di rumah sakit, menemani sang ibu yang telah merapuh? Maa syaa Allaah.

Di ruangan yang sama dengan tempat om dirawat , tepatnya di sebuah kamar di lantai dua, ada pula seorang suami yang setia menemani istrinya yang divonis menderita penyakit kanker darah atau bahasa medisnya leukimia ya? Entahlah saya tak begitu tahu. Namun yang pasti penyakit yang diderita istrinya sudah begitu kronis. Bahkan saat buang air kecil pun yang keluar bukan lagi urin melainkan darah.

Si suami masih ada hubungan kekerabatan dengan tante saya. Menurut cerita tante pasangan suami istri itu baru beberapa bulan menikah, namun sudah diuji dengan yang ujian begitu berat.

Dan kalau mau  ditelusuri lebih lanjut, di rumah sakit banyak sekali "ujian" yang Allah berikan pada hamba-hamba-Nya yang terpilih yang bisa kita jadikan pelajaran dan petik hikmahnya. Entah dari pasien, keluarga si pasien, suster yang merawat, dari dokter yang memeriksa, dari teman atau kerabat yang menjenguk dan lain sebagainya.

Namun terlepas dari ujian yang dialami ketika sakit, ini satu hal yang benar-benar baru saya sadari, barangkali kita punya banyak saudara seukhuwah di luar sana yang seolah rasa saudaranya menyaingi saudara sedarah, akan tetapi tidak selamanya saudara seukhwah bisa menggantikan posisi saudara sedarah. Begitu pun dengan sahabat, teman, kerabat, kenalan, semuanya tidak ada yang bisa menggantikan posisi dan arti pentingnya sebuah keluarga. Lihatlah, saat kita sakit,  saat kita jatuh, saat kita terpuruk, siapa sosok yang setia membersamai kita sepanjang waktu?

Saudara seukhuwah, sahabat, teman, kerabat, kenalan dll, mereka hanya akan datang menjenguk kita sekali lalu tak muncul lagi. Yang tersisa adalah keluarga, mungkin saudara, mungkin orang tua, anak, sepupu, keponakan dll, tapi mereka pun tidak bisa membersamai kita sepanjang waktu. Maka yang tersisa, tinggalah pasangan hidup kita seorang. Suami atau istri merekalah yang bakal setia menemani kita selama dua puluh empat jam, selama kita masih di dunia.

Namun, bila ajal menjemput dan memisahkan kita dari pasangan. Siapa lagi yang bisa setia menemani kita dalam gelapnya "rumah terakhir" kita selain amal.

Kelak, bila tiba masanya hanya amal yang akan setia menemani kita hingga ke alam azali, bukan suami, bukan anak, bukan orang tua, bukan sahabat, bukan saudara, bukan harta, bukan jabatan, bukan kecantikan.

Amallah sejatinya teman hidup kita di dunia dan di di akhirat.

credit


*selfreminder *notetomyself

#ODOPOKT16

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Posting Komentar untuk "Kenalilah Teman Sejati Sejak Dini"