Pujian; Antara Dosaku & Nikmat-Nya


Bismillahirrahmaanirrahiim


Apa kau tahu, berapa banyak dosa yang telah kuperbuat selama hidupku ini? Coba kau hitung ikan-ikan di lautan atau bintang-bintang di langit, sebanyak itulah dosa-dosa yang menyelimuti diriku. Bagaimana? Apa kau sudah menghitungnya? Aih, kau pasti mengira aku sekadar berguyon menyuruhmu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung, iya kan? Tapi aku tidak sedang berkelakar, aku serius! Kalau kau tidak bisa menghitungnya, tidak mengapa, sebab kau maupun aku memang tidak akan pernah sanggup menghitung ciptaan Allah yang terhampar luas di langit dan di laut. Cukup kau tahu, seperti itulah dosa-dosaku. Tak berbilang jumlahnya.

Karena itu, berhentilah menyanjungku, sudahilah mengeluarkan kata-kata fantastis seolah kau begitu takjub. Jangan lagi memujiku dengan kalimat apapun. Apa yang kau lihat pada diriku, mungkin hanyalah fatamorgana. Kau bahkan sama sekali tak tahu apa-apa tentangku. Yang kau tahu hanyalah apa yang kutampakkan. Padahal yang kutampakkan belum tentu yang sebenarnya. Namun, memang demikianlah adanya. Selama ini aku hanya menampakkan yang baik-baik di depanmu, layaknya tak punya cela sehelaipun. Berlagak pura-pura, selalu berusaha tampil sesempurna mungkin, bukan saja di hadapanmu tetapi juga di hadapan semua orang.

Nyatanya aku tidak pernah sesempurna itu, tidak pernah sebaik yang kau kira. Bahkan kebaikan yang melekat tidak seberapa bila dibanding dengan keburukan-keburukan yang tak pernah aku tunjukkan padamu. Ketahuilah, kebaikanku hanya secuil sedang keburukanku menggunung tinggi. Mungkin sama banyaknya dengan dosa-dosa(ku) yang tiada bisa kau hitung itu.

Andai saja kau mengetahui segala keburukan yang kumiliki maka lidahmu itu pasti akan tertahan dan kau takkan lagi memuji-muji sedemikian rupa, sebaliknya kau akan menghujatku, menghina sejadi-jadinya atau malah berpaling, meninggalkanku selama-lamanya.

Dan bila hal itu benar terjadi, aku mungkin akan kehilangan muka. Namun, kini aku tiada peduli. Entah kau atau siapapun tahu atau tidak nantinya. Aku tiada akan peduli dengan semua hujatan, hinaan dan cacian yang dilemparkan manusia padaku. Bahkan sekalipun kau dan semua orang meninggalkanku, sungguh aku tiada peduli. Walau sesakit bagaimanapun rasanya. Aku benar-benar tiada lagi ingin peduli dengan semua itu.

Kau tahu, kenapa?

Karena aku tidak punya alasan apapun untuk malu padamu atau pada sesiapapun. Mungkin, aku telat menyadari ini. Setelah seringnya pujian datang silih berganti, barulah aku tersentak, menyadari bahwa sesungguhnya segala pujian itu tidak layak kuterima. Pujianmu saat ini hanya akan membuatku bersedih. Akan lebih baik bila kau caci maci diriku saja.

Sungguh, aku lebih rela bila kau menghinaku sepuasmu daripada mendengar ucapan yang tidak semestinya kau alamatkan padaku. Tersebab, setiap pujian yang kau layangkan kerap mengubah mimikku seketika. Entah tersipu atau merona. Kadang-kadang malah salah tingkah. Perubahan itu jelas mengundang resah gelisah, pun rasa takut.

Tahukah kau, pujianmu tampak begitu menyeramkan. Jauh lebih seram dari sekadar menonton film horor tengah malam. Bukan membuat senang, hatiku justru ketar-ketir ketakutan. Sayangnya kau tidak akan pernah tahu, seberapa kerasnya aku berjuang menghalau bisikan-bisikan syaitan agar tak sampai hatiku meninggi. Aku takut, takut sekali bila karena pujianmu diriku melambung. Ya, kau memang tidak akan pernah tahu apa yang selalu kurahasiakan darimu.

Sampai di sini, masih tidak sadarkah kebaikan siapa yang sedang kau puji itu? Atau janganlah terlalu jauh menyinggung kebaikan, apa saja yang kau lihat pada diriku. Paras, penampilan, kecerdasan atau apa? Sebutkanlah semua hal yang membuatmu lancang menyanjungku. Lantas setelah itu masih tidak sadarkah kau, milik siapa yang sedang kau puji itu? Jangan bilang kau juga mengira semua itu adalah milikku. Bukan, itu semua bukan milikku.

Sejatinya, semua yang melekat pada diriku ini adalah titipan dan nikmat yang Dia anugerahkan kepadaku. Jadi, jika kau ingin memuji maka jangan puji diriku, tetapi pujilah Dia yang telah mencurahkan segala kebaikan dan menutupi segala aib yang terselubung dalam setiap diri manusia. Dia-lah satu-satunya yang berhak menerima segala pujian, bukan aku pun kau. KITA hanyalah hamba-Nya yang dhoif lagi kerdil. Sedang Dia adalah Sang Penguasa yang Maha Besar.

Dialah ALLAH Azza Wa Jalla

"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat ( Al-Fatihah: 2-7)"

~

Apa kau tahu, berapa banyak nikmat yang Allah curahkan selama hidupku ini? Tenang saja, aku tidak lagi memintamu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung. Tetapi coba kau perkirakan, jika jumlah ciptaan Allah yang ada di langit dan laut kau gabungkan, ditambah dengan yang ada di daratan dan di seluruh alam jagat raya ini maka semua itu masih sangat kurang untuk menyamai jumlah nikmat yang telah Allah berikan padaku. Nikmat-Nya sungguh lebih tak berhingga dibanding jumlah dosa-dosaku selama ini. Karunia-Nya sungguh jauh tak terkira dibanding segala aib yang melekat pada diriku.
Rahmat-Nya bahkan jauh lebih luas dari yang tak pernah kau bayangkan.

Aku pun tak kuasa melukiskannya. Oleh karena itu, ijinkanlah aku membagi beberapa kisah yang pernah aku temui kala menjelajahi dunia maya. Jika kau sudah pernah mendengar kisah ini sebelumnya, maka aku sekadar ingin mengingatkan kembali, jikapun tidak pernah kau mendengarnya, maka aku sekadar ingin agar kau pun tahu. Bacalah kisahnya dengan penuh penghayatan dan rasailah betapa deras kasih-Nya Allah kepada kita. Kalau perlu basahilah pipimu dengan air mata. Semoga dengan begitu, hatimu kian melembut.

#Kisah Pertama

Di masa nabi Musa as suatu kali lama tidak turun hujan dan menyebabkan musim kemarau berpanjangan. Orang-orang datang menghadap nabi Musa as dan mengatakan,

Dirikanlah shalat hujan bagi kami!”

Nabi Musa as mengajak kaumnya mendirikan shalat hujan dan memohon kepada Allah swt agar menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Orang yang shalat bersama nabi Musa as lebih dari 70.000 orang. Sekeras apapun mereka berusaha berdoa hujan tak kunjung turun.

Nabi Musapun bertanya pada Allah ; Ya Allah mengapa hujan tidak turun? Apakah kedudukanku di sisi-Mu tidak ada artinya ?”

Allah mewahyukan kepada nabi Musa as, Engkau mulia di sisi-Ku. Akan tetapi di tengah kalian terdapat seseorang yang telah bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Katakanlah padanya agar ia keluar dari barisan shalat sehingga
Aku menurunkan rahmat-Ku.

Namun Musa as berkata,“Ya Allah, suaraku amat lemah. Bagaimana mungkin suaraku dapat terdengar oleh 70.000 orang?”

Allah taala berfirman,“"Wahai Musa, sampaikan apa yang Kuperintahkan padamu. Aku akan jadikan mereka semua mendengar suaramu". Dengar suara lantang, nabi Musa as menyampaikan,

Barangsiapa di antara kalian yang telah bermaksiat kepada Allah taala selama 40 tahun maka hendaklah dia berdiri dan meninggalkan tempat ini. Dikarenakan perbuatan dosa dan
keburukannya Allah enggan menurunkan rahmat-Nya kepada kita.

Orang yang berbuat maksiat itu menoleh ke sekitarnya. Dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari barisan shalat. Dia sadar dirinyalah yang dimaksud. Dia berkata pada diri sendiri,

Apa yang harus kulakukan? Jika aku bangkit berdiri maka orang-orang akan melihatku dan mengenalku. Aku akan malu di hadapan mereka Tetapi jika aku tidak keluar maka Allah tidak
akan menurukan hujan.

Pada saat itulah orang itu benar-benar bertaubat kepada Allah dari kedalaman hatinya dan menyesali segala perbuatan dosanya.

Tiba-tiba awan mendung datang dan hujan turun dengan lebatnya. Dengan penuh keheranan nabi Musa as bertanya kepada Allah,

Ya Allah tak seorangpun yang keluar dari barisan namun mengapa hujan turun juga?” Allah taala mewahyukan, Aku menurunkan hujan kepada kalian dikarenakan taubat orang yang telah menghalangi rahmat-Ku turun pada kalian.

Nabi Musa as memohon, Ya Allah, tunjukkanlah padaku siapa orang itu?” Allah taalag mewahyukan, Wahai Musa, ketika hamba itu bermaksiat pada-Ku, Aku menutupi dosa-dosanya. Dan ketika dia bertaubat pada-Ku maka Aku pun merahasiakan dirinya.

#Kisah Kedua

Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah acara di masjid Sunda Kelapa pernah bercerita tentang orang-orang yang berjuang move on dari berbagai ujian yang datang kepada mereka.

Beliau bercerita tentang Nabi Yusuf a.s. Di tengah-tengah cerita, beliau bertanya kepada jama'ah, Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf as?”

Zulaikha,” jawab jama'ah kompak.

Dari mana tahunya bahwa nama perempuan itu Zulaikha? Allah tidak menyebutnya dalam Qur'an.”
Reflek jama'ah menjawab, “Dari hadits. Hadits mendukung kisah yang ada dalam Qur'an dengan lebih detil.

Mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha dalam Qur'an?”

Semua jama'ah diam. Ustadz Salim melanjutkan
penjelasannya.

Karena perempuan ini MASIH MEMILIKI RASA MALU. Apa buktinya bahwa ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.

Dan Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya dalam Qur'an.”

Betapa Allah Maha Baik. Tak hanya sekali, namun berulang kali Allah menutup dosa-dosa kita. Hanya karena masih memiliki rasa malu, Allah tidak membuka identitas kita.

Pernahkah ada seseorang yang nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua karena begitu banyaknya kebaikan yang dilakukan orang itu?
Atau karena Allah telah menutupi aib orang itu?
Mungkin ada yang mengganggap saya, kamu, kita adalah orang yang baik.

Jika saja mau jujur, sungguh itu bukan karena kebaikan kita. Itu semata karena Allah masih menutupi segala aib kita. Jika tidak, maka
habislah kita. Terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Malu, semalu-malunya. Hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.

Kita harus berusaha menutupi aib orang lain sebagaimana Allah yang Maha Baik telah menutupi aib kita selama ini. Mari berdoa seperti yang dicontohkan sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a,

"Ya Allah, jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."

Sekian, catatan ini tergores. Petiklah apa yang bisa dipetik. Adapun segala kebaikan datangnya dari Allah swt dan segala keburukan berasal dari diri yang kerdil ini.

Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar untuk "Pujian; Antara Dosaku & Nikmat-Nya"