Sebuah Pertemuan yang Tak Disangka-sangka

Saya nggak bilang dia lelaki sholeh. Lagipula bagaimana saya bisa memberi penilaian sholeh atau tidaknya dia bila mengenal lebih dari sebatas nama pun tidak. Dia hanya salah satu dari sekian puluh kontak teman saya di BBM atau salah satu dari seribuan kontak teman saya di facebook dan bukan salah satu dari sekian banyak teman saya di dunia nyata.

Setidaknya jika konsep pertemanan diartikan dengan adanya interaksi antara seseorang dengan orang lain lewat komunikasi verbal dalam masa tertentu maka dia tidak tergolong dalam kategori teman saya. Toh, saya tidak pernah terjalin komunikasi apapun secara langsung dengan dia. Kami hanya 'tidak sengaja' pernah bertemu sekali itu pun tanpa bertukar kata.

Iya. Saya bisa saja bilang itu pertemuan yang tidak disengaja atau suatu kebetulan. Eh, tapi saya percaya kok di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulah, yang ada hanyalah kebenaran. Bahwa semua yang terjadi adalah ketetapan Tuhan. Telah lama tertulis dengan tinta kalam-Nya di lauhul mahfuz; hari sekian, bulan sekian, tahun sekian, saya dan dia akan bertemu di tempat yang telah ditentukan. Itulah takdir. Sejatinya, pertemuan kami saat itu adalah pertemuan yang telah diatur oleh Tuhan, bukan pertemuan yang tidak disengaja.

Waktu itu tahun 2013. Komunitas di Makassar kian menjamur. Sebelumnya saya aktif di beberapa organisasi, belum berminat terjun ke lingkungan komunitas meski dari dulu, sejak masih sekolah atau lebih tepatnya setelah menuntaskan buku Kumcer Ketika Mas Gagah Pergi-nya Bunda HTV, saya terinspirasi pengen ngikuti jejak tokoh Nia pada cerpen "Jalinan Kasih dari Gerbong Kereta Api". 

Dikisahkan hati gadis itu tersentuh ngilu setiap melewati stasiun kereta api senen dan menyaksikan pemandangan yang selalu sama. Pemukiman yang kumuh. Anak-anak dengan baju dekil tanpa alas kaki di gerbong-gerbong kosong. Mereka yang tumbuh menjadi liar. Banyak yang tidak bersekolah. Tidak sedikit pula yang dipaksa orang tuanya menjadi pengemis atau pengamen. Ada pula yang anak-anak yang sengaja mencari uang sendiri dengan menjadi penyemir sepatu, penjual koran atau penjual es.

Pemandangan serupa yang juga kerap saya dapati semenjak hijrah di kota Makassar. Anak-anak tanpa alas kaki di pinggir jalan dekat lampu-lampu lalu lintas. Anak-anak dengan baju dekil di sepanjang losari yang berkejaran saling berburu koin dengan suara cemprengnya. Anak-anak dengan wajah kumalnya yang menengadahkan tangan di pasar sentral. Bahkan yang lebih memiriskan hati, pernah saya saksikan saat laju motor yang saya kendarai berhenti di lampu lalu lintas dekat Mall Panakukang. Seorang anak berusia kira-kira enamtahunan mengemis sambil menggendong adiknya yang masih balita di bawah terik yang menyengat sementara di sisi jalan di bawah pepohonan duduk seorang perempuan yang tampak seperti ibu dari kedua anak tersebut sedang menunggu.

Astaghfirullaah. Pemandangan semacam apa itu. Hatiku dibuat ngilu tapi berbeda dengan tokoh Nia yang berinsiatif dan berani bertindak nyata. Didatangi anak-anak yang berkeliaran di gerbong-gerbong kereta api yang kosong. Dengan lembutnya dia menawarkan diri mengajarkan mereka belajar membaca, menulis dan mengaji. Dipanggil pula teman-temannya yang lain untuk ikut membantu. Dihadapinya orang tua anak-anak yang menentang.

Sementara saya, dengan kondisi yang nyaris sama sekadar menatap pilu. Bersimpati tanpa empati. Walau begitu besar keinginan mendekati anak-anak yang sering saya temui meminta-minta di pingir jalan, memeluk dan mendekap mereka dengan penuh kasih sayang. Saya pun mendamba seperti Nia, bisa mengajari anak-anak yang tak bersekolah itu mengenal huruf-huruf aksara dan hijaiyyah juga angka-angka atau berbagi keceriaan apa saja dengan mereka. Sayangnya, keberanian saya sebatas mengkhayal. Saya tidak berani bergerak sendiri. Bisanya cuma mengekor. Itu sebabnya sudah lama terbesit niatan saya ingin bergabung di komunitas sosial yang orientasinya fokus menyentuh masyarakat menengah ke bawah, terutama masalah pendidikan untuk anak-anak.

Bidang atau program kerja yang menyangkut masalah sosial di beberapa organisasi yang saya geluti emang ada, tapi nggak fokus, nggak intens, orientasinya lebih ke-keagamaan, rekrut kader atau membahas pergerakan-pergerakan, meluaskan ladang dakwah. Ranahnya meliputi mahasiswa atau bila itu organisasi kepenulisan orientasinya adalah mengikuti training-training kepenulisan, menghasilkan karya-karya tulis dan berlomba-lomba memuatnya di media-media cetak. So, keinginan saya terjun pada ranah sosial yang fokus dan intens berbagi pada anak-anak yang serba berkurangan tidak terpenuhi di organisasi-organisasi yang saya masuki.

Sudah jadi aggota lebih dari satu organisasi lantas masih berniat menambah kesibukan dengan bergabung di komunitas. Padahal saat itu saya telah menginjak semester tua. Sebentar lagi KKN. Meski mata kuliah tinggal sedikit, tugas dari dosen masih menumpuk. Belum bikin laporan PPL. Tugas Akhir di depan mata. Ngajar privat sore-malam selang seling hampir tiap pekan. Dan masih mau gabung di komunitas, trus waktu luangnya kapan?

Nanti. Kalau malam. Menjelang tidur. Haha. Semasa kuliah saya memang sok super sibuk dengan seabreg aktivitas. Padahal yang sebenarnya saya tipe introvert lho. Lebih suka mengurung diri di kos-kosan. Lebih senang bersepi-sepi berhari-hari. Lebih cinta kesunyian dibanding keramaian. Ah, tapi mana ada tipe introvert yang selain doyan sepi dan sunyi masih mencari kegiatan selangit di tengah kerumunan orang banyak. Entahlah, tipe introvert macam apa saya ini. Mungkin, ngaku-ngaku saja introvert, aslinya ekstrovert. Eh, tapi dia saja ngaku kok. Katanya, setelah berhasil mewawancarai 'all about me' dari sanak saudara, tante-tante yang bahkan saya saja tidak pernah bersua suara lewat udara, dia berani menyimpulkan sendiri bahwa calon pendamping hidupnya adalah seorang introvert tingkat melankolis sempurna. Apalagi setelah hidup seatap, semakin mantaplah dia dengan kesimpulannya. Tidak salah lagi, istrinya adalah introvert tingkat melankolis sempurna. Begitu kata dia.

Terlepas dari tipe introvert atau tidaknya saya sih bukan masalah. Masalah itu kalau saya tergolong tipe mahasiswa kupu-kupu yang melulu pulang-pergi kampus-kos, kampus-kos atau mahasiswa kura-kura yang aktivitasnya kuliah-rapat, kuliah-rapat. Itu doang dikerja. Justru bagi saya, masa-masa mahasiswa adalah masa-masa emas. Masa dimana saya bebas berekpresi dan mencari pengalaman berharga sebuaanyak-buanyaknya.

Kapan lagi coba? Apalagi mahasiswa perantauan kayak saya yang asalnya jauh dari kota besar. Di kota asal saya dilahirkan nggak ada pengamen, nggak ada pengemis, malah waktu jaman-jamannya saya masih kecil nggak ada anak-anak yang dipaksa orang tuanya banting tulang ikut cari uang, nggak ada anak-anak yang nyemir sepatu, menjual koran apalagi ojek payung. Yang ada hanyalah anak-anak polos yang selalu riang bermain saat hujan turun atau anak-anak yang berlarian saling berkejaran dengan penuh canda tawa. Anak-anak yang semangat belajar baca tulis al-Qur'an tiap sore. Anak-anak yang menghabiskan banyak waktunya tiap ahad pagi di depan TV atau anak-anak yang tenggelam dalam riuhnya permainan semisal lompat tali, petak-umpet, main kelereng, main wayang atau permainan bongkar pasang dan masak-masak bagi anak-anak perempuan.

Waktu saya malah akan terbuang sia-sia bila menghabiskan masa kuliah di kampus, kantin, kos atau kos teman, di jalan-jalan, di tempat-tempat rekreasi, di pusat-pusat perbelanjaan dan di mana saja tanpa berbuat sesuatu yang bermakna. Mending waktu luang yang ada saya pergunakan untuk menjadi sebaik-baik manusia.

Ingat pesan Rasul; manusia-manusia yang baik di muka bumi ini, bukan mereka yang menawan parasnya, melimpah hartanya, tinggi kedudukannya, mulia keturunannya. Akan tetapi "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" Barangkali cukup sabda Rasul tersebut yang menjadi alasan paling sederhana kenapa saya tetap ngotot pengen gabung di komunitas sosial meski telah disibukkan dengan berbagai aktivitas kuliah dan padatnya kegiatan organisasi. Tinggal pandai-pandainya saya saja memenage waktu.

Nah, singkat cerita, bergabunglah saya dengan Komunitas Lentera Negeri. Oh ya, ternyata empat tahun silam saya pernah mengikutsertakan postingan tentang komunitas yang menjadi wasilah saya bertemu dengan dia dalam ajang giveaway. Well, karena saya sudah menerangkan dengan singkat awal mula bergabungnya saya di Lenteri Negeri di postingan tersebut so gak perlu saya terangkan ulang kembali di postingan ini. Yang jelas, Lentera Negeri saat ini telah berkembang pesat, volunteernya mencapai ratusan, sayapnya meluas hingga ke pelosok-pelosok daerah. Bahkan sampai menyentuh anak-anak negeri yang bermukim di pulau-pulau terpencil. Sayangnya, saat Lentera Negeri tumbuh menjadi komunitas besar, saya sudah tidak aktif.

That's right. Semua berawal dari keputusan saya mengutarakan niat pengen gabung komunitas pada Wiwi lalu siapa sangka komunitas yang direkomendasikan perempuan yang umurnya terpaut setahun di bawahku itulah yang membuka jalan pertemuan antara saya dan dia. Setahu saya, Wiwi bergabung di beberapa komunitas tapi dia cuma merekomendasikan satu komunitas untuk saya. Cuma satu. Lentera Negeri. Tidak ada rekomendasi lain. Padahal tadinya saya ngarep bakal direkomendasikan banyak komunitas biar bisa pilah pilih mana yang cocok dan sesuai dengan espektasi saya. Haha. No problem-lah ada baiknya juga dikasih satu pilihan, jadi saya nggak perlu pusing-pusing lagi memilih. Sama kan kayak memilih jodoh, kalau cuma dikasih satu pilihan, kitanya nggak perlu pusing pusing memilih antara yang satu dengan yang lain. Pilihan yang tersisa tinggal Yes or No saja. Maju atau Mundur. Selesai!

Dan saya memilih tetap maju. Bergabung di Lentera Negeri semata-mata karena saya ingin menjadi sebaik-baik manusia. Setidaknya bila saya tidak berani menggerakkan diri sendiri seperti "Nia" dalam "Jalinan Kasih di Gerbong Kereta", dengan bergabungnya saya di Komunitas Lentera Negeri keberanian itu pasti muncul karena saya bergerak bersama relawan lain, termasuk dia.

Iya. Dia yang tidak saya kenali. Saya beneran tidak tahu kalau jodoh saya rupanya terjun di komunitas yang sama dengan saya, sama-sama menjadi volunteer di Lentera Negeri. Selintas pun tidak terbetik saya bakal bertemu jodoh saya di komunitas tersebut. Mengingat keberadaan saya di Lentera Negeri hanya sebentar. Nggak seaktif dan seeksis saya di organisasi. Kegiatan saya yang ada sangkut pautnya dengan Letera Negeri pun bisa dihitung dengan jari. Beberapa kali mengajar di kelas C dan sempat sekali ikut kegiatan English Fun Day setelah itu saya menghilang eh pergi KKN selama dua bulan, pulangnya sudah sok serius berkutat dengan tugas akhir jadi terpaksa beberapa kegiatan di luar kos saya kurangi. Termasuk waktu weekend yang seharusnya saya sempatkan mengunjungi adik-adik di sekolah negeri.

Selama bergabung di Lentera Negeri saya belum pernah menyentuh kelas A dan kelas C, misalkan saya nggak ikut kegiatan EFC mungkin saya juga gak bakal bertemu dan kenal dengan relawan-relawan lainnya selain Wiwi. Pasalnya saat ditugaskan mengajar di kelas C, oleh kak Arnis (salah satu founder Lentera Negeri) saya cuma dikasih alamat lengkap kelas C yang memang lokasinya agak terpencil dibanding kelas A dan kelas B yang jaraknya berdekatan. 

Selain saya, sebenarnya ada relawan lain juga yang diutus ngajar di kelas C, tapi setiap bertugas di sana relawan yang seharusnya mendampingi saya selalu berhalangan hadir, jadilah selama gabung sejak tahun 2013 akhir saya nggak pernah meet up dengan relawan Lentera Negeri. Januari 2014 pas ikut kegiatan EFD barulah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan personil relawan Lentera Negeri lainnya. Meski relawan yang hadir saat itu juga tidak banyak.

Bersambung . . .

#ODOPOKT14

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Posting Komentar untuk "Sebuah Pertemuan yang Tak Disangka-sangka"