Kamar Kenangan

  • Home
  • About Me
  • Disclosure
  • Sitemap
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Saya nggak bilang dia lelaki sholeh. Lagipula bagaimana saya bisa memberi penilaian sholeh atau tidaknya dia bila mengenal lebih dari sebatas nama pun tidak. Dia hanya salah satu dari sekian puluh kontak teman saya di BBM atau salah satu dari seribuan kontak teman saya di facebook dan bukan salah satu dari sekian banyak teman saya di dunia nyata.

Setidaknya jika konsep pertemanan diartikan dengan adanya interaksi antara seseorang dengan orang lain lewat komunikasi verbal dalam masa tertentu maka dia tidak tergolong dalam kategori teman saya. Toh, saya tidak pernah terjalin komunikasi apapun secara langsung dengan dia. Kami hanya 'tidak sengaja' pernah bertemu sekali itu pun tanpa bertukar kata.

Iya. Saya bisa saja bilang itu pertemuan yang tidak disengaja atau suatu kebetulan. Eh, tapi saya percaya kok di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulah, yang ada hanyalah kebenaran. Bahwa semua yang terjadi adalah ketetapan Tuhan. Telah lama tertulis dengan tinta kalam-Nya di lauhul mahfuz; hari sekian, bulan sekian, tahun sekian, saya dan dia akan bertemu di tempat yang telah ditentukan. Itulah takdir. Sejatinya, pertemuan kami saat itu adalah pertemuan yang telah diatur oleh Tuhan, bukan pertemuan yang tidak disengaja.

Waktu itu tahun 2013. Komunitas di Makassar kian menjamur. Sebelumnya saya aktif di beberapa organisasi, belum berminat terjun ke lingkungan komunitas meski dari dulu, sejak masih sekolah atau lebih tepatnya setelah menuntaskan buku Kumcer Ketika Mas Gagah Pergi-nya Bunda HTV, saya terinspirasi pengen ngikuti jejak tokoh Nia pada cerpen "Jalinan Kasih dari Gerbong Kereta Api". 

Dikisahkan hati gadis itu tersentuh ngilu setiap melewati stasiun kereta api senen dan menyaksikan pemandangan yang selalu sama. Pemukiman yang kumuh. Anak-anak dengan baju dekil tanpa alas kaki di gerbong-gerbong kosong. Mereka yang tumbuh menjadi liar. Banyak yang tidak bersekolah. Tidak sedikit pula yang dipaksa orang tuanya menjadi pengemis atau pengamen. Ada pula yang anak-anak yang sengaja mencari uang sendiri dengan menjadi penyemir sepatu, penjual koran atau penjual es.

Pemandangan serupa yang juga kerap saya dapati semenjak hijrah di kota Makassar. Anak-anak tanpa alas kaki di pinggir jalan dekat lampu-lampu lalu lintas. Anak-anak dengan baju dekil di sepanjang losari yang berkejaran saling berburu koin dengan suara cemprengnya. Anak-anak dengan wajah kumalnya yang menengadahkan tangan di pasar sentral. Bahkan yang lebih memiriskan hati, pernah saya saksikan saat laju motor yang saya kendarai berhenti di lampu lalu lintas dekat Mall Panakukang. Seorang anak berusia kira-kira enamtahunan mengemis sambil menggendong adiknya yang masih balita di bawah terik yang menyengat sementara di sisi jalan di bawah pepohonan duduk seorang perempuan yang tampak seperti ibu dari kedua anak tersebut sedang menunggu.

Astaghfirullaah. Pemandangan semacam apa itu. Hatiku dibuat ngilu tapi berbeda dengan tokoh Nia yang berinsiatif dan berani bertindak nyata. Didatangi anak-anak yang berkeliaran di gerbong-gerbong kereta api yang kosong. Dengan lembutnya dia menawarkan diri mengajarkan mereka belajar membaca, menulis dan mengaji. Dipanggil pula teman-temannya yang lain untuk ikut membantu. Dihadapinya orang tua anak-anak yang menentang.

Sementara saya, dengan kondisi yang nyaris sama sekadar menatap pilu. Bersimpati tanpa empati. Walau begitu besar keinginan mendekati anak-anak yang sering saya temui meminta-minta di pingir jalan, memeluk dan mendekap mereka dengan penuh kasih sayang. Saya pun mendamba seperti Nia, bisa mengajari anak-anak yang tak bersekolah itu mengenal huruf-huruf aksara dan hijaiyyah juga angka-angka atau berbagi keceriaan apa saja dengan mereka. Sayangnya, keberanian saya sebatas mengkhayal. Saya tidak berani bergerak sendiri. Bisanya cuma mengekor. Itu sebabnya sudah lama terbesit niatan saya ingin bergabung di komunitas sosial yang orientasinya fokus menyentuh masyarakat menengah ke bawah, terutama masalah pendidikan untuk anak-anak.

Bidang atau program kerja yang menyangkut masalah sosial di beberapa organisasi yang saya geluti emang ada, tapi nggak fokus, nggak intens, orientasinya lebih ke-keagamaan, rekrut kader atau membahas pergerakan-pergerakan, meluaskan ladang dakwah. Ranahnya meliputi mahasiswa atau bila itu organisasi kepenulisan orientasinya adalah mengikuti training-training kepenulisan, menghasilkan karya-karya tulis dan berlomba-lomba memuatnya di media-media cetak. So, keinginan saya terjun pada ranah sosial yang fokus dan intens berbagi pada anak-anak yang serba berkurangan tidak terpenuhi di organisasi-organisasi yang saya masuki.

Sudah jadi aggota lebih dari satu organisasi lantas masih berniat menambah kesibukan dengan bergabung di komunitas. Padahal saat itu saya telah menginjak semester tua. Sebentar lagi KKN. Meski mata kuliah tinggal sedikit, tugas dari dosen masih menumpuk. Belum bikin laporan PPL. Tugas Akhir di depan mata. Ngajar privat sore-malam selang seling hampir tiap pekan. Dan masih mau gabung di komunitas, trus waktu luangnya kapan?

Nanti. Kalau malam. Menjelang tidur. Haha. Semasa kuliah saya memang sok super sibuk dengan seabreg aktivitas. Padahal yang sebenarnya saya tipe introvert lho. Lebih suka mengurung diri di kos-kosan. Lebih senang bersepi-sepi berhari-hari. Lebih cinta kesunyian dibanding keramaian. Ah, tapi mana ada tipe introvert yang selain doyan sepi dan sunyi masih mencari kegiatan selangit di tengah kerumunan orang banyak. Entahlah, tipe introvert macam apa saya ini. Mungkin, ngaku-ngaku saja introvert, aslinya ekstrovert. Eh, tapi dia saja ngaku kok. Katanya, setelah berhasil mewawancarai 'all about me' dari sanak saudara, tante-tante yang bahkan saya saja tidak pernah bersua suara lewat udara, dia berani menyimpulkan sendiri bahwa calon pendamping hidupnya adalah seorang introvert tingkat melankolis sempurna. Apalagi setelah hidup seatap, semakin mantaplah dia dengan kesimpulannya. Tidak salah lagi, istrinya adalah introvert tingkat melankolis sempurna. Begitu kata dia.

Terlepas dari tipe introvert atau tidaknya saya sih bukan masalah. Masalah itu kalau saya tergolong tipe mahasiswa kupu-kupu yang melulu pulang-pergi kampus-kos, kampus-kos atau mahasiswa kura-kura yang aktivitasnya kuliah-rapat, kuliah-rapat. Itu doang dikerja. Justru bagi saya, masa-masa mahasiswa adalah masa-masa emas. Masa dimana saya bebas berekpresi dan mencari pengalaman berharga sebuaanyak-buanyaknya.

Kapan lagi coba? Apalagi mahasiswa perantauan kayak saya yang asalnya jauh dari kota besar. Di kota asal saya dilahirkan nggak ada pengamen, nggak ada pengemis, malah waktu jaman-jamannya saya masih kecil nggak ada anak-anak yang dipaksa orang tuanya banting tulang ikut cari uang, nggak ada anak-anak yang nyemir sepatu, menjual koran apalagi ojek payung. Yang ada hanyalah anak-anak polos yang selalu riang bermain saat hujan turun atau anak-anak yang berlarian saling berkejaran dengan penuh canda tawa. Anak-anak yang semangat belajar baca tulis al-Qur'an tiap sore. Anak-anak yang menghabiskan banyak waktunya tiap ahad pagi di depan TV atau anak-anak yang tenggelam dalam riuhnya permainan semisal lompat tali, petak-umpet, main kelereng, main wayang atau permainan bongkar pasang dan masak-masak bagi anak-anak perempuan.

Waktu saya malah akan terbuang sia-sia bila menghabiskan masa kuliah di kampus, kantin, kos atau kos teman, di jalan-jalan, di tempat-tempat rekreasi, di pusat-pusat perbelanjaan dan di mana saja tanpa berbuat sesuatu yang bermakna. Mending waktu luang yang ada saya pergunakan untuk menjadi sebaik-baik manusia.

Ingat pesan Rasul; manusia-manusia yang baik di muka bumi ini, bukan mereka yang menawan parasnya, melimpah hartanya, tinggi kedudukannya, mulia keturunannya. Akan tetapi "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" Barangkali cukup sabda Rasul tersebut yang menjadi alasan paling sederhana kenapa saya tetap ngotot pengen gabung di komunitas sosial meski telah disibukkan dengan berbagai aktivitas kuliah dan padatnya kegiatan organisasi. Tinggal pandai-pandainya saya saja memenage waktu.

Nah, singkat cerita, bergabunglah saya dengan Komunitas Lentera Negeri. Oh ya, ternyata empat tahun silam saya pernah mengikutsertakan postingan tentang komunitas yang menjadi wasilah saya bertemu dengan dia dalam ajang giveaway. Well, karena saya sudah menerangkan dengan singkat awal mula bergabungnya saya di Lenteri Negeri di postingan tersebut so gak perlu saya terangkan ulang kembali di postingan ini. Yang jelas, Lentera Negeri saat ini telah berkembang pesat, volunteernya mencapai ratusan, sayapnya meluas hingga ke pelosok-pelosok daerah. Bahkan sampai menyentuh anak-anak negeri yang bermukim di pulau-pulau terpencil. Sayangnya, saat Lentera Negeri tumbuh menjadi komunitas besar, saya sudah tidak aktif.

That's right. Semua berawal dari keputusan saya mengutarakan niat pengen gabung komunitas pada Wiwi lalu siapa sangka komunitas yang direkomendasikan perempuan yang umurnya terpaut setahun di bawahku itulah yang membuka jalan pertemuan antara saya dan dia. Setahu saya, Wiwi bergabung di beberapa komunitas tapi dia cuma merekomendasikan satu komunitas untuk saya. Cuma satu. Lentera Negeri. Tidak ada rekomendasi lain. Padahal tadinya saya ngarep bakal direkomendasikan banyak komunitas biar bisa pilah pilih mana yang cocok dan sesuai dengan espektasi saya. Haha. No problem-lah ada baiknya juga dikasih satu pilihan, jadi saya nggak perlu pusing-pusing lagi memilih. Sama kan kayak memilih jodoh, kalau cuma dikasih satu pilihan, kitanya nggak perlu pusing pusing memilih antara yang satu dengan yang lain. Pilihan yang tersisa tinggal Yes or No saja. Maju atau Mundur. Selesai!

Dan saya memilih tetap maju. Bergabung di Lentera Negeri semata-mata karena saya ingin menjadi sebaik-baik manusia. Setidaknya bila saya tidak berani menggerakkan diri sendiri seperti "Nia" dalam "Jalinan Kasih di Gerbong Kereta", dengan bergabungnya saya di Komunitas Lentera Negeri keberanian itu pasti muncul karena saya bergerak bersama relawan lain, termasuk dia.

Iya. Dia yang tidak saya kenali. Saya beneran tidak tahu kalau jodoh saya rupanya terjun di komunitas yang sama dengan saya, sama-sama menjadi volunteer di Lentera Negeri. Selintas pun tidak terbetik saya bakal bertemu jodoh saya di komunitas tersebut. Mengingat keberadaan saya di Lentera Negeri hanya sebentar. Nggak seaktif dan seeksis saya di organisasi. Kegiatan saya yang ada sangkut pautnya dengan Letera Negeri pun bisa dihitung dengan jari. Beberapa kali mengajar di kelas C dan sempat sekali ikut kegiatan English Fun Day setelah itu saya menghilang eh pergi KKN selama dua bulan, pulangnya sudah sok serius berkutat dengan tugas akhir jadi terpaksa beberapa kegiatan di luar kos saya kurangi. Termasuk waktu weekend yang seharusnya saya sempatkan mengunjungi adik-adik di sekolah negeri.

Selama bergabung di Lentera Negeri saya belum pernah menyentuh kelas A dan kelas C, misalkan saya nggak ikut kegiatan EFC mungkin saya juga gak bakal bertemu dan kenal dengan relawan-relawan lainnya selain Wiwi. Pasalnya saat ditugaskan mengajar di kelas C, oleh kak Arnis (salah satu founder Lentera Negeri) saya cuma dikasih alamat lengkap kelas C yang memang lokasinya agak terpencil dibanding kelas A dan kelas B yang jaraknya berdekatan. Selain saya, sebenarnya ada relawan lain juga yang diutus ngajar di kelas C, tapi setiap bertugas di sana relawan yang seharusnya mendampingi saya selalu berhalangan hadir, jadilah selama gabung sejak tahun 2013 akhir saya nggak pernah meet up dengan relawan Lentera Negeri. Januari 2014 pas ikut kegiatan EFD barulah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan personil relawan Lentera Negeri lainnya. Meski relawan yang hadir saat itu juga tidak banyak.

Bersambung . . .

#ODOPOKT14

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
No comments
sumber gambar : maxmanroe.com

Bismillaahirrahmaanirrahiim


Sepengetahuan saya, di dunia maya ini ada dua type user internet yang saling terkait erat. Sebut saja si maniak medsos dan si maniak stalker. Keduanya ibarat sekeping uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada si maniak medsos pasti ada si stalker. Si maniak medsos berada pada sisi yang tampak sementara si stalker tersembunyi pada sisi yang lain. Si maniak medsos mudah dikenali sedangkan si stalker sulit teridentifikasi.

Apakah kamu termasuk user internet yang memiliki banyak akun di media sosial, merasa sesak hidup tanpa kuota, hari-hari rajin pasang status di facebook, update tweet di twitter, unggah picture yang dihiasi caption di Instagram, posting tulisan di blog dan sebangsanya. Kalau iya maka bisa dipastikan kamu tergolong type pertama. Si maniak medsos.

Ataukah kamu termasuk user internet yang punya banyak akun di media sosial tapi jarang update di lini masa. Online sebatas menelusuri kehidupan maya orang-orang di sekitar kamu. Atau diam-diam kamu doyan kepo segala aktivitas teman-teman terdekat kamu di media sosial. Kalau iya berarti kamu termasuk type kedua. Si stalker.

Oh ya selain kedua type tersebut ada pula user yang maniak medsos plus merangkap sebagai si maniak stalker *nunjuk diri. Dan tentu tidak semua user internet adalah si maniak medsos sekaligus si maniak stalker *nunjuk suami, hehe

Jujur saja, saya termasuk type maniak medsos yang memiliki banyak akun di media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, Google plus, Path, Tumblr, Blog hingga applikasi chatting seperti BBM, Line, WhatsApp, dll. Nyaris tiada hari yang saya lewati tanpa berselancar di dunia maya. Saking maniaknya saya dengan yang namanya media sosial. Eh bukan maniak saja, saya juga doyan stalking macam-macam. Ups!

Beda banget dengan suami yang nggak begitu peduli dengan dunia maya. Facebook dan BBM, cuma itu akun medsosnya yang menjalin pertemanan dengan saya sebelum kami berproses. Saya malah baru berteman di WhatsApp dan Line dengan suami yang ketika itu masih berstatus calon menjelang pernikahan kami. Selain keempat akun media sosial tersebut, nope. Suami juga nggak suka mengumbar apa-apa di akun media sosialnya. Online pun hanya sesekali. Dan yang paling penting, dia bukan type lelaki yang suka stalking hal-hal yang gaje. Tidak seperti istrinya ini yang sehari tanpa main medsos dan stalking apa saja hidup sudah terasa begitu hampa.

Mulanya saya sempat heran dan merasa aneh. Kok di era serba medsos masih ada orang yang nggak ketagihan berselancar di dunia maya. Padahal rata-rata orang zaman now sudah kecanduan ber-medsos ria dan dia sama sekali tidak. Kok bisa ya? Etapi sekarang setelah genap setengah tahun hidup seatap dengannya, saya nggak heran dan merasa aneh lagi. Kami sudah sering bertukar pikiran dan ternyata memang banyak pikiran-pikiran saya yang nggak sejalan dengan pikiran suami.

Seperti aktivitas di media sosial yang bagi suami hanya sebagai selingan sementara bagi saya media sosial sudah menjadi kebutuhan. Suami tidak suka memiliki banyak akun di media sosial sedangkan saya malah sebaliknya. Suami juga tidak suka mengumbar apa-apa di media sosial karena begitu menjaga perasaan orang lain. Dia sangat khawatir bila postingan-postingannya nanti akan mengundang penyakit hati atau 'ain dari orang yang melihatnya.

Menurut saya pemikirannya itu terlalu berlebihan, apa salahnya berbagi kebahagiaan, kesedihan dan segala hal di media sosial. Toh, orang lain juga ketika mengumbar kebahagiaan dan segala tetek bengeknya, mulai dari jalan-jalannya, makanannya, kegiatannya dsb tidak pernah memikirkan perasaan kita. Lantas kenapa kita yang harus menjaga perasaan mereka?

Ketika diajak berdiskusi panjang lebar dengan suami mengenai hal tersebut, saya jadi banyak belajar dari pemikiran suami yang kalau dipikir-pikir memang ada benarnya dan masuk akal juga. Apa manfaatnya mengumbar segalanya di medsos? Berbagi kebahagiaan untuk apa, mau ditujukan kepada siapa? Bagaimana bila postingan kebahagiaan kita mengundang penyakit di hati orang lain? Lebih-lebih bila maniaknya kita sampai memosting hal-hal yang menyangkut privacy di media sosial sehingga tak ada lagi hijab antara dunia maya dan dunia nyata. 

Maka orang-orang di maya sana bebas mengeskpos apa saja terkait diri kita dan parahnya kita sama sekali tidak merasa risih. Menganggap semua itu lumrah. Sehingga wajar pula bila banyak orang bisa mengakses informasi apa pun terkait diri kita meski kita tidak pernah memberitahu keberadaan, kondisi, pikiran dan perasaan kita secara langsung.

Sadar atau tanpa disadari dibalik aktivitas kita yang doyan eksis di dunia maya bakal ada sebagian orang yang diam-diam sering membuntuti kita, yang tanpa menunjukkan diri kerap mengintip tingkah kita di media sosial. Di dunia nyata orang-orang yang demikian disebut penguntit. Begitu istilah kasarnya. Istilah halusnya mungkin disebut dengan secret admirer (pengagum rahasia). Nah, di dunia maya kedua istilah tersebut menyatu menjadi sebuah kata yang konotasinya memuat makna halus (positif) dan kasar (negatif), yakni stalker.

Ya, masalahnya kita tidak tahu apa motif dibalik orang yang sembunyi-sembunyi suka memperhatikan kita. Entah bermaksud baik atau buruk. Kita tidak bisa mendeteksi siapa-siapa yang mungkin pernah hatinya tergores oleh sikap dan tutur kata kita yang ternyata melukai hingga mengendap menjelma dendam. Kita pun tidak bisa melacak siapa-siapa yang hatinya tersentuh oleh perangai kita yang memesona hingga memekarkan sebuah rasa.

Well, sebagai si maniak medsos ya kita harus siap menerima konsekuensi, selain kuota internet yang cepat ludes, waktu luang banyak terlalaikan, kecanduan gadget, aktivitas kita bersancar di medsos juga bakal di-stalking oleh orang-orang yang memang doyan mengawasi kita di dunia maya entah dengan maksud apa. Ada yang mungkin sekadar stalking tanpa maksud apa-apa, ada yang mungkin punya maksud u dibalik b. Boleh jadi karena benci atau sakit hati yang dipendam atau boleh jadi karena suka dan jatuh hati diam-diam. Bisa saja demikian. Kalau bermaksud baik sih nggak masalah tapi kalau ada yang punya niat jahat dengan kita lalu sengaja mencari kelemahan atau kekurangan lewat kekepoan dia terhadap akun media sosial kita itu yang bahaya bin darurat. Oh ya, si maniak medsos ini juga rawan terjangkit penyakit hati yang bernama riya', ujub dan sombong.

Demikian pula dengan si maniak stalker, hidupnya nggak bakal tenang karena hari-hari yang ia lakukan hanyalah sibuk melihat dan memperhatikan kehidupan orang lain dari layar gadget sampai-sampai luput dengan kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi diri sendiri, karena keseringan stalking, orang yang maniak stalker bakal terpengaruh ingin menjadi orang lain, nekat meniru style orang yang sering ia ikuti timelinenya di dunia maya. Lebih-lebih bagi  stalker yang maniak stalking masa lalu, dijamin hidupnya nggak bakal berkembang, nggak bakal maju-maju karena ia terus larut dengan masa lalunya yang telah berlalu dan mustahil bisa diputar kembali. Masa lalu yang sering ia stalking itu menjelma tameng yang menghalangi sehingga ia sulit fokus mengejar masa depannya yang masih cerah nan gemilang. Besar tidak menutup kemungkinan, akibat suka stalking hatinya juga jadi gampang digerogoti oleh penyakit hati yang sangat mematikan. Iri, dengki, dendam bahkan hubbuddunya (cinta dunia). 

Semenjak menikah dan bertukar pikiran dengan suami itulah saya baru menyadari jelas efek negatif yang ditimbulkan dari maniak dalam ber-media sosial mau pun stalking yang sebelumnya masih samar dalam pandangan saya. Selama ini saya menganggap lumrah saja bila saya punya banyak akun media sosial di dunia maya. Saya menganggap biasa saja bila menelusuri akun media sosial orang lain baik yang saya kenal mau pun tidak tanpa batas. Tapi ternyata dua hal yang saya anggap lumrah dan biasa saja itu justru tidak wajar dalam ajaran agama.

Sesuatu yang alay bin lebay, over, kelewat pede berlebih-lebihan, mubazir, boros dan sebangsanya tidak diajarkan dalam Islam. Pelit, kikir. minder, less, minus dan sejenisnya juga tidak dianjurkan dalam Islam. Sebah islam adalah agama washatan , pertengahan; tidak lebih dan tidak kurang, sehingga sebagai penganutnya seharusnya kita menerapkan konsep wasathan ini dalam melakukan hal apa pun. Makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang. Tidak boros dalam berbelanja namun tidak juga kikir untuk berbagi kepada sesama terutama yang membutuhkan santunan kita. Termasuk dalam beribadah pun kita dilarang berlebih-lebihan mau pun mengurang-ngurangi. Menambah-nambah atau mengurang-ngurangi gerakan dalam shalat  yang bahkan tidak pernah dicontohkan oleh Rasullullaah shallallaahu 'alaihi wassalam atau beribadah (shalat) terus menerus di masjid tanpa melakukan amalan lain di luar masjid pun sebaliknya, ibadah yang demikian bakal tertolak.

Nah, maniak ini bagian dari alay, lebay, berlebih-lebihan dan seterusnya dan you know, kan, yang namanya berlebihan pasti nggak baik, pasti ujung-ujungnya berdampak kerusakan so that alangkah baiknya bila kita bisa menjadi user internet yang bijak, yang pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bermedia sosial boleh Stalking boleh. Asal jangan maniak yaaa...

*catatan ini ditulis sebagai reminder bagi diri pribadi khususnya

#ODOPOKT13

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
9 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Selama ini saya paling anti ke kondangan sendiri, selain karena bawaannya suka nggak pede, saya juga susah SKSD (sok kenal sok dekat) yang jangankan sama orang baru, sama orang yang sudah lama kenal saja masih sering kaku dan terkesan dingin, hehe. Tahu kan type introvert aslinya kayak gimana?

So, dibanding memikirkan gaun yang bakal dikenakan, saya lebih sibuk mencari teman yang bisa diajak ke kondangan bareng. Kalau nggak dapet teman ya mending nggak usah ke kondangan daripada pergi tanpa gandengan, bahaya! Bisa bikin saya baper tingkat langit, hihi.

Syukurnya, ketika mulai kebanjiran dapet undangan nikah dari teman-teman seangkatan, saya emang nggak pernah pergi ke kondangan sendirian. Kadang ditemani sama papa kalau lagi dapet undangan yang sama (satu dialamatkan atas nama papa, yang satu dialamatkan atas nama saya) atau paling sering saya ngomporin teman sesama singlelillaah agar mau diajak ke kondangan bareng, soalnya teman yang langganan saya ajak sering ogah-ogahan karena masalah style ke kondangan. Doi suka dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan macam gini. Mau pake gaun apa? kerudung model apa? Tas yang gimana? Pake wedges or high heels ? Make upnya gimana? dan bla... bla... bla..

Well, saya juga kadang suka dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan macam gitu karena nggak punya banyak koleksi atribut yang biasa dipake kaum hawa ke kondangan, yang ada pun nggak lengkap. But whateverlah, yang penting sudah dapet teman yang bisa diajak pergi bareng dulu. Kalau belum dapet ngapain saya pusing-pusing mikirin masalah style ke kondangan toh saya juga nggak mungkin mau pergi sendiri, hehe.

Nah, semenjak menikah saya nggak perlu pusing-pusing lagi cari teman yang bisa diajak ke kondangan karena tanpa diajak pun sudah ada lelaki yang setia mengajak saya ke mana pun saya mau, termasuk ke kondangan nikah. Dan karena ini pengalaman pertama saya ke kondangan bareng pasangan halal pastinya berkesan pake banget jadi saya sengaja mengabadikannya di kamar kenangan ini, biar bisa dikenang sewaktu-waktu gitu, mhuahaha.

Jadi ceritanya waktu itu (kurang lebih sepekan lalu) ada keluarga dari pihak suami yang melangsungkan acara pernikahan. Akadnya berlangsung pada pagi hari sementara resepsinya diselenggarakan malam hari. Karena suami kerja di luar kota yang jarak tempuhnya sekitar se-jaman dari rumah mertua (tempat kami menetap sementara) dan biasa menjelang maghrib baru sampai di rumah sehingga kami berencana perginya di malam resepsi.

Pas hari H, saat hendak pulang tidak disangka-sangka hujan di kota tempat suami bekerja turun dengan derasnya akibatnya suami nggak bisa pulang tepat waktu. Padahal seharusnya kami berangkat ke resepsi ba'da Isya paling lambat pukul delapan malam, tapi jam segitu suami baru tiba di rumah. Aih, saya sudah pesimis duluan. Mengira rencana kami ke kondangan kemungkinan batal selain karena waktu telah menunjukkan lewat dari pukul delapan, saya dan suami ternyata nggak punya atribut yang cocok dipake ke kondangan.

Yap, karena kami cuma numpang di rumah mertua. Barang-barang saya dan suami kebanyakan masih tertinggal di kosan kami di kota Daeng. Mulai dari kemeja batiknya suami, sepatu pantofelnya, pakaian yang biasa saya kenakan ke kondangan, dll semua masih di sana. Dan alamaaaakk bahkan lipstik dan bedak foundation saja saya nggak punya. Waktu lebaran idul adha kemarin tercecer entah dimana dan saya belum sempat beli setelahnya. Dasar dari sononya saya emang nggak pintar make up jadi nggak pernah punya perlengkapan make up yang lengkap. Hihi

Kebayang nggak, gimana saya bisa pergi ke kondangan maksud saya kami (saya dan suami) dengan kondisi yang seperti itu. Tapi dengan pedenya suami meyakinkan saya untuk tetap pergi meski dengan atribut seadanya. Suami dengan setelan kemeja coklat bergaris yang dipadukan dengan celana kain hitam sementara saya dengan setelan gamis set berwarna hazelnut yang sudah sering saya pakai jalan-jalan. Sendal yang kami pakai juga cuma sendal jalan-jalan. Duh.

Kalau kalian yang mengalami kondisi kayak saya, kira-kira bakal memilih tetap nekat pergi ke kondangan atau mending di rumah saja daripada malu-maluin?

Lelaki mah style-nya simple. Nggak rempong kayak perempuan. Cukup sisiran. Beres. Kalau perempuan? Ke kondangan pake pakaian biasa, nggak make up pula, apa kata dunia?

Etapi saya nggak peduli apa kata dunia, yang penting apa kata suami. Suami bilang yes ya saya yes-yes saja. Suami bilang no ya saya no-no juga. Jadi sebelum memutuskan pergi atau tidaknya ke kondangan malam itu, saya minta pendapat suami dulu mengenai style saya yang alakadarnya. Wajah saya pun cuma bertabur bedak baby dan bibir yang cuma diolesi lipbalm tanpa lipstik. Masa' iya saya ke kondangan dengan penampilan seperti itu?

Lagi-lagi suami meyakinkan plus menenangkan hati saya yang diliputi kebimbangan. Kata suami yang penting pakaian yang kita kenakan rapi dan bersih. Riasan yang memoles wajahmu sudah oke kok. Nggak perlu dandan yang berlebihan nanti jadi pusat perhatian. Begitu kata suami. Saya cuma ngangguk-ngangguk mengiyakan.

Benar juga sih apa yang dibilang suami. Lalu saya jadi mikir, ngapain juga saya make up? Mau ditunjukkin ke siapa? Mau pamerin ke siapa? Mau tampil cantik di hadapan siapa?


Alhasil kami jadi pergi ke kondangan dengan style yang tak biasa. Iya, tak biasa dari style umum yang biasa dikenakan orang-orang ke kondangan. Pasangan yang lain tampak gagah dan anggun dengan pakaian couple-nya sementara saya dan suami? Haha skip saja. Nggak usah bayangin gimana penampilan kami ke kondangan dengan style yang kalau diingat-ingat bikin saya pengen ketawa geli bukan karena lucu atau memalukan tapi karena terasa begitu manis.

Eniwei ada beberapa point yang bisa saya petik dari pengalaman pertama ke kondangan bareng suami yang semoga bisa jadi reminder bagi saya pribadi dan bisa menginspirasi siapa saja.

1. Berhiaslah selalu untuk suamimu, jangan pernah ada niatan ingin berhias karena ingin cantik di hadapan orang lain sebab yang paling berhak atas kecantikan seorang istri hanya suaminya.
2. Be our self! Percaya diri. Berani tampil beda. Nggak usah membanding-bandingkan style kita dengan style orang lain atau style pasangan kita dengan style pasangan orang lain.
3. Abaikan pandangan orang lain karena yang terpenting adalah kita di mata Allah dan kita di mata suami.
4. Tempatkan malu pada tempatnya. Tetap jaga malu asal jangan malu-maluin. Lagian apa salahnya ke kondangan dengan style yang teramat sederhana. Yang penting rapi dan bersih kan?
5. Selalu jaga kehormatan suami. Bukan berarti nggak boleh berhias bila ke luar rumah, tapi kalau budaya istri berhias ke kondangan menjadi parameter yang mengangkat martabat seorang suami maka berhiaslah. Seperlunya saja. Jangan sampai mengundang fitnah.

Kalau ada tambahan poin yang bisa kalian petik dari postingan saya kali ini, silakan tinggalkan di kolom komentar. Sekian :)

#ODOPOKT12

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
Share
Tweet
Pin
1 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

take picture via Instagram
Emangnya ada apa dengan jilbab syar'i? Ya, nggak apa-apa sih. Cuma pengen ngelanjutin aja postingan saya tentang jilbab syar'i yang di jaman now telah menjadi tren muslimah kekinian.

Baca dulu Ketika Jilbab Syar'i Menjadi Tren Muslimah Kekinian

Dulu, setiap melihat wanita-wanita muslimah berjilbab syar'i panjang nan lebar, tahu nggak apa yang terbetik di benak saya? Ibadahnya rajin, akhlaknya menawan, keshalihannya melangit. Wah, saking perfectnya wanita-wanita muslimah yang berbusana demikian dalam pandangan saya. Bahkan saya sampai mengira wanita-wanita muslimah yang mengenakan jilbab panjang nan lebar itu adalah wanita-wanita yang jauh dari dosa. Mereka suci, mereka alim, mereka shalihah. Jaminan surga mungkin sudah ada dalam genggaman mereka.

So that, saya yang diam-diam kagum dan terpesona pun ingin berbusana layaknya wanita-wanita muslimah itu namun terhalang oleh perasaan tak pantas karena merasa diri belum menjadi wanita yang sempurna baik, masih sering berbuat dosa, akhlak saya juga masih belum sepenuhnya karimah. Pokoknya banyaklah pertimbangan-pertimbangan yang bikin saya nggak berani mengambil langkah hijrah dengan mengubah penampilan berjilbab saya yang masih alakadarnya.

Barangkali yang saya rasakan ketika itu persis dengan wanita-wanita yang mengaku muslimah namun masih enggan menutupi aurat dengan alasan yang sama. Alasan yang semacam ini persis tidak ada duanya dengan mereka yang berdalih mau hijabin hati dulu baru hijabin diri. Percuma kan kalau memutuskan berjilbab tapi akhlak masih jelek, sering berbohong, doyan bergosip, suka nenyebar fitnah, bebas bergaul dengan lawan jenis, dll.

Seolah-olah jilbab hanya pantas dikenakan oleh muslimah suci yang nggak pernah berbuat dosa. Etapi buktinya, meski sudah berjilbab saya tetap merasakan hal serupa. Jilbab alakadarnya yang telah saya kenakan bertahun-tahun toh tidak bikin saya terhindar dari kekhilafan berbuat dosa, saya pun tak pernah menganggap diri saya suci, akhlak saya sudah sempurna, keshalihan saya sudah tak dipertanyakan lagi. Aih, saya masih jauh dari kata baik meski begitu saya tetap berjilbab karena mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan setidaknya dengan mengenakan jilbab sebagai busana sehari-sehari itulah bentuk usaha saya untuk menjadi muslimah yang baik.

Ketika akhirnya saya berani berhijrah dengan memesiunkan semua jilbab saya yang alakadarnya lalu mengganti dengan jilbab yang menjuntai ke seluruh tubuh berupa gamis dan khimar yang panjangnya melebihi dada, saya baru tersentak, ternyata penilaian saya terhadapap wanita-wanita muslimah yang berjilbab panjang nan lebar adalah keliru besar.

Kenapa?

Ya karena nggak ada manusia di dunia ini yang nggak pernah berbuat dosa. Nabi-nabi utusan Allah saja pernah terjerumus dalam dosa. Nabi Adam as yang diusir dari surga karena memakan buah terlarang, nabi Musa as pernah membunuh, nabi Yunus as yang ditelan ikan paus sebagai hukuman dari Allah karena meninggalkan kaumnya. Bahkan Nabi Muhammad saw pun pernah ditegur oleh Allah di QS Abasa : 1-11 karena telah bermuka masam dan mengabaikan seorang buta yang tua yang bernama Abdullan bin Ummi Maktum.

Well, kita tahu nabi-nabi utusan Allah itu ma'sum (terjaga dari kemaksiatan). Namun bukan berarti dengan kema'suman itu mereka tak pernah luput dari berbuat salah. Mereka juga manusia biasa yang sama seperti kita cuma bedanya setiap kali para nabi berbuat kesalahan mereka langsung ditegur oleh Allah dan langsung bertaubat sehingga Allah mengampuni dan mereka pun terbebas dari dosa-dosa. Oleh karena kema'suman hanya dimiliki para nabi sehingga hanya mereka pulalah yang mendapat jaminan surga.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÙƒُÙ„ُّ بَÙ†ِÙŠ آدَÙ…َ Ø®َØ·َّاءٌ ÙˆَØ®َÙŠْرُ الْØ®َØ·َّائِينَ التَّÙˆَّابُونَ

Setiap anak Adam pasti banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat. [HR. Ibnu Mâjah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ; dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam al Misykah dan Shahîh Sunan Ibni Mâjah]

Selain para nabi, tidak ada manusia yang ma'sum. Artinya tidak ada manusia yang mampu terhindar dari perbuatan dosa. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk para alim ulama, syeikh, kiai, ustad, pendakwah, dll. Apalagi kita yang masih awam dengan agama? Duh, bagaimana mungkin menganggap diri baik sementara dosa-dosa kian bertambah tiap harinya.

Namun seperti yang disabdakan Rasul sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah yang banyak bertaubat.

Nggak bisa dipungkiri, ketika saya telah berhijrah dan menutup aurat dengan busana muslimah yang sesuai syariat, penampilan saya yang terkesan alim dan agamis itu sama sekali tidak menunjukkan kalau saya sudah sempurna baik, sudah nggak pernah berbuat dosa lagi, sudah sucilah istilahnya. Sungguh, sungguh keliru sekali jika ada yang berpandangan demikian.

So, siapa bilang hanya wanita-wanita baik, wanita-wanita suci, wanita-wanita yang tak pernah berbuat dosa yang berhak menutup aurat. Kalau menunggu akhlak sempurna dulu baru mau menutup aurat (dengan berjilbab panjang nan lebar) niscaya tak seorang muslimah pun yang pantas berjilbab (sesuai syariat).

Bahkan wanita yang telah sempurna jilbabnya pun belum dapet jaminan masuk surga, apalagi yang belum berjilbab atau sudah berjilbab tapi masih pas-pasan atau malah bongkar pasang. Astaghfirullaah. *reminder

#ODOPOKT11

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
2 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Hallo haa, di postingan kali ini saya pengen share opini saya tentang jilbab syar'i. Tahu kan yang namanya jilbab syar'i? Itu lho yang pakaiannya longgar menutupi seluruh tubuh, biasa dipadupadankan oleh pemakainya dengan gamis yang ciamik dan kerudung panjang (khimar) berwarna senada.

Well, sebelum lanjut, kita simak dulu yuk perbedaan hijab, jilbab dan kerudung biar nggak bingung, soalnya istilah ketiganya sering dianggap sama padahal maknanya berbeda. Saya juga kadang masih bingung membedakannya. Hehe.

Sumber gambar : islamidia.com

Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain al-Hijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Sedangkan Hijab menurut Al Quran artinya penutup secara umum, bisa berupa tirai pembatas, kelambu, papan pembatas dan pembatas atau lainnya. (Dalilnya ada di QS Al-Ahzab : 53)

Jilbab ialah pakaian yang longgar dan dijulurkan ke seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, tidak transparan dan tidak membentuk lekuk tubuh. (Dalilnya ada di QS Al-Ahzab : 59)

Khimar adalah kerudung panjang yang terulur menutupi kepala hingga ke dada. Khimar maknanya hampir sama dengan kerudung karena sama-sama menutupi kepala namun bedanya kerudung hanya sebagai penutup kepala saja atau biasa dililit sampai di leher sementara khimar menutupi kepala hingga ke dada. (Dalilnya ada di QS An-Nur : 31)

Nah, dari pengertian hijab, jilbab dan khimar di atas yang saya kutip dari web Dunia Islam jelas ya perbedaannya. Tadinya sih yang saya ketahui, jilbab itu sejenis pakaian seperti gamis tapi ternyata yang dimaksud jilbab bukan hanya gamis, pakaian apa pun yang menutupi seluruh tubuh asal tidak transparan, tidak ketat dan tidak menyerupai pakaian lawan jenis, termasuk blus atau kemeja wanita yang dipasangkan dengan rok bahkan khimar dan kaos kaki pun merupakan bagian dari jilbab. Artinya, pakaian yang menjulur ke seluruh tubuh kita mulai dari kepala hingga kaki itulah yang dinamakan jilbab. Sementara hijab maknanya lebih kompleks lagi, sebab tidak semua jilbab tergolong hijab namun yang namanya hijab sudah pasti jilbab.

Maksudnya?

Bingung ya? Eh saya juga bingung. Ups. Tapi gini lho, menurut saya makna hijab lebih kepada fungsinya. Sama halnya seperti tirai yang sering kita dapati di dalam masjid. Well, tirai tersebut kita kenal sebagai hijab karena fungsinya untuk menutupi, menghalangi dan menjadi pembatas antara tempat shalat laki-laki dan perempuan. Demikan halnya dengan jilbab yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya wajib dikenakan oleh setiap muslimah yang telah baligh. Fungsinya untuk menutup aurat, melindungi, menjadi pembatas atau pembeda antara wanita muslimah dan wanita non.

Nah, jilbab yang sesuai dengan fungsinya itulah yang disebut hijab. Tapi kalau kita sudah menggunakan jilbab sementara jilbab yang kita gunakan sekadar membungkus tubuh bukan menutupi, tidak juga berfungsi selayaknya pelindung dan pembeda antara kita dengan wanita non berarti jilbab yang kita kenakan bukan termasuk hijab dong?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembali dulu ke opini saya yang pengen bahas tentang hijab syar'i. Seingat saya sih dulu nggak ada yang namanya hijab syar'i, yang lebih familiar di telinga saya cuma istilah jilbab dan kerudung tanpa embel-embel syar'inya. Waktu itu saya masih menyamakan makna jilbab dan kerudung yang menurut saya lafalnya saja yang berbeda, maknanya tidak berubah. Istilahnya sinonim, seperti kata ibu atau mama, ayah atau bapak, paman atau om, bibi atau tante, dll. Begitu pun dengan jilbab atau kerudung, sama-sama digunakan untuk menutupi kepala. Sehingga tidak jarang saya keliru menggunakan istilah keduanya.

Walau sudah "ngeh" dengan perbedaan tersebut ya saya masih saja tergelitik dengan penggunaan kata syar'i yang sengaja disematkan setelah kata hijab, jilbab mau pun khimar. Sering kan kita mendengar istilah jilbab syar'i, khimar syar'i dan hijab syar'i, Entah siapa yang pertama kali memboomingkan kata syar'i tersebut dan melekatkannya di belakang nama busana muslimah. Bahkan sekarang ini banyak pula istilah-istilah lain yang ikut-ikutan membawa nama syar'i+ah di belakangnya. Etapi kita fokus saja ke topik jilbab syar'i.

Eniwei, menurut kalian perlu nggak sih penggunaan kata jilbab syar'i?.

Kalau menurut saya sih nggak perlu, karena sudah dari sononya wanita muslimah diperintahkan menutup aurat dengan jilbab sebagai HIJAB yang fungsinya untuk menutupi, melindungi, membedakan, membatasi bukan untuk mempercantik diri, menarik perhatian, mengundang setiap mata lelaki memandangnya, dsb. Sehingga tanpa kata syar'i pun jilbab tetap akan demikian adanya. Dari dulu perintahnya tidak pernah berubah. Tertuang dalam ayat suci. Tertera dalam sunnah Rasul.

Lantas kenapa belakangan ini muncul istilah syar'i?

Kalau kita menengok ke belasan tahun silam, pemandangaan wanita-wanita muslimah yang mengenakan jilbab masih sangat langka. Saking langkanya sosok muslimah berjilbab jaman past tampak seperti makhluk asing yang kesasar di planet Bumi. Oke, pengibaratan saya mungkin agak lebay tapi setidaknya itulah yang saya rasakan di awal memutuskan menutup aurat ketika jilbab belum se-fenomenal dan semarak jaman now.

Baca juga Kisah di Awal Saya Berjilbab 

Kalau sekarang mah jangan ditanya. Pemandangan wanita-wanita muslimah yang mengenakan jilbab bukan lagi langka, tapi telah menyatu dan menjelma lifestyle. Dalam kurun waktu satu dekade, tren jilbab stylish di Indonesia memang berkembang begitu pesat. So emejing banget. Bayangkan dulu saya pake kerudung cuma yang model itu-itu saja, monoton dan terkesan norak karena nggak banyak model kerudung yang di jual di pasaran. Perlahan saya mengganti kerudung dengan khimar (masih ingat kan perbedaannya), tapi modelnya juga masih monoton, nggak ada perkembangan. Lebih-lebih khimar yang panjangnya melewati dada, alamaak modelnya kuno kebangetan. Saya jadi sering nggak pede keluar rumah dengan khimar panjang. Niat saya menutup aurat masih keliru nih di sini. Apalagi yang namanya gamis. Duh, dulu tuh saya benci dengan jenis pakaian lurus memanjang ke bawah dan nggak ada potongannya itu.

Alhamdulillaah, dengan perkembangan tren jilbab stylish yang mulai pesat, bermunculanlah berbagai macam model jilbab yang ditawarkan di pasaran yang nggak lagi monoton, kuno dan terkesan norak, malah trandy, fashionable dan yang pasti modis. Jilbab tidak lagi dianggap sebagai pakaian emak-emak atau wanita-wanita yang katanya sok alim sebaliknya telah menyentuh lapisan seluruh wanita muslimah mulai dari kalangan bawah hingga atas. Ibuk-ibuk pedagang asongan, emak-emak rumah tangga, siswi-siswi sekolahan, mahasiswi-mahasiswi kuliahan, karyawati-karyawati di perusahaan, ibuk-ibuk kantoran hingga ibuk-ibuk pejabat, sebagian besar sudah pada berjilbab.

Luar biasa dampak yang dibawa oleh tren jilbab stylish, sehingga banyak yang akhirnya berminat dan tertarik menutup aurat dengan niatan masing-masing yang entahlah. Apa pun niatnya saya sangat mengapresiasi mereka yang akhirnya memutuskan menutup aurat ketimbang tidak sama sekali. Kalau masalah niat kan bisa diluruskan seiring bertambahnya pemahaman tentang kewajiban menutup aurat.

Walau pada kenyataannya, jenis jilbab yang seharusnya seragam karena berdasar pada dua sumber (Al-Qur'an dan Hadis) akhirnya terkotak-kotakkan. Ada yang suka jenis jilbabnya kayak gini, ada yang suka jenis jilbabnya kayak gitu dan macam-macamlah. Nah, barangkali karena saking banyaknya jenis jilbab di permukaan hingga muncul pula jenis jilbab syar'i yang seolah-olah menunjukkan ini lho jenis jilbab yang sesuai syariat. Berarti jenis jilbab lainnya nggak sesuai syariat dong?

Well, terlepas dari syar'i atau tidaknya jilbab yang kita kenakan, barangkali yang perlu menjadi pertanyaan di hati kita masing-masing (khususnya bagi diri saya pribadi) sudahkah jilbab yang kita kenakan berfungsi sebagaimana mestinya sebagai HIJAB?

Kalau yes, baiklah in syaa Allah bakal saya lanjutkan dengan postingan berikutnya "Ada Apa dengan Hijab Syar'i? Yang pengen meninggalkan jejak di kamar kenangan ini, silakan komen di kolom komentar :)

#ODOPOKT10

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
3 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

"Tulis apa yang kamu lakukan dan lakukan apa yang kamu tulis" demikian nasihat bijak yang berulang kali suami sampaikan pada saya, mungkin dengan harapan agar kepribadian saya bisa sebaik dan selembut kata-kata yang biasa saya tuturkan dalam tulisan. Saya juga berharapnya demikian, karena itu saya menulis.

Iya, saya memang doyan menulis tapi niatan saya menulis bukan lagi sebatas menyalurkan hobi semata. Lebih dari itu, menulis adalah usaha saya dalam memperbaiki diri, dengan tidak asal menulis sebarangan. Saya harus menulis yang baik-baik, menulis yang bermanfaat, menulis hal-hal yang menginspirasi banyak orang atau minimal apa-apa yang saya tuliskan harus jadi reminder bagi diri saya pribadi.

Now, saya harus pikir matang-matang dulu sebelum memosting tulisan ke publik, tulisan saya ini kira-kira ada baiknya nggak, bermanfaat nggak, menginspirasi nggak, bisa jadi reminder nggak, kalau nggak ya udah mending saya nggak usah posting apa-apa daripada diposting cuma jadi nyampah.

Semenjak kembali ngeblog, orientasi saya memang bukan lagi mengejar kuantitas tapi kualitas dari tulisan itulah yang utama. Kalau dulu mah, waktu awal-awal ngeblog saya memang kejarnya kuantitas doang tanpa memperhatikan berbobot atau tidak berbobotnya tulisan-tulisan yang berhasil saya posting. Alhasil, dengan pemikiran saya sekarang yang lebih memprioritaskan kualitas dari sebuah tulisan ketimbang kuantitasnya sehingga banyak postingan-postingan jadul di kamar kenangan ini yang terpaksa saya singkirkan.

Jujur saja, ikut program ODOP Blogger Muslimah yang mengharuskan saya menulis satu hari satu postingan bikin saya agak keteteran, sebab niat saya ikut program tersebut sama sekali bukan karena pengen kejar kuantitas. Ada kualitas yang menjadi perhatian utama saya dalam menulis. Tapi saya nekat saja ikut, tanpa bisa memastikan apakah saya sanggup istiqomah menulis dengan tetap memperhatikan kualitas tulisan saya sampai di hari ke- 30, 29, 28, 27 atau sanggupnya cuma sampai di pertengahan bulan saja. Entahlah.

Baca juga Bikin Blog Itu Mudah, Konsisten Ngeblognya yang Susah

Nah, hari ini saya berasa lagi nggak punya ide, lagi bingung, lagi banyak kejadian-kejadian beruntun di sekitar saya yang efeknya berpengaruh banget sama kondisi psikologis dan mengganggu mood (suasana hati, red) saya. Akibatnya saya jadi malas-malasan menulis. Padahal boleh dibilang waktu luang saya untuk menulis bisa kapan saja, kerjaan saya kan cuma di rumah. Bukan di kantoran. Tapi ya namanya kalau lagi diserang bad mood mau lakukan apa-apa rasanya nggak bersemangat.

Baca juga Agar Pekerjaan Istri di Rumah Tetap Produktif, Lakukan Lima Hal Ini

Tapi saya nggak boleh patah semangat kayak gini. Nggak boleh jadikan bad mood sebagai alasan nggak menulis. Alasannya sudah klasik banget. Toh, setiap penulis pun pernah mengalami kondisi hati yang serupa, tapi buktinya bad mood tidak menjadi penghalang mereka untuk tetap menulis. Seharusnya saya juga bisa bersikap demikian. Oleh karena itu di postingan kali ini saya akan berbagi tips yang sekaligus jadi dorongan saya untuk bisa menghadapi godaan bad mood.

credit
Well, ini tips yang saya lakukan ketika sedang bad mood menulis di blog. Silakan di simak :)

🙉 Koreksi Diri Sebagai Blogger

Barangkali bila tidak ikut program ODOP, saya bakal koreksi diri saya sendiri sebagai blogger di pertengahan atau menjelang akhir bulan jika postingan di blog saya dalam setiap bulannya belum bertambah. Berhubung karena saya lagi ikut program ODOP jadi mau tidak mau tiap hari saya harus koreksi diri. Apa-apa saja yang perlu dikoreksi?

Niat yang utama. Ingat kembali niatan kita sebagai blogger. Sama halnya ketika memilih ikut program ODOP. Tentu kita mengawalinya dengan niat. Tidak serta merta menjadi blogger atau ikut ODOP begitu saja. Pasti setiap dari kita punya niat masing-masing. Boleh jadi ketika kita mulai malas-malas menulis dan tidak se-semangat di awal karena ada niatan kita yang keliru atau salah. So, dengan mengingat kembali niatan kita di awal, niat yang keliru dan salah itu bisa kita luruskan.

Tujuan yang kedua. Setelah niat kita juga pasti punya tujuan masing-masing ketika memutuskan menjadi blogger atau ketika berani menerima tantangan one day one post yang diadakan oleh Komunitas Blogger Muslimah. Apa tujuan tersebut sudah tercapai? Kalau belum, yuk ah jangan mau kalah sama bad mood.

Komitmen yang ketiga dan ini penting banget. Niat dan tujuan saja nggak cukup. Kita harus punya komitmen. Yakin, kita bisa jadi blogger yang produktif. Kita bisa menaklukkan tantangan ODOP. I think, asal komitmen masih terhujam kuat, bad mood nggak ada apa-apanya deh. Ini juga salah satu yang bikin saya berhasil nulis postingan ini setelah susah payah melawan bad mood, karena ingat dengan komitmen yang saya bikin sendiri.

🙊 Rajin Blogwalking

Jadi yang biasa saya lakukan selain mengoreksi diri ketika bad mood mulai menyerang adalah rajin-rajin berkunjung ke blog tetangga. Baca postingan-postingan mereka sembari merenung, kenapa mereka bisa menulis se-konsisten itu tiap bulan atau tiap harinya (bagi yang ikut program ODOP) padahal sementara dikejar deadline but tulisan mereka tetap bermutu, sementara saya? Duh, oke, dengan blogwalking saya kadang suka membandingkan blog saya dengan blog milik blogger lain namun tindakan tersebut tidak lantas membuat saya berkecil hati, malah sebaliknya. Saya jadi termotivasi dan makin bersemangat ngeblog dengan meningkatkan kualitas tulisan saya di blog.

Yah, meski ketika blogwalking saya jarang meninggalkan jejak. Ibaratnya, datang diam-diam pergi pun diam-diam. Ups, kebangetan ya. Jangan ditiru gih. Blogger yang baik itu ketika blogwalking harusnya ninggalin jejak meski cuma sepatah kata, daripada nggak sama sekali. Pasti kita senang dong kalau blog kita ada yang komentari begitu pun dengan blog yang kita kunjungi. Duh, ini jadi reminder keras buat saya.

🙈 Menulis, Menulis dan Menulis

And the last but not least, lawan bad mood menulis dengan tetap menulis. Tuliskan apa-apa saja yang bisa kita tulis. Yang penting ada poin kebaikan atau kebermanfaatan atau insipirasi atau reminder yang kita selipkan di dalamnya, maybe itu sudah cukup walau tulisan yang berhasil kita posting alakadarnya.

Seperti postingan kali ini. Maafkan saya cuma bisa berbagi tips yang secara teori memang gampang, praktiknya itu lho. Eng ing eng. Jadi kalau bad mood kembali melanda saya harus baca postingan ini dan melakukan tips yang telah saya tuliskan. Sampai detik ini pun sebenarnya saya masih dilanda bad mood tapi setelah melakukan tips di atas, akhirnya jadi juga postingan saya yang alakadarnya. Bagaimana dengan kalian? Punya tips lain mengatasi bad mood, boleh dong di-share di kolom komentar.

Sekian.

#ODOPOKT9

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
9 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Bila kamu termasuk tipe ekstrovert, tinggal di rumah seharian hingga berhari-hari pasti sangat membosankan. Apalagi bila sampai lima bulan aktivitas yang kamu lakukan hanya di rumah, jarang bergaul, sedikit bersosialisasi dan jauh dari keramaian, hidup yang kamu rasakan jelas sumpek banget. Kamu bakal nggak tahan dan nggak kuat hidup terpenjara seperti itu. Iya kan?

Barangkali itu juga yang harusnya saya rasakan. Mengingat selama ini semenjak sekolah di tingkat pertama hingga lulus kuliah, saya aktif berorganisasi dan suka melibatkan diri dengan kegiatan-kegiatan sosial. Agenda keseharian saya sering padat di luar rumah. Weekend yang bisa saya gunakan untuk libur dan bersantai ria di rumah pun tidak jarang saya korbankan dengan senang hati demi mengikuti kegiatan yang sebenarnya nggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan saya.

Baca lagi Istri Rumah Tangga

Lalu ketika menikah, jalan hidup yang saya pilih sekonyong-konyong berubah haluan. Aktivitas yang saya jalani tidak lagi berpusat di luar rumah. Pergaulan saya di dunia nyata kian menyempit setelah hijrah ikut suami ke daerah yang baru saya kunjungi. Tidak ada kegiatan-kegiatan sosial yang kembali saya geluti. Menghabiskan waktu sehari-hari di rumah juga membuat hidup saya diwarnai sepi.

Dan dengan mudahnya saya sanggup menjalani semua perubahan yang tidak bisa dibilang tidak drastis. Seratus delapan puluh derajat lho ini perubahannya. Nggak bosan ya tinggal di rumah melulu? Nggak suntuk ya nggak ada kerjaan gitu? Nggak jenuh ya berteman sepi?

Jawabannya NGGAK. Malah saya bawaannya happy everyday. Nggak butuh waktu untuk sekadar menyesuaikan diri dengan kehidupan saya yang sekarang.

You know why ?

Baca dulu Pasca Wisuda Ingin Jadi IRT, Ini Tiga Hal yang Bisa Dijadikan Alasan

Selain ketiga alasan tersebut, hal utama yang bikin saya sama sekali tidak mengalami kesulitan menjadi istri rumah tangga yang kerjaannya sehari-hari dominan di rumah adalah karena dibalik jiwa ekstrovert yang tampak pada diri saya, ada jiwa introvert yang sebenarnya itulah aslinya diri saya.

Well, semenjak kecil saya memang sudah doyan mengurung diri dalam kamar, selalu lebih enjoy menikmati waktu-waktu yang saya lalui seorang diri atau istilah kerennya me time, tidak terlalu suka dengan keramaian dan dengan jiwa asli saya yang sebenarnya introvert itu, kok bisa-bisanya ya saya aktif berorganisasi dan minat ikut-ikut kegiatan sosial yang mengharuskan saya bertemu dengan orang banyak. Atau mungkin saya ini tipe setengah ekstrovert, setengah introvert. Memang ada ya tipe yang setengah-setengah gitu? Haha entahlah.

Yang jelas semenjak menikah dan hijrah ikut suami, jiwa introvert saya yang mendominasi,  kian akut. Bayangkan, tiap weekend suami rajin ngajak saya kencan, entah itu ke pinggir pantai menikmati sunset, ke taman syariah atau ke alun-alun kota Parepare. Semestinya saya menyambut ajakan itu dengan rona bahagia, tapi yang ada reaksi saya biasa saja, malah lebih sering ogahnya. Nggak minat. Lebih antusias menghabiskan weekend bareng suami di kamar rumah saja, hihi.

Baca juga Merekam Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun.

Terlepas dari istilah ekstrovert atau introvert, di postingan kali ini saya pengen buat catatan reminder mengenai hal-hal yang bikin seorang istri rumah tangga tetap produktif meski kerjanya cuma di rumah. Ingat ya istri rumah tangga berbeda dengan ibu rumah tangga. Kalau ibu rumah tangga mah waktunya selama duapuluhempat jam bisa jauh lebih produktif karena selain suami, ada anak-anak dan urusan rumah tangga yang harus ia tangani dibanding istri rumah tangga. Namun istri rumah tangga tetap tetap bisa produktif kok. Mau tahu apa-apa saja yang bikin wanita (baca; istri rumah tangga) yang bekerja di rumah tetap produktif. Simak postingan ini sampai tuntas ya ;)

🌺 Optimal Beribadah

Hanya karena masih berstatus seorang istri yang belum dikaruniai momongan dan lebih memilih menjadi wanita rumahan dibanding wanita karier bukan berarti wanita yang memutuskan bekerja di rumah nggak bisa se-produktif wanita yang bekerja di kantor. For me, hal paling utama yang bikin istri rumah tangga tetap produktif adalah dengan mengoptimalkan ibadah. Saya nggak bilang lho wanita yang kerja di kantoran nggak optimal ibadahnya, karena tantangan yang dihadapi jelas berbeda.



Ingat kembali tujuan Allah menciptakan kita (baca QS Ad-Dzariyat ; 56). Yap, sejatinya tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah, jadi mau kerja di rumah atau di luar rumah seharusnya sama saja. Niatkan karena Allah, agar pekerjaan yang kita lakoni itu bernilai ibadah. Memang sih, tantangan wanita yang bekerja di luar rumah jauh lebih berat. Misalkan nih, sudah tiba waktu shalat, ada saja pekerjaan yang belum kelar atau karena saking sibuknya dengan aktivitas di luar rumah, belum ditambah dengan pekerjaan rumah yang menumpuk, kita jadi nggak sempat buka Al-Qur'an dalam sehari, nggak sempat pula dzikir pagi dan petang, dll. Tapi bagi wanita-wanita kantoran yang punya komitmen memprioritaskan ibadah dibanding pekerjaan duniawi, tantangan-tantangan yang kelihatannya berat itu pasti bisa dengan mudah mereka atasi apalagi bila ibadah-ibadah tersebut sudah menyatu dan menjadi kebiasaan sehari-hari.

Bagi wanita yang bekerja di rumah juga punya tantangan tersendiri, yang sebenarnya tidak kalah berat sih. Sebab godaan syaitan makin gencar, pandai sekali membisik-bisiki si wanita yang bekerja di rumah bermalas-malasan hingga menunda-nunda waktunya dalam beribadah. Dua hal yang juga saya rasakan selama menjalani aktivitas sehari-hari di rumah. Selain lewat bisikan, syaitan juga sering menjelma dalam bentuk gadget. Boleh dibilang saya ini pecandu gadget so, no problem bagi saya tinggal seharian di rumah asal ada gadget plus kuota.

Nah, masalahnya kalau sudah pegang gadget bawaannya saya jadi lupa waktu. Kadang saya sampai lalai dengan tugas-tugas rumah termasuk dalam hal ibadah ketika sedang asyik berkutat dengan gadget. Ini jadi reminder penting buat saya. Seharusnya dengan bekerja di rumah saya lebih bisa mengoptimalkan waktu untuk beribadah kepada Allah. Masa' mau kalah dengan wanita yang kerjanya di luar rumah tapi ibadahnya tetap optimal.

🌹 Fokus Mempersiapkan Diri Sebagai Calon Ibu

Persiapan untuk menjadi seorang ibu seharusnya sudah dimulai sejak duapuluhlima tahun sebelum anak-anak kita dilahirkan, terutama ketika telah berstatus sebagai istri, persiapan untuk menjadi seorang ibu sudah harus benar-benar matang. Tapi kok rasanya selama ini saya belum pernah mempersiapkan apa-apa untuk menjadi ibu dari anak-anak saya kelak. Hiks

Saya baru mau mempersiapkan diri menjadi seorang ibu di umur yang telah menyentuh angka seperempat abad, itu pun ketika telah sah menjadi seorang istri. Duh, telat banget yak. Tapi tak apalah telat dibanding tidak ada persiapan sama sekali. Eh, berikhitiar mencari menjemput ayah yang baik bagi anak-anak saya kelak juga termasuk persiapan menjadi orang tua kan dan itu sudah saya lakukan ,hehe.

sumber gambar : ibudanbalita.com

Now
, selagi menjadi istri yang belum dapat titipin amanah dari Allah, kita bisa pergunakan waktu luang di rumah dengan fokus mempersiapkan diri sebagai calon ibu, menjalankan promil semaksimal mungkin, banyak membaca buku-buku dan artikel-artikel yang berhubungan dengan kehamilan serta hal-hal yang berhubungan dengan parenting, apalagi sekarang ini banyak bloggermoms yang suka berbagi pengalamannya mulai dari masa kehamilan, melahirkan, memberi MPASI hingga cara mendidik anak di blog mereka masing-masing.

Nah, kita bisa sering-sering blogwalking ke blog mereka dan memetik ilmu yang bisa kita petik. Pengalaman adalah guru terbaik, so, apa salahnya belajar dari pengalaman orang lain. Jadi besok-besok bila menghadapi kondisi yang sama dengan pengalaman mereka kita nggak bakal shock dan bisa hadapi dengan tenang. Well, aktivitas yang demikian bikin waktu kita jadi produktif, kan? Ini jadi reminder juga buat saya biar bisa lebih fokus mempersiapkan diri daripada sibuk memikirkan perkataan dan pandangan orang lain.

🌼 Banyak Membaca Selingi dengan Menulis

Waktu kita di rumah juga nggak bakal terbuang sia-sia bila aktivitas membaca kita jadikan sebagai rutinitas harian. Dengan banyak membaca, cakrawala pengetahuan kita akan semakin terbuka. Terlebih bila kita adalah seorang istri yang doyan menulis, maka aktivitas membaca sudah harus menjadi kewajiban. Karena hobi menulis tidak pernah terlepas dari aktivitas membaca. Keduanya adalah satu paket. Percayalah, tulisan kita nggak bakal pernah berkembang jika kita malas-malasan membaca.

credit

Nah, ini jadi sentilan banget buat saya yang kadang masih sering merasa berat membaca buku dikalahkan sama gadget soalnya doyannya cuma menulis. Aih, pantasan tulisan saya gini-gini saja, nggak ada perkembangan yang signifikan. Huhuhu. Tapi biar pun tulisan masih ala kadarnya, tetap motivasi diri dan usahakan rajin menulis, minimal ada targetlah sekali sebulan posting di blog sebab latihan dan membiasakan diri menulis juga dapat mempengaruhi kualitas tulisan kita lho. Itu menurut saya berdasarkan pengalaman pribadi. Kalau nggak percaya, gih buktikan sendiri. Lebih-lebih sebagai blogger, kudu punya komitemen atuh. Minimal menulisnya sekali sebulanlah. Masa' sulit?ikut ODOP yang tiap hari saja in syaa Allah sanggup, kok posting sekali sebulan nggak yakin *reminder

Baca juga Bikin Blog itu Mudah, Konsisten Ngeblognya yang Susah

🌻 Maksimal Mengurus Suami

Sepengamatan saya nih, banyak ibuk-ibuk yang ketika telah memiliki momongan perhatiannya hampir sepenuhnya beralih ke sang buah hati. Dengan sendirinya posisi suami bergeser menempati urutan di bawah anak. Eh, ini baru sebatas pengamatan saya, entahlah kalau saya yang mengalami mungkin seluruh waktu saya juga bakal lebih tersita urus anak ketimbang suami, ups!

But, kehadiran seorang anak tidak seharusnya menyita seluruh perhatian ibu sehingga sang suami jadi sedikit terabaikan. Tapi yah, tidak bisa dipungkiri kehadiran sang anak dalam rumah tangga membuat sang ibu mau tidak mau harus membagi perhatiannya. Tidak bisa lagi full mengurus suami saja.

Nah, mumpung belum punya anak (meski sudah ngarep) kita bisa maksimal mengurus suami. Jadikan hari-hari yang dilewati berdua bersama suami menjadi hari-hari yang sangat indah, manjakan suami, perlakukan suami dengan sangat baik, jangan pernah membuatnya marah, jangan tampakkan wajah kusam di hadapannya, selalulah tampil cantik di depan suami, berlemah lembutlah saat berbicara dengannya, rajutlah kemesraan tiap waktu dan . . .

Wah, saya nulisnya ideal banget tapi realisasinya, astaghfirullaah  masih jauh dari kategori istri nan shalihah mengingat saya masih sering ngambek dan uring-uringan nggak jelas sama suami. Really, baru saya rasakan ketika menjadi istri mood atau suasana hati saya menjadi benar-benar tak karuan, sering tak terkendali, entahlah saya juga heran kenapa bisa seperti itu. Apa semua istri mengalami hal yang saya rasakan? Ini jadi reminder pake banget buat saya. Setiap waktunya saya harus belajar menjadi istri yang baik dan memperlakukan suami dengan sangat sangat baik, sebab surga seorang istri kan ada pada keridhoan suaminya. Sekali saja suami nggak ridho, ibadah kita nggak bakal diterima sama Allah. Duh, seram kan? Ayo jadi istri yang shalihah *note to my self.

🌻 Kembangkan Skill di Rumah

And the last but not least, agar waktu di rumah bisa lebih produktif, jangan cuma nganggur saja di rumah, kembangkan skill yang ada pada diri kita. Salah satu contohnya adalah skill memasak. Saya termasuk orang yang nggak percaya kalau ada wanita yang bilang kalau dia nggak pinter masak. Saya bisa pastikan wanita itu bukannya nggak pintar masak dia cuma nggak pernah berusaha belajar masak. Padahal masak itu ternyata mudah lho. Asal ada bahan dan perlengkapan. Bumbu yang digunakan juga rata-rata ya itu saja. Cuma pengelolaannya yang sedikit berbeda.

Kalau kamu termasuk orang yang nggak pinter masak coba deh buka youtobe atau buka applikasi cookpad atau beli buku-buku resep makanan atau minta orang tua mengajarkan cara memasak yang lezat, tidak butuh waktu lama dan kamu akan bisa memasak. Soal pintar atau tidaknya belakangan, yang penting skill memasak kamu kembangkan dulu. Saya juga gitu, menjelang menikah orang tua dan tante-tante saya sudah mewanti-wanti lebih dulu ke suami yang waktu itu masih calon, katanya saya nggak bisa masak. Suami dengan legowonya bilang nggak papa, nanti bisa belajar. Sekalinya sudah nikah, suami rada kaget karena istri yang kata keluarganya nggak bisa masak ternyata lumayan pintar mengelola makanan, cuma kadang masih suka nggak pede dengan masakannya sendiri hehe.

credit
Memang sih dulu saya juga pernah buat statment  saya nggak pintar masak, tapi setelah saya buktikan sendiri dengan berusaha belajar memasak barulah saya tidak percaya kalau ada perempuan yang ngaku-ngaku nggak pintar masak. Orang pintar itu karena belajar. Kalau nggak pernah belajar ya gimana mau pintar. Hal yang sama juga bisa kita terapkan dengan mengembangkan skill yang lain. Misalkan dengan mengembangkan skill menulis, berbisnis online, membuka usaha kecil-kecilan di rumah dan lain-lain. Gimana? Pastinya ini juga jadi reminded buat saya. Hmm selain memasak dan menulis, saya pengen mengembangkan skill apa lagi yaak? *mikir

Oke, sampai di sini dulu postingan kali ini. Kalau kalian punya tambahan poin kegiatan yang bikin aktivitas wanita di rumah tetap produktif, boleh dishare di kolom komentar. Sekian :)

#ODOPOKT8

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allaah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allaah kepadamu”.(QS. Fushilat: 30)

credit

Hijrah itu mudah. Istiqomah yang susah
. Plak! Saya berasa tertampar keras ketika pertama kali membaca kalimat ini. Asli! Ngena banget. Kebayang, waktu pertama kali hijrah dari seorang blogger yang dulunya cuma doyan mendadani tampilan blog secantik dan semanis mungkin. Tiap kali ngeblog, hobinya cuma gonta-ganti template baru, widget baru, header baru plus asyik berkutat dengan kode-kode xml dan semacamnya.

Sampai di suatu waktu, setelah sekian lama terlena menjadi desainer blog abal-abalan barulah saya sadar dan teringat kembali niatan awal bikin blog. Saat itu, niatan saya cuma satu. Menulis. Hanya karena saya mencintai menulis sehingga saya merasa perlu memiliki akun blog yang dapat menampung semua tulisan-tulisan random saya yang kadang-kadang masih gaje. Niat awalnya sih memang seperti itu.

Namun, mana saya sangka setelah dua tahun punya akun di media sosial khusus berbagi tulisan, postingan blog saya yang baru hitungan satu-dua nyaris tidak pernah bertambah, malah sayanya makin kecanduan mendesain blog. Padahal fungsi utama blog bukan sebatas terletak pada penampilan saja melainkan isinya. Percuma juga kan punya blog cantik, manis, anggun, menawan but isinya nyaris kosong. Minim tulisan. Nggak ada pengunjung, apalagi followers. Sepi bak kuburan.

Sama kan seperti manusia. Meski berparas memukau, penampilan aduhai tapi kalau hati tak terawat, akhlak buruk, percuma! Apalah arti penampilan luar bila tidak mencerminkan kepribadian yang baik.

Mungkin kurang lebih seperti yang diibaratkan Al-Khawarizmi tentang wanita. Wanita itu jika berakhlak baik dan berpikir positif maka dia adalah angka 1. Kalau dia juga cantik bisa ditambahkan angka 0. Kalau dia memiliki harta banyak, tambahkan lagi 0. Kalau dia cerdas, tambahkan lagi 0. Jadi 1000. Jika wanita memiliki semuanya namun tak memiliki yang pertama, maka ia hanya 000. Tak bernilai sama sekali.

Maksud saya, blog ini sungguh tidak bernilai bila tidak memiliki postingan-postingan yang maksimalnya bisa menginspirasi dan menebar manfaat (kebaikan) meski tampilannya begitu memikat.

Beda halnya, bila tampilannya kurang menarik tapi postingannya banyak. Tulisannya lumayanlah, sedikit menginpirasi. Setidaknya dengan begitu blog ini masih memiliki nilai, walau cuma 1 atau 10. Ketimbang 0 sama sekali.

Selain pengibaratan itu, saya juga sering mendengar pepatah don't judge a book by cover. Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Artinya, bagus tidaknya sampul sebuah buku tidak menjamin isinya pun bagus. Tidak jarang lho, ada buku yang sampulnya keren banget tapi setelah dibaca bukunya membosankan. Sebaliknya ada buku yang sampulnya biasa-biasa saja, kurang menarik namun lembaran-lembarannya luar bisa menyentuh.

Dalam menilai sesuatu atau seseorang pun seharusnya seperti itu. Jangan hanya berdasar apa yang tampak semata. Sebab penampilan luar kadang menipu. Lagipula, tidak selamanya yang tampak indah benar-benar indah juga tidak selamanya yang terlihat buruk benar-benar buruk.

Tapi bagaimana blog ini benar-benar bernilai (baca; dinilai orang lain) bila selama dua tahun belakangan itu saya hanya sibuk berkutat merawat tampilan luarnya saja tanpa memerhatikan esensi dari sebuah blog.

Pada akhirnya, saya memantapkan niat dan memutuskan berhijrah dari seorang blogger kerjaannya hanya asyik mendandani blog menjadi blogger personal yang tiap bulannya aktif dan rajin menulis postingan sendiri (no jiplak, no copy paste) di blog.

Dan ternyata benar, hijrah memang mudah. Siapa bilang berat? Siapa bilang susah? Siapa bilang rumit?

Kalau ada yang beranggapan demikian, berarti memang dianya saja yang nggak mau hijrah. Sebab sepemahaman saya dan setelah apa yang saya lewati ; hijrah itu hanya bisa dijalani oleh orang-orang yang mau dan bersedia saja. Modal awalnya simple. Yang penting ada niat, ada tekad. Banyak-banyakin berdoa. Jangan lupa usaha. In syaa Allah. Allah pasti mudahkan.

Buktinya. Saya sudah merasakan. Dan rasa berhijrah itu nikmat. Nggak ada duanya deh dibanding tetap ngotot bertahan pada keadaan yang dulu. Meski keadaan itu adalah candu, namun hijrah adalah pilihan terbaik bagi setiap orang yang mengharap kebaikan minimal kebaikan untuk dirinya sendiri.

Dulu, waktu awal-awal hijrah sebagai blogger personal, jangan ditanya betapa bergairah dan berenerginya saya menekuni dunia blog. Hampir tiada hari yang tidak saya lewati tanpa aktivitas ngeblog; seperti rajin update postingan baru, doyan ikut ajang giveaway, suka blogwalking dari satu blog ke blog lain sampai masuk dan bergabung di banyak komunitas blogger.

Saat itu, ngeblog menjadi aktivitas dunia maya paling menyenangkan dibanding facebookan, twitteran, chattingan, instragaman dan semacamnya. Bahkan, setelah mengenal blog semenyenangkan itu, tidak terlintas secuil pun saya bakal hiatus dan meninggalkan dunia yang telah mendekatkan saya pada mimpi yang selama bertahun-tahun lamanya saya khayalkan.

Baca juga Lama Hiatus, Ini Alasan Saya Kembali Ngeblog

Betapa saya ingin menjadi seorang penulis. Betapa banyak pikiran yang bertumpuk-tumpuk dan perasaan yang bersesak-sesak selalu ingin saya tuangkan lewat jemari. Betapa saya hanya ingin menulis, menulis dan menulis.

Lalu, betapa gembiranya saya ketika berhasil melewati sepanjang tahun dengan menulis ratusan postingan padahal di tahun-tahun sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Betapa senangnya saya ketika apa-apa yang selama ini tidak sanggup saya suarakan dengan lisan mampu saya suarakan lewat berbaris huruf dan sungguh betapa bahagianya saya ketika tahu tulisan-tulisan saya mulai menemui pembaca-pembacanya.

Hobi saya sedari kecil adalah menulis, salah satu khayalan yang saya harap menjelma nyata sedari dulu adalah saya ingin menjadi penulis, namun saya tidak benar-benar fokus menulis atau menjadikan penulis sebagai mimpi, kecuali saat setelah saya berhijrah menjadi bloger personal.

Baru, di masa-masa itu saya mulai menulis, dan menikmatinya sebagai candu. Saya mengira, setelah menikmati candu itu, saya tidak akan beralih lagi mencari candu yang lain. Saya menyangka keadaan dimana saya sangat bersemangat sebagai penulis blog akan berlangsung seterusnya. Saya berpikir, menulis adalah dunia yang tidak mungkin saya abaikan. Saya telah menemukan dunia yang sangat saya inginkan, lantas ketika telah mendekapnya kenapa harus kembali saya lepaskan?

Kenyataanya, setelah hijrah saya hanya mampu bertahan selama kurang lebih dua tahun. Hanya selama itu. Dan kemudian saya menjadi blogger yang boleh yang nyaris melupakan rumahnya sendiri. Lihat saja, postingan saya di dua tahun belakangan ini. Mengalami penyusutan drastis. Setahun kemarin lebih parah lagi.

Di tahun 2016, minimal atau setidaknya saya bisa menulis dua belas postingan untuk satu postingan tiap bulannya, tapi yang terjadi, sepanjang tahun itu malah saya lewati begitu saja tanpa menulis satu postingan pun di blog ini.

Blog yang dulu saya anggap sebagai kamar keabadian ini seolah telah ditinggal pergi pemiliknya. Tak lagi terurus dan terawat. Teracuhkan.

Ah, maafkan saya. Maaf karena saya gagal menjadi pemilik blog yang baik. Maaf karena sudah terlalu lama pergi. Membiarkan kamar ini sendiri tak berpenghuni.

Tadinya, saya menduga jalan selepas hijrah adalah jalan yang mulus. Tidak mendaki, berliku apalagi terjal. Ternyata, saya keliru. Perkiraan saya meleset jauh. Hal-hal di luar sangkaan saya itulah yang berlaku.

Manusia memang perencana yang ulung. Pandai sekali mengatur harap-harapannya serapi mungkin, akan tetapi masa depan yang merahasia itu, siapa yang bisa menebaknya? Siapa yang kuasa menjamin diri mampu bertahan hingga akhir? Siapa yang berani memastikan diri mampu sampai di tujuannya dengan selamat?
Not yet. Tidak ada!

Hebatnya lagi, dalam kehidupan ini; awal memang penting namun akhirlah yang menentukan. Tidak peduli, seberapa baik dan unggulnya seseorang di awal, akhirlah yang menjadi penentuan sebenarnya.

Toh, tidak sedikit orang yang di awal kehidupannya tumbuh menjadi sosok yang baik, paham akan agamanya serta tunduk dan patuh pada Titah Tuhan-Nya namun di akhir hidupnya tergelincir dalam kemudharatan.

Dulunya berhijab tapi sekarang hijabnya terbang entah ke mana. Dulunya rajin ke masjid tapi sekarang doyannya ke diskotik. Dulunya ustad tapi sekarang preman. Dulunya aktivis dakwah kok sekarang aktivis maksiat. Dulunya blogger eksis tapi sekarang kok jadi blogger murtad.
Astaghfirullaah. Yang terakhir, itu sekadar permisalan saja. Mana sudi saya murtad (keluar) dari menjadi seorang blogger. Pernah pergi bukan berarti tidak kembali. Selagi masih bernafas, saya tidak akan melupakan satu-satunya kamar berharga; tempat saya menyimpan kenangan.

Iya. Saya menulis karena hendak mengenang banyak hal. Karena itu pula, blog ini sengaja saya sebut sebagai "Kamar Kenangan". Namun, jujur saja selama setahun tidak menulis postingan di blog ini, saya banyak mikirnya. Salah satu yang paling mengusik pikiran saya adalah niatan dan tujuan saya ngeblog. Apa iya, selama ini saya ngeblog sebatas memenuhi hasrat menulis, hanya karena ingin mengabadikan kenangan hidup. Apa iya, niat dan tujuan saya semata-mata cuma itu? Sedangkal itu kah?

Pertanyaan-pertanyaan yang menelisik pikiran saya itu tentu tidak akan saya jawab di postingan yang mungkin membingungkan ini. Bingung bagi yang tidak fokus. Kalau yang fokus mah, in syaa Allaah paham ya dengan maksud saya. Terlebih, bagi yang sedang dan pernah mengalami sendiri.

Hijrah itu mudah. Istiqomah yang sulit. Pernyataan itu benar sekali. Ketika sudah memutuskan berhijrah, di depan sana akan bermunculan banyak godaan. Hati yang dengan mudah Allaah bolak-balikkan. Mood yang pasang surut. Keadaan yang tidak mendukung. Lingkungan yang tidak berpihak. Emosi yang tak terkendali. Iman yang kerap goyah, naik turun. Ghirah dan futur yang kadang memuncak kadang membelok. Dan, tentu masih banyak rintangan-rintangan lainnya yang membuat diri sulit ber-istiqomah.

Butuh perjuangan yang berat memang. Istiqomah sulit namun bukan berarti tidak bisa sama sekali. Bahkan yang sebenarnya bila diri memaknai istiqomah dengan benar, kesulitan itu sesungguhnya telah diringankan Allaah.

Sabda Rasul, "amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan-amalan yang dilakukan secara istiqomah meskipun sedikit".

Tuh, kan meski cuma lima menit dalam satu waktu, artinya hanya dua puluh lima menit saja dalam shalat lima waktu yang dibutuhkan dari duapuluh empat jam tiap harinya, meski satu hari satu ayat saja baca Al-Qur'annya. Meski cuma dua rakaat saja dhuha dan Qiyamul lailnya. Meski cuma seribu saja sedekahnya tiap pekannya. Meski cuma senin saja puasa sunnahnya. Meski cuma selembar saja baca bukunya tiap hari. Meski cuma pagi atau petang saja dzikir al-ma'tsuratnya. Dan meski cuma satu postingan saja tiap bulan menulisnya. Namun jika semua itu dilakukan terus menerus, secara kontiniu, In syaa Allaah. Allaah sungguh cinta dengan amalan - amalan yang sedikit itu. Ini Rasul yang bilang lho.

Bahkan, bila amalan-amalan yang sedikit itu masih terasa berat dilaksanakan, Rasul sudah lebih dahulu mewanti-wanti dengan memberi tips doa terbaik agar hati senantiasa dimudahkan untuk istiqomah.

Wahai Sang Pembolak-balik Hati. Tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu"

Duhai Rabb, siapa yang bisa menjamin hati-hati kami ini tak berpaling dari-Mu selamanya?
Manusia tak ada yang bisa menjamin keselamatan dirinya sendiri, karena itu, menjaga istiqomah itu sangat-sangat penting.

Yuk. Sama-sama belajar Istiqomah.

#ODOPOKT7

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
Share
Tweet
Pin
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Hallo, perkenalkan
Nama saya Siska Dwyta
Seorang ibu rumah tangga
yang doyan ngeblog.

Ingin bekerja sama?
Contact me : dwy.siska@gmail.com

Read More About Me

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram

Labels

artikel Birth Story blogging fiksi jodoh keluarga kesehatan lomba blog media sosial menyusui Motherhood MPASI muslimah opini pernikahan personal Pregnancy reminder review tips

recent posts

Blog Archive

  • ►  2013 (54)
    • ►  March (1)
    • ►  April (2)
    • ►  May (5)
    • ►  June (4)
    • ►  July (7)
    • ►  August (4)
    • ►  September (6)
    • ►  October (5)
    • ►  November (8)
    • ►  December (12)
  • ►  2014 (76)
    • ►  January (9)
    • ►  March (2)
    • ►  April (8)
    • ►  May (8)
    • ►  June (14)
    • ►  July (11)
    • ►  August (5)
    • ►  September (1)
    • ►  October (3)
    • ►  November (8)
    • ►  December (7)
  • ►  2015 (16)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  April (5)
    • ►  May (1)
    • ►  June (2)
    • ►  July (1)
    • ►  October (1)
    • ►  December (3)
  • ►  2016 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2017 (41)
    • ►  September (4)
    • ►  October (26)
    • ►  November (7)
    • ►  December (4)
  • ►  2018 (48)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  March (1)
    • ►  May (2)
    • ►  July (2)
    • ►  September (3)
    • ►  October (2)
    • ►  November (13)
    • ►  December (22)
  • ▼  2019 (155)
    • ►  January (11)
    • ►  February (11)
    • ►  March (13)
    • ►  April (6)
    • ►  May (35)
    • ►  June (6)
    • ►  July (3)
    • ►  August (3)
    • ►  September (24)
    • ►  October (17)
    • ►  November (19)
    • ▼  December (7)
      • Arti Dibalik Nama Zhafran Assyauqi Muhammad
      • Umroh.com, Marketplace dengan Paket Umroh Termurah...
      • Ketahuilah Cara Mencegah Penyakit Jantung Koroner ...
      • Catatan Perkembangan Zhafran 0 - 12+ Bulan
      • Cara Jitu Mengatasi Kulit Wajah Berkomedo
      • Cani'ta, Madu Murni Lebah Liar dari #BarruPujanant...
      • Inilah Penyebab Seseorang Mengalami Diabetes

Popular Posts

  • Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus . Setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing. Ujiannya...
  • Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar   - Pekan lalu say...
  • Tentang Anging Mammiri, Komunitas Blogger Makassar yang Berembus Sejak Tahun 2006
    gambar latar : pxhere.com Bismillaahirrahmaanirrahiim "Kemana saja saya selama ini. Ngakunya Blogger Makassar kok baru gabung ...
  • Cerita MPASI Bunay 6 Bulan : Belajar Makan
    Tak terasa sudah genap sebulan Bunay makan makanan selain ASI. So, di postingan kali ini saya pengen cuap-cuap dulu mengenai MPASI Bunay ...
  • Mengenal QR Code Sebagai Pembayaran Digital Ala Milenial
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Mengenal QR Code Sebagai Pembayaran Digital Ala Milenial. Di era digital seperti sekarang ini bany...

MEMBER OF

Blogger Perempuan

Followers

Facebook Twitter Instagram
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by Siska Dwyta @copyright 2019 BeautyTemplates