Kamar Kenangan

  • Home
  • About Me
  • Disclosure
  • Sitemap
"Icha, udah jam segini kamu masih nyantai"

Aku menoleh ke asal suara, di sampingku kulihat mama berdiri dengan berkacak pinggang. Pandanganku lalu beralih ke jam yang terlingkar manis di pergelangan tangan kananku.

"Baru jam tiga ma"

"Iya, baru jam tiga dan kamu belum mandi, belum siap-siap, belum ke salon. Coba liat saudaramu yang lain udah pada sibuk nah kamu dari tadi mama perhatiin kerjaannya cuma mencet-mencet hape aja"

Share
Tweet
Pin
3 comments


"Maaf" Hanya satu kata yang berhasil meluncur dari mulutku diikuti tetesan embun yang perlahan membasahi pipi.

"Kenapa menangis?" Tanya itu membuatku semakin terisak. Tanpa mengucap sepatah kata aku segera berlari, meninggalkan Ilham yang mematung keheranan.

Aku sendiri bingung dengan reaksiku. Kenapa coba aku nangis kemudian berlalu setelah Ilham dengan sabar menanti jawaban. Apa susahnya bilang kata iya atau tidak? Padahal ini bukan pengalaman pertama aku ditembak cowok. Sudah sering malah. Dan biasanya tanpa pikir panjang, aku dengan mudah menjawab tidak dengan berbagai alasan yang sengaja aku ada-adakan.

Yah! setidaknya sampai detik ini, di usiaku yang telah mencium angka 22, aku selalu menolak cowok yang datang menawarkan hubungan special. Termasuk cowok yang tampangnya sekaliber Ibnu Sabil atau Evan Sander pun pernah merasakan penolakanku. Uhuk. Oke, pengibaratanku mungkin agak lebay. Faktanya memang demikian. Diantara cowok-cowok yang pernah nembak aku, ada lho yang tampangnya kayak mereka. Punya postur tubuh atletis, tinggi dan bermata tajam. Anehnya, aku sama sekali tak tertarik. Entah kenapa, aku lebih enjoy menikmati kesendirianku di tengah teman-teman yang justru pada berlomba-lomba menghindari status jomblo.

"Astaga, Aya, cowok kayak Deon masa' lo tolak. Ya ampun, otak lo.. lo taruh di mana sih, kalau emang lo gak doyan, mustinya lo lemparin aja ke gue" Jerit Viona histeris setelah mendengar kabar insiden penolakan Deon, si ketua Mapala yang terkenal paling gagah di kampus kami.

"Yeee... trus Bagas lo mau buang kemana?" Tawaku memecah menanggapi histeria Viona.

Sahabatku yang satu itu emang paling heboh menanggapi kebiasaanku menolak cowok-cowok cakep. Kadang ia amat menyayangkan keputusanku sekaligus keseringan girang. Gimana gak girang? penolakanku pertanda dia bakal dapet peluang ngegaet cowok cakep. Tak jarang Viona merengek minta dicomblangin ama cowok yang pernah nembak aku padahal sebelumnya dia yang jadi mak comblang. Huh. Dasar!

Karena keseringan ditodong, di suatu hari aku terpaksa ngabulin permintaan konyolnya. Hanya sekali itu saja. Pun setelah kupuji-puji, akhirnya cowok bernama Bagas bersedia move on dan memilih menjalin kasih bersama Viona. Alhamdulillah, setelah itu aku tetap terusik. Sebab Viona-ku yang masih kekanak-kanakan belum betah bertahan pada satu hati. Ah, terpaksa lagi, aku yang harus membuatnya bertahan pada seorang Bagas.

Sementara aku? Kesendirian membuatku tumbuh menjadi dewasa dengan sendirinya. Aku tak punya banyak pengalaman menjalin kasih dengan lawan jenis. Cukup belajar dari pengalaman cinta orang lain. Yup, aku suka sekali belajar tentang cinta, mulai dari mendengarkan curhatan orang lain, melahap habis novel-novel bengenre romantic, hingga tenggelam dalam drama-drama korea.

So, jangan heran bila aku sok pandai mengatasi masalah teman-temanku yang patah hati, dan pintar merangkai kata-kata cinta. Mungkin aku terlihat sangat berpengalaman. Nyatanya tidak. Cinta yang kutulis adalah palsu. Aku bahkan lupa bagaimana indahnya jatuh cinta? Sudah lama sekali aku tidak merasakannya.

Tapi Ilham, lelaki yang baru kukenal sebulan lalu itu sepertinya telah mengusik hatiku. Ilham berbeda dengan lelaki kebanyakan yang pernah datang sekedar menyatakan cinta, sebaliknya dia sangat mirip dengan seseorang dari masa laluku. Dia menawarkan sesuatu yang lebih dari cinta. Mungkin itu yang membuatku menjawab tak seperti biasanya. Aku baru menyatakan "maaf", dan itu berarti belum tentu aku menolaknya.

Langkahku semakin jauh meninggalkan Ilham di belakang. Sungguh, aku tak heran bila cowok yang tidak pernah meninggalkan shalat berjamaahnya di masjid itu tidak berlari mengejarku. Sudah ku bilang dia memang berbeda.

###

"Whaaatt... cowok alim kayak Ilham Hidayat akhirnya naksir juga sama lho Aya" Jerit Viona lebih keras dari biasanya, ketika aku menceritakan kejadian yang barusan kualami.

Aku mengangguk, pelan.

"Trus... lo nolak lagi?"

Aku geleng-geleng kepala.

Sejenak Viona terdiam, seperti sedang mencerna arti gelengan kepalaku. Semenit kemudian ia terlonjak dari tempat duduknya.

"Yeeesss... akhirnya sahabat gue punya pacar" teriak Viona kenceng. Seketika banyak pasang mata di kantin kampus siang itu menoleh ke arah kami.

Buru-buru aku menutup mulut Viona dan menarik tangannya pergi sebelum mengundang perhatian mahasiswa-mahasiswa yang kerjaannya tukang kepoin urusan orang lain berdatangan bak wartawan.

"Plisss... dong Na, jangan sebar gosip sembarangan" dengusku kesal setelah kami tiba di
tempat yang agak sepi. Di samping kantin.

"Lha tadi kan lo sendiri yang bilang?"

"Iihhhh... siapa yang bilang, aku kan cuma geleng-geleng kepala"

"Upst.. sorry dehh.. sorry... trus gimana Say? Ceritain dong. Gue kira cowok - cowok tampang dia tuh ngebetnya sama para jilbaber. Kok bisa, naksir sama lo yang shalatnya masih bolong-bolong, kerudung aja masih lepas pasang, hmmm apa lagi yaahhh?"

"Aku juga tidak tahu Vion" lirihku dengan pikiran yang berkecamuk luar biasa saat ini. Aku urung menceritakan semua yang Ilham ungkapkan padaku di taman kampus tadi, mengingat sikap Viona yang tak hanya kekanakkan, tapi juga rada cerewet, kadang-kadang suka kecoplosan ngomong.

Sebenarnya, aku tak masalah bila banyak gosip beredar di sekelilingku. Tentang kejombloanku yang dipertanyakan, aku yang pernah dihujat sok jual mahal, dikatai cewek gak normal lah. Huft. Susah memang kalau terlahir cantik. Banyak yang iri. Padahal aku sama sekali tak merasa cantik. sekalipun banyak pujian kerapkali berdatangan. Katanya aku mirip banget dengan artis Cinta Laura atau Chelsea Olivia karena gigi kelinciku.

Aku sih masa bodoh dengan pujian atau hinaan orang. Mau mirip sama artis siapapun juga aku gak peduli. Because this is my life. Aku bukan artis, bukan siapa-siapa. Hanya wanita biasa yang benci dengan orang-orang yang menilaiku dari luar saja. Emang, apa salahnya cewek cantik kayak aku ngejomblo?

Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan kisah cinta Cinderella dan Putri Salju. Aku mendambakan seorang pangeran. Khayalanku mungkin terlalu tinggi. Dulu aku punya pangeran yang sangat kucintai, tapi pangeran itu telah pergi jauh ke dunia lain. Tuhan tidak menakdirkanku bersamanya. Viona tahu itu, sebab kami sudah sepuluh tahun bersahabat. Makanya cewek keturunan Jawa-Makassar itu tak terlalu heran bila sampai duduk di bangku semester akhir ini sahabat tercantiknya masih betah menjomblo.Tapi, mereka yang hobinya sewot mulu dengan urusan orang lain, baru mengenalku kemarin sore lantas bersikap seolah sudah mengenalku bertahun-tahun lamanya. Hah. mereka tahu apa tentangku.

"Lagian bagaimana bisa aku menerima lelaki yang menyatakan cinta karena tampilan fisikku saja?"

###

Sepanjang malam ini aku nyaris tidak memejamkan mata. Pertemuanku dengan Ilham siang tadi memang berhasil menyita pikiranku. Apalagi perihal percakapan kami yang berujung dengan tetesan embun yang berguguran di mataku.

Ah, bagaimana aku tak menangis terharu bila ini adalah kali pertama ada seseorang lelaki yang serius datang menawarkan cinta sejati, bukan cinta palsu seperti yang sudah-sudah. Bila sebelumnya kebanyakan lelaki datang memintaku untuk jadi ceweknya, Ilham dengan mantap memintaku untuk menjadi istrinya.

Bagaimana aku tidak "syok" menanggapi permintaannya yang mendadak itu. Aku sampai meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata, hanya air mata yang sempat ia lihat bergelinang di pipiku. Entah apa yang terbesit di pikirannya ketika melihatku justru menangis tepat setelah ia menyatakan ingin menikahiku.

Bagaimana mungkin Ilham bisa sebegitu yakin? Aku bahkan baru mengenalnya sebulan lalu. Itu pun lewat pertemuan yang tak disangka-sangka. Waktu itu Viona yang entah kesambet jin darimana tiba-tiba mendesakku untuk menemaninya ikut kajian islami di masjid kampus. Aku yang dari sononya gak doyan dengar ceramah, kajian atau apapun sejenisnya mau tidak mau terpaksa ikut setelah didesak-desak setengah mati oleh Viona.

"Tumben lo ngotot banget ngajakin aku ke masjid, Na biasanya juga lebih suka nongkrong di kantin. Ada apa?" tanyaku kala itu sambil melirik curiga.

"Gak kok, gue cuma penasaran aja"

"Penasaran? Maksud lho?"

"Jadi gini, hari ini yang ngisi kajian di masjid itu Ilham Hidayat, ketua LDK baru yang konon katanya dia cowok paling keren yang ada di kampus kita, berkharisma dan yang pasti alim. Bahkan katanya nih setiap cewek yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Yah, gue jadi penasaran dong seperti apa dirinya" Jawab Viona sambil nyengir.

"Astaghfirulloh, sadar Na... sadar... Bagas mo lo taruh dimana. Lagian lo dengar rumor kayak gitu darimana. Ada-ada saja deh" tanggapku sewot

"Aduuuhhh.... Aya justru lo yang kudet banget. Nama Ilham Hidayat itu udah terkenal di seantero kampus. Sejak dia menduduki jabatan sebagai ketua LDK tuh cowok langsung lho jadi sorotan publik. Dimana-mana anak-anak pada ceritain doi, masa' lo gak tau"

"Beneran, aku emang gak tahu kok, gak pernah dengar juga tuh namanya. Duh... Vion jadi ceritanya lo ngajakin aku ke masjid cuma buat nemanin kamu liatin itu cowok bukan mau dengar ceramahnya, gitu" ucapku menyimpulkan dengan ketus.

"Hehehe.... iya" nyengir Viona semakin lebar .

Sesampai di masjid Viona malah uring-uringan mau ke kantin. Gak betah katanya. Ya jelas gak betah, wong niatnya dari awal sudah salah. Ternyata di masjid itu tempat duduk perempuan dan laki-laki tidak hanya dipisah tapi dibatasi oleh hijab otomatis si Ilham lelaki yang menjadi alasan kedatangan Viona ke masjid tidak terlihat, cuma suaranya yang terdengar jelas.

Mulanya aku duduk tenang tanpa mempedulikan Viona di sampingku yang sudah memasang wajah manyun. Sengaja sih, siapa suruh dia yang ngajakin aku datang dia juga yang minta pulang. Saat itu aku masih gak fokus, melihat ekspresi Viona dengan wajah tertekuk membuatku ingin tertawa terbahak-bahak tapi sekuat tenaga kutahan. Menurutku itu sangat lucu, dan... dan menit berikutnya aku mulai terpaku. Suara bariton di balik hijab seketika menghipnotisku, aku seperti orang yang terkena sihir, tidak mampu bangkit bahkan bergerak sedikit pun untuk beberapa saat.

Suara itu... aku amat mengenalinya. Pikiranku melayang pada cowok berusia belasan tahun yang pernah melingkarkan cincin daun di tanganku. Cowok yang pernah mengukir pelangi di hatiku, cowok yang pernah menautkan janji bahwa kami akan saling mencintai sampai kapanpun, sampai maut memisahkan, selamanya sampai akhirnya takdir ternyata berkata lain.

"Ilo'.....?" Perlahan aku melafalkan nama itu, lantas ada kekuatan besar yang mendorongku bangkit, dan tanpa pikir panjang aku langsung maju menyingkap hijab yang membatasi antara laki-laki dan perempuan. Kenekatanku saat itu tentu saja mengundang perhatian banyak orang, semua mata peserta yang hadir dalam kajian tersebut tiba-tiba tertuju padaku, sebaliknya tatapanku justru menjurus ke depan. Mataku tak sengaja beradu pandang dengan satu-satunya lelaki yang berdiri di depan sana, lelaki yang baru saja menghentikan pembicaraannya karena ulahku.

"Aya... apa yang lo lakukan?" Tiba-tiba Viona menghampiriku lalu segera menarikku keluar sambil menunduk menyatakan permintaan maaf kepada semua hadirin.

Pikiranku mendadak kosong. Bahkan saat Aya menarikku keluar, ia seperti menarik mayat hidup.
Aku tidak bergeming. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.

"Ilo' Na, Ilo' hidup kembali" ucapku dengan mata berkaca-kaca saat kami sudah berada di ujung teras mesjid.

"Gila lo Ya, mana mungkin orang yang sudah di kubur di tanah bisa bangkit, itu cuma ilusi lo, Ilo' sudah lama pergi dan lo gak bisa terus-terusan kayak gini Aya"

"Tapi Na lo lihat sendiri kan, suara itu suaranya Ilo' dan mata yang baru kutatap tadi itu matanya Ilo'. Itu benar-benar Ilo', Na. Ilo', pangeranku" tangisku seketika pecah namun segera dibungkam Viona dengan memelukku erat.

"Sudahlah, Aya. Gue juga udah lihat dengan mata kepala kok, beneran deh itu bukan Ilo', kalau lo masih gak percaya kita tunggu sampai acaranya selesai baru kita samperin cowok yang lo anggap Ilo' itu."

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi ketika aku tersadar dari lamunan panjangku, dengan mata yang sudah berwatt-watt, tak bisa lagi menahan kantuk. Aku akhirnya jatuh memeluk guling lalu tidak lama kemudian aku terseret dalam sebuah terowongan yang seketika mendaratkanku pada sebuah taman bunga nan indah. Di sana aku bertemu pangeran.

###

Mimpi yang aneh. Aku melihat seorang lelaki berdiri membelakangiku. Bisa kupastikan ia adalah lelaki yang kurindui selama ini. Sudah enam tahun kami berpisah dan sudah banyak rindu yang kutumpuk-tumpuk untuknya.

Ilo'.... Ilo'.....

Aku memanggil nama itu berulang-ulang, tetapi yang dipanggil malah cuek. Ia bahkan tidak berbalik. Apa mungkin Ilo' sudah melupakanku? Ah tidak mungkin. Segera kutepis lalu berlari kecil menghampirinya.

"Ilo' kemana saja kau selama ini, kau tahu aku begitu merindukanmu" Lirihku tepat di belakangnya sambil tertunduk malu.

Lelaki yang membelakangiku itu perlahan berbalik. Sementara aku yang masih tertunduk malu-malu begitu terkejut saat mengangkat kepala.

"ILHAM"

###

Benar kata Viona, Ilham Hidayat bukan Ilo'. Suara mereka boleh persis tiada duanya, begitupun dengan sorotan matanya tapi Ilham tidak punya tahi lalat di keningnya, dia tidak punya lesung di pipinya dan bekas luka di punggung tangan. Sekilas memang ada kemiripan, tapi yang jelas mereka adalah dua orang yang berbeda.

"Ilo' adalah masa lalumu, dan Ilham boleh jadi akan menjadi masa depanmu" seloroh Viona setelah pertemuan pertama kami dengan Ilham yang ketika itu terbilang nekat.

Yup, kenekatan kedua yang kulakukan bersama Viona. Menunggu sang ketua LDK itu di teras mesjid, mencegatnya beberapa saat lalu pasang gaya sok kenal sok akrab dengan alasan minta maaf atas kejadian norak yang kulakukan saat lelaki keren itu sedang membawakan materi.

Hari-hari selanjutnya, justru aku yang kesambet jin baik entah darimana. Kerajinan masuk mesjid dan tak pernah ketinggalan satu pun kajian yang dibawakan oleh Ilham. Sejak saat itu juga, aku coba-coba pake kerudung ke kampus, abis gak enak tiap kali masuk mesjid cuma aku yang rambutnya ditrondolin walau masih bongkar pasang sih, shalat juga yang dulunya tertinggal lima waktu mulai kukerjakan pelan-pelan walau masih sering bolong-bolong. Setidaknya pertemuanku dengan Ilham sedikit telah membawa perubahan pada diriku, yang tadinya masa bodoh dengan agama sekarang lebih respek.

Menurut Viona aku jadi berubah kayak gini karena Ilham, yah dia pikirnya aku ada rasa atau karena Ilham ada miripnya dengan Ilo' makanya ia tidak akan heran bila aku jatuh hati pada si aktivis dakwah itu. Padahal kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Awalnya memang setelah pertemuan itu aku penasaran dengan si Ilham, dan aku pikir satu-satunya cara untuk bisa bertemu doi yaitu dengan mengikuti setiap kajian rutinnya di mesjid kampus. Walaupun pada akhirnya aku cuma bisa dengerin suaranya dari balik hijab. Tapi dari situ, dari mendengar materi-materi yang ia sampaikan aku jadi tertarik. Pembawaannya tenang, apa yang ia sampaikan juga menyentuh apalagi jika ia sudah mengangkat suatu problema sosial kemudian mengaitkan dengan hukum Allah, lalu ujung-ujungnya ia selalu menutup materinya dengan sebuah tanda tanya yang membuat setiap orang yang mendengar penyampaiannya dijamin tidak akan bosan.

Benar-benar lelaki luar biasa. Secara tidak langsung kuakui aku mengaguminya tapi bukan berarti rasa kagum ini pertanda suka. Lagian mana mungkin lelaki sealim dan semulia Ilham bisa jatuh hati pada cewek yang jauh dari agama sepertiku. Mustahil. Aku tak berani berkhayal terlalu jauh. Aku takut terjatuh. Terlebih setelah pertemuan pertama di depan teras mesjid itu, aku tak pernah lagi bertemu Ilham secara langsung. Sekedar berpapasan pun tidak. Hampir sebulan ini tidak ada komunikasi yang terjalin antara aku dan dia, jadi kalau Viona mengira aku berubah karena Ilham, tentu dia keliru. Aku merasa tergerak sendiri dan kurasa memang sudah sepatutnya sebagai orang yang mengaku beragama islam untuk tidak sekedar mengenali islam dari luar-luarnya saja, yang di dalam pun harus diselami.

Kata Ilham, menuntut ilmu agama itu fardhu' ain yang artinya wajib dikerjakan bagi setiap orang sama halnya seperti kewajiban shalat lima waktu dan mengenakan jilbab bagi wanita muslim. Dan yang namanya wajib itu kudu dan harus, bila dikerjakan imbalannya pahala tapi bila ditinggalkan dapat dosa. Jadi terserah dari kitanya, mau dapat pahala atau dosa? Keduanya adalah pilihan. Surga dan neraka pun merupakan pilihan. Kitalah yang akan memilih mau masuk surga atau masuk neraka? Kalau pilih neraka yah gampang aja silahkan tinggalkan yang wajib-wajib dan kerjakan yang haram-haram sebaliknya kalau mau masuk surga juga sebenarnya lebih simple lagi, kerjakan segala yang wajib maupun sunnah dan tinggalkan yang haram-haram. Tidak rumit kan. Pilihan itu tergantung di tangan kita.

Ah, Ilham bahkan setiap kebaikan yang terucap dari mulutnya mampu kucatat baik-baik dalam hati. Aku pun bertekad bukan sekedar mencatat tapi harus juga mengilmuinya.

"Mengilmui itu ketika ilmu (kebaikan) telah sampai padamu, maka sudah menjadi kewajibanmu mengerjakannya"

Duh, betapa banyak ilmu yang telah disampaikan Ilham padaku, yang telah kucatat baik-baik namun masih terasa berat kukerjakan. Termasuk masalah menutup aurat. Niatku memang sudah ada, tekadku sudah bulat tapi aku belum memulainya.

"Tidak usah terburu-buru, segalanya butuh proses. Hasil terbaik itu tidak pernah didapatkan secara instan tapi melalui proses. Maka berproseslah" Aku lalu terngiang dengan pernyataan Ilham yang satu ini, yang semakin memantapkan hatiku ingin berhijrah, menjadi pribadi yang lebih baik.

###

"Bagaimana mengenai tawaranku kemarin?

Sebuah suara tiba-tiba muncul dari arah samping ketika aku tengah asyik mengingat-ingat materi yang disampaikan Ilham sewaktu membawakan materi siang tadi. Sore ini aku memang sengaja duduk sendirian di bangku taman yang terletak di belakang kampus dan membiarkan Viona pulang lebih dulu bersama Bagas. Tanpa perjanjian apapun, aku menunggu lelaki yang sudah kutinggalkan begitu saja kemarin, dan ternyata benar. Ia benar-benar datang.

Sebuah suara yang tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemiliknya. Lelaki itu kini mengambil tempat di ujung bangku panjang yang juga kududuki dengan menyisakan dua tempat kosong di tengah. Sama seperti kemarin, aku tahu dia tak mungkin datang sendiri menghampiriku. Ada teman yang ia ajak namun mungkin sengaja disuruhnya mengawasi dari jarak jauh.

"Kenapa aku?" Tanyaku datar dengan pandangan lurus.

"Karena kau adalah jawaban dari istikharahku"

"What?"

"Aku sedang mencari pendamping hidup dan kau adalah perempuan pertama yang bersitatap denganku semenjak aku berhijrah"

"Apa hubungannya?"

"Apa kau masih ingat dengan kejadian ketika aku sedang membawakan materi lalu kau tiba-tiba membuka hijab?" Tanya Ilham mengingatkanku tentang kejadian yang sebenarnya amat memalukan. Wajahku mendadak merah. Aku tiba-tiba grogi dan sengaja memainkan jemariku.

"Malam sebelum kejadian itu, aku shalat istikharah dan ketika terlelap aku melihat sepasang mata. Aku juga sangat terkejut keesokkan harinya menyadari bahwa sepasang mata itu adalah matamu" lanjutnya

"Aku masih belum mengerti, apa hubungannya ketika kau bilang aku adalah perempuan pertama yang bersitatap denganmu dengan sepasang mata yang kau sadari adalah mataku?"

"Tak perlu dimengerti cukup kau tahu bahwa kemungkinan kita akan berjodoh bila kau mau menerimaku"

"Aneh dan ini kelihatan sangat konyol. Pertama aku sempat mengira bahwa kau adalah lelaki yang pernah hadir di masa laluku, kedua kita bahkan baru sekali bertemu sebulan yang lalu dan setelahnya tidak ada interaksi apapun ketiga kau tiba-tiba datang dan dengan mudahnya menyatakan ingin bersamaku sementara kau sendiri sadar bahwa diantara kita terbentang jarak"

"Menurutku ini bukanlah hal aneh dan sama sekali tidak konyol. Mungkin ini yang dikatakan takdir. Setelah kejadian itu aku tidak pernah alpa beristikharah tiap malam dan jawaban yang kutemukan selalu sama. Sepasang matamu, Cahaya"

"Cahaya? Bagaimana kau tahu nama itu?" Aku memicingkan mata penuh keheranan. Selain Viona tak ada yang tahu nama itu. Sahabatku sejak SMP itu bahkan sudah berjanji tidak akan menyebut-nyebut nama Cahaya dan aku percaya dia tidak mungkin membocorkan nama rahasia yang sengaja kukubur dalam-dalam setelah kepergian Ilo' tapi lelaki di sampingku ini, bagaimana mungkin? Refleks aku menoleh, menatap lekat-lekat wajah Ilham yang tersenyum tanpa membalas tatapanku.

"ILO?"

"YA" jawab lelaki itu tampak keheranan, ia berbalik menatapku namun hanya sekejap lalu menundukkan kembali pandangannya. "Jangan menatapku seperti itu" katanya

"Benar, namamu Ilo" selidikku tak kalah herannya.

"Iya, itu memang nama panggilanku sebelum hijrah, bagaimana kau bisa tahu?"

"Dan bagaimana kau bisa tahu aku adalah Cahaya"

"Dari sorotan matamu" jawabnya singkat

Hahaha, aku tergelak menyadari kekonyolanku. Masih saja menganggap Ilo' masih hidup padahal jelas-jelas kusaksikan sendiri kekasihku itu meregang nyawa akibat kecelakaan maut yang dialaminya enam tahun lalu.

"Kenapa ketawa, ada yang lucu?"

"Tidak, aku hanya menertawai diriku sendiri. Aku berpikir mungkin kau adalah reinkarnasi dari lelaki yang kucintai di masa laluku"

"Siapa? ILO'?"

Aku mengangguk. "Ya, namanya juga Ilo', suaranya persis seperti suaramu, kalian juga punya sorotan mata yang sama. Tajam. Dia sudah tidak ada di dunia dan sampai saat ini aku masih saja mengira bahwa kau adalah dia, konyol kan?" Hahaha. Aku kembali tertawa tapi kali ini dengan air mata yang sempurna jatuh.

"Cahaya, apa kau percaya takdir?" Tanya Ilham namun belum sempat kujawab ia sudah melanjutkan dengan pertanyaan yang membuatku terhenyak.

"Takdir adalah sesuatu yang tidak akan bisa kita rubah. ALLAH lah yang menentukannya. Kadang Dia mempertemukan kita dengan orang yang kita yakini kelak akan berjodoh tapi justru yang terjadi malah sebaliknya. Kalau bukan Dia mengambilnya maka Dia akan menyerahkannya pada orang lain. Bukan karena Allah kejam tidak mengabulkan inginmu, tapi karena Dia amat tahu yang terbaik untuk hidupmu. Yakinlah bahwa tulang rusuk itu akan tidak kan pernah tertukar, ia pasti akan bertemu dengan pemiliknya."

"Maksudmu?"

"Cahaya. Apakah kau percaya bila kau adalah tulang rusukku yang hilang, apa kau percaya kalau aku adalah takdirmu?"

Pertanyaan itu kutanggapi hanya dengan menatap Ilham lekat tanpa suara.

"Kalau kau menerimaku maka aku adalah takdirmu dan kau adalah takdirku"

Aku terdiam agak lama mencerna perkataan Ilham barusan. Sejujurnya aku tidak punya alasan apapun menolak lelaki sepertinya karena aku yakin Ilhan mampu menjadi imam yang baik untuk keluarga kecilku kelak, tapi....

"Perempuan sepertiku apakah pantas bersanding dengan lelaki sepertimu, kau adalah lelaki yang baik, kau paham agama sementara aku, kau lihat sendiri. Aku belum berhijab, aku punya masa lalu yang suram, dan lagipula aku tidak sealim dirimu. Bukankah ada ayat dalam al-qur'an yang artinya kalau gak salah kayak gini, lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. Kau lelaki yang baik, Ilham, sementara aku mungkin bukan perempuan yang baik dan tidak pantas untukumu.

"Tidak masalah. Bagaimanapun keadaanmu sekarang dan sesuram apapun masa lalumu sama sekali tidak masalah bagiku. Yang penting kau bersedia menjadi makmumku maka insya Allah aku akan menjadi imam yang akan senantiasa membimbing dan menuntunmu beserta anak-anak kita kelak untuk istiqomah selalu di jalan-Nya".

Aku terdiam. Rintik-rintik air mata membanjiri pipiku. Aku tersedu-sedu. Ucapan Ilham barusan benar-benar membuatku terharu. Dia bisa menerimaku apa adanya dan seharusnya aku pun bisa menerimanya apa adanya.

"Dengar Cahaya, aku bukan mencari pendamping hidup yang sempurna sebab jika kesempurnaan yang kucari niscaya sampai ke ujung dunia pun aku tidak akan mendapatkannya. Justru aku mencari pendamping hidup sepertimu. Aku mencari seseorang yang punya jalan hidup sama sepertiku. Masa laluku juga pernah kelam, aku bahkan sempat tersesat berkali-kali, amat jauh dari-Nya. Tapi kelamnya masa lalu tidak semestinya menjadi penghalang untuk meraih masa depan yang indah. Insya Allah selama kesempatan itu masih ada maka masih ada pula waktu untuk berproses menjadi lebih baik. Maukah kau berproses denganku Cahaya dengan membangun rumah tangga yang diridhoiNya?"

Mendengar pertanyaan itu aku makin terisak dengan kepala yang refleks terangguk-angguk.

"Baiklah Cahaya, kuulangi sekali lagi. Kau cukup mengatakan iya atau tidak. Maukah kau menikah denganku?"

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sambil menahan isak dan menyeka air mata. Ilham kini terlihat tegang, ia menunggu jawabanku dengan pandangan lurus. Sedari tadi ia memang tak berani menatapku, hanya aku yang terlalu lancang menatapnya lekat.

"Bismillah" lirihku pelan

"Karena kau bersedia menerima aku apa adanya, maka aku tidak bisa Ilham. Aku tidak bisa untuk tidak menerimamu. Aku mau menikah denganmu, aku mau menjadi makmummu, aku mau kau menjadi ayah dari anak-anakku. Aku mau"

Perlahan kulihat air mata itu jebol di pelupuk mata lelaki yang duduk di sampingku ini.

"ALHAMDULILLAH, terima kasih ya Allah" teriaknya girang seketika menjatuhkan diri di atas rerumputan. Tiga kali ia melakukan sujud syukur sementara aku hanya bengong terpaku. Masih tak menyangka.

"Apa aku sedang bermimpi?"

"Bersiaplah Cahaya, esok aku akan segera datang menemui kedua orang tuamu"

@SDW
Share
Tweet
Pin
16 comments


"Sayang"

Aku menatap pesan yang masuk lagi di inboxku pagi ini. Masih pesan yang sama seperti pagi-pagi yang lalu dari nomor yang sama dengan orang yang sama.

Menjijikkan. Ah ya, kalimat romantis itu seharusnya membuatku tersipu bukan malah bergidik dengan perut yang mendadak mual. Jijik. Buru-buru tanganku menekan tombol option lalu delete. Dalam sekejap pesan tersebut menghilang, serupa dengan perasaanku.

***
Share
Tweet
Pin
5 comments
"Kau baik-baik saja?" Tanya itu menyembul ketika embun di mataku sudah tumpah. Seorang pria jangkung di hadapanku menatap lekat dengan mata sayu dan garis-garis di keningnya yang mencuat jelas. Dia tampak begitu cemas, tapi aku sama sekali tak peduli. Kubiarkan kakiku perlahan melangkah diiringi embun-embun yang saling berkejaran, jatuh membentuk anak sungai.
Share
Tweet
Pin
No comments
Untukmu Pelangi   
di - Rumah Barumu  

Bismillahirrahmaanirrahiim

Apa kabar pelangi terindahku? Semoga Allah senantiasa menjagamu di sana. Sudah lama sekali kau tak menyapa. Seingatku, terakhir sebulan yang lalu ketika kau datang menghampiriku di suatu malam berbintang tanpa rembulan dengan penampilan yang begitu anggun dan menawan dalam balutan jilbab putih panjang. Kau tampak cantik sekali saat itu. Aku sampai pangling melihat sahabatku yang tomboy berubah drastis. Jeans belel dan kemeja lengan pendekmu berganti dengan gamis. Rambutmu yang biasa ditrondolin telah tertutupi kerudung, tak ketinggalan kakimu pun kau alasi dengan kaos kaki. Ah, rasanya seperti mimpi saja. Seketika aku terisak dan langsung memelukmu erat. Namun belum puas kutuangkan semua rasa rindu yang lama terpendam, kau tiba-tiba sudah berada di ujung jalan dan melambaikan tangan hingga perlahan sosokmu menghilang.  
Share
Tweet
Pin
No comments


"Kau sakit" Aku tersenyum getir menanggapi ucapan itu.

"Ayo, kita pergi saja" lanjutnya meraih tanganku

"Kemana?" tanyaku heran

"Kemana saja kau mau"

Sejenak aku terdiam. Keningku mengerut. Kutatap sepasang mata elang di hadapanku. Matanya tajam dan menusuk. Si pemilik mata elang ikut menatapku lekat. Kami bersitatap cukup lama tanpa kedip hingga akhirnya ia memejamkan mata, refleks aku mengikutinya dan tetiba semua menjadi gelap.

Perlahan ada cahaya menerobos masuk ke kedalaman mataku. Aku bisa melihat cahaya itu dengan jelas. Cahayanya berwarna jingga, tapi tak seperti jingganya senja. Cahaya yang kulihat dalam keadaan mata terpejam ini jauh lebih memukau, membentuk siluet berpendar bintang. Menakjubkan.
Share
Tweet
Pin
8 comments
Dia menatapku dalam-dalam, bukan dengan rasa cinta atau sayang, tetapi dengan perasaan bersalah.

"Siapa perempuan itu?" Aku bertanya, mencoba menahan amarah dan kepedihan di dalam hatiku.

"Seseorang..... dan kau takkan mengenalnya," sahutnya tenang, seolah-olah dengan tidak mengenal perempuan itu akan mengurangi sakit yang kurasakan. Mata ini mencoba memandangnya, tetapi aku sadar yang bisa kulakukan adalah menatap lantai dan berharap air mata yang membendung tidak berjatuhan. Bisa kurasakan dia perlahan bergeser mendekat, tangannya diletakkan di bahuku untuk menenangkanku. Cepat-cepat kutepis tangannya, tidak menginginkan bujukan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

#

"Seseorang..... ?" Lirihku pelan. Mendadak aku tertawa sinis dengan tatapan yang tak kalah sinis memandang perempuan yang berdiri di depan mobil lelaki yang dua tahun sudah hidup bersamaku.

"Dia bukan siapa-siapa, kau tak perlu cemburu"
Lanjutnya seakan tahu apa yang terbesit dalam pikiranku.

"Jadi, dia alasan kau tidak pulang ke rumah. Katanya lagi dinas ke luar kota, kok malah ada di Hotel Cendana"

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Dia cuma rekan kantorku."

"Ooooh, ceritanya kau dan perempuan itu sementara dinas di hotel. Hebat. Kau pikir aku terlalu bodoh tak bisa mencium gelagat busukmu. Kau tahu beberapa hari ini aku sengaja meninggalkan putra kita dan membuntutimu. Dengan mata kepalaku sendiri, aku saksikan kalian gandengan, pelukan, bermesraan di depan umum. Apa itu namanya. Hah?" Tanyaku dengan nada yang sengaja kukeraskan. Emosiku membuncah. Hatiku sudah menangis tapi aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki yang tega mengkhianati pernikahan kami.

Sejenak tercipta hening. Lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku dan ayah dari putra kecilku yang baru menginjak enam bulan itu tak bergeming. Untuk beberapa saat ia hanya diam membisu. Mungkinkah akan timbul kesadaran di hati suamiku setelah tertangkap basah oleh istrinya sendiri.

"Baiklah, kau tak perlu menjelaskan apa-apa karena semua sudah sangat jelas. Cukup sampai di sini hubungan kita. Ceraikan aku segera" Seharusnya kalimat tersebut yang meluncur di tengah perasaanku yang kini carut marut. Ah, kalau saja aku tak melahirkan anaknya, kalau saja tak ada Alif, mungkin aku tidak akan sekuat ini.

"Pulanglah... jika kau masih sayang pada Alif, dan juga keluargamu" ucapku memecahkan keheningan dengan sebuah kalimat yang sungguh tak kusangka akan meluncur dari mulutku.

Lelakiku masih membisu. Mungkin ia sedang mencerna perkataanku barusan. Ia yang mengkhianatiku dan aku justru memberinya kesempatan untuk kembali. Kedengarannya tak adil, tapi demi Alif aku tidak boleh egois.

"Maaf" hanya satu kata yang terucap setelah sekian menit ia membisu. Aku menunggu ucapan selanjutnya namun keadaan kembali hening.

Kuberanikan diri menatapnya. Benar, tak ada lagi rasa sayang juga cinta yang berpendar dimatanya. Penyesalan pun tak kuasa mengubah perasaan lelaki yang masih sangat kucintai itu. Ia telah memilih dan rasanya tak perlu lagi ada kata-kata.

Perlahan aku melangkah, berlalu dari hadapannya diikuti bulir-bulir yang mulai berjatuhan. Aku berjalan gontai dengan gejolak perasaan yang tak kuasa kubendung lagi. Aku pergi membawa semua amarah dan rasa sakit ini.


Giveaway LovRinz

Share
Tweet
Pin
8 comments
"Cha..., gue sedih bingits"

"Lho kenapa?" Tanyaku dengan mata melotot.

"Ihikssss... gue pinjem pundak lo yaaa?" Si gadis manis yang baru tiba di kamarku itu langsung berhambur, membiarku memeluknya. Embun-embun yang sepertinya cukup lama bergelantungan dimatanya tumpah sudah. Ia terisak. Kedengarannya pedih sekali.

"Ada apa May, kok sampai nangis gini?"

"Kak Rehan... Cha. Kak Rehan"

"Kak Rehan? Kenapa dengan kak Rehan May." Mendengar nama senior kami yang paling populer di SMA Persada, aku seketika panik bukan main. Pikirku mulai menebak sebarangan.

"Kak Rehan kenapa, May. Kak Rehan sakit.)?" Ulangku dengan rasa penasaran.

"Kok kak Rehan sih. Gue yang sakit, Cha" Gadis yang kupanggil May melepaskan pelukannya. Isaknya perlahan berganti dengan sesenggukan.

"Kamu sakit? Trus apa hubungannya dengan kak Rehan?" tanyaku polos

"Kak Rehan yang nyakitin hati gue, Cha"

PLAK. Bagai ditampar, badanku mendadak lemas.

"Kak Rehan nyakitin hati lo?" Pertanyaanku kali ini terdengar amat pelan.

" Iya, Cha. Maaf gue gak cerita ke lo. Gue sudah seminggu jadian sama kak Rehan. Tapi, tadi pas kami ketemuan, gak ada angin, gak ada ujan, kak Rehan tiba-tiba mutusin gue secara sepihak. Tega banget kan. Huaaaaa "Tangis Maya kembali memecah.

Kini, sesungging senyum miris menghiasi wajahku. Aku sudah kehilangan tenaga untuk membelai Maya apalagi menghiburnya. Ah... padahal baru saja aku mau bilang.

Hapeku tiba-tiba berdering..

Sms dari kak Rehan

"Sayang, lagi ngapain? Ntar sore kita jalan yaa:)

###

Share
Tweet
Pin
9 comments
                                            Baca kisah sebelumnya Senja Berlalu dan Ini Tentang Jingga dan Senja

"Apa kau percaya perjalanan waktu mampu mengubah segalanya. Segalanya"
.
Aku pernah lebih memilih menatap sunset ketimbang menangisi kepergian papa. Namun hari ketika Gilang beranjak pergi, untuk pertama kalinya sunset kuabaikan. Keindahan surgawi yang ditawarkan oleh senja dan jingga yang bersanding sempurna tak mampu lagi menggodaku tuk sekedar tersenyum tipis. Aku memilih menatap raga Gilang dengan penuh linangan air mata hingga sosoknya lenyap dari bola mataku. Pun kini hilang dari kehidupan seorang gadis yang pernah teramat mencintai senja. Dan sejak saat itu aku, Dinda Kirana bukan lagi gadis pecinta senja. Aku ingin membeci jingga. Senja dan jingga sama saja, telah merenggut dua lelaki di hatiku. Setidaknya aku akan berpaling dari sunset sampai detik dimana Gilang berhenti menjauh dariku.

Apa itu pertanda aku lebih mencintai lelaki keduaku daripada lelaki pertamaku? sedang bukan mau lelaki pertamaku meninggalkanku, lelaki keduaku, ia yang terlalu lancang pergi tanpa kejelasan lantas membuatku tetap bertahan di sini juga tanpa kepastian.

"Mau sampai kapan Din, loe mau sembunyi terus dari senja" ujar Dea yang ikut masuk ke dalam ruangan kecil yang sengaja di tutup rapat tanpa celah sedikit pun.

"Sampai senjaku kembali" ucapku acuh

"Hahaha.. Dinda.. Dinda.. Hari gini loe masih ngarepin cowok yang udah setahun ninggalin loe, plisss deh Din, lupakan Gilang. Dia gak bakalan kembali. Gak akan Din" ketus Dea membuat wajahku seketika merah padam.

Aku tak habis pikir mengapa teman akrabku dari SMA, yang sudah aku anggap layaknya saudara sendiri, yang paling tahu tentang hubunganku dengan Gilang selalu memancing agar aku melupakan lelaki yang lima tahun telah menjalin kasih bersamaku. Bukannya mendukung, Dea malah begitu yakin kalau Gilang pergi dan tak kan kembali padaku.

Menanggapi ucapan Dea itu, aku diam berusaha meredam emosi negatifku yang spontan meluap. Aku tak suka bila Dea berusaha melenyapkan Gilang dari otak dan hatiku, sekalipun Gilang sendiri telah lenyap bagai di telan bumi. Tak ada satu pun orang terdekatnya, bahkan keluarga Gilang yang tahu keberadaan lelaki keduaku.

"Kalau saja Gilang pergi dengan alasan jelas, berpaling karena dia tidak mencintaiku lagi, atau karena ada gadis lain di luar sana yang ia cintai, aku gak bakal bertahan selama ini Dea. Hanya karena aku yakin Gilang punya alasan kuat, sampai ia tega ninggalin aku kayak gini. Hanya karena aku yakin di hatinya masih tertera namaku. Dan karena aku yakin Gilang pasti akan kembali. Pasti. Kayak Senja yang tak pernah pergi selamanya" Gumamku dalam hati dibarengi bulir-bulir air mata yang mulai berjatuhan.

Dea yang menangkap air di mataku, terpaku sejenak. Ini bukan pertama kalinya gadis manis itu melihatku menangis karena Gilang, maka detik berikutnya aku tahu apa yang hendak ia lakukan. Meminjamkan bahu dan mendekapku erat.

"Maaf Din, lagi-lagi gue selalu buat loe sedih, maaf bukan maksud gue nyuruh loe lupain Gilang, gue gak mau aja loe terus-terusan terpuruk, menanti sesuatu yang tidak pasti. Plisss Din, pikirkan diri loe. Loe masih punya masa depan walau tanpa Gilang" hibur Dea yang tangannya kini menepuk-nepuk pelan pundakku.

"Penantianku pasti, Dea. Aku yakin banget Gilang akan kembali. Sampai saat itu tiba, aku akan sabar menantinya" ucapku sesenggukan.

Dan karena alasan itu, aku selalu lari dan bersembunyi setiap menjelang senja. Setahun berlalu, aku memutuskan enggan menyapa senja dan jingga yang bersanding sempurna bila tanpa Gilang di sisiku. Dan di sini aku masih menanti Gilang agar nanti dapat kucintai senja seperti sedia kala.

***

Kata Gilang, aku adalah jingga-nya, tapi apalah artinya Jingga jika senja tak lagi bersamanya.

"Gilang kamu sebenarnya dimana? Aku merindukanmu. Sangat merindukan 

Jingga berteman sepi,
Kisah ini belum berakhir...

Share
Tweet
Pin
9 comments
            Kisah sebelumnya Senja Berlalu
Namaku Dinda Kirana. Aku seorang gadis pecinta jingga dan senja. Perpaduan antara jingga dengan senja yang bersanding sempurna, itulah yang kusebut sunset. Ya, aku sering menanti sunset. Bagiku sunset adalah tentang penantian akan keindahan yang abadi.

Papa adalah lelaki pertama yang mengenalkan aku pada anggunnya senja dan kemilaunya jingga. Hampir setiap sore beliau memboncengku dengan sepeda ontelnya menempuh jarak sejauh 500 meter dari rumah kami menuju Pantai harapan kemudian kami menanti senja bersama. Di sana lah untuk pertama kalinya ku saksikan senja dengan jingga bersanding sempurna.

Mata berbinar-binar, mulut sedikit menganga dan wajah merona, begitulah ekspresiku setiap kali menatap sunset. Selalu sama. Dari dulu hingga detik itu. Terpana dan terpesona.

Bila memandang sunset, bagaimana pun sedih merajai, aku akan tersenyum. Sungguh, pantang terlukis raut sedih apalagi tangis jika mataku memeluk senja bersama jingga-nya. Bahkan aku memilih tersenyum di saat papa menghembuskan nafas terakhir. Serangan jantung telah merenggut nyawa beliau pada sunset di bulan November, 10 tahun silam. Senja yang dengan elok memamerkan jingga-nya padaku dari balik gorden yang tersingkap di jendela rumah sakit seolah memiliki magnet yang mampu menarik hati. Aku terhipnotis.

Sementara mama tersedu-sedu di samping mayat papa, bak senja turun memanggil-manggil nama Dinda. Maka perlahan sekali aku berjalan mendekati jendela dengan ekspresi yang sudah kubilang selalu sama. Sembari menatap takjub sunset, kubiarkan telapak tangan kananku menempel lemas di kaca jendela. Aku melihat wajah papa tersenyum lebar di sana, di batas cakrawala jingga lalu raib bersama matahari yang beranjak pulang ke peraduan. Detik itu tak ada bening air mata namun mama melihatnya, melihat garis tujuh senti melengkung manis di bibir putri semata wayangnya.

Dan rupanya mama salah menafsirkan arti senyumku. Sepulang pemakaman papa, beliau begitu geram dengan emosi meluap. Di ambilnya sapu ijuk kemudian beliau hentakkan agak keras di bagian tangan, paha dan betisku. Aku mengaduh, merintih kesakitan namun mama makin gencar memukuli. Beliau memukulku dengan mata penuh linangan air. Mama bilang aku senang papa meninggal. Ah, mama kenapa beliau harus salah paham dan berpikir dangkal, mana mungkin seorang anak bahagia melihat papanya meninggal, menatap tubuh papa yang terbungkus kain kafan dan terbujur kaku saja rasa-rasanya mendatangkan sembilu teramat pedih. Pilu dan menyakitkan.

"Pukul Dinda terus ma.. Pukul saja sampai Dinda mati. Dinda gak papa kok, biar Dinda bisa nyusul papa ke surga" teriakku histeris tumpah bersama air mata. Mama seketika tergugu, sapu ijuk dalam genggamannya jatuh ke lantai lantas dengan sigap ia meraih bahuku, lalu aku terbenam dalam pelukan kasih dan kami menangis sejadi-jadinya,  demi mengais rindu pada lelaki yang telah meninggalkan kedua perempuannya.

Waktu itu aku mengerti mengapa mama marah dan mengapa beliau memukul putrinya sendiri sampai meninggalkan lebam membiru di tubuhku. Lelaki setia yang telah mendampingi mama lima belas tahun lamanya telah tiada. Dan kenyataan itu ikut menohok tajam. Mama kehilangan suami dan aku kehilangan papa jadi aku mengira rasanya mungkin sama, karena kami sama-sama kehilangan sosok lelaki tercinta dalam hidup kami.

Padahal aku masih berusia tigabelas tahun kala itu, dan aku sudah dipaksa menjadi putri yatim yang harus tegar setegar batu karang walau sebenarnya teramat rapuh. Hanya papa yang tahu mengapa aku memilih tersenyum ketika beliau melepaskan nafas terakhirnya, sebab beliau lah yang telah mengajariku agar setia menyambut senja dan jingga dengan senyum merekah.

 ***

Gilang Ramadhan, dia adalah lelaki kedua yang paling aku cintai setelah papa. Kehangatan yang dulu pernah kuhirup setiap menanti senja di tepi pantai Harapan bersama papa kutemui pada sosok Gilang. Lelaki itu selalu membuatku nyaman berada di dekatnya dan mampu membuatku jatuh cinta everytime serupa aku yang selalu terpesona pada sunset.

Kata Dea -teman akrabku di SMA- aku termasuk gadis beruntung yang bisa menarik hati lelaki seperti Gilang. Gilang yang dingin, pendiam, jutek, sering acuh tak acuh tiba-tiba menjelma menjadi Gilang yang periang, ramah, murah senyum, juga cerewet. Dan semua karena siapa?

Dea bilang karena aku. Iya, aku. Hanya karena Gilang tahu aku mencintai senja dan karena dia hobi memotret senja jadi di suatu hari dengan gagap dan gugup di bawah semburat jingga, Gilang mengungkapkan rasa bahwa dia ingin mencintai aku seperti aku yang selalu mencintai senja. Ungkapan tersebut ajaib merubah rona wajahku seketika. Aku tertunduk malu-malu. Baru kali itu ada lelaki yang berani mengungkapkan perasaannya padaku secara lisan, di moment yang romantis pula. Duh, hatiku jadi kedap-kedip karenanya.

Bukan hanya Gilang yang mencinta, diam-diam pun aku sudah menyimpan rasa sejak aku yang tengah menikmati sunset di pantai Harapan terusik dengan semilir angir yang berbisik lembut lalu meniup halus rambutku yang tergerai panjang, sontak aku menoleh dan tak sengaja menangkap kilatan kamera.

Seorang lelaki tinggi berbadan tegap dengan tali kamera melingkar di lehernya tiba-tiba menghampiriku, berulang kali ia meminta maaf karena telah mengambil gambarku tanpa ijin, aku yang dasarnya suka jail berlagak jutek dan mengumpat-umpat tak jelas. Bahkan sampai tega aku membiarkan lelaki itu menceburkan diri ke laut sebagai syarat permintaannya diterima dan dengan lugunya tanpa protes tanpa berdebat ia langsung mengiyakan. Selanjutnya kami menjadi akrab dan muncullah benih-benih yang tak kuasa kulukis dengan huruf.

Maka hari ketika akhirnya Gilang berani menyatakan rasa padaku di bibir pantai Harapan adalah hari terindah yang segera kusambut dengan anggukan malu. Senja lah yang menjadi saksi tautan hati kami yang di pertemukan oleh sebab Cinta pada hari itu.

Dan selama lima tahun menjalin kasih, kami telah terbiasa menanti senja bersama di pinggir pantai Harapan bertemankan riak ombak dan deru angin. Aku selalu merekam kuat moment-moment dimana Gilang setia menemaniku menanti sunset dan aku setia menemaninya memotret senja .

Gilang bilang kalau aku adalah modelnya maka dia adalah fotograferku. jingga dan senja sebagai latar kami. Dia menyebut dirinya senja sedangkan akulah jingganya.

 ***


Bukankah sudah ku katakan bingkai sunset adalah ketika senja bersanding sempurna dengan jingga. Meski orang bilang tak selamanya jingga menyertai senja Karena langit tak selalu cerah. Senja selalu ada, tidak demikian dengan jingga. Tapi bukankah jingga pada senja pasti ada bila matahari mengantar mereka pulang bersama? Tanpa senja dan jingga mungkinkah sunset terpotret. Aku tak bisa menyaksikan pesona sunset bila jingga dan senja tak bersanding sempurna. Sehingga menurutku jingga is nothing without senja.

 ***


"Putus? Bosan? Hah alasan macam apa itu?" teriakku kencang pada senja yang telah redup bersama perginya Gilang.

Matahari sudah cukup lama terbenam namun aku masih betah menangis seorang diri di pinggir Pantai harapan. Pikiranku terngiang dengan janji-janji Gilang.

Lima tahun kami pacaran dan semudah itukah melepaskan? Bodoh, apa dia sengaja lupa dengan janji yang telah kami ikrarkan di hati masing-masing, di hadapan senja, Gilang berjanji bahwa dia tak kan pernah memutuskan aku, di hadapan senja aku pun melafalkan janji serupa. Bahkan Gilang sudah berjanji akan melamarku akhir tahun ini. Bulshieet. Janji tinggallah janji busuk. Aku benci. Aku benci. Persetan dengan senja dan jingga. Gilang telah meninggalkan aku jadi untuk apa lagi aku mencintai senja sedang ia telah merenggut dua lelaki yang kucinta.

Maka di sini, aku masih menanti, bukan lagi tentang jingga dan senja

Serpihan kisah ini tetap berlanjut...


051113
Writing with smile

Share
Tweet
Pin
11 comments
Matahari nyaris terbenam. Menyisakan semburat jingga dengan keanggunanan nan mempesona. Bila jingga muncul maka ia tak pernah sendiri, sebab jingga selalu bersanding dengan senja. Senja yang bertabur kehangatan, senja yang menyemaikan harapan, senja yang menitipkan rindu, senja yang menebarkan kenangan, dan senja yang menjadi saksi kisah cinta anak adam.


"Putus?" satu kata itu tergantung di udara bersama deru angin yang menari kencang di bibir pantai.

Aku tersenyum sinis memandang cowok di sampingku. Cowok tanpa ekspresi dengan tatapan yang sengaja ia buang ke hamparan laut.

"Jangan bercanda say, aku gak suka lelucon seperti ini"

Hening. Masih dengan deru angin. Masih dengan riak ombak yang asyik menghantam karang. Airnya memercikkan aroma asing.
Share
Tweet
Pin
8 comments
"Haruskah berakhir?" sebuah tanya menggantung di udara. Aku hanya mengangguk mantap.

"Kalau aku tak ingin ini berakhir?"

"Nikahi aku'' jawabku spontan

Raut wajah lelaki gagah itu berubah. Ia terdiam seketika, seolah sedang mencerna kata-kataku barusan.

Aku pangling. Menyadari kelancangan mulutku. Apa? Minta dinikahi? hah yangv benar saja. Haduhh, Rara kok kamu berani ngomong kayak gitu sih, gimana kalau Ryo nanggapinnya serius? Ottoke? Ottoke? Jeritku panik dalam hati.

Share
Tweet
Pin
7 comments
11 September 2012

"Kamu yakin, Cha?" pertanyaan yang sama dengan hari kemarin muncul dari tatapan si kembar.

Lima menit semenjak pertanyaan tersebut terlontar, pikiran Icha kembali berkecamuk luar biasa. Ini sudah memasuki bulan kedua sejak terbersit niatan untuk menghentikan drama kisah cintanya.

"Cowok secakep dan sekeren Andi, mau kamu lepasin gitu aja, Cha. Udah cakep, gagah, cool, putih, tinggi, rajin shalat, gak merokok, kurang apa coba? Bukannya kamu sendiri yang pernah bilang, Andi itu cowok idealis, cowok impian kamu, bukannya kamu juga yang bilang pengen wisuda bareng Andi, masa' kamu lupa Cha?" si kembar menodong Icha dengan rentetan kalimat yang ampuh membuat matanya seketika berkaca-kaca.

"Justru karena dia cowok impianku dan karena dia terlalu idealis sampai-sampai aku harus merelakannya" ujar Icha tersedu-sedu pada si kembar yang tengah terisak pedih. Isak itu sebentar saja sebab detik berikutnya ia segera menyeka mata yang terlanjur basah kemudian berusaha memamerkan garis lengkung di bibirnya pada si kembar yang kini tersenyum.

"La Tahzan, Cha. Innallah ma'ana.:) lebih baik berpisah di awal kan, lagian perpisahan ini bukan akhir:) Semangat Cha, kamu pasti bisa" ucap si kembar kali ini menghibur Icha lewat tatapan mata mereka yang saling terpaut di cermin.

Rabbi, ijinkan kuharapkan cinta ini pada-Mu saja:)

***
Share
Tweet
Pin
No comments
10 September 2012

"Bismillah, semoga semua akan baik-baik saja hari ini" Kata Icha mantap pada si kembar yang tersenyum manis di hadapannya.

Hari ini seorang Azkiya Rischa yang akrab dipanggil Icha akan mengukir sejarah baru dalam hidupnya, setelah dua tahun berpaling, ia bertekad kembali meski harus melangkah lagi dari anak tangga pertama, meninggalkan semua atribut kefanaannya dan memilih berhijrah.

"Kamu yakin, Cha" si kembar menatapnya ragu

Icha mengangguk mantap. "Insya Allah, ini adalah pilihan terbaik, Allah pasti ridho"

"Lalu bagaimana dengan Andi?"

Gadis itu menatap lekat si kembar, ada embun muncul di matanya tepat ketika nama Andi disebut.

"Andi? entahlah?"

Ia bahkan belum pernah berjumpa dengan cowok itu sejak kembali ke Kota Daeng. Memberi kabar pun tidak. 

"Dengan penampilanmu yang seperti ini, kamu yakin akan muncul di depan matanya?"

"Entahlah?" pikiran Icha menerawang

"Aku tak peduli dengan reaksi teman-temanku, apa kata mereka nantinya, aku benar-benar tak peduli. Terserah mereka mau bilang apa? sungguh aku tak peduli. Tapi, Andi? bagaimana dengan Andi, bagaimana nanti reaksinya melihatku dengan busana berbeda, apa yang akan terbersit di pikirannya menyaksikan ceweknya kini telah berubah? Oh Tuhan, bantu aku menepis rasa ini demi dapat kugenggam cintaMu” Lirih Icha sembari memegang dada, sebening embun seketika jatuh di pelupuk mata.

***
Share
Tweet
Pin
14 comments

“Nit, kamu orangnya terlalu baik deh”

“Baik gimana maksud mbak?”

“Hanya orang baik yang bersedia jadi eyang sister tanpa bayaran”

“Ah... mbak, emang sudah kewajiban seorang anak kan?”

“Tapi dia bukan Ibu kamu Nita, Ibu kita sudah meninggal”

“Sama aja toh mbak, Ibunya Mas Gandi Ibunya aku juga”

“Mbak heran, suamimu saja gak peduli kok kamu mau sampai bersihin kotoran perempuan renta itu”



Share
Tweet
Pin
9 comments
Older Posts

About me

About Me

Hallo, perkenalkan
Nama saya Siska Dwyta
Seorang ibu rumah tangga
yang doyan ngeblog.

Ingin bekerja sama?
Contact me : dwy.siska@gmail.com

Read More About Me

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram

Labels

artikel Birth Story blogging fiksi jodoh keluarga kesehatan lomba blog media sosial menyusui Motherhood MPASI muslimah opini pernikahan personal Pregnancy reminder review tips

recent posts

Blog Archive

  • ►  2013 (54)
    • ►  March (1)
    • ►  April (2)
    • ►  May (5)
    • ►  June (4)
    • ►  July (7)
    • ►  August (4)
    • ►  September (6)
    • ►  October (5)
    • ►  November (8)
    • ►  December (12)
  • ►  2014 (76)
    • ►  January (9)
    • ►  March (2)
    • ►  April (8)
    • ►  May (8)
    • ►  June (14)
    • ►  July (11)
    • ►  August (5)
    • ►  September (1)
    • ►  October (3)
    • ►  November (8)
    • ►  December (7)
  • ►  2015 (16)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  April (5)
    • ►  May (1)
    • ►  June (2)
    • ►  July (1)
    • ►  October (1)
    • ►  December (3)
  • ►  2016 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2017 (41)
    • ►  September (4)
    • ►  October (26)
    • ►  November (7)
    • ►  December (4)
  • ►  2018 (48)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  March (1)
    • ►  May (2)
    • ►  July (2)
    • ►  September (3)
    • ►  October (2)
    • ►  November (13)
    • ►  December (22)
  • ▼  2019 (152)
    • ►  January (11)
    • ►  February (11)
    • ►  March (13)
    • ►  April (6)
    • ►  May (35)
    • ►  June (6)
    • ►  July (3)
    • ►  August (3)
    • ►  September (24)
    • ►  October (17)
    • ►  November (19)
    • ▼  December (4)
      • Arti Dibalik Nama Zhafran Assyauqi Muhammad
      • Umroh.com, Marketplace dengan Paket Umroh Termurah...
      • Ketahuilah Cara Mencegah Penyakit Jantung Koroner ...
      • Cani'ta, Madu Murni Lebah Liar dari #BarruPujanant...

Popular Posts

  • Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Fossil Gen 5 Smartwatch
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Gen 5 Fossil Smartwatch . Pekerjaan sebagai ibu rumah tan...
  • Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus . Setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing. Ujiannya...
  • Cerita MPASI Bunay 6 Bulan : Belajar Makan
    Tak terasa sudah genap sebulan Bunay makan makanan selain ASI. So, di postingan kali ini saya pengen cuap-cuap dulu mengenai MPASI Bunay ...
  • Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar   - Pekan lalu say...
  • Tentang Anging Mammiri, Komunitas Blogger Makassar yang Berembus Sejak Tahun 2006
    gambar latar : pxhere.com Bismillaahirrahmaanirrahiim "Kemana saja saya selama ini. Ngakunya Blogger Makassar kok baru gabung ...

MEMBER OF

Blogger Perempuan

Followers

Facebook Twitter Instagram
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by Siska Dwyta @copyright 2019 BeautyTemplates