Kamar Kenangan

  • Home
  • About Me
  • Disclosure
  • Sitemap
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Jujur saja, ketika melihat hasil test packku menunjukkan tanda positif, saya memang sempat kaget plus terharu. Betapa tidak? Di saat saya telah sampai pada titik itu, Allah lagi-lagi menunjukkan kuasa-Nya. Sesuatu yang sungguh di luar dugaanku kembali menghampiri.

Kali pertama adalah tentang jodoh. Tadinya saya pikir jodoh itu harus dicari, bukan dinanti. Nyatanya saya keliru. Memang benar sih, jodoh itu mustahil muncul bila kita hanya menanti dengan tinggal, duduk, diam tanpa usaha sama sekali, tapi kalau bilangnya jodoh kudu dicari, itu yang keliru. Ngapain sibuk mencari sesuatu yang tidak hilang. Toh, selama belum bertemu, jodoh kita nggak bakal kemana-mana, nggak bakal dicuri siapa-siapa. Percaya deh!

Jangankan mencari, tanpa dipinta pun yang namanya jodoh telah ditetapkan jauh sebelum kita terlahir ke dunia. Nama kita dan nama sang jodoh bahkan telah tertaut indah di lauhul mahfuz sejak limapuluh ribu tahun sebelum langit dan bumi tercipta. So, tugas kita bukan lagi mencari tapi cukup menjemput. Kalau mengutip kalimat motivasi pak Mario Teguh "Jodoh itu di tangan Tuhan. Benar. Tapi jika anda tidak meminta dan mengambil dari-Nya selamanya dia akan tetap di tangan Tuhan"

Baca juga; Menuju Halal; Ikhtiar Menjemput Jodoh

Tentang siapa, kapan, dimana, bagaimana, mengapa - apapun itu, bukankah Allah sudah mengatur semuanya. Jadi kalau kita pengen segera bertemu dengan sang jodoh, ya dijemput dong. Datang gih ke pemilik-Nya. Minta baik-baik. Pasti Allah kasih. Mana mungkin tidak. Sayangnya, kadang kita yang enggan bersyukur dengan jodoh yang Allah kasih.

Demikianlah bila fokus kita bukan menjemput melainkan sibuk mencari jodoh. Saking sibuknya mencari sampai-sampai tersesat di jodoh orang lain. Pantas saja kalau jodoh kita belum jua nampak keberadaannya, sekali pun diri telah melangitkan banyak doa dan melakukan usaha yang menggunung. Masalahnya, bagaimana doa-doa kita segera terijabah jika yang dipinta adalah nama yang bukan jodoh kita. Bagaimana pula usaha-usaha kita lekas menemui hasilnya jika yang diperjuangkan adalah jodoh orang lain. Lantas bagaimana jodoh akan datang jika kita sendiri yang menghalanginya.

Well, saya telat memahami konsep tersebut. Boleh jadi jodoh kita sampai saat ini masih belum nampak karena kita sendiri yang menghalangi kedatangannya. Barangkali salah duanya yang menjadi penghalang datangnya jodoh justru karena doa dan ikhtiar kita sendiri yang keliru. Atau karena kita yang luput akan satu hal. Bahwa menjemput jodoh dengan doa dan ikhtiar saja tidak cukup. Belakangan setelah bersanding dengan sang jodoh di pelaminan baru saya sadari kekhilafan saya itu. Ternyata doa jodoh yang saya pinta saat masih lajang memang keliru. Ikhtiar saya menggapai jodoh saat itu juga keliru. Kenapa saya bilang begitu?

Maybe you must know, Allah baru menunjukkan ini lho jodoh terbaik yang Aku persiapkan untukmu tepat ketika saya sampai di titik itu. Titik terendah dalam hidup dimana saya merasa sangat tak berdaya. Sungguh, saya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk memaksa Tuhan mengikuti pintaku. Walau betapa besar keinginan agar kiranya Allah sudi menjodohkanku dengan sosok yang kumau. Sosok yang namanya kerap kurapal dalam doa. Bahkan karena saking berharapnya agar sosok itu yang kelak menjadi jodohku di masa depan saya lancang mengklaim he is my destiny. Sampai-sampai saya pun tak sanggup membayang bila berjodoh dengan sosok selain dia.

Sayangnya, ketika doa dan ikhtiar telah saya julangkan semaksimal mungkin, jodoh yang saya mau justru makin tak terjangkau, makin mustahil untuk saya gapai. Lalu apalagi yang bisa saya lakukan?

Pasrah.

Ya, apalagi yang bisa saya lakukan selain pasrah; memasrahkan jodohku pada Allah. Tidak lagi ngotot bertahan atas satu nama. Tidak lagi keukeh mempertahankan seseorang tanpa kepastian. Kala itu saya hanya meminta diberikan jodoh yang terbaik dan lihatlah apa yang terjadi kemudian. 

Persis ketika saya hempaskan segala rasa yang membelenggu hati. Ketika saya tidak lagi menyebut sebuah nama dalam doa. Ketika saya benar-benar berhenti berharap pada makhluk-Nya. Ketika saya sungguh pasrah sepasrah-pasrahnya. Jodoh saya sekonyong-konyong muncul begitu saja. Yap, jodoh terbaik yang Allah tetapkan untukku adalah lelaki yang tidak pernah saya sangka-sangka sebelumnya bakal jadi suami dan ayah dari anak-anakku kelak.

Baca juga Menikah Karena Allah

Nah, kali kedua adalah tentang kehamilan. Tadinya saya juga nggak nyangka bakal dapat tiket H di awal bulan November tahun kemarin. Gimana mau nyangka coba. Bulan-bulan sebelumnya saya dan suami memang rajin banget promil. Malah saya yang paling excited menyambut masa subur dan tidak pernah lupa mengingatkan suami. Pokoknya menjelang hari ovulasiku dia harus pulang ke rumah, titik, nggak boleh nggak😅

Semenjak numpang tinggal seatap di pondok mertua indah, suami saya memang tidak tiap hari pulang. Biasalah masalah klasik yang kerap dihadapi pasutri. Yup, karena urusan pekerjaan saya dan suami pun terpaksa harus LDM. Syukurnya LDM kami nggak sampai berpekan-pekan atau berbulan-bulan. Cuma selang-seling hari saja. Kadang sehari pulang, sehari nggak. Sehari pulang, dua hari nggak. Dua hari pulang, dua hari nggak. Demikianlah seterusnya, hehe sampai akhirnya kami berhasil pindah ke kontrakan sendiri.

Jadi di bulan November itu alhamdulillaah kami sudah tinggal seatap berdua di pondokan sendiri. Masih ngontrak sih but no problem yang penting saya dan suami tidak perlu lagi merasakan beratnya menahan rindu karena LDM. Pantesan ya langsung tinggal😂 Mungkin ada yang menduga demikian, hayoo. Sama. Saya juga kok. Tapi bukan itu yang bikin saya nggak nyangka. 

Barangkali ada banyak jawaban tersembunyi dibalik tanya yang sempat terlintas dalam hati. Mengapa Allah baru menitip amanah itu di tujuh bulan usia pernikahan kami? Apakah itu pertanda kami telah siap dan bersedia? Padahal kalau mau mengukur kesiapan dan kesediaan, sudah sedari awal nikah kami merasa siap dan bersedia. Dengan tidak menunda kehamilan, misal. Kan ada ya pasangan yang baru nikah langsung KB duluan karena merasa belum siap urus anak.

Baca juga; Reminder di Tujuh Bulan Pernikahan

Pengalamanku waktu baru nikah malah langsung dibelikan susu persiapan hamil sama suami mungkin karena suami mengira istrinya ini sudah siap kali ya urus anak😅 Yap, saya dan suami memang tidak ingin menunda kehamilan. Kalau langsung dikasih ya alhamdulillaah, kalau belum ya tetap alhamdulillaah. Tapi kalau saran mamaku sih sebaiknya nikmati dulu masa-masa pengantin baru. Nggak usah buru-buru pengen punya anak. 

Okelah, sebulan dua bulan kami masih enjoy menikmati indahnya masa pengantin baru. Tiga bulan mulai kepincut lihat teman-teman seangkatan nikah pun yang baru-baru nikah pada berhasil melambung kami dengan kabar baiknya masing-masing. Tiba di bulan keempat, saya langsung berinisiatif ngajak suami promil. Apalagi setelah dapat saran dari Ana. "Coba ukh, konsumsi ki *v*r E. Saya dari sebelum nikah udah konsumsi suplemen itu. Alhamdulillaah, setelah nikah langsung tinggal" Saran yang bikin saya sungguh merasa ketinggalan jauh. See! Ana sebelum nikah sudah mempersiapkan dirinya untuk menjadi calon ibu, sementara saya? Boro-boro konsumsi, suplemen yang dimaksud saja i don't know, bentuknya seperti apa, belinya dimana, harganya berapa, saya beneran buta. Jleb banget kan😅

Oh ya, Ana itu teman kuliahku. Kami sejurusan tapi beda kelas makanya nggak terlalu akrab semasa kuliah dulu. Baru akrabnya pas saya mau nikah. Lho kok? Ya iya, soalnya dia makcomblang perantaraku waktu berproses ta'aruf dengan lelaki yang ternyata juga merupakan teman kuliah suaminya.  Dan karena dia yang duluan nikah, duluan hamil, duluan pula dianugerahi anak jadi deh saya suka nanya-nanya ke dia, hehe. Rumah Sakit tempat saya melahirkan kemarin juga recommended dari dia lho😊

Atas saran dari Ana, saya dan suami akhirnya berkunjung ke salah satu apotik yang ada di kota tempat tinggal kami hanya untuk mencari suplemen yang dimaksud. Tapi sesampai di apotik yang kami kunjungi, suplemen yang dicari lagi kosong. Alhasil, kami ditawarkan suplemen lain yang kata si mbak penjaga apotik tak kalah mujarab, malah khasiatnya lebih bagus daripada *v*r E. Mbaknya sampai nyebutin beberapa pelanggan yang konon berhasil hamil setelah mengonsumsi suplemen tersebut. Oke, kami tergoda membelinya. Padahal niat awal kami ke apotik itu sebatas membeli suplemen yang Ana sarankan. Eh, pulang-pulang kami malah mengantongi suplemen lain plus madu kesuburan untuk suami.

Singkat cerita, madu kesuburan habis diminum suami dalam waktu kurang lebih sebulan. Suplemen yang saya minum juga seharusnya habis dalam waktu tiga puluh hari tapi baru sepekan konsumsi suplemen yang satu kapsulnya berukuran jumbo itu saya jadi keseringan banget buang air kecil. Masa' semenjak mulai minum suplemen tersebut dalam sehari bisa lebih dari sepuluh kali saya bolak balik kamar mandi. Well, karena merasa aneh dengan efek mengonsumsi suplemen yang kami beli tanpa resep dokter itu saya sampai konsul via WA dengan mbakku yang apoteker.

Baca juga ; Tetiba Rindu Mbakku Edelweis

"Ika kan masih muda. Usia pernikahannya juga masih dini. Jadi kalau mau promil sebaiknya ikhtiar yang alami dulu. Gak perlu cepat-cepat konsumsi suplemen, apalagi tanpa pengawasan dokter. Mending yang dikonsumsi makanan-makanan bernutrisi tinggi yang dapat meningkatkan kesuburan. Banyakin makan sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, buah-buahan. Lakukan olahraga rutin tiap pekan. Olahraga yang ringan-ringan aja, kayak jalan kaki atau jogging bareng suami setiap ahad pagi. Dan yang penting jangan stres yah. Gak usah terlalu mikir promilnya berhasil atau nggak. Pokoknya dibawa happy aja. Oke " kurang lebih seperti itu saran mbak Edelweis yang begitu mencerahkan.

Saya akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti mengonsumsi suplemen yang masih tersisa banyak itu dan mantap mengikuti saran mbak Edelweis. Sebenarnya sayang juga sih sudah beli suplemen mahal-mahal tapi nggak dihabisin, tapi yah mau gimana lagi. Toh, saya memang tidak cocok konsumsi suplemen tersebut. Kalau cocok mah pasti saya nggak bakal over buang air kecil.

Di bulan kelima saya dan suami mulai menjalankan promil alami sesuai saran mbak Edelweis dengan penuh semangat. Saking semangatnya waktu itu saya sampai bikin list promil dengan harapan mudah-mudahan dapat tiket H di bulan keenam pernikahan kami.



Selain saran dari mbak Edelweis, saya sengaja menambah banyak poin ibadah dalam list promil kami. Setidaknya karena saya paham bahwa promil yang kami jalani bukan hanya tentang hubungan saya dan suami melainkan juga tentang hubungan kami dengan Allah. So i think, bukan cuma asupan nutrisi makanan yang perlu dipenuhi, bukan cuma olahraga yang perlu dirutinkan, bukan cuma pikiran yang perlu disegarkan, hubungan dengan Allah pun sangat perlu dieratkan. Sebab ending dari promil yang kami jalankan adalah mendapat kepercayaan dari-Nya. Dan untuk mendapat kepercayaan itu tentu kami yang harus mendekat kan, bukan malah semakin menjauh dari-Nya.

Di bulan keenam tamu bulananku ternyata masih datang it means Allah masih ingin melihat ikhtiar kami. Lagipula sekali pun sudah menyusun list promil se-perfecto mungkin, ikhtiar kami tetap saja belum maksimal. Nyatanya memang masih banyak poin yang belum berhasil kami penuhi secara konsisten. Tak apalah. Masih ada bulan-bulan berikutnya. In syaa Allah. Satu hal yang pasti. Saya dan suami tidak akan berputus asa :)

Nah, di bulan ke tujuh pernikahan kami, si M lagi-lagi datang, menghempaskan segenap pengharapanku. Setelahnya saya seakan terperosok jatuh ke titik terendah dalam hidup. Merasa kembali tak berdaya. Sungguh, saya tak memiliki kekuatan apa-apa untuk memaksa Tuhan mengikuti inginku. Walau betapa besar diri ini mendamba agar kiranya Allah pun sudi memberi amanah itu kepada kami. Apalagi inginku kali itu menyangkut anak bukan jodoh. Kalau jodoh mah tanpa dipaksa pun Allah bakal kasih karena memang itu hak kita. Tapi kalau anak, kita sama sekali nggak bisa maksa karena itu adalah hak Allah bukan haknya kita.

Baca juga ; Ujian Penantian; Buah Hati

Ya, di bulan November itu saya kembali pasrah persis seperti saat saya memasrahkan jodohku pada-Nya lalu sekonyong-konyong jodoh yang telah Dia siapkan untukku muncul begitu saja. Jadi di bulan itu, entah kenapa saya dan suami tidak lagi riuh membahas promil kami seperti bulan-bulan sebelumnya. Yang ada tiba-tiba saja kami malah serius membahas 'masalah' yang mungkin terjadi di antara kami. Lalu kami mulai menebak-nebak, bagaimana jika masalah itu ada pada dia atau bagaimana jika masalah itu justru ada pada saya?

Aih, sejujurnya saya enggan bahas masalah demikian. Terlalu menggelikan saja menurut saya. Ayolah, menikah bukan hanya tentang memperoleh keturunan, kan? Tapi kalau masalahnya memang ada pada suami, saya akan memilih setia. Serius deh! Sebaliknya jika masalahnya ada pada saya? Hmm, saya berharap dia pun akan setia tapi di sisi lain saya kok jadi nggak tega ya. Dia kan masih dibolehkan nikah lagi dua, tiga, sampai empat kali #eh

Kita Adopsi anak saja atau program bayi tabung. Bagaimana? Saya tertawa sambil menggeleng kepala menanggapi tawaran suami yang mencoba mencari alternatif lain setelah menemukan jawaban pengandaian kami sama-sama pelik.

Tidak dua-duanya deh.

Kenapa?

Mengadopsi tidak akan mengubah anak itu menjadi mahram kita, kan? Kalau program bayi tabung biayanya nggak murah lho. Sanggup?

Jadi?

Saya angkat bahu.

Ayo deh ke dokter kandungan. Periksa. Ajak suami tiba-tiba. Kontan saya tanggapi pula dengan kembali tertawa.

Sabar sayang. Belum juga setahun. Nanti kalau sudah lewat setahun pernikahan kita dan masih belum ada tanda-tanda saya akan hamil baru kita ke dokter. Kita menabung saja dulu karena biaya ke dokter juga pasti tidak murah, kan?

Dia mengangguk. Saya tersenyum.

Lepas percakapan tersebut, saya beneran merasa plong. Sampai-sampai saya dan juga suami tidak terlalu fokus mikirin promil. Apalagi akhir bulan kami sudah berencana hendak melakukan safar ke luar kota untuk menghadiri acara pernikahan teman masing-masing yang bukan kebetulan harinya bersamaan, waktunya saja yang berbeda. Karena akan melakukan perjalanan jauh, naik kendaraan roda dua pula jadi saya sempat berpikir kalau promil bulan itu pun pasti tidak efektif.

Beidewei, saya bingung juga ngejelasinnya. Entah dikatakan promil atau nggak, karena di bulan November itu saya dan suami tetap rajin konsumsi kacang ijo dan tauge. Jadi hampir tiap pagi kami sarapannya bubur kacang ijo. Siangnya makan sayur tauge atau sayur daun-daunan hijau kayak bayam dan daun kacang panjang. Sedangkan malamnya kami konsumsi susu d*nc*w coklat sebelum tidur. Tiap menjelang fajar atau sebelum masuk subuh pun kami rutinkan  bangun walau hanya mendirikan dua rakaat ditambah witir plus banyak-banyak beristighfar terutama di waktu sahur.

Cuma masalahnya baru di bulan itu saya tidak peduli dengan yang namanya masa subur dan hari ovulasi. Padahal salah satu poin yang paling penting dan sangat memungkinkan keberhasilan promil adalah mengetahui masa subur dengan tepat dan benar. Untuk mengetahui mengenai masa subur dan ovulasi silakan baca penjelasannya sendiri di alodokter.

Jadi untuk dapat menghitung masa subur terlebih dahulu kita harus mengetahui siklus haid. Siklusnya teratur atau nggak? Sebab akan lebih mudah menghitung masa subur bila siklus haid kita teratur tapi kalau tidak teratur cara hitungnya beda lagi. Berhubung zaman semakin canggih muncullah applikasi-applikasi yang dapat memudahkan kita dalam menghitung masa subur. Selama ini sih saya sangat terbantu dengan adanya applikasi semacam "Kalender Saya". Cukup dengan memberi tanda awal dan akhir haid setiap bulannya maka secara otomatis baik masa subur maupun ovulasi akan muncul pada app kalender tersebut dan ditandai dengan simbol khusus.


Contohnya bisa lihat pada gambar di atas. Awal haid saya waktu bulan Oktober tahun kemarin jatuh tanggal 11 dan berakhir pada tanggal 17. Tanggal 18-23 yang disertai dengan simbol bunga pink itu merupakan masa subur, sementara tanggal 22 yang simbolnya beda sendiri menunjukkan hari ovulasi.

Baca juga Catatan di Awal Kehamilan Anak Pertama

Selain mengetahui masa subur dengan melihat kalender tersebut, saya juga biasa memperhatikan lendir serviks. Entah kenapa pula waktu bulan November itu belum masuk masa subur pada kalender tapi lendir serviksku sudah menunjukkan seolah-olah saya berada pada masa subur. Ya, saya jadi bingung dong. Kok makin ke sini rasanya saya makin kesulitan menentukan masa subur. Bahkan saya sampai merasa kesempatan agar segera dapat tiket H semakin jauh, semakin tak mampu saya jangkau. Lantas apalagi yang bisa saya lakukan?

Pasrah.

Ya, berawal dari bingung menentukan masa subur itulah yang bikin saya akhirnya tiba pada titik pasrah. Padahal doa dan ikhtiar kami belum seberapa dibanding dengan mereka yang doanya telah menahun, ikhtiarnya pun sudah tak berbilang. Namun ketika saya pasrah sepasrah-pasrahnya, lagi-lagi Allah menunjukkan kuasa-Nya. Dia memberi kejutan itu jauh lebih cepat dari yang saya sangka.

Waktu dalam keadaan pasrah itu saya sempat lho berpikir mungkin masih setahun lagi, dua tahun lagi, kapan-pun itu atau tidak sama sekali. Tak apa. Saya ikhlas. Saya rela. Terserah Allah. Maunya Allah. Saya tidak punya hak. Toh, sebagai hamba saya cuma bisa meminta dan mengusahakan, selebihnya, Allah yang punya hak.

Nah, barangkali saja selama ini doa kita memang terus mengalir, ikhtiar kita pun tak  henti-hentinya namun kita luput akan satu hal. Kita menyangka dengan doa dan ikhtiar saja sudah cukup. Lantas ketika doa yang kita panjatkan tak kunjung diijabah, ikhtiar yang kita kerahkan tak kunjung dipenuhi, serta merta kita berburuk sangka pada-Nya. Menganggap Tuhan tak adil. Kita lupa, tawakal. Lupa, pasrah. Lupa, menyerahkan keputusan yang terbaik pada-Nya.

Memang sih, ada pasangan yang tanpa banyak doa dan ikhtiar langsung dikasih sama Allah, sebaliknya ada pula yang doa dan ikhtiarnya tak lagi terhitung tapi masih saja belum diamanahi. Bukan berarti Allah tak adil. Okelah, mungkin sama seperti yang saya dan suami rasakan sedari awal nikah, merasa sudah siap dan bersedia mengemban amanah itu. Padahal yang paling tahu sejauh mana kesediaan dan kesiapan kami hanya Allah. Terlebih anak itu sepenuhnya hak Allah. Urusan siapa yang dikasih dan siapa yang duluan diamanahi ya terserah Allah. Kita nggak bisa protes dong. Kok kita yang duluan nikah, dianya yang duluan punya anak atau kok kita yang sudah bertahun-tahun berumah tangga belum dikasih momongan lha dia baru sebulan nikah saja sudah langsung hamil. Sekali lagi, karena anak merupakan hak Allah maka memintanya dengan doa dan ikhtiar saja tidak cukup, kan?

Boleh jadi lho Allah sebenarnya sudah menyiapkan kejutan itu untuk kita, Dia hanya menunggu kita untuk pasrah. Tentu, pasrah tak sama dengan berputus asa. Orang yang berputus asa adalah orang yang melupakan Tuhan-Nya. Merasa tidak mampu, tidak kuat, tidak sanggup padahal dia punya Tuhan yang Maha Kuasa. Sedangkan orang yang pasrah adalah orang yang menyadari benar kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Tuhan yang memberinya kekuatan, kemampuan dan kesanggupan itu. Ketika segalanya telah ia kerahkan, didapatilah dirinya ternyata begitu kerdil, begitu hina, begitu tak berdaya.

Laa hawla walaa quwwata illaa billaah.

So, bagi calon ibu yang masih menjalankan promil, tetap semangat ya! Jangan lupa jadikan pasrah di ujung doa dan ikhtiar kita. Doaku, semoga Allah pun segera memperkenankan pinta kalian. In syaa Allaah.

Sekian dulu postingan saya kali ini yang pengen tanggapi tulisan saya ini silakan tinggalkan jejak di kolom komentar😊


Share
Tweet
Pin
21 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Ketika masih lajang saya punya satu keinginan besar yang saya ingin Allah segera perkenankan. Menikah pasca kuliah. Paling tidak di umur duapuluhtiga, sebab di umur duapuluhdua saya baru menanggalkan status sebagai mahasiswi, sementara proses menuju pernikahan tentu butuh waktu yang tidak sebentar, lagipula saat itu saya masih belum punya calon. Ya, minimal setahunlah untuk mempersiapkan segalanya.

Setahun kemudian berlalu, sahabat-sahabat di sekeliling saya udah pada nikah, udah ketemu jodohnya masing-masing. Malah yang lulus kuliahnya baru beberapa bulan setelah saya dengan gesit berhasil melambung kiri. Bersanding di pelaminan dengan jodohnya lebih dulu. Ah, padahal saya kan yang duluan wisuda, kenapa dia yang duluan nikah. Begitu celetuk saya dalam hati.

I know, jodoh bukan perkara siapa yang duluan dia yang dapat. Jodoh adalah perkara waktu. Seperti saya pernah menuliskannya di kamar kenangan ini bahwa Takdir Tuhan Pasti Datang di Waktu yang Tepat. Entah kapan waktu yang tepat itu? wallaahu a'lam.

Duapuluhtiga berlalu, sahabat saya yang menikah di umur yang saya targetkan atau di tahun yang saya rencanakan jumlahnya bertambah sedang saya masih sendiri. Masih belum punya calon. Masih belum ada tanda-tanda bakal segera nikah. Tapi saya tetap yakin, Allah pasti ulurkan jodoh yang tepat bagi saya di waktu yang tepat. Kalau di umur duapuluh tiga saya belum juga nikah ya berarti memang itu bukan waktu yang tepat bagi saya atau kalau pun saya ngotot menikah di umur segitu barangkali ketemunya jodoh yang nggak tepat. Bisa saja seperti itu.

Dan ternyata benar. Berulang kali saya ikhtiar menjemput jodoh berulang kali pula proses ikhtiar saya itu terhenti bahkan sebelum tiba di tengah jalan. Pasti ada-ada saja halangannya. Karena inilah, itulah, entahlah. Tapi lagi-lagi saya tetap menaruh keyakinan yang tinggi. Jika proses yang saya jalani selalu gagal berarti saya memang berproses dengan orang yang tidak tepat, orang yang tidak ditakdirkan menjadi jodoh saya. Boleh jadi seperti itu. Namanya manusia kan cuma sanggup mengerahkan ikhtiar semaksimal mungkin. Allah yang menentukan. Selebihnya kita cukup bertawakal. Memasrahkan diri secara totalitas kepada kehendak-Nya.

Baca juga Menuju Halal; Ikhtiar Menjemput Jodoh

Saya sungguh telah berada di titik pasrah ketika Allah sekonyong-konyong menghadirkan lelaki yang mengutarakan niat baiknya lewat perantara teman kuliahnya yang kemudian disampaikan ke saya lewat istrinya yang ternyata adalah teman saya semasa kuliah. Maa syaa Allah. Begitu dekat lingkaran jodoh itu. Mana saya sangka bila jodoh saya kelak adalah seorang yang pernah saya temui hanya sekali saat menghadiri meet up komunitas tiga tahun silam di Kota Daeng. Tiga tahun kemudian kami bertemu untuk kedua kalinya dalam sebuah pertemuan keluarga yang berlangsung hanya sebentar di rumah saya di Bumi Cendrawasih. Lantas keesokkan harinya, setelah berhasil mengikrarkan perjanjian suci yang kuat (mitzaqon gholizoh) di depan penghulu, di hadapan kedua orang tua saya dan para saksi serta dikelingi oleh banyak tetamu kami bertemu untuk ketiga kalinya. Dan sejak detik itu, sejak kami SAH menyandang status sebagai pasangan suami istri, hari-hari yang kami lewati adalah tentang pertemuan.

Lantas ketika Allah akhirnya memperkenankan satu keinginan besar saya itu apakah  saya telah merasa puas, merasa cukup dan tidak menginginkan apa-apa lagi?

Ah, nyatanya tidak. Lepas satu keinginan besar saya menjelma nyata muncul satu keinginan besar lainnya yang saya ingin Allah pun segera memperkenankan. Selayaknya pengantin baru yang tinggal menghitung bulan menanti kehadiran sang buah hati, saya pun mendamba Allah menitipkan 'amanah' itu dalam rahim saya. Betapa saya juga berharap menjadi calon ibu di usia pernikahan saya yang masih berbilang bulan.

Ah, padahal saya dan suami kan yang duluan nikah, tapi kenapa pasangan yang nikahnya baru bulan kemarin itu yang udah dititipkan 'amanah' duluan. Kenapa kami belum? Celetuk senada itu kembali meresahkan hati. 

I know, anak bukan perkara siapa yang duluan nikah dia yang duluan hamil. Menanti anak juga bukan perkara pasti seperti halnya jodoh. Mendapatkan jodoh yang sesuai dengan ketetapan Allah memang sepenuhnya hak kita. Toh, Allah telah menggariskannya di lauhul mahfuz. Bahwa setiap anak adam yang terlahir ke dunia telah ditetapkan pasangan (jodohnya) masing-masing namun mendapatkan anak bukanlah hak kita. Anak sepenuhnya adalah hak Allah. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki atau menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menjadikan mandul kepada siapa yang Dia kehendaki.(Baca QS Asy-syu'ara : 49-50)

Tiga bulan, lima bulan, enam bulan berlalu. Pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan pertanyaan kapan nikah mulai datang silih berganti.  Udah isi belum? Gimana, udah ada kabar baik? Udah berapa bulan mbak? dan bla bla bla. Saya cuma bisa nyengir menanggapi lalu minta untuk didoakan. 

Sementara pasangan-pasangan lain di sekeliling kami yang nikahnya sepekan dua pekan atau yang selang sebulan, dua bulan setelah pernikahan saya dan suami, satu per satu telah muncul dengan update kabar terbaru di medsos. Ada yang mengunggah hasil tespacknya dengan garis dua merah yang terlihat jelas, ada yang mengupload gambar hasil USG janin dalam kandungannya, ada yang sekadar pasang status dengan hastag sekian weeks, dan lain sebagainya dan ah entah kenapa mengetahui kabar bahagia mereka bukannya bikin hati saya turut merasa bahagia namun malah menjelma duka di hati. Seharusnya saya turut memberi selamat bukan dengan menatap perih kebahagiaan mereka dari balik layar.

Kalau sudah demikian, saya berusaha kembali mengingat masa-masa ketika keinginan saya untuk segera menikah lepas wisuda belum terwujud atau melihat teman-teman seangkatan saya masih banyak yang belum menemukan jodohnya, atau menengok ke pernikahan saudari sekaligus sahabat saya yang telah berjalan setahun lebih namun belum juga dikaruniai momongan. 

Bahkan di luar sana masih banyak pasangan suami istri yang telah membina rumah tangga bertahun-tahun lamanya namun belum jua diamanahkan buah hati. Ada yang menanti sampai delapan tahun baru memiliki anak, ada yang telah memasuki usia pernikahan yang ke sepuluh tahun baru mengandung dan ada pula pasangan yang masih berharap dan menanti kehadiran sang buah hati meski usia pernikahannya telah lewat satu dekade.

Dengan begitu saya tak punya alasan untuk mengeluhkan keadaan saya yang belum ada apa-apanya dibanding mereka yang telah diuji sekian tahun lamanya. Saya tak punya alasan untuk tak bersyukur karena alhamdulillaah keinginan saya menggenapkan separuh dien sebelum menyentuh usia seperempat abad telah Allah perkenankan sementara di sekeliling saya masih banyak muslimah yang mulai resah dengan umur yang kian menua sementara jodoh untuknya belum jua diulurkan. 

Saya pun tak punya alasan untuk tak bersabar karena ujian yang baru saya hadapi bersama suami saat ini telah lama dialami oleh sekian banyak pasangan di luar sana. Bayangkan mereka telah menanti memiliki momongan berbilang tahun lamanya, apalah kami ini yang pernikahannya baru "kemarin sore", genap setahun saja belum udah ikut-ikutan nelangsa.

Well, tak perlu iri dan cemburu pada pasangan yang cepat dikasih amanah sama Allah. Haknya Allah memberi "amanah" itu kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki. Kalau pun hingga di sekian bulan atau sekian tahun pernikahan, kita belum jua diberi kesempatan mengemban "amanah" itu bukan berarti Allah tak percaya pada kita.

Tetap positif thinking saja. Tetap husnudzhon pada Allah. Kalau saat ini keinginan kita belum diperkenankan, doa-doa kita belum jua dijawab, bukan berarti Allah acuh dan tak peduli. Justru karena Dia sangat peduli dan sayang dengan kita makanya keinginan kita nggak langsung dikabulkan. Dia ngasih kita ujian dulu. Biar kita bisa lebih dekat dengan-Nya. Mampu nggak bersabar? Allah kan dekat dengan orang-orang yang bersabar. Rajuk dan bujuk Dia dengan sabar dan shalat. Sabar, shalat. Sabar, shalat. Itu kuncinya. Yang penting jangan pernah putus asa deh.

Kalau kata mbak Dian Onasis dalam postingan di blognya yang berjudul Anak itu Hak Allah

"kita hanya butuh usaha bermain mata pada Allah. Memberitahu dan menunjukkan betapa kita sudah siap menjadi orang tua, mampu dititipi anak yang tidak saja jadi rejeki tapi juga ujian kehidupan".

Intinya sih jangan sampai berburuk sangka sama Allah ya.  Kalau saat ini apa yang kita mau belum dikasih, ya mungkin memang belum saatnya, belum waktunya. Tetap sabar. Tetap shalat. Tetap berbaik sangkalah selalu pada-Nya.


*selfreminder *notemyself

#ODOPOKT18

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
Share
Tweet
Pin
9 comments
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Sakit adalah ujian. Ketika menderita sakit yang menderita ujian bukan cuma kita. Keluarga yang ikut menjaga dan merawat kita pun turut diuji. Saya baru menyadari hal tersebut setelah sepekan terakhir ini harus bolak balik rumah (kos) - rumah sakit. Pekan lalu, Om (kakak dari mama saya) yang sebelumnya dirawat di RS KH Hayyung Selayar dirujuk ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Beliau menderita penyakit diabetes yang telah merambat ke organ tubuh lainnya. Akibatnya om mengalami komplikasi. Penyakitnya bertambah parah. Beliau sempat kehilangan kesadaran diri. Keluarga jadi panik. Mama bahkan sampai terbang dari Papua ke Sulawesi demi bisa berada di samping om yang kondisinya saat itu cukup kritis.

Alhamdulillaah, ketika dirujuk di RS Wahidin kondisi om mulai membaik, tidak lagi kritis meski sampai saat ini beliau masih terbaring lemah di pembaringan dengan tangan yang dibaluti selang infus. Masih harus dirawat di rumah sakit entah sampai kapan. Belum ada kejelasan dari dokter yang menangani. 

Ini sudah sepekan berlalu namun hasil pemeriksaan om belum juga keluar. Keluarga jadi bingung dan mulai mengeluh. Pasalnya pelayanan di rumah sakit ber-type A itu jauh dari harapan. Kurang maksimal. Detail-detailnya tidak perlulah saya jelaskan di postingan ini toh saya tidak bermaksud ikut protes mengenai perawatnya yang kurang sigap menanggapi keluhan pasien, dokternya yang jika ditanya oleh keluarga pasien jawabannya tidak memberi kepuasan atau memberi sedikit penjelasan tapi dengan bahasa-bahasa medis yang tidak dimengerti oleh orang awam. Entahlah, saya bukan orang medis jadi tidak begitu tahu dengan prosedur-prosedur di rumah sakit yang sudah seharusnya menjadi hak setiap pasien baik pasien umum mau pun pasien yang ber-BPJS.

Kita kembali saja ke topik yang hendak saya bahas. Mengenai ujian yang dialami oleh keluarga si pasien. Bukan pasiennya karena tanpa saya soroti pun ujian yang dialami oleh si penderita sakit tentu sudah jelas. Pastinya tidak enak dan sengsaranya bukan main. Ya iyalah mana ada orang sakit merasa enak dan baik-baik saja. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh keluarga pasien. Tidak enak dan merasa sengsara pula. Lho kok bisa?

Well, meski ujian yang ditimpa keluarga pasien tidak ada apa-apanya dibanding ujian yang dialami oleh anggota keluarga yang menderita sakit bukan berarti mereka baik-baik saja. Pikiran mereka disesaki oleh macam-macam kekhawatiran. Hati mereka dipenuhi oleh segenap harapan. Waktu mereka tersita banyak karena harus tetap stand bye berada di sisi pasien nyaris duapuluhempat jam tiap harinya. Bila sebulan keluarganya di rawat di RS selama sebulan pula mereka akan setia bergantian berjaga di RS, tidak mungkin meninggalkan pasien seorang diri. Makan dan tidur mereka pun ikut-ikutan tak teratur. Ya, siapa yang bisa makan dengan lahap dan tidur dengan nyenyak di rumah sakit yang kondisinya tak begitu kondusif.

Setibanya om di Rumah sakit Wahidin, beliau dirawat di ruang IGD selama dua malam. Waktu itu semua kamar pasien full sehingga selama dua malam itu keluarga yang menjaga om terpaksa harus tidur ramai-ramai bersama keluarga pasien lainnya yang kebanyakan berasal dari daerah di luar ruangan. Tepatnya di sepanjang koridor IGD yang biasa dilewati orang berlalu-lalang. Tampak bagai pengungsi. Aih, dalam kondisi demikian keluarga pasien mana sempat memikirkan mana tempat yang kondusif dan mana yang tidak. Semua tempat seolah menjadi layak begitu saja untuk ditiduri, yang penting bisa untuk merebahkan badan. Cukup dialasi tikar. Beres.

Setelah mendapat kamar pun kondisinya tidak berbeda jauh. Tapi setidaknya masih mendinglah daripada tidak dapat kamar sama sekali meski hanya dua orang yang bisa tidur beralaskan tikar di sisi tempat pembaringan om. Itu pun tidurnya harus berdesakan karena sempit. Selebihnya terpaksa tidur di teras luar kamar yang dikhususkan untuk keluarga pasien.

Ujian yang dialami oleh keluarga pasien bukan hanya masalah tempat yang tidak kondusif, makan yang tidak enak, tidur pun ikut tak enak. Ada ujian lain yang lebih dashyat dan ujian itulah yang saya maksud di sini. Kesabaran. Iya, kalau ada keluarga kita yang sakit yang diuji sabar bukan cuma yang tertimpa penyakit. Kita pun turut diuji oleh Allah dengan ujian yang bernama kesabaran

Ah, ini bukan tentang saya. Ini tentang tante saya yang begitu telaten dan setia menemani suaminya di rumah sakit. Berjaga dari pagi hingga malam dari hari ke hari selama hampir sebulan ini. Hanya tante yang tidak pernah pergi jauh dari sisi om. Mulai dari rumah sakit tempat om di rawat di Selayar hingga dirujuk di rumah sakit di Makassar. I know, tante sudah merasa lelah dan jenuh berada di rumah sakit, tapi demi kesembuhan suaminya dia harus bertahan. Berusaha membujuk dirinya agar tetap strong meski tak pernah berhasil menahan air di matanya jatuh menderas setiap kali mendapati om merintih kesakitan.

Ini juga tentang seorang ibu tua yang setia menemani lelaki tua berusia enampuluh tahun yang pembaringannya persis di depan pembaringan om. Yang hidungnya terpasang oksigen dan tangannya terbalut infus. Yang tubuhnya sisa tulang terbungkus kulit. Kaku dan tak bisa bergerak. Ibu itu sungguh tak putus harapan. Meski anak-anaknya telah pasrah lebih dulu. Dengan penyakit tua yang menggerogoti tubuh sang suami, anak-anaknya menolak ayahnya dirawat di rumah sakit. Mungkin dianggap sia-sia. Percuma. Ayah mereka tidak akan kembali sehat seperti sedia kala. Cukup dirawat di rumah saja. Namun si ibu tetap ngotot. Membawa suaminya ke rumah sakit meski anak-anak yang tinggal berdekatan dengannya tak ada yang setuju. Dari ketujuh anaknya, selain anak yang pergi merantau hanya satu yang menunjukkan kepedulian, mau menemani ibunya di rumah sakit.

Selama mengunjungi om di rumah sakit saya memang tak pernah melihat si ibu ditemani oleh anak-anaknya, kecuali salah seorang anak lelakinya, pemuda yang umurnya kira-kira telah menginjak kepala tiga dan belakangan baru saya tahu ternyata pemuda itu juga mengidap penyakit ginjal yang mengharuskan dia rutin untuk cuci darah. Hanya anaknya yang sakit itu yang menemani ibunya menjaga ayahnya yang sakit tua. Astaghfirullaah. 

Di kamar lain ada seorang ibu paruh baya yang telaten merawat ibunya yang telah sakit-sakitan. Kata si ibu itu ketika kami sedang duduk bersebelahan pinggir lorong rumah sakit sekadar mencari udara segar di luar kamar pasien, beliau sudah hampir tiga bulan menemani ibunya yang dirawat di rumah sakit. Tiga bulan, tinggal di rumah sakit, menemani sang ibu yang telah merapuh? Maa syaa Allaah.

Di ruangan yang sama dengan tempat om dirawat , tepatnya di sebuah kamar di lantai dua, ada pula seorang suami yang setia menemani istrinya yang divonis menderita penyakit kanker darah atau bahasa medisnya leukimia ya? Entahlah saya tak begitu tahu. Namun yang pasti penyakit yang diderita istrinya sudah begitu kronis. Bahkan saat buang air kecil pun yang keluar bukan lagi urin melainkan darah.

Si suami masih ada hubungan kekerabatan dengan tante saya. Menurut cerita tante pasangan suami istri itu baru beberapa bulan menikah, namun sudah diuji dengan yang ujian begitu berat.

Dan kalau mau  ditelusuri lebih lanjut, di rumah sakit banyak sekali "ujian" yang Allah berikan pada hamba-hamba-Nya yang terpilih yang bisa kita jadikan pelajaran dan petik hikmahnya. Entah dari pasien, keluarga si pasien, suster yang merawat, dari dokter yang memeriksa, dari teman atau kerabat yang menjenguk dan lain sebagainya.

Namun terlepas dari ujian yang dialami ketika sakit, ini satu hal yang benar-benar baru saya sadari, barangkali kita punya banyak saudara seukhuwah di luar sana yang seolah rasa saudaranya menyaingi saudara sedarah, akan tetapi tidak selamanya saudara seukhwah bisa menggantikan posisi saudara sedarah. Begitu pun dengan sahabat, teman, kerabat, kenalan, semuanya tidak ada yang bisa menggantikan posisi dan arti pentingnya sebuah keluarga. Lihatlah, saat kita sakit,  saat kita jatuh, saat kita terpuruk, siapa sosok yang setia membersamai kita sepanjang waktu?

Saudara seukhuwah, sahabat, teman, kerabat, kenalan dll, mereka hanya akan datang menjenguk kita sekali lalu tak muncul lagi. Yang tersisa adalah keluarga, mungkin saudara, mungkin orang tua, anak, sepupu, keponakan dll, tapi mereka pun tidak bisa membersamai kita sepanjang waktu. Maka yang tersisa, tinggalah pasangan hidup kita seorang. Suami atau istri merekalah yang bakal setia menemani kita selama dua puluh empat jam, selama kita masih di dunia.

Namun, bila ajal menjemput dan memisahkan kita dari pasangan. Siapa lagi yang bisa setia menemani kita dalam gelapnya "rumah terakhir" kita selain amal.

Kelak, bila tiba masanya hanya amal yang akan setia menemani kita hingga ke alam azali, bukan suami, bukan anak, bukan orang tua, bukan sahabat, bukan saudara, bukan harta, bukan jabatan, bukan kecantikan.

Amallah sejatinya teman hidup kita di dunia dan di di akhirat.

credit


*selfreminder *notetomyself

#ODOPOKT16

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia

Share
Tweet
Pin
No comments

Pixabay
Bismillaahirrahmaanirrahiim

For you Ri,

Selalu buat kesalahan yang sama. Selalu begitu. Mau sampai kapan, Ri? Kenapa kau tak pernah jera membiarkan perasaanmu tercabik-cabik dan jiwamu terkoyak. Kau tak berdaya, tapi terus saja bertingkah. Ikuti nafsu, ingkari relung hati.

Ri, aku menyayangimu. Tapi kenapa kau tak sayang dengan dirimu. Kenapa kau selalu mendzaliminya, menyiksanya, menindasnya. Kasihan, Ri. Tubuhmu sakit. Tusukan bertubi-tubi menghujamnya. Ia merintih, namun kau pura-pura tuli, pura-pura tak peduli, pura-pura cuek. Seolah, kau merasa semua baik-baik saja.

Masihkah kau punya naluri? Sedikit saja. Tidakkah kau merasa, ulahmu begitu meresahkan. Banyak yang akhirnya menjadi korban akibat keegoisanmu. Kau selalu merasa benar, dan membenarkan dirimu sendiri. Padahal yang kau lakukan itu salah. Yang kau perbuat itu menentang kata hati. Tindakanmu itu (mungkin saja) akan mengundang murka Tuhan. Kau tahu, tapi mengapa tetap bertahan di atas kepura-puraan. Selalu begitu. Mau sampai kapan, Ri?

Apa kau tak takut? Jika Tuhan murka kau akan binasa. Murka Tuhan mampu melumatmu. Cukuplah Dia berkata Kun Fa Ya Kun maka segala yang Dia tetapkan akan berlaku. Naudzubillahimindzalik. Jangan sampai Tuhan ikut berpaling. Selama ini Dia sudah teramat sayang padamu. Memberi apa-apa yang kau butuhkan. Dia cukupkan segala keperluanmu bahkan menghujanimu dengan curah kasih sayang yang tiada bandingnya. Bodohnya, kau tak peka.

Sadarlah, Ri. Kau bukan bayi lagi yang perlu digendong kesana-kemari, kau bukan anak kecil yang perlu diawasi sepanjang waktu, kau bukan orang buta yang harus dituntun kemana-mana. Umurmu sudah merangkak puluhan, kau sudah cukup dewasa untuk bersikap. Bersikaplah sebagaimana mestinya. Tunjukkan bahwa kau memang orang baik, jangan hanya di penampilan, jangan cuma di mulut. Selaraskan dengan hatimu. Usah berpura-pura lagi.

Kau sendiri kan yang ingin jadi orang baik. Tapi ketika kebaikan itu datang mengajakmu berdampingan, kau malah kabur. Bersembunyi, dan lagi menjelma menjadi sesuatu yang kau benci. Bagai berkepribadian dua. Kau yang baik dan kau yang jahat adalah dua sisi yang sulit dibedakan. Kapan waktu kau bak peri hutan yang baik hati, dan kapan waktu kau menyeringai lebih seram daripada serigala.

Tidakkah kau bosan dengan kisahmu yang terlalu menjenuhkan serupa itu, Ri? Tidakkah kau lelah dengan hidupmu yang terombang-ambing. Tak tentu arah. Tak bisakah kau berhenti sejenak, mentafakkuri sekitarmu, mentadabburi alam kemudian menyatu dengan mereka. Buka matamu. Buka hatimu. Buka pikiranmu.

Hidup ini terlalu luas bila disempitkan. Terlalu indah jua untuk dicaci. Biarlah yang sudah-sudah berlalu. Kumohon kau jangan meratap palsu, memasang tampang topeng. Menangis padahal hatimu tertawa. Seakan hidupmu adalah lelucon. Kita sama-sama hidup dan kita sama tahunya perjuangan yang kelak akan kita hadapi di depan sana. Perjalanan kita masih panjang, Ri. Jangan siksa dirimu dengan kebodohan-kebodohan yang kau pelihara itu.

Ri. Sudah. Cukup. Jangan lakukan lagi. Kumohon. Jangan lagi. Kumohon. Jangan pernah lagi. Sejujurnya aku yang terluka parah bila kau terus melakukan kesalahan yang sama. Ayolah, Ri. Lihat aku, lihat di sekelilingmu. Mari kita berdamai saja. Berdamai dengan waktu. Berdamai dengan perasaan, berdamai dengan kenangan yang menyayat. Berdamailah dengan dirimu.


From me, Di.
Kota Daeng, 18 Oktober 2017

#ODOPOKT15

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia




Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Maa Syaa Allaah. Baca tulisan mbak Afifah Afrah yang satu ini, langsung dibuat takjub, terpana dan terkesima. Bisa menjadi bahan instropeksi diri bagi para perempuan yang telah bersuami ataupun yang masih sendiri dalam penantian.

SIAPAKAH KAU PEREMPUAN SEMPURNA?

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan. Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang yang sudah cukup matang. Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya dengan suami saya. Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim.

Sebenarnya, sebagian besar ayat dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah.

Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti. Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman.

Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu? IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?).

Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin…

Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbukumul a’la.”

Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ”Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih).

Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut. Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran.

Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah Istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu? Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits.

Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-raba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami.

Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Rasul terkasih Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib ra, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri.

Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina? Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita. Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita. Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga, mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama.

Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman.

Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah.

Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas korupsi aja…”

Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah Ta’ala!

Wallahu a’lam bish-shawwab.

(By: Afifah Afra)

Semoga Bermanfaat

#repost #copas #reminder #perempuansempurna #wanitashalihah

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Kalau kita adalah aktivis dakwah yang gigih berjuang di jalan Allah; bukan berarti kita adalah orang yang paling paham agama.

Kalau kita laki-laki yang berjenggot, dahi mencuat hitam, celana jingkrang atau perempuan berjilbab yang kerudungnya menjuntai sampai ke lutut atau bahkan bercadar; bukan berarti kita adalah orang yang paling alim.

Kalau kita adalah orang yang sering menunduk, tak mau menatap pun bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram; bukan berarti kita adalah orang yang paling suci.

Kalau kita adalah orang yang sering berceramah, sering menasihati, sering mengeluarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis lewat lisan maupun tulisan dan menguasai kaidah-kaidah fiqh; bukan berarti kita adalah orang yang paling benar.

Kalau kita adalah orang yang tiap hari berkawan dengan Al-Qur'an, tidak sekadar membaca namun juga mentadabburi, menghafal, mengajarkan dan mengamalkannya; bukan berarti kita adalah orang yang paling ahli Al-Qur'an.

Kalau kita adalah orang yang suka berbagi, rajin bersedekah, rutin berinfak; bukan berarti kita adalah orang yang paling dermawan.

Kalau kita adalah orang yang giat menuntut ilmu di majelis-majelis, di masjid-masjid di mana saja di bumi Allah; bukan berarti kita adalah orang yang paling berilmu.

Kalau kita adalah orang yang shalat wajibnya selalu tepat waktu dan berjamaah di masjid (bagi laki-laki) juga tidak pernah meninggalkan shalat malam, dhuha dan puasa senin kamis, bahkan puasa daud; bukan berarti kita adalah orang yang paling ahli dalam beribadah.

Kalau kita tidak pernah mengeluh, selalu menerima dengan rela dan lapang dada segala ujian yang Allah berikan, baik ditinggalkan orang tercinta atau ditimpa musibah sebesar dan sebanyak apapun itu, bukan berarti kita adalah orang yang paling sabar.

Kalau kita senantiasa bersikap qana'ah, tidak pernah alpa mengucapkan kalimat hamdallah dan selalu bersujud ketika mendapat rezeki dari Allah walau sekecil apapun itu, bukan berarti kita adalah orang yang paling bersyukur.

Kalau kita adalah orang yang pernah naik haji dan umrah berkali-kali bukan berarti kita adalah orang yang paling mabrur.

Kalau kita adalah seorang pemimpin baik memimpin diri sendiri, keluarga, lembaga/organisasi atau negara sekalipun, bukan berarti kita adalah orang yang paling hebat.

Kalau kita adalah orang yang istiqomah dalam mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya bukan berarti kita adalah orang yang paling bertakwa.

Kalau kita adalah orang yang suka menolong orang lain yang kesusahan, membantu orang lain yang ditimpa musibah dan ramah pada semua orang, bukan berarti kita adalah orang yang paling baik.

Apapun dan bagaimanapun pandangan orang tentang kita, entah itu dicerca atau dipuji; janganlah sampai membuat diri lengah. Tetaplah merendahkan hati. Tetaplah tawadhu'. Belajarlah dari tanaman padi; semakin berisi semakin merunduklah ia.

Merasa "PALING" hanya akan membuat KITA lupa diri. Lupa, kalau bukan karena petunjuk Allah mana mungkin kita bisa melangkah di jalan yang diridhoi-Nya. Kalau bukan karena nikmat Allah mana mungkin kita bisa meneguk manisnya iman. Kalau bukan karena rahmat-Nya mana mungkin kita bisa menjadi hamba yang taat.

Merasa "PALING" hanya akan meninggikan hati lalu orang lain pun menjadi rendah dalam pandangan kita. Padahal mereka yang saat ini belum paham agama boleh jadi adalah orang yang amalnya lebih banyak daripada kita yang paham tapi dipenuhi rasa ujub. Mereka yang saat ini belum menutup aurat boleh jadi adalah wanita yang ketika mendapat hidayah akhlaknya jauh lebih karimah daripada kita yang meski sudah lama menutup aurat namun masih kerap memandang sebelah mata. Mereka yang saat ini terjerat dalam kubang kemaksiatan boleh jadi adalah orang yang akan meninggal dalam keadaan khusunul khatimah karena selalu terngiang dosa-dosanya sehingga ia senantiasa memohon ampun pada Allah dengan penuh pengharapan dan rasa takut daripada kita yang walau rajin beramal namun tidak sadar hati telah disesaki riya, sum'ah dan sejenisnya.

Awal memang penting, namun akhirlah yang menentukan. Kita tidak pernah tahu akhir hidup seseorang akan seperti apa, jadi jangan pernah menjugdge, merendahkan atau meremehkan orang lain.

Kalau kata Almarhum Olga Syaputra; jangan pernah merendahkan orang lain karena kita tidak pernah tahu kapan seseorang itu diangkat derajatnya oleh Allah.

Jangan sampai nasib kita naas seperti iblis yang konon telah menyembah Allah beribu-ribu tahun namun akhirnya dikutuk dan terusir dari surga karena merendahkan manusia (Nabi Adam as) yang terbuat dari tanah liat kering hitam lagi berlumpur sedang ia tercipta dari api yang sangat panas.

Jangan sampai kita pun tergelincir dengan tipu daya dan bujuk rayu syaitan yang selama masa penangguhannya akan selalu berusaha menjerumuskan anak cucu adam ke jalan yang sesat.

Jangan mengira dengan menjadi orang shalih/shalihah kita telah terbebas dari gangguan syaitan. Justru di saat keimanan seorang hamba semakin kuat semakin kencang pula syaitan menggoda. Entah itu dengan memengaruhi hati agar condong melakukan amalan karena makhluk atau membisik-bisikkan sesuatu yang membuat diri merasa takjub dengan ibadahnya, dengan penampilann syar'inya, dengan hapalan Al-Qur'annya, dengan shalat malamnya, dengan puasa senin-kamisnya dan lain sebagainya.

Jangan sangka dengan banyaknya ibadah yang dilakukan kita pun merasa telah terbebas dari jilatan api neraka, bahkan merasa telah menggenggam surga.

Jangan sampai kita pun menganggap kuantitas ibadahlah yang akan memasukkan kita ke dalam surga, seperti sabda Rasulullah yang dikisahkan oleh malaikat jibril tentang si ahli ibadah yang telah beribadah selama 500 tahun. Ketika meninggal si ahli ibadah itu dihadapkan kepada Allah. Allah hendak memasukkannya ke dalam surga karena rahmat-Nya tetapi ia ngotot ingin masuk surga karena amal ibadahnya. Kemudian ditimbanglah antara amalan ibadahnya dan satu nikmat yang Allah berikan yaitu nikmat penglihatan. Sungguhn satu nikmat Allah itu jauh lebih berat daripada timbangan amalan ibadahnya selama lima ratus tahun. Allah pun memerintahkan malaikat agar menyeret si ahli ibadah itu masuk ke dalam neraka. Jika bukan karena pada akhirnya ia mengakui rahmat Allah-lah yang memasukkannya ke surga maka tentu akan sia-sia semua amal ibadahnya selama lima ratus tahun. Malah tiada artinya sama sekali bila dibandingkan dengan satu saja nikmat dari Allah.

Lalu bagaimana dengan kita? Berapa lama kita akan hidup? Sudah berapa banyak ibadah yang kita kerjakan? Jika seseorang yang menghabiskan masa hidupnya selama lima ratus hanya untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla saja hampir di masukkan ke dalam neraka bahkan banyaknya amal ibadah yang ia lakukan selama itu tiada sebanding dengan satu nikmat Allah maka masih pantaskah kita memamer-mamer, memuji-muji, berbangga-bangga dan merasa ter-Paling.

Jangan sampai selama ini tubuh kita saja yang sibuk beramal lalu sedikit sekali kita menghadirkan hati dalam beribadah. Malah hati kita menyimpang sehingga yang timbul adalah perasaan semacam ujub, riya dan sombong. Ketahuilah, ketiga penyakit tersebut bukan menjangkiti pelaku maksiat, justru ketiganya menyerang orang-orang shalih/shalihah, para aktivis dakwah dsb. Bahayanya jauh lebih besar dari orang yang bermaksiat. Para pelaku maksiat mengetahui yang mereka lakukan adalah dosa dan ia mudah memohon ampun sementara orang-orang yang dijangkit rasa ujub, riya dan sombong tidak sadar dan mengira amalannya telah diterima oleh Allah Azza Wa jalla.

Jangan sampai karena anggapan merasa diri PALING, paling paham, paling alim, paling suci, paling ahli, paling baik, paling benar, paling dermawan, paling hebat, paling sabar, paling syukur, dan paling-paling yang lain membuat Allah pun ikut berPALING dari kita. Naudzubillahi min dzalik.

Tersebab demikian, maka sangat penting bagi kita untuk selalu berikhtiar menjaga hati dengan sebaik-baiknya dan menghalau kuat segala bisikan-bisikan syaitan. Beramallah dengan merunduk dan beribadahlah dengan tawadhu'. Sungguh, Allah menyukai mereka yang menghadap-Nya dengan penuh kerendahan hati, rasa takut dan harap. Bukan mereka yang meninggi hatinya, congkak lagi mengharap pujian dari manusia. Jika memang mau amal ibadah ibadah kita diterima maka lakukanlah segalanya dengan IKHLAS tanpa rasa ujub maupun merendahkan orang lain.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Rasulullah bersabda, Allah berfirman; "Aku adalah sekutu yang Maha Kaya dari persekutuan. Siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan, dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku padanya, Aku membiarkannya dengan sekutunya itu. Apabila hari kiamat tiba dihadirkan lembaran-lembaran yang telah distempel, ditegakkan dihadapan Allah lalu Allah berfirman kepada para malaikat-Nya. "Terimalah yang ini (masuk syurga) dan lemparkanlah yang ini (masuk neraka)." Para malaikat berkata "Demi keagungan-Mu, kami selalu melihat kebaikan padanya". Allah berfirman, "Ya, benar, tetapi itu selain Aku, dan pada hari ini, Aku hanya menerima orang yang hanya mengharap ridha dan pahala-Ku semata (ikhlas)"" (HR Muslim)

Rasulullah juga bersabda; "Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan UJUBnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri" (HR at-Thobroni)

Sekian, segala kebenaran datangnya dari Allah Azza wa jalla dan segala luput khilaf datangnya dari diri pribadi.

Wallahua'lam bisshawab

Serui, 19 April 2015

#noteofmyself #selfreminder #justoshare

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments
#Berhentilah

Berhentilah mengejar dunia; kau takkan dapat apa-apa kecuali penyesalan.

Berhentilah merutuk diri dan mematut kesalahan masa lalu; Percuma! segalanya telah berlalu.

Berhentilah menuruti hawa nafsu; kalau tak mau celaka.

Berhentilah merendahkan orang lain; dirimu saja belum tentu baik.

Berhentilah berkhayal terlampau tinggi; bila jatuh sakitnya bukan main.

Berhentilah berharap pada manusia; pasti kan kecewa.

Berhentilah mencintai seseorang secara berlebihan dan terang-terangan, toh ia belum tentu jodohmu

Berhentilah beramal karena pujian; tak ada gunanya, sia-sia saja!

Berhentilah bertingkah pongah, membusungkan dada dan meninggikan hati; ketahuilah orang sombong pasti binasa.

Berhentilah menjadi orang yang tak paham agama, bisanya cuma ikut-ikutan; hati-hati nanti tersesat.

#Mulailah

Mulailah mengejar akhirat; niscaya kan beruntung.

Mulailah memperbaiki diri saat ini juga, jadikan kesalahan masa lalu sebagai ibrah; Masa depanmu in syaa Allah cemerlang.

Mulailah ikuti kata hati, turuti naluri; pasti kau selamat.

Mulailah menebar kebaikan pada semua orang: dengan begitu kau akan disayangi.

Mulailah mengukir mimpi yang indah; percayalah, suatu hari mimpimu akan menjelma nyata.

Mulailah menjulang harapan yang tinggi pada Allah; sungguh Allah tidak akan pernah mengecewakan hati.

Mulailah mencintai seseorang dengan sederhana dan diam-diam; Yakin! kalau jodoh pasti bertamu.

Mulailah beramal hanya karena Allah; balasannya nanti di syurga.

Mulailah bersikap tawadhu', merendahkan hati; Serupa padi, semakin berisi semakin merunduklah ia, semakin banyak pula yang cinta..

Mulailah belajar agama, cari ilmunya, pahami, amalkan dan bagikan; niscaya Allah akan menunjuki jalan yang lurus.

Aamiin Allahumma Aamiin

#Noteofmyself #Selfreminder

Serui, 15 April 2015

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments

Bismillahirrahmaanirrahiim


Apa kau tahu, berapa banyak dosa yang telah kuperbuat selama hidupku ini? Coba kau hitung ikan-ikan di lautan atau bintang-bintang di langit, sebanyak itulah dosa-dosa yang menyelimuti diriku. Bagaimana? Apa kau sudah menghitungnya? Aih, kau pasti mengira aku sekadar berguyon menyuruhmu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung, iya kan? Tapi aku tidak sedang berkelakar, aku serius! Kalau kau tidak bisa menghitungnya, tidak mengapa, sebab kau maupun aku memang tidak akan pernah sanggup menghitung ciptaan Allah yang terhampar luas di langit dan di laut. Cukup kau tahu, seperti itulah dosa-dosaku. Tak berbilang jumlahnya.

Karena itu, berhentilah menyanjungku, sudahilah mengeluarkan kata-kata fantastis seolah kau begitu takjub. Jangan lagi memujiku dengan kalimat apapun. Apa yang kau lihat pada diriku, mungkin hanyalah fatamorgana. Kau bahkan sama sekali tak tahu apa-apa tentangku. Yang kau tahu hanyalah apa yang kutampakkan. Padahal yang kutampakkan belum tentu yang sebenarnya. Namun, memang demikianlah adanya. Selama ini aku hanya menampakkan yang baik-baik di depanmu, layaknya tak punya cela sehelaipun. Berlagak pura-pura, selalu berusaha tampil sesempurna mungkin, bukan saja di hadapanmu tetapi juga di hadapan semua orang.

Nyatanya aku tidak pernah sesempurna itu, tidak pernah sebaik yang kau kira. Bahkan kebaikan yang melekat tidak seberapa bila dibanding dengan keburukan-keburukan yang tak pernah aku tunjukkan padamu. Ketahuilah, kebaikanku hanya secuil sedang keburukanku menggunung tinggi. Mungkin sama banyaknya dengan dosa-dosa(ku) yang tiada bisa kau hitung itu.

Andai saja kau mengetahui segala keburukan yang kumiliki maka lidahmu itu pasti akan tertahan dan kau takkan lagi memuji-muji sedemikian rupa, sebaliknya kau akan menghujatku, menghina sejadi-jadinya atau malah berpaling, meninggalkanku selama-lamanya.

Dan bila hal itu benar terjadi, aku mungkin akan kehilangan muka. Namun, kini aku tiada peduli. Entah kau atau siapapun tahu atau tidak nantinya. Aku tiada akan peduli dengan semua hujatan, hinaan dan cacian yang dilemparkan manusia padaku. Bahkan sekalipun kau dan semua orang meninggalkanku, sungguh aku tiada peduli. Walau sesakit bagaimanapun rasanya. Aku benar-benar tiada lagi ingin peduli dengan semua itu.

Kau tahu, kenapa?

Karena aku tidak punya alasan apapun untuk malu padamu atau pada sesiapapun. Mungkin, aku telat menyadari ini. Setelah seringnya pujian datang silih berganti, barulah aku tersentak, menyadari bahwa sesungguhnya segala pujian itu tidak layak kuterima. Pujianmu saat ini hanya akan membuatku bersedih. Akan lebih baik bila kau caci maci diriku saja.

Sungguh, aku lebih rela bila kau menghinaku sepuasmu daripada mendengar ucapan yang tidak semestinya kau alamatkan padaku. Tersebab, setiap pujian yang kau layangkan kerap mengubah mimikku seketika. Entah tersipu atau merona. Kadang-kadang malah salah tingkah. Perubahan itu jelas mengundang resah gelisah, pun rasa takut.

Tahukah kau, pujianmu tampak begitu menyeramkan. Jauh lebih seram dari sekadar menonton film horor tengah malam. Bukan membuat senang, hatiku justru ketar-ketir ketakutan. Sayangnya kau tidak akan pernah tahu, seberapa kerasnya aku berjuang menghalau bisikan-bisikan syaitan agar tak sampai hatiku meninggi. Aku takut, takut sekali bila karena pujianmu diriku melambung. Ya, kau memang tidak akan pernah tahu apa yang selalu kurahasiakan darimu.

Sampai di sini, masih tidak sadarkah kebaikan siapa yang sedang kau puji itu? Atau janganlah terlalu jauh menyinggung kebaikan, apa saja yang kau lihat pada diriku. Paras, penampilan, kecerdasan atau apa? Sebutkanlah semua hal yang membuatmu lancang menyanjungku. Lantas setelah itu masih tidak sadarkah kau, milik siapa yang sedang kau puji itu? Jangan bilang kau juga mengira semua itu adalah milikku. Bukan, itu semua bukan milikku.

Sejatinya, semua yang melekat pada diriku ini adalah titipan dan nikmat yang Dia anugerahkan kepadaku. Jadi, jika kau ingin memuji maka jangan puji diriku, tetapi pujilah Dia yang telah mencurahkan segala kebaikan dan menutupi segala aib yang terselubung dalam setiap diri manusia. Dia-lah satu-satunya yang berhak menerima segala pujian, bukan aku pun kau. KITA hanyalah hamba-Nya yang dhoif lagi kerdil. Sedang Dia adalah Sang Penguasa yang Maha Besar.

Dialah ALLAH Azza Wa Jalla

"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat ( Al-Fatihah: 2-7)"

~

Apa kau tahu, berapa banyak nikmat yang Allah curahkan selama hidupku ini? Tenang saja, aku tidak lagi memintamu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung. Tetapi coba kau perkirakan, jika jumlah ciptaan Allah yang ada di langit dan laut kau gabungkan, ditambah dengan yang ada di daratan dan di seluruh alam jagat raya ini maka semua itu masih sangat kurang untuk menyamai jumlah nikmat yang telah Allah berikan padaku. Nikmat-Nya sungguh lebih tak berhingga dibanding jumlah dosa-dosaku selama ini. Karunia-Nya sungguh jauh tak terkira dibanding segala aib yang melekat pada diriku.
Rahmat-Nya bahkan jauh lebih luas dari yang tak pernah kau bayangkan.

Aku pun tak kuasa melukiskannya. Oleh karena itu, ijinkanlah aku membagi beberapa kisah yang pernah aku temui kala menjelajahi dunia maya. Jika kau sudah pernah mendengar kisah ini sebelumnya, maka aku sekadar ingin mengingatkan kembali, jikapun tidak pernah kau mendengarnya, maka aku sekadar ingin agar kau pun tahu. Bacalah kisahnya dengan penuh penghayatan dan rasailah betapa deras kasih-Nya Allah kepada kita. Kalau perlu basahilah pipimu dengan air mata. Semoga dengan begitu, hatimu kian melembut.

#Kisah Pertama

Di masa nabi Musa as suatu kali lama tidak turun hujan dan menyebabkan musim kemarau berpanjangan. Orang-orang datang menghadap nabi Musa as dan mengatakan,

Dirikanlah shalat hujan bagi kami!”

Nabi Musa as mengajak kaumnya mendirikan shalat hujan dan memohon kepada Allah swt agar menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Orang yang shalat bersama nabi Musa as lebih dari 70.000 orang. Sekeras apapun mereka berusaha berdoa hujan tak kunjung turun.

Nabi Musapun bertanya pada Allah ; Ya Allah mengapa hujan tidak turun? Apakah kedudukanku di sisi-Mu tidak ada artinya ?”

Allah mewahyukan kepada nabi Musa as, Engkau mulia di sisi-Ku. Akan tetapi di tengah kalian terdapat seseorang yang telah bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Katakanlah padanya agar ia keluar dari barisan shalat sehingga
Aku menurunkan rahmat-Ku.

Namun Musa as berkata,“Ya Allah, suaraku amat lemah. Bagaimana mungkin suaraku dapat terdengar oleh 70.000 orang?”

Allah taala berfirman,“"Wahai Musa, sampaikan apa yang Kuperintahkan padamu. Aku akan jadikan mereka semua mendengar suaramu". Dengar suara lantang, nabi Musa as menyampaikan,

Barangsiapa di antara kalian yang telah bermaksiat kepada Allah taala selama 40 tahun maka hendaklah dia berdiri dan meninggalkan tempat ini. Dikarenakan perbuatan dosa dan
keburukannya Allah enggan menurunkan rahmat-Nya kepada kita.

Orang yang berbuat maksiat itu menoleh ke sekitarnya. Dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari barisan shalat. Dia sadar dirinyalah yang dimaksud. Dia berkata pada diri sendiri,

Apa yang harus kulakukan? Jika aku bangkit berdiri maka orang-orang akan melihatku dan mengenalku. Aku akan malu di hadapan mereka Tetapi jika aku tidak keluar maka Allah tidak
akan menurukan hujan.

Pada saat itulah orang itu benar-benar bertaubat kepada Allah dari kedalaman hatinya dan menyesali segala perbuatan dosanya.

Tiba-tiba awan mendung datang dan hujan turun dengan lebatnya. Dengan penuh keheranan nabi Musa as bertanya kepada Allah,

Ya Allah tak seorangpun yang keluar dari barisan namun mengapa hujan turun juga?” Allah taala mewahyukan, Aku menurunkan hujan kepada kalian dikarenakan taubat orang yang telah menghalangi rahmat-Ku turun pada kalian.

Nabi Musa as memohon, Ya Allah, tunjukkanlah padaku siapa orang itu?” Allah taalag mewahyukan, Wahai Musa, ketika hamba itu bermaksiat pada-Ku, Aku menutupi dosa-dosanya. Dan ketika dia bertaubat pada-Ku maka Aku pun merahasiakan dirinya.

#Kisah Kedua

Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah acara di masjid Sunda Kelapa pernah bercerita tentang orang-orang yang berjuang move on dari berbagai ujian yang datang kepada mereka.

Beliau bercerita tentang Nabi Yusuf a.s. Di tengah-tengah cerita, beliau bertanya kepada jama'ah, Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf as?”

Zulaikha,” jawab jama'ah kompak.

Dari mana tahunya bahwa nama perempuan itu Zulaikha? Allah tidak menyebutnya dalam Qur'an.”
Reflek jama'ah menjawab, “Dari hadits. Hadits mendukung kisah yang ada dalam Qur'an dengan lebih detil.

Mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha dalam Qur'an?”

Semua jama'ah diam. Ustadz Salim melanjutkan
penjelasannya.

Karena perempuan ini MASIH MEMILIKI RASA MALU. Apa buktinya bahwa ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.

Dan Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya dalam Qur'an.”

Betapa Allah Maha Baik. Tak hanya sekali, namun berulang kali Allah menutup dosa-dosa kita. Hanya karena masih memiliki rasa malu, Allah tidak membuka identitas kita.

Pernahkah ada seseorang yang nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua karena begitu banyaknya kebaikan yang dilakukan orang itu?
Atau karena Allah telah menutupi aib orang itu?
Mungkin ada yang mengganggap saya, kamu, kita adalah orang yang baik.

Jika saja mau jujur, sungguh itu bukan karena kebaikan kita. Itu semata karena Allah masih menutupi segala aib kita. Jika tidak, maka
habislah kita. Terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Malu, semalu-malunya. Hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.

Kita harus berusaha menutupi aib orang lain sebagaimana Allah yang Maha Baik telah menutupi aib kita selama ini. Mari berdoa seperti yang dicontohkan sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a,

"Ya Allah, jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."

Sekian, catatan ini tergores. Petiklah apa yang bisa dipetik. Adapun segala kebaikan datangnya dari Allah swt dan segala keburukan berasal dari diri yang kerdil ini.

Wallahu a'lam bisshawab

Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim


27 Juli 2013. Seseorang mengirim sebuah pesan yang ia layangkan ke inbox facebook saya. Saya lalu menelusuri rangkaian kata yang tertera di sana dengan napas seketika sesak sambil sesekali menelan ludah. Isinya berupa curahan hati seorang lelaki menyoal wanita. Wajah saya sempurna pias ketika sampai di baris terakhir dan mendapati pertanyaan yang menghentakkan naluri saya sebagai seorang wanita yang mengaku diri muslimah. Malu? Tentu saja. Apalagi yang menyampaikan pesan tersebut adalah seseorang yang juga lelaki. Bagai kedapatan dipergoki tengah melakukan kesalahan. Saya seolah ditegur, dinasehati baik-baik olehnya. Saya tahu, lelaki itu sama sekali tidak bermaksud menyudutkan terlebih menghakimi namun pesannya jelas-jelas membuat saya tersinggung. Sangat. Saya malu, malu sekali.

~

Pernah ada seorang laki-laki curhat, Beliau GELISAH dengan kondisi "Wanita-Wanita" yang
suka menampakan foto-fotonya di FB. Terlihat begitu kecewa melihat realita yang terjadi di
kalangan kaum hawa saat ini. Dengan nada lirih, mungkin dari lubuk hatinya yang terdalam,
beliau menyampaikan "saya tidak TERTARIK dengan Wanita-wanita yang memajang fotonya di FB, harusnya mereka bisa lebih menjaga, bukan calon pasangan IDEAL karena BELUM BISA menjaga IZZAHNYA (Kehormatannya) dan membiarkan kecantikanya dinikmati oleh orang-orang yang TIDAK BERHAK"

Seorang Wanita yang menampakkan foto dirinya di internet mungkin telah melanggar larangan untuk tidak tabarruj dan sufur.

Tabarruj artinya seorang wanita menampakkan sebagian anggota tubuhnya atau perhiasannya di
hadapan laki-laki asing. Sedangkan Sufur adalah seorang wanita menampak-nampak kan wajah di hadapan lelaki lain. Oleh karena itu Tabarruj lebih umum cakupannya daripada sufur, karena mencakup wajah dan anggota tubuh lainnya.

Tabarruj diharamkan dalam syariat berdasarkan ayat al- Qur’an dan juga hadits, antara lain : “"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ada dua kelompok penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang memukuli orang-orang dengannya dan para wanita yang berbaju tapi mereka telanjang, berlenggak lenggok


kepala mereka bagaikan punuk unta yang bergoyang. Wanita-wanita itu tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga bisa tercium sejauh sekian dan sekian. (H.R Muslim no. 3971 & 5098)

Apabila seorang Wanita menampakkan gambar dirinya di internet lalu dimanakah esensi hijab sebagai al Haya’ (RASA MALU). Sebagai seorang muslimah sejati, tentulah saudariku akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal yang demikian.


Padahal Rasullullah Shallallahu’alaih wa sallam bersabda yang artinya: "Sesungguhnya setiap
agama itu memiliki akhlaq dan akhlaq Islam adalah malu"” sabda beliau yang lain; “"Malu adalah
bagian dari Iman dan Iman tempatnya di Surga".
Allah Azza wa Jalla juga menjadikan kewajiban berhijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan
diri dari maksiat) dalam firman-Nya; "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu , anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Ahzab: 59

Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan
jelek (dosa), karena itu “mereka tidak diganggu. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah ; karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka. Wallahua'lam

Maka pertanyaan terakhir, Sudah siapkah anda MENEKAN DELETE BUTTON di FB anda (saudariku)? Redhakah laki-laki yang sudah
dipersiapkan Allah untuk menjadi pasangan hidupmu? karena mereka lah yang berhak terhadap kecantikan yang kamu miliki.
Ataukh lebih redha fotomu dilihat jutaan mata? Jawabnya: ITU HAK SAUDARIKU MUSLIMAH, KAMI HANYA IKUT MENYAMPAIKAN

~

Demikian isi pesan tersebut. Bagaimana tidak tersinggung bila isinya terang-terangan menyangkut kebiasaan saya selama ini yang begitu hobi memajang foto di FB? Bagaimana tidak malu bila teguran itu justru berasal dari kaum adam bukan datang dari kaum hawa? Lantas bagaimana reaksi saya setelahnya?

Diam, acuh saja, tidak peduli atau bersikap antusias menanggapi. Ah, nyatanya rasa malu dan ketersinggungan yang muncul tidak serta merta menghentikan kebiasaan saya mengunggah foto di FB. Walau hati kecil berkata iya, membenarkan pesan tersebut. Seharusnya sebagai wanita yang mengaku muslimah, saya lebih bisa menjaga izzah dan tidak menampakkan apa yang bisa menarik perhatian lelaki. Toh, kalau pun pesan tersebut tidak benar mana mungkin saya tersinggung? Bukankah orang-orang hanya akan tersinggung bila memang benar adanya demikian.

Awalnya memang saya malu dan tersinggung. Karena itu untuk beberapa saat setelah menerima pesan tersebut saya sengaja mengganti foto profil dengan foto yang bukan foto diri saya, sesaat pula saya tidak lagi mengunggah foto yang menampakkan diri saya. Namun sesaat kemudian, sehari setelahnya akal saya mulai memungkiri kata hati yang sempat terselip.

Apa salahnya menggunggah foto di FB, FB kan cuma dunia maya, apalagi foto yang saya unggah juga tidak menampakkan aurat kok?

Akhirnya saya berdalih. Mencari-cari pembenaran. Mengabaikan pesan tersebut. Layaknya nasehat yang sekejap masuk melalui telinga kanan sekejap pula keluar lewat telinga kiri. Bahkan saya hampir lupa dengan pesan tersebut hingga kini, dua tahun sudah berlalu.

Dan di sinilah saya sekarang. Setelah beberapa hari lalu sengaja mengubek-ubek pesan masuk di FB demi mencari keberadaan pesan tersebut. Bersyukur, karena pesan dari lelaki itu masih bisa saya temukan dalam keadaan utuh.

Dan di sinilah saya hari ini. Setelah berulang-ulang membaca kembali nasehat yang ditujukan pada saya (dan seyogyanya juga tertuju pada setiap wanita yang mengaku muslimah) otak saya seperti direcoki berbagai rupa pikiran perihal kebiasaan memajang foto diri di FB.

Lalu pertanyaan yang dua tahun lalu sempat terbesit tetiba menyergap...

Apa salahnya?

Dari Usmah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalanku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.” [HR. Muslim
(2740)]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam bersabda, Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani Isra’il adalah
dalam masalah wanita.” [HR. Muslim (2742)]

Di masa lalu, saya pernah menyalahkan lelaki menganggap mereka semua brengsek, lantas berkesimpulan bahwa tidak ada lelaki yang benar-benar baik dan begitu tulus mencintai wanita. Statmen itu sekonyong-konyong saya tumpahkan lewat tulisan karena hati yang sudah terlanjur sering kecewa dan disakiti oleh beberapa orang dari jenis mereka. Tidak semuanya memang. Tetapi ah, sama saja. Mereka kerap bilang begini; jangan samakan saya dengan yang lain, lalu apa bedanya bila akhirnya yang selalu saya temui adalah lelaki yang hanya datang menawarkan cinta dan pergi meninggalkan luka.

Dan lihatlah apa yang saya lakukan. Berkali-kali disakiti tidak membuat saya jera untuk kembali menjalin hubungan dengan lelaki lain. Berulang-ulang kecewa pun tidak menghentikan saya untuk berharap dan memintal asmara yang baru? Bukankah itu berarti saya sendiri yang membuka peluang untuk disakiti?

Seringpula saya turut melimpahkan semua kesalahan pada lelaki yang tidak mau bertanggung jawab setelah menghamili wanita yang diklaimnya sebagai kekasih. Seperti pandangan pada umumnya, mana ada wanita yang memperkosa lelaki, selama ini kan yang paling sering menjadi korban dalam kasus pemerkosaan adalah wanita. Jelas dong, lelaki yang paling patut dipersalahkan bila terjadi kasus pemerkosaan maupun married bye accident yang menimpa wanita. Dan selama itu, saya selalu lebih memihak pada wanita, walau sebenarnya di antara keduanya (terutama bagi lelaki dan wanita yang melakukan hubungan intim di luar pernikahan atas dasar suka sama suka) tidak ada yang paling patut dipersalahkan karena keduanya sama besar salahnya.

Namun sekarang, saya hendak mengemukakan pandangan berbeda. Mungkin lebih tepatnya saya tidak lagi berpihak pada wanita yang selama ini diberitakan paling banyak menjadi korban seksual laki-laki. Lewat catatan ini saya ingin menyatakan keberpihakan saya pada kaum lelaki meskipun saya sangat membenci perilaku mereka yang seenaknya merengut kehormatan wanita begitu saja.

Sungguh, wanita yang menyerahkan kehormatan dirinya pada lelaki itulah yang bodoh. SANGAT BODOH. Mana ada api kalau tidak ada asap. Mana ada semut kalau tidak ada gula. Mana ada lelaki yang berani mendekat kalau bukan karena wanita itu sendiri yang memberi peluang agar dirinya bisa didekati? Mana mungkin seorang lelaki berani menyentuh wanita kalau bukan karena wanita itu sendiri yang membiarkan dirinya untuk disentuh?

Coba deh pikirkan, mengapa gula selalu dimasukkan ke dalam sebuah toples atau tempat yang tertutup rapat? Jawabannya tentu karena gula rasanya manis dan semut selalu suka dengan yang manis-manis. Pesona manisnya gula yang begitu menggodalah yang mampu mengundang datangnya semut. Sehingga apabila penutup tempat berisikan gula dibiarkan terbuka, maka tunggulah, tidak perlu waktu lama bagi semut untuk datang mengerubungi dan mencicipi manisnya gula itu.

Jika diibaratkan; wanita adalah gula dan semut adalah lelaki. Maka seperti halnya gula yang memiliki pesona manis, dalam diri wanita pun tersimpan pesona yang begitu indah nan memukau yang bila ia dibiarkan terbuka akan mengundang datangnya sembarang lelaki.

Sayangnya, gula cuma benda mati sehingga ia tidak bisa memberontak atau mempertahankan diri bila dikeroyoki semut. Semut pun meski tergolong makhluk hidup namun ia tidak dianugerahi akal serupa manusia. Semut hanya mengikuti instingnya saja tanpa peduli boleh tidaknya mencicipi manisnya gula yang bukan miliknya.

Sedangkan lelaki dan wanita adalah sama-sama makhluk hidup dan juga sama-sama memiliki akal, yang dengan akalnya itulah mereka seharusnya mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Wanita yang berakal tentu tidak akan membuka dirinya sendiri. Membuka diri yang saya maksud di sini adalah menampakkan aurat dengan berpakaian seksi, bersikap tabbaruj (berhias demi menarik perhatian kaum adam) serta membiarkan dirinya didekati dan disentuh oleh para lelaki. Karena ia tahu perbuatan membuka diri adalah perbuatan yang salah. Lelaki yang berakal pun akan berusaha menahan godaan untuk tidak menyentuh wanita yang bukan mahramnya, karena ia tahu bahwa perbuatan menyentuh sesuatu yang bukan miliknya adalah menyimpang dari kebenaran.

Namun ternyata, memiliki akal saja belum cukup menjamin lelaki dan wanita dapat selamat dari perkara keji yang menjerumuskan ke dalam lembah kemaksiatan. Ilmu harus disertai dengan iman. Maka keimananlah yang dapat menyelamatkan. Sebab, seseorang tidak akan melakukan perbuatan keji sedang ia dalam keadaan beriman.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina ketika berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri ketika mencuri itu dalam keadaan beriman dan tidaklah seorang peminum khamr itu ketika meminumnya dalam keadaan beriman" (HR Bukhari)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda, "Apabila seorang lelaki berzina, keimanan akan keluar dari (hati)nya dan iman itu bagaikan tenda baginya, apabila dia mencabutnya (dosanya) dengan taubat dan meminta ampunan, maka keimanan itu akan kembali lagi kepadanya" (HR Abu Dawud)

Sebagaimana kisah nabi Yusuf as yang berhasil terlepas dari godaan Zulaikha, majikannya yang merupakan wanita cantik dan juga kaya raya. Jika bukan karena iman yang terpatri kuat dalam hati mana mungkinlah seorang nabi Yusuf as terlepas dari jeratan Zulaikha dan dapat berkata seperti ini: “"Ya Allah, lebih baik hamba dipenjara daripada harus bermaksiat kepada-Mu."

Maka pantaslah Allah Azza Wa jalla menggolongkan seorang lelaki yang apabila dirayu oleh wanita bangsawan (kaya) lagi rupawan (cantik) maka ia berkata ; "sesungguhnya saya Takut kepada Allah" ke dalam salah satu dari tujuh golongan yang akan dinaungi pada hari dimana tiada naungan selain naungan-Nya. Oleh sebab wanita adalah cobaan terberat sekaligus paling membahayakan bagi para lelaki. Buktinya, lihatlah di sekeliling; betapa banyak lelaki di luaran sana yang telah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan karena (fitnah) para wanita.

Sampai di sini, mungkin sudah jelas, akar permasalahan utama timbulnya perzinahan bersumber dari wanita. Apabila wanita pandai menjaga izzah, tidak asal tebar pesona, tidak sufur maupun tabbaruj atau sengaja memamerkan/menampakkan wajah dan postur tubuhnya kepada yang bukan mahramnya mengingat semua yang ada pada dirinya adalah fitnah paling berbahaya bagi kaum lelaki, maka insya Allah kasus-kasus semacam kekerasan seksual, hamil di luar nikah dan aborsi pun tidak akan sampai merajalela dimana-mana.

Saya tetiba jadi berpikir seperti ini; meskipun wanita dikatakan sebagai sumber fitnah terbesar bagi lelaki, sekaligus menjadi akar dari timbulnya perzinahan namun bukan berarti kesalahan patut dilimpahkan sepenuhnya kepada mereka. Baiklah, sekarang saya tidak akan lagi berpihak pada keduanya, baik lelaki maupun wanita. Tetapi saya ingin katakan seperti ini. Betapa sempurnanya Islam. Betapa Allah sangat memuliakan kaum wanita. Ia menurunkan perintah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh (Al-Ahzab : 59) dan menutup kain kudung ke dada (An-Nur : 31) hanya khusus kepada kaum wanita. Dan karena semua yang melekat pada diri wanita adalah fitnah maka Allah mewajibkan setiap wanita muslimah yang sudah baligh untuk berhijab atau menutupi aurat mereka yang hampir meliputi seluruh tubuh (kecuali wajah dan telapak tangan). Yang dengan hijabnya itulah seorang wanita akan senantiasa terlindungi dan terjaga izzahnya. Sebaliknya, perintah berhijab itu juga mendatangkan rasa aman bagi kaum lelaki. Karena setidaknya, dengan berhijabnya seorang wanita maka berkurang pulalah beban lelaki dalam menghadapi cobaan paling membahayakan mereka yakni fitnah (wanita).

Sebaliknya, perintah menudukkan pandangan Allah turunkan tidak hanya dikhususkan bagi kaum lelaki saja atau wanita saja. Tetapi bagi keduanya. Mungkin karena hal demikian sehingga si lelaki itu sengaja mengirimkan pesan tersebut kepada saya. Sebagai lelaki muslim wajarlah kiranya bila ia senantiasa berusaha menundukkan pandangan dalam artian tidak ingin jatuh terpesona pada keindahan wanita yang bukan mahramnya. Namun bagaimana lelaki itu kuasa menundukkan pandangannya bila banyaknya foto wanita yang cantik-cantik dengan gaya yang memukau dan senyuman yang manis berceceran di dunia maya. Tidakkah wanita juga mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangan, baik di nyata maupun maya. Yakni, dengan tidak mempertontonkan bentuk tubuhnya dan memamerkan wajahnya yang dapat menarik perhatian lelaki asing.

Maka di sinilah letak kesalahannya, sebagai wanita muslimah, tidak seharusnya diri menampakkan apa yang bisa menarik perhatian lawan jenisnya, apalagi bila memang niatan memajang foto diri agar bisa dilihat dan dipuji orang banyak. Kalaupun belum bisa menjaga pandangan, tidakkah cukup dengan membantu saudara-saudara (lelaki) di maya untuk menundukkan pandangannya, dengan tidak lagi memajang foto yang dapat menggoda, menyadari betapa berbahayanya (fitnah) diri bagi mereka

Tapi kan cuma di dunia maya?

Dunia maya ya dunia maya. Dunia nyata ya dunia nyata. Dulu, iya, di awal-awal baru mengenal internet saya sempat berpikiran semacam itu. Memisahkan dunia maya dan dunia nyata. Menganggap dunia maya tidak terkait dengan dunia nyata. Tetapi, sekarang saya mendapati dunia maya telah menyatu dengan dunia nyata. Toh, baik dunia maya maupun dunia nyata sama saja, sama-sama masih berinteraksi di dunia. Bedanya, hanya tidak berinteraksi secara langsung. Itu saja, kan?

Nah, belakangan kemarin saya sempat kaget dengan beberapa pemberitaan media sosial terkait orang-orang yang karena sembarang update status di dunia maya, entah itu karena menghina suatu daerah, menjelek-jelekkan kepala negara atau karena curhat tentang gurunya sehingga mereka sampai diseret ke ranah hukum. Bahkan ada yang sampai di penjara. Padahal, kan cuma dunia maya?

Dunia maya sendiri baru berkembang pesat di negeri ini setelah memasuki tahun 2000-an. Malahan di tahun 2010, saat saya baru memesiunkan seragam putih-biru pesatnya belum sampai seheboh sekarang. Setidaknya belum ada aturan, hukum dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat dunia maya. Sejauh ini yang diperketat hanya situs-situs yang berbau pornografi dan pornoaksi, meski begitu masih banyak ditemukan anak-anak di bawah umur yang bebas mengakses situs tersebut. Anehnya, dari sekian banyak situs berbau porno yang masih bebas diakses oleh masyarakat luas, pemerintah(menkominfo dan BNPT) malah memblokir beberapa situs islam yang katanya radikal dengan alasan khawatir beberapa konten yang dimuat dapat memengaruhi pemikiran kawula muda.

Sampai di sini, saya tidak ingin membahas lebih jauh terkait dunia maya, mengingat catatan ini sudah lumayan panjang. Namun saat menyinggungnya, saya baru tersentak akan satu hal; ternyata tugas syaitan jaman sekarang tidak hanya menggoda manusia di dunia nyata melainkan juga di dunia maya. Mungkin tanpa disadari, fitnah (wanita) di dunia maya boleh jadi lebih berbahaya daripada dunia nyata. Terlebih, di dunia maya kan belum ada aturan-aturan pasti dan hukum tetap yang berlaku. Sehingga orang-orang masih bebas berekspresi, berbuat sesukanya, diam-diam tanpa malu-malu. Maka, sebagai seorang muslimah tidakkah sebaiknya lebih berwaspada. Walau memang cuma di dunia maya, namun bukan berarti tidak ada fitnah di sana. Orang-orang bahkan sebenarnya lebih berani unjuk muka di dunia maya daripada dunia nyata.

Awalnya sih dari pertemanan biasa di salah satu jejaring sosial. Si cewek rupanya hobi banget upload foto-foto dirinya yang memesona di facebook. Gegara foto-fotonya yang begitu menggoda, kepincutlah si cowok. Maka demi ngegaet perhatian si cewek, si cowok mulai mengeluarkan jurus pedekate. Mulai dari memberi jempol setiap kali si cewek update status atau upload gambar, juga tidak pernah ketinggalan meninggalkan komentar, sok kenal sok akrab gitu. Duh, cewek siapa sih yang gak suka status atau gambarnya dilike dan dikomentarin. Mulai ke-GR-an lah si cewek. Suatu hari si cowok pun memberanikan diri menyapa si cewek lewat inbox dan si cewek karena sudah ke-GR-an lebih dulu dengan senang hati membalas sapaan tersebut. Mereka lalu berkenalan. Kemudian hari-hari berikutnya mereka jadi keseringan ngobrol via inbox FB. Entah itu sekadar bertanya kabar atau berbincang basa-basi. Lama-lama semakin akrablah mereka di dunia maya. Sampai akhirnya si cowok ngajakin ketemuan di dunia nyata dan si ceweknya tanpa pikir panjang mau-mau aja ketemu sama cowok yang belum pernah ia temui dan baru dikenalnya beberapa waktu lalu di dunia maya. Mending, kalau si cowok yang ngajak ketemuan itu adalah cowok yang baik-baik, lha bagaimana kalau tidak?

Akhirnya, sudah banyak kan kasus kriminal baik itu penipuan maupun tindak kekerasan yang bermula dari dunia maya? Remaja yang di culik oleh teman mayanya? Ada, banyak. Wanita yang diperkosa oleh lelaki yang dikenalnya melalui FB? Tidak sedikit. Seseorang yang akhirnya bunuh diri atau membunuh kekasih mayanya hanya gegara wajah yang dikenalinya lewat foto di jejaring sosial tak sama dengan aslinya? Juga ada.

So, masih mau bilang cuma dunia maya? Padahal dunia maya boleh jadi adalah cerminanmu lho di dunia nyata, wahai muslimah. Entah itu, asli, palsu atau sekadar pencitraan. Hanya dirimu dan Allah-lah yang tahu hatimu. Maka biarkan hati tersinggung dengan sabda sentilan Rasulullah saw ini ; Kalau kau tak punya malu, berbuatlah sesukamu, agar tak sampai diri kehilangan HAYa-nya.

Juga tidak menampakkan aurat kok?

Saya pertama kali menutup aurat ketika baru duduk di bangku kelas VII SMP. Kala itu, wanita-wanita yang menutup auratnya di daerah tempat tinggal saya masih bisa dihitung dengan jari. Siswi yang berkerudung di sekolah saya pun masih sangat sedikit, tidak lebih dari lima orang.

Sekarang, setelah sebelas tahun berlalu, masya Allah, perubahan itu sedemikian cepat. Saya bahagia ketika mendapati orang-orang di sekitar saya banyak yang telah memanjangkan pakaiannya dan menutupi mahkota yang ada di kepalanya. Teman-teman wanita saya yang dulunya sebagian besar membiarkan rambutnya tergerai bebas dan pakaianya minim-minim pun alhamdulillah sekarang rata-rata sudah pada berhijab. Malah banyak yang cara berjilbannya lebih rapi, lebih modis dan lebih tertutup daripada saya.

Sebaliknya, saya merasa sangat sedih ketika melihat teman wanita saya yang dulunya berhijab sekarang lebih memilih menampakkan auratnya. Perasaan sedih itu juga yang menyeruak ketika mendapati diri saya yang sudah bertahun-tahun berhijab namun belum paham benar hakikat dari hijab itu sendiri.

Nyatanya, lamanya berhijab bukanlah menjadi penentu paling berimannya seseorang. Saya butuh waktu sepuluh tahun lebih untuk benar-benar paham akan hal ini. Paham, bahwa hijab bukan sekadar kewajiban. Bukan sekadar busana. Bukan sekadar penutup . Tetapi ia adalah suatu bentuk komitmen diri, dari seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Sehingga, ketika seseorang memutuskan berhijab maka bukan cuma hijabnya yang berfungsi menjaga dan melindungi dirinya namun ia pun harus menjaga dan melindungi hijabnya. Inilah yang tidak saya pahami dari awal :') Selama kurang lebih sepuluh tahun, busana yang diperintahkan Allah ini telah melindungi dan menjaga saya dengan sangat baik sebaliknya saya tidak pernah benar-benar menjaga dan melindunginya dengan baik, dengan iman, dengan ibadah, dengan sikap, dengan perangai, dengan akhlak, dengan kecintaan, dengan dzikir, dengan syukur, dengan berbagi, dengan kepatuhan, dengan menundukkan pandangan, dengan menjaga kemaluan, dengan meninggalkan perkara-perkara syubhat, dengan menuntut ilmu, dengan senantiasa menjaga HATI, dsb

Akibatnya, bila seseorang tidak turut menjaga dan melindungi jilbabnya maka mungkin layaknya persis seperti orang yang shalat tanpa khusyuk. Padahal ruhnya shalat adalah khusyuk maka ruhnya hijab adalah akhlak dari pemakainya. Sebab, hijab hanyalah benda mati yang benar-benar baru akan berfungsi ketika pemakainya paham benar. Hijab adalah bukti nyata cinta-Nya Allah kepada wanita dan hijab adalah bentuk kepatuhan wanita pada Tuhan-Nya.

Bukanlah hijab yang sebenarnya memuliakan, tetapi Allah. Bukanlah hijab yang sebenarnya melindungi, tetapi Allah. Bukanlah hijab yang sebenarnya menjaga, tetapi Allah. HIJAB hanyalah sebagai perantara Allah untuk memuliakan, melindungi, menjaga sekaligus membedakan wanita muslimah dengan wanita musyrik maupun kafir. Maka, sesungguhnya esensi dari HIJAB bukanlah pakaian luar yang tampak kasat mata melainkan pakaian dalam yang tersembunyi yang hanya Allah Azza wa jalla yang tahu. Bukankah sebaik-baik pakaian adalah TAKWA?

Rasululah saw bersabda; Sesungguhnya TAKWA itu adanya di sini (beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali) HR. Muslim. Maksudnya yang ada di dalam dada, yakni; HATI.

Dalam hadis yang lain beliau juga bersabda ; "Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan rupa dan harta yang kalian miliki. Tetapi Allah melihat hati dan amalan kalian (HR. Muslim)

Tentu, semua wanita yang ber-TAKWA pasti akan ber-HIJAB namun tidak semua wanita ber-HIJAB adalah wanita yang ber-TAKWA.

Jadi, usah heran bila melihat banyak wanita muslimah sekarang yang alhamdulillah sudah menutup aurat namun belum maksimal, apalagi bagi yang memutuskan berhijab hanya karena ikut-ikutan trend fashion hijab stylish. Tetapi itu bukan masalah, malah merupakan langkah awal yang bagus. Setiap pemahaman kan butuh proses. Ada yang prosesnya lambat, ada yang cepat dan ada juga yang lama. Nikmati saja dulu proses tersebut sambil terus berikhtiar dengan mencari ilmunya dan tak henti meminta pada Allah agar diberi pemahaman yang mendalam mengenai hakikat HIJAB.

Nah, terkait persoalan memajang foto diri sendiri di FB maupun di media sosial lainnya, sekalipun tidak menampakkan aurat alias sudah tertutupi hijab maka saya ingin menanggapinya dengan bertanya terlebih dahulu pada hati.

Sudah benarkah? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah nantinya? Bagaimana bila foto wajah saya menarik perhatian lelaki asing yang melihatnya? Sebenarnya sih wajah saya kalau menurut orang lain gak cantik-cantik amat, sedang-sedang saja jadi kalaupun foto diri saya gak sampai menimbulkan fitnah atau mengundang perhatian lelaki maka saya akan sangat bersyukur. Namun, sebagai muslimah saya harus tetap berwaspada. Seperti yang sudah saya jelaskan sedikit di catatan Ada Apa dengan Selfie bahwa yang dikhawatirkan dari seseorang yang berfoto baik selfie maupun difoto orang lain adalah timbulnya penyakit hati, yakni ujub, riya dan takabbur.

Apakah sudah yakin nih, dengan mengupload foto berhijab di FB maupun jejaring sosial lainnya tidak akan memunculkan ketiga penyakit hati tersebut? Kalau yakin, ya silahkan, sah-sah saja. Kalau saya sih gak yakin, apalagi setelah menyadari gak ada gunanya pajang foto yang menampakkan wajah saya. Apalagi selama ini foto yang saya pajang di media sosial adalah foto-foto yang memang sudah dipilah pilih sebelumnya. Dari dulu saya memang tidak pernah berani mengupload hasil foto diri yang saya anggap jelek ke media sosial. Artinya, benar kan? Memang niatnya cuma biar dilihat banyak orang :( __

Bahkan bukan cuma foto menampakkan wajah, belakangan ini saya juga mulai terusik dengan foto-foto diri yang sengaja diambil dari belakang atau samping dan hanya menampakkan jilbab saya yang menjuntai. Foto macam itu insya Allah memang tidak akan menimbulkan fitnah bagi lelaki, tetapi bagaimana dengan hati saya?

~

Allah, jauhkanlah saya dari segala penyakit hati yang semacam itu. Saya tidak ingin terjerembab dalam kubangan dosa yang tidak saya sadari. Saat menulis catatan ini pun, hati saya kerapkali diselimuti kekhawatiran. Di satu sisi diri merasa masih belum pantas namun di sisi lain tiada maksud selain menjadikan catatan ini sebagai media untuk menasihati dan menginstropeksi diri sendiri sekaligus hanya ingin berbagi kebaikan.

Adapun sebagian besar tulisan dalam catatan ini adalah opini saya pribadi berdasarkan apa yang pernah saya baca, nonton, lihat, dengar dan rasakan, dengan menyelipkan untaian nasehat kepada kaum wanita yang sengaja saya copas dari pesan yang pernah dikirimkan seseorang kepada saya serta mengutip beberapa firman Allah Azza Wa Jalla dan sabda Rasulullah saw yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.

Akhirnya, segala pilihan kembali pada diri. Setiap orang berhak menentukan pilihan, namun kalau boleh saya menyarankan, pilihlah yang terbaik. Sesuai kata hati. Jangan hanya menuruti nafsu. Entah masih ingin pajang foto di FB maupun media sosial lainnya atau tidak, itu adalah hak masing-masing individu. Sepeti kalimat tertera dalam pesan di atas yang sengaja saya kutip kembali di sini ; ITU HAK SAUDARIKU, MUSLIMAH. KAMI HANYA IKUT MENYAMPAIKAN.

Sesungguhnya segala kesempurnaan itu hanya milik Allah Azza Wa Jalla dan segala kekeliruan maupun kesalahan yang terpoles dalam catan ini semata-mata adalah karena kesalahan saya pribadi.

Wallahu a'lam bisshawab

Serui, 12 April 2014.
posted from Bloggeroid
Share
Tweet
Pin
No comments
Older Posts

About me

About Me

Hallo, perkenalkan
Nama saya Siska Dwyta
Seorang ibu rumah tangga
yang doyan ngeblog.

Ingin bekerja sama?
Contact me : dwy.siska@gmail.com

Read More About Me

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram

Labels

artikel Birth Story blogging fiksi jodoh keluarga kesehatan lomba blog media sosial menyusui Motherhood MPASI muslimah opini pernikahan personal Pregnancy reminder review tips

recent posts

Blog Archive

  • ►  2013 (54)
    • ►  March (1)
    • ►  April (2)
    • ►  May (5)
    • ►  June (4)
    • ►  July (7)
    • ►  August (4)
    • ►  September (6)
    • ►  October (5)
    • ►  November (8)
    • ►  December (12)
  • ►  2014 (76)
    • ►  January (9)
    • ►  March (2)
    • ►  April (8)
    • ►  May (8)
    • ►  June (14)
    • ►  July (11)
    • ►  August (5)
    • ►  September (1)
    • ►  October (3)
    • ►  November (8)
    • ►  December (7)
  • ►  2015 (16)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  April (5)
    • ►  May (1)
    • ►  June (2)
    • ►  July (1)
    • ►  October (1)
    • ►  December (3)
  • ►  2016 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2017 (41)
    • ►  September (4)
    • ►  October (26)
    • ►  November (7)
    • ►  December (4)
  • ►  2018 (48)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  March (1)
    • ►  May (2)
    • ►  July (2)
    • ►  September (3)
    • ►  October (2)
    • ►  November (13)
    • ►  December (22)
  • ▼  2019 (151)
    • ►  January (11)
    • ►  February (11)
    • ►  March (13)
    • ►  April (6)
    • ►  May (35)
    • ►  June (6)
    • ►  July (3)
    • ►  August (3)
    • ►  September (24)
    • ►  October (17)
    • ►  November (19)
    • ▼  December (3)
      • Arti Dibalik Nama Zhafran Assyauqi Muhammad
      • Umroh.com, Marketplace dengan Paket Umroh Termurah...
      • Ketahuilah Cara Mencegah Penyakit Jantung Koroner ...

Popular Posts

  • Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Fossil Gen 5 Smartwatch
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Gen 5 Fossil Smartwatch . Pekerjaan sebagai ibu rumah tan...
  • Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus . Setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing. Ujiannya...
  • Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar   - Pekan lalu say...
  • Cerita MPASI Bunay 6 Bulan : Belajar Makan
    Tak terasa sudah genap sebulan Bunay makan makanan selain ASI. So, di postingan kali ini saya pengen cuap-cuap dulu mengenai MPASI Bunay ...
  • Tentang Anging Mammiri, Komunitas Blogger Makassar yang Berembus Sejak Tahun 2006
    gambar latar : pxhere.com Bismillaahirrahmaanirrahiim "Kemana saja saya selama ini. Ngakunya Blogger Makassar kok baru gabung ...

MEMBER OF

Blogger Perempuan

Followers

Facebook Twitter Instagram
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by Siska Dwyta @copyright 2019 BeautyTemplates