Masuk Neraka Siapa Takut #Jangan Salahkan Jilbabku

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

Iri. Rasa itu menyeruak masuk ketika melihat salah seorang temanku yang dulu semasa sekolah rambutnya terurai bebas, pakaiannya menampakkan aurat sekarang justru berubah drastis tertutup dengan jilbab besar menutupi seluruh tubuh. Rasa iri juga yang kerap kali menghampiriku setiap kali melihat para jilbaber di kampus, di jalan-jalan, di masjid, di mall, dimanapun. Rasa yang terkadang langsung menodongku dengan sebersit pertanyaan.

‘’kapan aku bisa seperti mereka? kapan Cha, kapan?’’
“Iya kapan ya? aku sendiri juga gak tahu” 
“Bukankah aku sudah berjilbab? begini saja sudah ok, gak musti berjilbab besar, kan! Yang penting menutup aurat. Ah, tapi mungkin nanti kalau aku sudah married atau mungkin gak akan sama sekali” selanjutnya aku bercoleteh  dengan diri sendiri.

Oh yah, bukan saja iri, aku pun sering terpesona dengan penampilan setiap wanita berbalut gamis dan jilbab besarnya, mereka tampak begitu anggun memukau di mataku. 'Aku ingin seperti mereka’ kali ini hasratku yang berbicara.

Tentu saja aku tidak pernah melupakan impian mulia yang pernah bertengger di hati gadis berumur belasan tahun. Begitu pula saat ia dipersilahkan menyebutkan impiannya sewaktu mengikuti salah satu kegiatan training motivasi yang di adakan di kampusnya tahun 2012 lalu. ‘Menjadi wanita shalihah’ salah satu dari sekian impian yang ia utarakan dengan lantang di hadapan teman-temannya, tanpa ragu sedikitpun.

Yah, Wanita Shalihah, sudah cukup lama impian tersebut tersemat di hati ini, di awal
masa balighku semenjak aku menemukan seuntai kalimat mutiara, Rasulullah saw :

 
Membacanya hatiku serasa tersentuh, meski aku sendiri belum mengerti maksud hadis tersebut tapi aku ingin jadi perhiasan itu, aku ingin jadi perhiasan seperti yang dituturkan oleh kekasih Allah. Aku ingin diriku menjadi wanita shalihah. And it’s my dream. Aku tidak benar-benar melupakan mimpi bukan bunga tidur itu, hanya saja seiring waktu yang terus berputar aku mulai mengabaikannya. Padahal kalau dipikir sebenarnya impian tersebut paling mudah diwujudkan dibanding impian-impianku yang lain. Coba bandingin saja dari sekian banyak mimpi-mimpiku, selain menjadi penulis best seller, raih gelar magister, S2 di Universitas Al-Azhar Cairo, jadi dosen kalkulus, menguasai bahasa inggris, arab dan korea, pergi naik haji bareng orang tua, punya rumah sendiri, punya mobil, keliling dunia, bla..bla..bla. Tuh kan, gak butuh modal besar, gak butuh tenaga ekstra, gak butuh waktu lama. Sekarang juga kalau mau jadi wanita shalihah, you can do itu. Yuuk, Cha tunggu apalagi. Ada niat, ada tekad, langsung action dong.

Hu’um ngomong saja gampang, realisasinya itu lho masya Allah, kalau tidak ada yang menggerakkan hati ini mana bisa diwujudkan. Dan masalahnya satu-satunya yang bisa menggerakkan hati, yah hanya Sang Pemilik Hati Juga. Lho Hati ini milik siapa?

Mmm... hati ini bukan milikku, bukan milikmu, bukan pula miliknya ataupun milik mereka, hati ini milik. ALLAH swt. Artinya selama ini Allah gak menggerakkan hatiku yah? Astaghfirullah, aku hanya akan berprasangka baik pada Tuhanku. Bukankah Allah sudah menggerakkan hatiku dengan menumbuhkan rasa iri setiap kali melihat para akhwat melintas dihadapanku, bukankah Allah sudah menggerakkan hatiku dengan menampakkan pesona para muslimah dalam pandanganku. Lantas, tunggu apa lagi, Cha?

Ya Allah, bahkan niat baik pun pernah terlintas. Hanya melintas. Malahan aku pun sempat berjilbab besar. Hampir. Tapi kenapa waktu seolah menyeretku ke dunia bukan impianku. Membawaku jauh dari mimpiku. Semakin jauh dari menjadi perhiasan yang paling indah di dunia. Dulu perkiraanku diri ini telah berada di jalan cahaya-Nya. Dengan berkerudung saja sudah hidayah (lho?). Awalnya kerudung pendek, baju ketat lengan panjang beserta celana jeans, kemudian beralih memesiunkan semua celana dan menggantinya dengan rok, lambat laun baju mulai longgar, kerudung mulai panjang menutupi dada, tak lupa kaos kaki selalu setia setiap keluar rumah. Semuanya kulakukan secara bertahap. Sebuah proses yang kujalani tanpa menghadirkan makna jilbab dalam pemahamanku. Seharusnya jika sudah nutupin aurat, bisa jaga diri, jaga hati, jaga sikap. Mungkinkah karena aku masih terlalu dini memaknainya? sekedar tahu doang, selebihnya jilbab cuma kujadikan sebagai busana di luar rumah. Lucu. 

Aku sibuk menjilbabkan diriku sementara hati sendiri lupa dijilbabin. So jangan heran lihat wanita berjilbab shalatnya asal-asalan, mulutnya masih sering berkotek sana-sini, melawan orang tua lah, berantem sama saudara sendiri, kerapkali berbohong, tilawah setahun sekali gak sampai khatam, ibadah sunnah ditinggalin, ingat Allah kalau lagi ketimpa musibah saja, astaghfirullah . Malu Cha, malu sama jilbab. Hiks. Apa artinya berjilbab kalau tingkah sama penampilan beda 180 derajat. Sesak dada ini :’( aku malu dengan jilbabku. Ia senantiasa menjaga diriku, tapi aku justru tidak menjaganya dengan hatiku

Pantaslah banyak wanita muslim enggan berjilbab, alasannya karena merasa diri belum baik, shalat masih sering bolong-bolong, masih sering bergosip ria, hati masih kotor, pengen jilbabin hati dulu dan seabreg alasan lain. Seolah-olah jilbab hanya pantas dikenakan oleh wanita baik-baik saja, wanita yang hatinya suci, bersih dari noda. Karena jilbab adalah lambang kesucian, sehingga wanita berjilbab pastilah suci. Oh, begitu memang persepsi kebanyakan orang. Tapi masalahnya bagaimana cara menjilbabkan hati. Sedangkan jilbab bukan masalah mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, pantas atau tidak pantas sebab ia merupakan perintah ALLAH yang musti di sambut dengan sami'na wa atha'na.

Duh,  aku merasa terbebani dengan persepsi tersebut. Sekali lagi aku malu dengan jilbabku. Dulu aku memutuskan menutup aurat ketika ilmuku masih terlalu dangkal, aku pahami jilbab wajib bagi setiap muslimah yang sudah baligh, sebagaimana kewajiban shalat bagi setiap umat islam. Namun, makna jilbab itu sendiri, aku belum paham? Makanya, aku sama sekali tak berpikiran untuk mencari-cari alasan saat mama menyuruhku berjilbab sewaktu aku baru memesiunkan seragam putih merahku, awalnya memang aku sempat menolak itu pun tanpa alasan pasti, dan bukan suatu kebetulan pula di waktu hampir bersamaan aku ikut kegiatan pengkaderan dan disana aku mulai memahami satu hal. AKU WAJIB BERJILBAB. Just it.

Selanjutnya tanpa keberatan sama sekali akhirnya aku memutuskan menggunakan seragam lengan panjang, rok panjang juga membiarkan rambutku yang  biasa terurai, tertutup dengan kerudung. Melihat penampilan baruku, aku tersenyum lalu bergumam dengan kembaranku di cermin ‘’Cha, mengapa berjilbab?’’ Sungguh aku tak punya alasan apapun yang harus kuungkapkan, tanpa berpikir panjang. ‘Karena Allah’ hanya itu jawaban yang kupunya Hari itu, hari pertama aku masuk sekolah di SMP sekaligus menjadi hari pertama aku berjilbab. Nice day.(19/07/06)

Namun apalah artinya amal tanpa ilmu, tahu tanpa paham toh meski sudah lama sejak aku memilih berbusana muslimah, aku belum pernah menjaga jilbabku dengan baik. Mungkinkah lebih baik gak usah berjilbab, kalau kelakuan masih melebihi orang yang gak pakai jilbab. Na’udzubillah. Jilbabku seolah-olah beralih fungsi menjadi topeng kepalsuan, dan aku bersembunyi di baliknya. Aku malu. Ingin kuteriakkan pada semua orang yang mengenalku, jangan lihat jilbabku, jilbabku tak pernah salah, jangan memandangku sebagai wanita ‘suci’ karena jilbabku, bahwa kenyataanya aku tidak sebaik yang mungkin kebanyakan dari mereka kira, meskipun dulu aku adalah seorang gadis yang paling semangat ikut kegiatan bernuansa islami, jarang absen ikut pengajian/kajian, nilai pelajaran agamaku selalu tinggi, masuk pengurus rohis, pernah menjabat sebagai ketua organisasi islam di daerah tempatku bernaung, berteman dengan para jilbaber, bahkan sempat menjadi instruktur pengkaderan, tapi apa arti semuanya?

Aku merasa seabreg kegiatan islami yang pernah kuikuti hanya kesia-siaan belaka, ilmu yang kuterima ibarat masuk telinga kiri keluar telinga kanan, walau secuil tak satu pun yang tersave di otak sebagai sebuah pemahaman. Tapi aku terlanjur, terlanjur berjilbab, terlanjur membuat ‘image' alim di mata keluargaku, teman-temanku, dan setiap orang yang mengenal diriku. Dan aku benci dengan ‘image’ tersebut. Aku benci dengan diriku yang penuh kepura-puraan. Sungguh aku muak, aku ingin jadi diriku sendiri,,, tapi kenapa keadaan seakan menyeretku menjadi seseorang yang tidak kukenal sama sekali.

Pakai jilbab kok pacaran? Gleg. Sepertinya tertohok dada ini mengingat aku sudah sering gonta-ganti pacar, tak hanya satu malahan sempat menjalin hubungan dengan dua sampai tiga cowok sekaligus. Cha, sebenarnya mau jadi playgirls atau wanita shalihah sih? Malu Cha, malu jilbabnya mau dikemanain. Dulu pernah berkomitmen ogah pacaran, pacarannya nanti setelah walimah, dulu malah sempet nasehatin teman sendiri, jangan pacaran. Nyatanya, ckckck omonganku gak bisa dipegang. Malah aku sendiri ikut terjebak dalam dunia yang mendekatkanku dengan zina.

Duh, Gusti... betapa berat beban yang harus kupikul dengan jilbab yang kukenakan ini. Suatu hari nanti di padang mashyar-Mu pastilah Kau akan meminta pertanggungjawaban atas jilbabku. Untuk apa menutup aurat kalau kulitmu masih bisa disentuh oleh lelaki yang bukan mahrammu? Untuk apa berjilbab jika rambutmu saja masih kau perlihatkan pada seseorang yang belum halal bagimu? Untuk apa berhijab jika hatimu masih lebih mencintai lelaki yang belum tentu menjadi jodohmu? Kenapa berani mempermainkan syariat yang telah ditetapkan kepadamu?

Perintah berjilbab adalah tanda bukti cinta Allah, dia memuliakanmu dengan jilbab. Dia mengangkat derajatmu dengan jilbab. Dia menjagamu dengan jilbab. Tapi kenapa tidak kau muliakan dirimu setelah memutuskan berjilbab, malah kau rendahkan dirimu dihadapan manusia. Jilbab bukan sekedar busana, ia pelindungmu, penjagamu, penolongmu, tidakkah kau saudari itu, wahai diri? Kalaulah bukan karena Allah yang masih sudi menyayangiku, bersedia menarik tanganku setiap kali aku berada di jurang kehinaan, pasti sekarang diriku telah menjadi seonggok mayat hidup tanpa arti.

Lihat, betapa kasih-Nya Dia padaku, mungkin mataku telah dibutakan olehnya, mungkin telingaku telah ditulikan olehNya, hatiku pun jauh dari mengingat-Nya. Tapi sungguh aku merasa Dia tidak pernah berpaling sedikitpun dariku, akulah yang berpaling hingga dia menutup pintu hatiku, lantas aku tak dapat menyaksikan lagi kebenaran-Nya meski jelas-jelas tampak dihadapanku.

Dan pada akhirnya memang harus kuakui sungguh tak mudah menjadi wanita yang mampu menundukkan pandangannya, menutup auratnya, mengulurkan jilbabnya, menjaga kehormatan dirinya, mencintai ALLAH swt dan Rasulullah saw melebihi apapun di dunia ini, taat pada suami, berbakti pada orang tua, memelihara shalatnya, rutin berpuasa, tilawahnya lancar, hatinya senantiasa berdzikir, selalu bersyukur, tidak membicarakan aib saudaranya, tahajjud menjadi tempatnya mencurahkan segala perasaan, dan sejuta kebaikan yang melekat pada dirinya. Tak mudah menjadi wanita shalehah. Mengapa? Tak mudah bukan berarti tak bisa kan? Jawabannya, yah bisa saja. Karena selalu ada kata mungkin, dan aku yakin setiap muslimah memiliki peluang itu. Peluang untuk menjadi perhiasan yang paling indah di dunia.

Kini, setelah paham akan makna jilbab, aku hanya seorang seorang wanita yang sedang belajar kembali menata hati, menata pikiran, dan menata diri agar tetap istiqomah demi menggapai impian saya yang sempat terabaikan. Menjadi seorang Wanita Shalihah.
 ***

Sungguh tanpa bermaksud mengumbar aib diri, semoga sepenggal kisah yang aku tuturkan ini  bisa menginspirasi teman-teman sekalian, terutama bagi kaum hawa yang masih memilih enggan berhijab. Jangan tunggu menjadi “sempurna” dulu baru mau berhijab, karena kita tak akan pernah menjadi sempurna. insya Allah seiring waktu berlalu berkah berhijab itu akan kita rasakan.

 
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)


11 komentar untuk "Masuk Neraka Siapa Takut #Jangan Salahkan Jilbabku"

Comment Author Avatar
alhamdulillah, terimakasih sudah berkenan berpartisipasi,
artikel sudah resmi terdaftar sebagai peserta… mohon dicheck kembali di daftar peserta ya....
salam santun dari Makassar :-)
Comment Author Avatar
alhamdulillah sudah terdaftar

salam santun juga dari Makassar:D
Comment Author Avatar
Semoga bisa terus dan tetap istiqomah ya...
Comment Author Avatar
Aamiin makasih doanya mbak:)
Comment Author Avatar
semoga selalu istiqomah ka :)
Comment Author Avatar
Aamiin makasih doanya Rani:)
Comment Author Avatar
Alhamdulillah ya Alloh. Membacanya terasa meneduhkan. Semoga Alloh selalu melindungimu.
Comment Author Avatar
Allhamdulillah. Ia mbak, semoga amiin:)
Comment Author Avatar
tidak usah menunggu jadi baik dulu iya.. betul sekali.
Semoga selalu istiqomah mah terus diberikan berkah ^_^
Comment Author Avatar
Ya, memang muslimah harus berjilbab. ^_^
Comment Author Avatar
Kakak, malu aku baca ini postingan ini.
Persis seperti saya, mengena sekali :(

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.