Senja Berlalu
Matahari nyaris terbenam. Menyisakan semburat jingga dengan keanggunanan nan mempesona. Bila jingga muncul maka ia tak pernah sendiri, sebab jingga selalu bersanding dengan senja. Senja yang bertabur kehangatan, senja yang menyemaikan harapan, senja yang menitipkan rindu, senja yang menebarkan kenangan, dan senja yang menjadi saksi kisah cinta anak adam.
"Putus?" satu kata itu tergantung di udara bersama deru angin yang menari kencang di bibir pantai.
Aku tersenyum sinis memandang cowok di sampingku. Cowok tanpa ekspresi dengan tatapan yang sengaja ia buang ke hamparan laut.
"Jangan bercanda say, aku gak suka lelucon seperti ini"
Hening. Masih dengan deru angin. Masih dengan riak ombak yang asyik menghantam karang. Airnya memercikkan aroma asing.
Aku terpaku sejenak. Mencerna ucapanku barusan dengan reaksi cowok itu, sontak melemaskan seluruh persendian. Sekali lagi kutatap lekat cowok yang pandangannya sedari tadi bertautan dengan laut di bawah langit jingga. Semenit, tiga menit, lima menit, sampai mataku berkaca-kaca. Ia tetap enggan menoleh ke samping. Panik dan takut pun mulai bercampur menghantui perasaan ini. Tangan yang sekarang kuremas kuat malah gemetaran. "Ini tidak mungkin, tidak mungkin" jeritku kencang dalam hati
"say, aku salah apa? Kamu jangan diam terus dong. Tolong jelasin, apa maksudnya kamu tiba-tiba jadi kayak gini".
Perlahan sekali kaca-kaca di mataku retak, meneteskan bulir-bulir air. Aku tersedu menahan isak.
"Aku serius, Din. Tidak ada yang perlu aku jelasin lagi ke kamu. Aku sudah bosan dengan hubungan kita dan aku pengen putus. Itu aja".
Bagai mendengar teriakan guntur yang membahana dan kilat yang menyambar, wajahku berubah pasi dan tubuh seketika lunglai. Aku jatuh terduduk dengan bulir-bulir air yang semakin banyak. Sulit memercayai kata-kata yang barusan mencuat dari mulut seorang Gilang, kekasihku.
Iya, aku benar-benar tak bisa memercayainya. Bagaimana mungkin Gilang tega memutuskan hubunganku dengannya. Apa dia lupa dengan janji yang telah kami genggam bersama tuk selamanya. Kenapa aku justru merasakan ia tidak sedang bercanda. Ini bukan lelucon. Tidak. Dia tidak bisa melakukan ini padaku. Tidak bisa.
Aku segera bangkit meski jantungku sedang berpacu hebat dengan tubuh yang kian melemas, lekas kuraih tangan Gilang.
"Kita tidak bisa putus say, tidak. Aku tidak bisa" Ujarku terisak perih, lalu memeluknya erat. Gilang tak bergeming. Ia membiarkan aku menangis di dadanya tanpa balas melingkarkan tangan seperti yang biasa ia lakukan setiap sedih melandaku.
"Sudahlah Dinda, Sayang kalau air matamu terbuang sia-sia. Keputusanku sudah bulat" ujar Gilang datar, sambil perlahan melepaskan lingkaran tanganku dari pinggangnya dan itu membuat aku tersentak. Kaget.
"Maaf aku harus pergi sekarang" lanjut Gilang singkat, kemudian beranjak meninggalkanku dengan tanda tanya besar tepat ketika terbentang pemandangan laut dan sunset di belakang kami.
Kini? tinggal aku terpaku dengan tangis yang mendadak terhenti. Ku tatap sosok Gilang yang terus melajukan langkah tanpa menoleh sedikitpun.
"Kembali.. Kembali... Kembali... kembali... kumohon kembalilah" seiring langkah kaki Gilang tak henti gumamku melantun penuh harap hingga cowok yang sejam lalu masih berstatus sebagai kekasihku akhirnya menghilang di ujung jalan bersama matahari yang terbenam di belakangku.
Gilang telah pergi membawa semua harapan yang aku semaikan bersamanya selama ini. Selama lima tahun jalinan cinta kami.
***
Kisah ini masih berlanjut...
041112,
writing with smile
7 komentar untuk "Senja Berlalu"
"Aku sudah bosan dengan hubungan kita, dan aku pengen putus"
Huaaaaa nggak suka kalimat ini
Di tunggu kisah selanjutnya kak :)
kenapa pacaran kalau ga siap patah hati?
hihhihi
ditunggu lanjutan ceritanya :D
untung gue bukan cowok, wkwkwkw :D
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.