Bukan Cinta Biasa
"Maaf" Hanya satu kata yang berhasil meluncur dari mulutku diikuti tetesan embun yang perlahan membasahi pipi.
"Kenapa menangis?" Tanya itu membuatku semakin terisak. Tanpa mengucap sepatah kata aku segera berlari, meninggalkan Ilham yang mematung keheranan.
Aku sendiri bingung dengan reaksiku. Kenapa coba aku nangis kemudian berlalu setelah Ilham dengan sabar menanti jawaban. Apa susahnya bilang kata iya atau tidak? Padahal ini bukan pengalaman pertama aku ditembak cowok. Sudah sering malah. Dan biasanya tanpa pikir panjang, aku dengan mudah menjawab tidak dengan berbagai alasan yang sengaja aku ada-adakan.
Yah! setidaknya sampai detik ini, di usiaku yang telah mencium angka 22, aku selalu menolak cowok yang datang menawarkan hubungan special. Termasuk cowok yang tampangnya sekaliber Ibnu Sabil atau Evan Sander pun pernah merasakan penolakanku. Uhuk. Oke, pengibaratanku mungkin agak lebay. Faktanya memang demikian. Diantara cowok-cowok yang pernah nembak aku, ada lho yang tampangnya kayak mereka. Punya postur tubuh atletis, tinggi dan bermata tajam. Anehnya, aku sama sekali tak tertarik. Entah kenapa, aku lebih enjoy menikmati kesendirianku di tengah teman-teman yang justru pada berlomba-lomba menghindari status jomblo.
"Astaga, Aya, cowok kayak Deon masa' lo tolak. Ya ampun, otak lo.. lo taruh di mana sih, kalau emang lo gak doyan, mustinya lo lemparin aja ke gue" Jerit Viona histeris setelah mendengar kabar insiden penolakan Deon, si ketua Mapala yang terkenal paling gagah di kampus kami.
"Yeee... trus Bagas lo mau buang kemana?" Tawaku memecah menanggapi histeria Viona.
Sahabatku yang satu itu emang paling heboh menanggapi kebiasaanku menolak cowok-cowok cakep. Kadang ia amat menyayangkan keputusanku sekaligus keseringan girang. Gimana gak girang? penolakanku pertanda dia bakal dapet peluang ngegaet cowok cakep. Tak jarang Viona merengek minta dicomblangin ama cowok yang pernah nembak aku padahal sebelumnya dia yang jadi mak comblang. Huh. Dasar!
Karena keseringan ditodong, di suatu hari aku terpaksa ngabulin permintaan konyolnya. Hanya sekali itu saja. Pun setelah kupuji-puji, akhirnya cowok bernama Bagas bersedia move on dan memilih menjalin kasih bersama Viona. Alhamdulillah, setelah itu aku tetap terusik. Sebab Viona-ku yang masih kekanak-kanakan belum betah bertahan pada satu hati. Ah, terpaksa lagi, aku yang harus membuatnya bertahan pada seorang Bagas.
Sementara aku? Kesendirian membuatku tumbuh menjadi dewasa dengan sendirinya. Aku tak punya banyak pengalaman menjalin kasih dengan lawan jenis. Cukup belajar dari pengalaman cinta orang lain. Yup, aku suka sekali belajar tentang cinta, mulai dari mendengarkan curhatan orang lain, melahap habis novel-novel bengenre romantic, hingga tenggelam dalam drama-drama korea.
So, jangan heran bila aku sok pandai mengatasi masalah teman-temanku yang patah hati, dan pintar merangkai kata-kata cinta. Mungkin aku terlihat sangat berpengalaman. Nyatanya tidak. Cinta yang kutulis adalah palsu. Aku bahkan lupa bagaimana indahnya jatuh cinta? Sudah lama sekali aku tidak merasakannya.
Tapi Ilham, lelaki yang baru kukenal sebulan lalu itu sepertinya telah mengusik hatiku. Ilham berbeda dengan lelaki kebanyakan yang pernah datang sekedar menyatakan cinta, sebaliknya dia sangat mirip dengan seseorang dari masa laluku. Dia menawarkan sesuatu yang lebih dari cinta. Mungkin itu yang membuatku menjawab tak seperti biasanya. Aku baru menyatakan "maaf", dan itu berarti belum tentu aku menolaknya.
Langkahku semakin jauh meninggalkan Ilham di belakang. Sungguh, aku tak heran bila cowok yang tidak pernah meninggalkan shalat berjamaahnya di masjid itu tidak berlari mengejarku. Sudah ku bilang dia memang berbeda.
###
"Whaaatt... cowok alim kayak Ilham Hidayat akhirnya naksir juga sama lho Aya" Jerit Viona lebih keras dari biasanya, ketika aku menceritakan kejadian yang barusan kualami.
Aku mengangguk, pelan.
"Trus... lo nolak lagi?"
Aku geleng-geleng kepala.
Sejenak Viona terdiam, seperti sedang mencerna arti gelengan kepalaku. Semenit kemudian ia terlonjak dari tempat duduknya.
"Yeeesss... akhirnya sahabat gue punya pacar" teriak Viona kenceng. Seketika banyak pasang mata di kantin kampus siang itu menoleh ke arah kami.
Buru-buru aku menutup mulut Viona dan menarik tangannya pergi sebelum mengundang perhatian mahasiswa-mahasiswa yang kerjaannya tukang kepoin urusan orang lain berdatangan bak wartawan.
"Plisss... dong Na, jangan sebar gosip sembarangan" dengusku kesal setelah kami tiba di
tempat yang agak sepi. Di samping kantin.
"Lha tadi kan lo sendiri yang bilang?"
"Iihhhh... siapa yang bilang, aku kan cuma geleng-geleng kepala"
"Upst.. sorry dehh.. sorry... trus gimana Say? Ceritain dong. Gue kira cowok - cowok tampang dia tuh ngebetnya sama para jilbaber. Kok bisa, naksir sama lo yang shalatnya masih bolong-bolong, kerudung aja masih lepas pasang, hmmm apa lagi yaahhh?"
"Aku juga tidak tahu Vion" lirihku dengan pikiran yang berkecamuk luar biasa saat ini. Aku urung menceritakan semua yang Ilham ungkapkan padaku di taman kampus tadi, mengingat sikap Viona yang tak hanya kekanakkan, tapi juga rada cerewet, kadang-kadang suka kecoplosan ngomong.
Sebenarnya, aku tak masalah bila banyak gosip beredar di sekelilingku. Tentang kejombloanku yang dipertanyakan, aku yang pernah dihujat sok jual mahal, dikatai cewek gak normal lah. Huft. Susah memang kalau terlahir cantik. Banyak yang iri. Padahal aku sama sekali tak merasa cantik. sekalipun banyak pujian kerapkali berdatangan. Katanya aku mirip banget dengan artis Cinta Laura atau Chelsea Olivia karena gigi kelinciku.
Aku sih masa bodoh dengan pujian atau hinaan orang. Mau mirip sama artis siapapun juga aku gak peduli. Because this is my life. Aku bukan artis, bukan siapa-siapa. Hanya wanita biasa yang benci dengan orang-orang yang menilaiku dari luar saja. Emang, apa salahnya cewek cantik kayak aku ngejomblo?
Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan kisah cinta Cinderella dan Putri Salju. Aku mendambakan seorang pangeran. Khayalanku mungkin terlalu tinggi. Dulu aku punya pangeran yang sangat kucintai, tapi pangeran itu telah pergi jauh ke dunia lain. Tuhan tidak menakdirkanku bersamanya. Viona tahu itu, sebab kami sudah sepuluh tahun bersahabat. Makanya cewek keturunan Jawa-Makassar itu tak terlalu heran bila sampai duduk di bangku semester akhir ini sahabat tercantiknya masih betah menjomblo.Tapi, mereka yang hobinya sewot mulu dengan urusan orang lain, baru mengenalku kemarin sore lantas bersikap seolah sudah mengenalku bertahun-tahun lamanya. Hah. mereka tahu apa tentangku.
"Lagian bagaimana bisa aku menerima lelaki yang menyatakan cinta karena tampilan fisikku saja?"
###
Sepanjang malam ini aku nyaris tidak memejamkan mata. Pertemuanku dengan Ilham siang tadi memang berhasil menyita pikiranku. Apalagi perihal percakapan kami yang berujung dengan tetesan embun yang berguguran di mataku.
Ah, bagaimana aku tak menangis terharu bila ini adalah kali pertama ada seseorang lelaki yang serius datang menawarkan cinta sejati, bukan cinta palsu seperti yang sudah-sudah. Bila sebelumnya kebanyakan lelaki datang memintaku untuk jadi ceweknya, Ilham dengan mantap memintaku untuk menjadi istrinya.
Bagaimana aku tidak "syok" menanggapi permintaannya yang mendadak itu. Aku sampai meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata, hanya air mata yang sempat ia lihat bergelinang di pipiku. Entah apa yang terbesit di pikirannya ketika melihatku justru menangis tepat setelah ia menyatakan ingin menikahiku.
Bagaimana mungkin Ilham bisa sebegitu yakin? Aku bahkan baru mengenalnya sebulan lalu. Itu pun lewat pertemuan yang tak disangka-sangka. Waktu itu Viona yang entah kesambet jin darimana tiba-tiba mendesakku untuk menemaninya ikut kajian islami di masjid kampus. Aku yang dari sononya gak doyan dengar ceramah, kajian atau apapun sejenisnya mau tidak mau terpaksa ikut setelah didesak-desak setengah mati oleh Viona.
"Tumben lo ngotot banget ngajakin aku ke masjid, Na biasanya juga lebih suka nongkrong di kantin. Ada apa?" tanyaku kala itu sambil melirik curiga.
"Gak kok, gue cuma penasaran aja"
"Penasaran? Maksud lho?"
"Jadi gini, hari ini yang ngisi kajian di masjid itu Ilham Hidayat, ketua LDK baru yang konon katanya dia cowok paling keren yang ada di kampus kita, berkharisma dan yang pasti alim. Bahkan katanya nih setiap cewek yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Yah, gue jadi penasaran dong seperti apa dirinya" Jawab Viona sambil nyengir.
"Astaghfirulloh, sadar Na... sadar... Bagas mo lo taruh dimana. Lagian lo dengar rumor kayak gitu darimana. Ada-ada saja deh" tanggapku sewot
"Aduuuhhh.... Aya justru lo yang kudet banget. Nama Ilham Hidayat itu udah terkenal di seantero kampus. Sejak dia menduduki jabatan sebagai ketua LDK tuh cowok langsung lho jadi sorotan publik. Dimana-mana anak-anak pada ceritain doi, masa' lo gak tau"
"Beneran, aku emang gak tahu kok, gak pernah dengar juga tuh namanya. Duh... Vion jadi ceritanya lo ngajakin aku ke masjid cuma buat nemanin kamu liatin itu cowok bukan mau dengar ceramahnya, gitu" ucapku menyimpulkan dengan ketus.
"Hehehe.... iya" nyengir Viona semakin lebar .
Sesampai di masjid Viona malah uring-uringan mau ke kantin. Gak betah katanya. Ya jelas gak betah, wong niatnya dari awal sudah salah. Ternyata di masjid itu tempat duduk perempuan dan laki-laki tidak hanya dipisah tapi dibatasi oleh hijab otomatis si Ilham lelaki yang menjadi alasan kedatangan Viona ke masjid tidak terlihat, cuma suaranya yang terdengar jelas.
Mulanya aku duduk tenang tanpa mempedulikan Viona di sampingku yang sudah memasang wajah manyun. Sengaja sih, siapa suruh dia yang ngajakin aku datang dia juga yang minta pulang. Saat itu aku masih gak fokus, melihat ekspresi Viona dengan wajah tertekuk membuatku ingin tertawa terbahak-bahak tapi sekuat tenaga kutahan. Menurutku itu sangat lucu, dan... dan menit berikutnya aku mulai terpaku. Suara bariton di balik hijab seketika menghipnotisku, aku seperti orang yang terkena sihir, tidak mampu bangkit bahkan bergerak sedikit pun untuk beberapa saat.
Suara itu... aku amat mengenalinya. Pikiranku melayang pada cowok berusia belasan tahun yang pernah melingkarkan cincin daun di tanganku. Cowok yang pernah mengukir pelangi di hatiku, cowok yang pernah menautkan janji bahwa kami akan saling mencintai sampai kapanpun, sampai maut memisahkan, selamanya sampai akhirnya takdir ternyata berkata lain.
"Ilo'.....?" Perlahan aku melafalkan nama itu, lantas ada kekuatan besar yang mendorongku bangkit, dan tanpa pikir panjang aku langsung maju menyingkap hijab yang membatasi antara laki-laki dan perempuan. Kenekatanku saat itu tentu saja mengundang perhatian banyak orang, semua mata peserta yang hadir dalam kajian tersebut tiba-tiba tertuju padaku, sebaliknya tatapanku justru menjurus ke depan. Mataku tak sengaja beradu pandang dengan satu-satunya lelaki yang berdiri di depan sana, lelaki yang baru saja menghentikan pembicaraannya karena ulahku.
"Aya... apa yang lo lakukan?" Tiba-tiba Viona menghampiriku lalu segera menarikku keluar sambil menunduk menyatakan permintaan maaf kepada semua hadirin.
Pikiranku mendadak kosong. Bahkan saat Aya menarikku keluar, ia seperti menarik mayat hidup.
Aku tidak bergeming. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Ilo' Na, Ilo' hidup kembali" ucapku dengan mata berkaca-kaca saat kami sudah berada di ujung teras mesjid.
"Gila lo Ya, mana mungkin orang yang sudah di kubur di tanah bisa bangkit, itu cuma ilusi lo, Ilo' sudah lama pergi dan lo gak bisa terus-terusan kayak gini Aya"
"Tapi Na lo lihat sendiri kan, suara itu suaranya Ilo' dan mata yang baru kutatap tadi itu matanya Ilo'. Itu benar-benar Ilo', Na. Ilo', pangeranku" tangisku seketika pecah namun segera dibungkam Viona dengan memelukku erat.
"Sudahlah, Aya. Gue juga udah lihat dengan mata kepala kok, beneran deh itu bukan Ilo', kalau lo masih gak percaya kita tunggu sampai acaranya selesai baru kita samperin cowok yang lo anggap Ilo' itu."
Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi ketika aku tersadar dari lamunan panjangku, dengan mata yang sudah berwatt-watt, tak bisa lagi menahan kantuk. Aku akhirnya jatuh memeluk guling lalu tidak lama kemudian aku terseret dalam sebuah terowongan yang seketika mendaratkanku pada sebuah taman bunga nan indah. Di sana aku bertemu pangeran.
###
Mimpi yang aneh. Aku melihat seorang lelaki berdiri membelakangiku. Bisa kupastikan ia adalah lelaki yang kurindui selama ini. Sudah enam tahun kami berpisah dan sudah banyak rindu yang kutumpuk-tumpuk untuknya.
Ilo'.... Ilo'.....
Aku memanggil nama itu berulang-ulang, tetapi yang dipanggil malah cuek. Ia bahkan tidak berbalik. Apa mungkin Ilo' sudah melupakanku? Ah tidak mungkin. Segera kutepis lalu berlari kecil menghampirinya.
"Ilo' kemana saja kau selama ini, kau tahu aku begitu merindukanmu" Lirihku tepat di belakangnya sambil tertunduk malu.
Lelaki yang membelakangiku itu perlahan berbalik. Sementara aku yang masih tertunduk malu-malu begitu terkejut saat mengangkat kepala.
"ILHAM"
###
Benar kata Viona, Ilham Hidayat bukan Ilo'. Suara mereka boleh persis tiada duanya, begitupun dengan sorotan matanya tapi Ilham tidak punya tahi lalat di keningnya, dia tidak punya lesung di pipinya dan bekas luka di punggung tangan. Sekilas memang ada kemiripan, tapi yang jelas mereka adalah dua orang yang berbeda.
"Ilo' adalah masa lalumu, dan Ilham boleh jadi akan menjadi masa depanmu" seloroh Viona setelah pertemuan pertama kami dengan Ilham yang ketika itu terbilang nekat.
Yup, kenekatan kedua yang kulakukan bersama Viona. Menunggu sang ketua LDK itu di teras mesjid, mencegatnya beberapa saat lalu pasang gaya sok kenal sok akrab dengan alasan minta maaf atas kejadian norak yang kulakukan saat lelaki keren itu sedang membawakan materi.
Hari-hari selanjutnya, justru aku yang kesambet jin baik entah darimana. Kerajinan masuk mesjid dan tak pernah ketinggalan satu pun kajian yang dibawakan oleh Ilham. Sejak saat itu juga, aku coba-coba pake kerudung ke kampus, abis gak enak tiap kali masuk mesjid cuma aku yang rambutnya ditrondolin walau masih bongkar pasang sih, shalat juga yang dulunya tertinggal lima waktu mulai kukerjakan pelan-pelan walau masih sering bolong-bolong. Setidaknya pertemuanku dengan Ilham sedikit telah membawa perubahan pada diriku, yang tadinya masa bodoh dengan agama sekarang lebih respek.
Menurut Viona aku jadi berubah kayak gini karena Ilham, yah dia pikirnya aku ada rasa atau karena Ilham ada miripnya dengan Ilo' makanya ia tidak akan heran bila aku jatuh hati pada si aktivis dakwah itu. Padahal kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Awalnya memang setelah pertemuan itu aku penasaran dengan si Ilham, dan aku pikir satu-satunya cara untuk bisa bertemu doi yaitu dengan mengikuti setiap kajian rutinnya di mesjid kampus. Walaupun pada akhirnya aku cuma bisa dengerin suaranya dari balik hijab. Tapi dari situ, dari mendengar materi-materi yang ia sampaikan aku jadi tertarik. Pembawaannya tenang, apa yang ia sampaikan juga menyentuh apalagi jika ia sudah mengangkat suatu problema sosial kemudian mengaitkan dengan hukum Allah, lalu ujung-ujungnya ia selalu menutup materinya dengan sebuah tanda tanya yang membuat setiap orang yang mendengar penyampaiannya dijamin tidak akan bosan.
Benar-benar lelaki luar biasa. Secara tidak langsung kuakui aku mengaguminya tapi bukan berarti rasa kagum ini pertanda suka. Lagian mana mungkin lelaki sealim dan semulia Ilham bisa jatuh hati pada cewek yang jauh dari agama sepertiku. Mustahil. Aku tak berani berkhayal terlalu jauh. Aku takut terjatuh. Terlebih setelah pertemuan pertama di depan teras mesjid itu, aku tak pernah lagi bertemu Ilham secara langsung. Sekedar berpapasan pun tidak. Hampir sebulan ini tidak ada komunikasi yang terjalin antara aku dan dia, jadi kalau Viona mengira aku berubah karena Ilham, tentu dia keliru. Aku merasa tergerak sendiri dan kurasa memang sudah sepatutnya sebagai orang yang mengaku beragama islam untuk tidak sekedar mengenali islam dari luar-luarnya saja, yang di dalam pun harus diselami.
Kata Ilham, menuntut ilmu agama itu fardhu' ain yang artinya wajib dikerjakan bagi setiap orang sama halnya seperti kewajiban shalat lima waktu dan mengenakan jilbab bagi wanita muslim. Dan yang namanya wajib itu kudu dan harus, bila dikerjakan imbalannya pahala tapi bila ditinggalkan dapat dosa. Jadi terserah dari kitanya, mau dapat pahala atau dosa? Keduanya adalah pilihan. Surga dan neraka pun merupakan pilihan. Kitalah yang akan memilih mau masuk surga atau masuk neraka? Kalau pilih neraka yah gampang aja silahkan tinggalkan yang wajib-wajib dan kerjakan yang haram-haram sebaliknya kalau mau masuk surga juga sebenarnya lebih simple lagi, kerjakan segala yang wajib maupun sunnah dan tinggalkan yang haram-haram. Tidak rumit kan. Pilihan itu tergantung di tangan kita.
Ah, Ilham bahkan setiap kebaikan yang terucap dari mulutnya mampu kucatat baik-baik dalam hati. Aku pun bertekad bukan sekedar mencatat tapi harus juga mengilmuinya.
"Mengilmui itu ketika ilmu (kebaikan) telah sampai padamu, maka sudah menjadi kewajibanmu mengerjakannya"
Duh, betapa banyak ilmu yang telah disampaikan Ilham padaku, yang telah kucatat baik-baik namun masih terasa berat kukerjakan. Termasuk masalah menutup aurat. Niatku memang sudah ada, tekadku sudah bulat tapi aku belum memulainya.
"Tidak usah terburu-buru, segalanya butuh proses. Hasil terbaik itu tidak pernah didapatkan secara instan tapi melalui proses. Maka berproseslah" Aku lalu terngiang dengan pernyataan Ilham yang satu ini, yang semakin memantapkan hatiku ingin berhijrah, menjadi pribadi yang lebih baik.
###
"Bagaimana mengenai tawaranku kemarin?
Sebuah suara tiba-tiba muncul dari arah samping ketika aku tengah asyik mengingat-ingat materi yang disampaikan Ilham sewaktu membawakan materi siang tadi. Sore ini aku memang sengaja duduk sendirian di bangku taman yang terletak di belakang kampus dan membiarkan Viona pulang lebih dulu bersama Bagas. Tanpa perjanjian apapun, aku menunggu lelaki yang sudah kutinggalkan begitu saja kemarin, dan ternyata benar. Ia benar-benar datang.
Sebuah suara yang tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemiliknya. Lelaki itu kini mengambil tempat di ujung bangku panjang yang juga kududuki dengan menyisakan dua tempat kosong di tengah. Sama seperti kemarin, aku tahu dia tak mungkin datang sendiri menghampiriku. Ada teman yang ia ajak namun mungkin sengaja disuruhnya mengawasi dari jarak jauh.
"Kenapa aku?" Tanyaku datar dengan pandangan lurus.
"Karena kau adalah jawaban dari istikharahku"
"What?"
"Aku sedang mencari pendamping hidup dan kau adalah perempuan pertama yang bersitatap denganku semenjak aku berhijrah"
"Apa hubungannya?"
"Apa kau masih ingat dengan kejadian ketika aku sedang membawakan materi lalu kau tiba-tiba membuka hijab?" Tanya Ilham mengingatkanku tentang kejadian yang sebenarnya amat memalukan. Wajahku mendadak merah. Aku tiba-tiba grogi dan sengaja memainkan jemariku.
"Malam sebelum kejadian itu, aku shalat istikharah dan ketika terlelap aku melihat sepasang mata. Aku juga sangat terkejut keesokkan harinya menyadari bahwa sepasang mata itu adalah matamu" lanjutnya
"Aku masih belum mengerti, apa hubungannya ketika kau bilang aku adalah perempuan pertama yang bersitatap denganmu dengan sepasang mata yang kau sadari adalah mataku?"
"Tak perlu dimengerti cukup kau tahu bahwa kemungkinan kita akan berjodoh bila kau mau menerimaku"
"Aneh dan ini kelihatan sangat konyol. Pertama aku sempat mengira bahwa kau adalah lelaki yang pernah hadir di masa laluku, kedua kita bahkan baru sekali bertemu sebulan yang lalu dan setelahnya tidak ada interaksi apapun ketiga kau tiba-tiba datang dan dengan mudahnya menyatakan ingin bersamaku sementara kau sendiri sadar bahwa diantara kita terbentang jarak"
"Menurutku ini bukanlah hal aneh dan sama sekali tidak konyol. Mungkin ini yang dikatakan takdir. Setelah kejadian itu aku tidak pernah alpa beristikharah tiap malam dan jawaban yang kutemukan selalu sama. Sepasang matamu, Cahaya"
"Cahaya? Bagaimana kau tahu nama itu?" Aku memicingkan mata penuh keheranan. Selain Viona tak ada yang tahu nama itu. Sahabatku sejak SMP itu bahkan sudah berjanji tidak akan menyebut-nyebut nama Cahaya dan aku percaya dia tidak mungkin membocorkan nama rahasia yang sengaja kukubur dalam-dalam setelah kepergian Ilo' tapi lelaki di sampingku ini, bagaimana mungkin? Refleks aku menoleh, menatap lekat-lekat wajah Ilham yang tersenyum tanpa membalas tatapanku.
"ILO?"
"YA" jawab lelaki itu tampak keheranan, ia berbalik menatapku namun hanya sekejap lalu menundukkan kembali pandangannya. "Jangan menatapku seperti itu" katanya
"Benar, namamu Ilo" selidikku tak kalah herannya.
"Iya, itu memang nama panggilanku sebelum hijrah, bagaimana kau bisa tahu?"
"Dan bagaimana kau bisa tahu aku adalah Cahaya"
"Dari sorotan matamu" jawabnya singkat
Hahaha, aku tergelak menyadari kekonyolanku. Masih saja menganggap Ilo' masih hidup padahal jelas-jelas kusaksikan sendiri kekasihku itu meregang nyawa akibat kecelakaan maut yang dialaminya enam tahun lalu.
"Kenapa ketawa, ada yang lucu?"
"Tidak, aku hanya menertawai diriku sendiri. Aku berpikir mungkin kau adalah reinkarnasi dari lelaki yang kucintai di masa laluku"
"Siapa? ILO'?"
Aku mengangguk. "Ya, namanya juga Ilo', suaranya persis seperti suaramu, kalian juga punya sorotan mata yang sama. Tajam. Dia sudah tidak ada di dunia dan sampai saat ini aku masih saja mengira bahwa kau adalah dia, konyol kan?" Hahaha. Aku kembali tertawa tapi kali ini dengan air mata yang sempurna jatuh.
"Cahaya, apa kau percaya takdir?" Tanya Ilham namun belum sempat kujawab ia sudah melanjutkan dengan pertanyaan yang membuatku terhenyak.
"Takdir adalah sesuatu yang tidak akan bisa kita rubah. ALLAH lah yang menentukannya. Kadang Dia mempertemukan kita dengan orang yang kita yakini kelak akan berjodoh tapi justru yang terjadi malah sebaliknya. Kalau bukan Dia mengambilnya maka Dia akan menyerahkannya pada orang lain. Bukan karena Allah kejam tidak mengabulkan inginmu, tapi karena Dia amat tahu yang terbaik untuk hidupmu. Yakinlah bahwa tulang rusuk itu akan tidak kan pernah tertukar, ia pasti akan bertemu dengan pemiliknya."
"Maksudmu?"
"Cahaya. Apakah kau percaya bila kau adalah tulang rusukku yang hilang, apa kau percaya kalau aku adalah takdirmu?"
Pertanyaan itu kutanggapi hanya dengan menatap Ilham lekat tanpa suara.
"Kalau kau menerimaku maka aku adalah takdirmu dan kau adalah takdirku"
Aku terdiam agak lama mencerna perkataan Ilham barusan. Sejujurnya aku tidak punya alasan apapun menolak lelaki sepertinya karena aku yakin Ilhan mampu menjadi imam yang baik untuk keluarga kecilku kelak, tapi....
"Perempuan sepertiku apakah pantas bersanding dengan lelaki sepertimu, kau adalah lelaki yang baik, kau paham agama sementara aku, kau lihat sendiri. Aku belum berhijab, aku punya masa lalu yang suram, dan lagipula aku tidak sealim dirimu. Bukankah ada ayat dalam al-qur'an yang artinya kalau gak salah kayak gini, lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. Kau lelaki yang baik, Ilham, sementara aku mungkin bukan perempuan yang baik dan tidak pantas untukumu.
"Tidak masalah. Bagaimanapun keadaanmu sekarang dan sesuram apapun masa lalumu sama sekali tidak masalah bagiku. Yang penting kau bersedia menjadi makmumku maka insya Allah aku akan menjadi imam yang akan senantiasa membimbing dan menuntunmu beserta anak-anak kita kelak untuk istiqomah selalu di jalan-Nya".
Aku terdiam. Rintik-rintik air mata membanjiri pipiku. Aku tersedu-sedu. Ucapan Ilham barusan benar-benar membuatku terharu. Dia bisa menerimaku apa adanya dan seharusnya aku pun bisa menerimanya apa adanya.
"Dengar Cahaya, aku bukan mencari pendamping hidup yang sempurna sebab jika kesempurnaan yang kucari niscaya sampai ke ujung dunia pun aku tidak akan mendapatkannya. Justru aku mencari pendamping hidup sepertimu. Aku mencari seseorang yang punya jalan hidup sama sepertiku. Masa laluku juga pernah kelam, aku bahkan sempat tersesat berkali-kali, amat jauh dari-Nya. Tapi kelamnya masa lalu tidak semestinya menjadi penghalang untuk meraih masa depan yang indah. Insya Allah selama kesempatan itu masih ada maka masih ada pula waktu untuk berproses menjadi lebih baik. Maukah kau berproses denganku Cahaya dengan membangun rumah tangga yang diridhoiNya?"
Mendengar pertanyaan itu aku makin terisak dengan kepala yang refleks terangguk-angguk.
"Baiklah Cahaya, kuulangi sekali lagi. Kau cukup mengatakan iya atau tidak. Maukah kau menikah denganku?"
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sambil menahan isak dan menyeka air mata. Ilham kini terlihat tegang, ia menunggu jawabanku dengan pandangan lurus. Sedari tadi ia memang tak berani menatapku, hanya aku yang terlalu lancang menatapnya lekat.
"Bismillah" lirihku pelan
"Karena kau bersedia menerima aku apa adanya, maka aku tidak bisa Ilham. Aku tidak bisa untuk tidak menerimamu. Aku mau menikah denganmu, aku mau menjadi makmummu, aku mau kau menjadi ayah dari anak-anakku. Aku mau"
Perlahan kulihat air mata itu jebol di pelupuk mata lelaki yang duduk di sampingku ini.
"ALHAMDULILLAH, terima kasih ya Allah" teriaknya girang seketika menjatuhkan diri di atas rerumputan. Tiga kali ia melakukan sujud syukur sementara aku hanya bengong terpaku. Masih tak menyangka.
"Apa aku sedang bermimpi?"
"Bersiaplah Cahaya, esok aku akan segera datang menemui kedua orang tuamu"
@SDW
16 komentar untuk "Bukan Cinta Biasa"
Cahaya dan Ilham. meski awalnya ia menganggap bahwa Ilham adalah Ilo dari masa lalunya, namun dia kemudian menyadari bahwa mereka ialah orang yang berbeda, kendatipun kemiripan tak bisa disangkalnya. lebih baik mencintai seseorang sebagai dirinya yang utuh dari pada mencintai seseorang karena dia memiliki kemiripan dengan seseorang dari masa lalu. :)
Sbenarnya saya gak bermaksud mnampilkn dlm cerita ini klu Cahaya suka sama Ilham krn laki2 itu ada kemiripan sama ilo... gk gtu sih... cuma kesannya kurang sy tonjolkan krn keterbasan ruang hehehe
kenapa akhir-akhir ini nilam sering banget ketemu bacaan yang ngomongin nikah-nikah dah ya .-.
semalem baru selesai baca novel tentang keluarga gituu. duh, mendamba proses-proses manis kayak yang kakak buat ini atau yang di novel itu, boleh kan, ya? :'D hihi
Oia nama Nilam kn Nur Aini.~ cahaya mata nama yg indah terinspirasinya sih krn dr awal si toko utamanya dipanggil Aya cari kepikiran nama Cahaya bukan dr Nilam lho:-P hehe
Oiya, biarkan aku mengingat-ingat dulu lah, kak. Kayaknya aku pernah baca nama Viona di cerita lain di blog ini. Kalo gak salah si Viona juga menjadi sahabat si tokoh, aduh, jawab ya kak, bener apa enggaknya.. Aku penasaran nih :P Jangan-jangan kisah ini diangkat dari kisah nyata, dan dilebur sedemikian rupa, dipanaskan di tungku paling panas, hingga ceritanya menyublim jadi fiksi *uhuk
Aku suka banget sama ceritanya. Mendidik. Membangun. Membuat pembaca jadi ogah-ogahan pacaran, dan mungkin memang itu pesan dari Kak Zhie :P Bukankah memang langsung menikah jauh-jauh lebih baik? jauh dari maksiat dan segala tetek bengeknya. Hehe. Keren deh, kak. Moga Kak Zhie kelak akan mendapatkan kisah yang lebih manis dari apa yang kak Zhie tulis ini :P hehehehe
Yah... pesannya kurang lebih itu ... sebagai pengingat diri biar betah menjomblo dan jg smg bisa menginspirasi lah.... iy... semoga aja ya Huda... makasih doanya ^^
ceritanya asiik zhiee. aku kira cerita ini tentang kamu. ternyata setelah lanjut baca ini bukan tentang kamu.
ceritanya juga gak ketebak, di awalnya aku kira dia bakal susah buat nerima cowok. hingga pada akhirnya dia siap buat nikah.
aku terharuuuu :')
tapi, romantis abs dan mellow kayak yang bikin...ceritanya ngalr dan buat aku, ini cerita paling bagus yang pernah aku baca dari karya kamu, Zhie :D
Upst makasih kak udah memuji... sy jadi tersandung hehehe
tapi bneran kece nih. gue kira di awal'' ini cerita pengalaman pribadi... tapi pas baca selanjut''nya kayak baca novel. tapi jgan'' ini bneran cerita asli ya? wah ketjee paraaahh.....
tokoh ilham smpurna banget yak. kira'' gue bisa ga yak, jdi tokoh kyak ilham itu.... hahaha
tapi sampe skrg ckup ngedoain aja lah cwe yg gue taksir buat jdi jdoh d masa depan, klo bukan brrti dia bukan jdoh gue. gtu aja sih. hahaha. masih tkut buat ngungkapin perasaan. lbih baik d pendem.
tapi, ini sbnernya cerita asli ato bukan sih? jawab dongg.... kan kita punya nama sama. heee
bila memang jodoh... n baiknya memang perasaan itu dipendam ^^
Sebenarnya tokoh ilham gak seperfect itu sih... cuma sy gak nunjukin kekurangannya secara jelas di cerita ini... oh ya ini ceritanya asli karangan saya doang... alias fiksi terisnpirasi dari impian ... sama pernah ada yang buat cerpen pake nama saya jadi saya balas buat cerpen pake nama dia.. so selain nama semua murni fiksi .. but saya menyisipkan banyak harapan saat menulis cerita ini ^^
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.