Lupa

"Icha, udah jam segini kamu masih nyantai"

Aku menoleh ke asal suara, di sampingku kulihat mama berdiri dengan berkacak pinggang. Pandanganku lalu beralih ke jam yang terlingkar manis di pergelangan tangan kananku.

"Baru jam tiga ma"

"Iya, baru jam tiga dan kamu belum mandi, belum siap-siap, belum ke salon. Coba liat saudaramu yang lain udah pada sibuk nah kamu dari tadi mama perhatiin kerjaannya cuma mencet-mencet hape aja"



"Tapi ma, acaranya kan malam, lagian juga kamar mandinya masih full, yang lain masih ngantri gimana aku mau mandi" selorohku bersungut

"Kalau begitu sekarang kamu ke rumah Ana, Tiwi atau siapa kek, numpang mandi di sana"

"Apa ma?" Ucapan mama barusan bikin aku terlonjak. Aku mau protes tapi mama keburu berlalu meninggalkanku dengan wajah tertekuk.

Malam ini kak Rani, anak dari teman karib mama mengadakan resepsi pernikahan dan kami kelima putrinya diwajibkan IKUT. Kamu tahu gak itu artinya apa? Oh, No. Sebenarnya aku gak masalah datang ke pesta tersebut, sama sekali gak masalah asal mama tidak ngotot menyuruh kami atau aku tepatnya untuk berdandan secantik mungkin. Sumpah, kalau ada tempat yang selama ini paling aku hindari maka tempat itu adalah salon, sayangnya mama gak ngerti betapa alerginya aku dengan tempat semacam itu dan beliau malah nyuruh aku ke sana sore ini.

Padahal kemarin aku sempat memelas-melas sama mama biar aku make up di rumah seadanya aja tapi mama mengelak keras. Aku ngambek sampai menolak ikut ke acara tersebut eh mama malah marah. Akhirnya, sebagai anak aku terpaksa ngalah, aku hanya tidak ingin dicap sebagai anak durhaka karena menentang keinginan mama yang bertolakbelakang dengan inginku.

"Mama ingin lihat putri-putri mama terlihat cantik di pesta pernikahannya Rani"

"Kamu kok ribet banget sih dek, lagian apa salahnya sekali-kali tampil cantik?"

Perkataan mama dan kak Vita silih berganti memenuhi batok kepalaku. "Arghhh... apa harus ke salon dulu untuk terlihat cantik". Aku gak suka ditimpuk dengan bedak berlapis-lapis, aku gak suka bibirku terkena gincu, aku gak mau pake bulu mata palsu, dipakaikan eyeliner, maskara dan segala macam. Aku gak mau. Ya Allah kenapa gak ada yang ngerti sih?

"Sekali-kali kan gak papa Cha, sekalian belajar jadi pengantin" ujar Nadia menenangkan ketika aku menumpahkan kekesalanku pada sahabatku itu lewat telpon.

"Emang siapa sih yang buat peraturan kalau mau nikah atau menghadiri acara pernikahan harus berdandan, ke salon dulu, Siapa?"

"Ye... mana aku tahu, itu aturan dari sononya kali atau mungkin karena make up di salon udah jadi budaya di acara pernikahan"

"Oh, budaya ya? Kalau gitu nanti misalnya aku nikah, aku akan ubah budaya itu. Aku bakalan tampil natural"

"Hahaha. Kamu belum nikah aja udah disuruh ke salon apalagi kalau pas nikahnya" Tawa Nadia tergelak dan itu bikin aku makin keki.

Satu lagi yang bikin aku selalu merasa ogah-ogahan pergi ke acara pernikahan. Aku gak punya pakaian pesta. Maksudku ada sih, bahkan khusus untuk pesta pernikahan ini Tante Yos, mamanya kak Rani udah siapkan kebaya seragam untuk kami (mama dan kelima putrinya) tanpa sepengetahuanku. Kemarin-kemarin waktu mama panggil tukang jahit ke rumah, aku lagi di luar kota mama pun mengambil keputusan sendiri, mengira karena postur tubuhku tidak jauh beda dengan kak Vita beliau menyamakan ukuran kebaya kami. Hasilnya, ihiks aku jadi pengen nangis, beneran deh. Selera aku dan kak Vita kan beda, kalau kak Vita lebih suka yang pas di badan aku justru sebaliknya, yang longgar, gak ketat dan gak jiplak badan.

Parahnya malam nanti aku terpaksa harus nuruti keinginan mama yang satu ini, pakai kebaya yang justru agak kekecilan di aku. Well, sampai sebatas itu aku masih bisa nerima, masih bisa ngalah demi tidak mengecewakan mama. Tapi puncaknya pas tadi pagi mama ngasih dua lembar pasmina yang akan dipakai seragam bentar malam. Padahal mama tahu setahun belakangan ini aku telah memesiunkan semua kerudung pendek termasuk seabreg koleksi pasminaku kemudian berhijrah pake kerudung syar'i.

"Tidak, ma. Aku gak mau, mending aku gak usah ikut ke pesta daripada harus pake pasmina itu"

"Kenapa, apa salahnya pake pasmina sayang?"

"Mama mau aku tampil kayak hijabers, yang kerudungnya dililit-lilit, dibentuk sedemikian rupa, iya?

" Selama itu nutupin aurat, mama kira gak masalah jadi gak perlu dibesar-besarkan"

"Tapi ma...."

"Sudah, mama gak mau dengar lagi alasan apapun, saudara-saudara kamu aja gak ada yang protes, semua pada nurut, kamu yang mama pikir paling alim di antara mereka kok malah paling susah dibilangin"

Duh, Allah gimana cara aku jelasin ke mama apa yang kupahami saat ini. Dulu, mama memang yang pertama kali maksa aku nutup aurat tapi sekarang saat aku sedang berusaha nutup aurat yang benar-benar sesuai syariat mama masih gak ngerti, yang mama ngerti selama ini yang penting sekedar nutup aurat tanpa peduli nutupnya sesuai syariat atau tidak.

Sekarang memang banyak perempuan berkerudung. Banyak sekali. Tapi hanya sedikit yang benar-benar berkerudung. Ma, kerudung itu bukan fashion, kerudung itu kewajiban. Bagaimana aku jelaskan agar mama paham?

"Icha kamu masih belum bergerak juga" suara mama yang kembali menghampiri tiba-tiba membuyarkan seluruh lamunanku.

Perlahan aku bangkit dari tempat duduk lalu berjalan gontai ke luar rumah dengan langkah yang kupaksakan. Di luar keadaan tampak begitu sepi, tak ada seorang pun yang kujumpai dalam perjalanan menuju rumah... ah, aku bahkan belum memutuskan akan numpang mandi di rumah siapa. Kakiku terus melangkah sampai di depan rumah Ana yang hanya berjarak sekitar tiga rumah dari rumahku. Di sana lah aku mendadak tertegun menangkap sosok lelaki yang amat kukenali berdiri membelakangiku, lelaki yang... aku baru akan menyapanya namun tak sengaja aku menoleh ke sebelah kiri dan melihat tubuhku yang dipantulkan dari kaca jendela rumah Ana. Pantulan itu membuatku benar-benar kaget, seolah tak percaya. Oh Tuhan detik itu juga aku berharap keajaiban agar aku bisa menghilang hanya dengan mengedipkan mata seperti Jinni atau kalau boleh biar aku hilang ditelan bumi saja. Akan lebih baik daripada lelaki itu melihatku dalam keadaan seperti ini.

"Ya Allah bagaimana ini, semoga lelaki itu tidak melihatku. Jangan sampai Tuhan, kumohon" gegas aku melangkah cepat mendahuluinya tanpa berpaling lalu berlari masuk ke rumah Tiwi yang berada di sebelah kanan setelah rumah Ana. Namun, aku tahu aku telah terlambat. Bisa kurasakan ia melihatku dari belakang dan kupastikan lelaki itu pun merasakan sesuatu. Apatahlagi ditambah dengan gerak-gerikku yang mencurigakan yang tetiba berlari menghindarinya.

Kini aku telah berada di rumah Tiwi, tepatnya aku langsung masuk ke ruang tengah tanpa ijin dan mendapati Tiwi sedang duduk dengan mata agak sayu seperti baru bangun tidur atau malah ngantuk, entahlah. Aku tidak punya waktu menebak-nebak, pikiranku sedang kacau balau juga perasaanku ikut bergemuruh. Yang kulakukan detik ini hanya bisa menggenggam tangan Tiwi erat, erat sekali dengan penuh harap. Tiwi menatapku lemas dengan tanda tanya, sementara aku membalas dengan tatapan memelas, ah tidak aku lebih terlihat seperti orang ketakutan padahal yang sebenarnya aku malu, teramat malu. Lelaki itu, aku yakin ia akan segera menyusulku karena itu aku hendak memohon agar Tiwi membiarkanku tetap di sini. Setidaknya bila lelaki itu datang ia tidak mungkin masuk sampai ke ruang tengah dimana ruangan ini adalah ruangan khusus untuk keluarga bukan tamu.

Aku sendiri memang bukan keluarganya Tiwi, tapi kami sudah bagaikan keluarga. Tumbuh bersama dan besar bersama di kompleks yang sama. Iya, Tiwi adalah tetangga sekaligus teman masa kecilku. Begitupun dengan Ana. Kami bertiga waktu kecil adalah teman yang sangat akrab, sampai sekarang pun masih berteman walau tidak lagi seakrab dulu. Ternyata waktu dan jarak telah mempertemukan kami dengan teman-teman baru di luar sana yang jauh bisa lebih akrab dengan kami ketimbang teman semasa kecil.

"Tiwi tolong aku" Sorot mataku berkata demikian kala aku merasa kesulitan berbicara, mungkin karena kaget bercampur malu yang baru saja aku alami.

"Kamu kenapa?" Tanya Tiwi kujawab dengan tatapan yang lebih tajam. Berharap Tiwi bisa membaca arti pandangku, kami saling pandang tapi Tiwi sama sekali tidak mengerti. Ia melepas genggamanku ketika mendengar suara ketukan pintu berkali-kali yang diikuti ucapan salam.

"Jangan Tiwi, kumohon jangan" aku geleng-geleng kepala memberi signal agar Tiwi tidak menemui orang yang mengetuk pintu karena aku tahu orang itu pasti si lelaki yang kuhindari saat ini. Sayangnya Tiwi tidak peka, ia hendak beranjak keluar lekas aku menarik tangannya namun aku seolah kehilangan kekuatan dan tidak mampu menahannya. Seiring langkah Tiwi berjalan menemui si tamu saat itu pula aku pasrah. Perasaanku mengatakan bahwa lelaki itu akan datang kemari sekalipun aku yakin bahwa aku telah berada setidaknya di tempat yang aman.

Entah apa yang lelaki itu tanyakan pada Tiwi hingga ia berhasil mendesak masuk ke ruang tengah tempat dimana aku kini bersembunyi. Aku telah siap, karena itu aku merapatkan tubuhku, melipat lututku dan menutup wajahku agar aku tidak melihatnya. Bagai orang tertangkap basah, lelaki itu telah melihatku, ia telah melihatku. Sungguh, ia telah melihatku dalam keadaan yang tidak seharusnya ia lihat.

Hanya sebentar lalu ia berpaling tanpa suara, pergi setelah memastikan bahwa yang ia rasakan itu benar. Bahkan tanpa ia pastikan pun sebenarnya ia tahu. Bukankah selama ini ia telah mengenaliku dengan hati. Membersemaiku dengan hati dan selalu melihatku dengan hati. Ia pergi, tanpa ada sepatah kata yang bisa kujelaskan padanya:') Aku ingin minta maaf tapi atas dasar kesalahan apa. Aku saja tidak sadar atas kekhilafan yang kulakukan.

"Cha, sebenarnya ada apa? Siapa lelaki tadi?" Tanya Tiwi selepas kepergian lelaki itu" Tangisku pun pecah seketika, aku menghamburkan diri dalam pelukannya.

"Kamu liat keadaanku sekarang Wi? Aku terisak, pedih.

"Kenapa, tidak ada yang salah kok dengan keadaanmu, kenapa nangis"?

"Aku lupa, Wi"

"Lupa? Lupa apa?"

"Kerudung, Wi" ucakpu dengan tangis semakin keras

Tiwi terdiam cukup lama mencerna perkataanku kemudian ia tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Menit berikutnya ia kembali terdiam sambil menahan tawa ketika melihatku masih menangis tersedu-sedu.

"Ya ampun, Cha lucu banget deh. Kamu tiba-tiba datang ke aku dengan wajah ketakutan. Tidak lama kemudian ada laki-laki yang cari gadis dengan ciri-ciri kayak kamu. Aku tadi sempat kepikiran lho kalau mungkin laki-laki itu adalah penjahat yang hendak memburu kamu. Dia yakin banget kalau kamu ada di dalam makanya dia mendesak masuk, ternyata masalahnya cuma gara-gara....." Kalimat Tiwi tergantung, ia terdiam sejenak, mengambil napas lalu tawanya kembali pecah.

Aku membiarkan gadis itu puas tertawa sesukanya toh dia juga tidak tampak peduli dengan apa yang baru kuaalami. Bagi Tiwi yang masih suka bongkar-pasang kerudung masalah yang aku hadapi sekarang mungkin sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan bahkan terlihat menggelikan tapi bagi aku yang sudah belasan tahun tidak pernah keluar tanpa menutup aurat masalah ini seperti kiamat. Iya, kiamat. Bagaimana tidak?

Aku tanpa sadar keluar dengan membiarkan rambutku tergerai, pakai baju kaos selengan dan celana selutut. Lalu satu-satunya orang yang kutemui adalah lelaki itu. Lelaki yang selama ini namanya kugaungkan dalam setiap doa-doaku. Lelaki yang aku berharap padaNya agar aku bisa bersamanya. Lelaki yang jujur aku mencintainya dengan hati dan aku ingin ia hanya boleh melihatku seperti tadi di saat yang tepat, saat aku telah halal untuknya.

Duh, bodoh. Kenapa aku bisa sampai sepikun ini? Aku bahkan tidak pernah keluar tanpa kaos kaki, di rumah pun bila ada tamu datang aku selalu berlari mencari kerudungku lebih dulu sebelum membuka pintu tapi kenapa kali ini aku bisa sampai lupa mengenakan busana yang sudah ratusan bahkan ribuan hari kupakai setiap keluar rumah.

"Sudahlah Cha, lagian kamu juga lupa jadi bukan salah kamu" ucap Tiwi menenangkan setelah mungkin capek menertawaiku.

"Wi aku bisa minta tolong gak" lirihku saat tangisku mulai reda

"Apa?"

"Aku pinjam baju lengan panjang, rok sama kerudungmu, boleh yah"

Tiwi mengangguk. Tanpa bicara ia berdiri menuju kamarnya lalu kembali membawakanku sebuah kaos lengan panjang berwarna ungu, rok kotak-kotak dan kerudung paris berwarna hitam.

Seharusnya aku minta tolong numpang mandi bukan malah meminjam pakaian, tapi dalam keadaan begini pakaian yang dipinjamkan Tiwi ini lebih kubutuhkan. Aku bahkan sengaja melupakan jadwal ke salonku sore ini, sama pesta pernikahan kak Rani sebentar malam, kebaya yang kekecilan dan pasmina yang diberikan mama pagi tadi.

Kali ini pikiranku hanya dipenuhi oleh lelaki itu. Aku harus segera mengejarnya. Memberikan penjelasan panjang lebar, meyakinkan bahwa apa yang dilihatnya bukanlah suatu kesengajaan. Ia tidak boleh salah paham. Aku harus segera bertemu dengan lelaki itu. Harus.

###

* Inspirasi dari sebuah mimpi dengan berbagai macam perubahan tanpa menghilangkan inti dari mimpi tersebut. Cerita mimpinya memang seperti itu hanya saja karena saya pemimpi yang payah saya tidak bisa mengingat semua hal yang muncul di bunga tidur saya. Serpihan-serpihan mimpi yang masih membekas lah yang berusaha saya kumpul sekuat ingatan lalu menyusunnya kembali dengan menambah bumbu-bumbu pemanis agar ceritanya tidak berasa asin. Pun kalau cerita ini tidak nyambung disambungkan sendiri yah, maklum ini kan cuma mimpi. Mimpi itu kadang-kadang aneh, tapi kadang pula menyimpan pesan tersirat. Entah, pesan tersirat apa yang bisa kalian petik dari mimpi di atas, hehe

3 komentar untuk "Lupa"

Comment Author Avatar
jadi cerita ini bersumber dari mimpinya Zhie? nyambung kok. bener, mimpi kadang aneh, kadang malah gak nyambung sama sekali.

bener juga ya, yang bikin aturan kalau nikah sama pergi nikah mesti didandani sedemikian rupa siapa sih? tapi pasti dilema banget saat sudah berusaha beralih ke kerudung syar'i malah disuruh balik lagi memakai kerudung yang biasa. serba salah jadinya. gak diturutin malah mengecewakan mama nya. :)

ini ceritanya gak bersambung zhie? pengen tau gimana dia ngejelasin ke pria itu. hehe. eh tapi ini kan mimpinya Zhie ya? mimpi kan kadang gak bersambung.
apapun pertanda yang ada dimimpi ini, semoga pertanda baik. :)
Comment Author Avatar
Ia ceritanya inspirasi dari mimpi, hehehe ia mimpinya ada-ada saja deh tapi syukurnya cuma mimpi. Bener tuh kak jadi dilema... tp syukurnya di nyata mama udah ngerti..

Yup gak bersambung, justru krn ini mimpi dan saya berasa nyata krn itu cara ngejelasinku lewat torehan kata-kata di atas... sapa tau aja dianya jg mimpi yg sama jd pas baca ini bisa jelas semuanya hohoho... pertandanya semoga aku dan dia. Amiiin ^^
Comment Author Avatar
cieeeeeeeeeeeeee....Zhie udah mulai mimpi ketemu cowok nggak pake jilbaaaab...hahahaha..udah gitu aku pikir ini cerpen, ehh ternyata curhatan dari mimpi...hihihihi.bagus deh Zhie, tingkatkan... apanya ni?? mimpinya?? owh.....nulis di blognya. hehehe

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.