Menikah (Cinta Pilihan Kedua)

Ar, pilihanku sepertinya keliru!

Kalimat itu seharusnya sudah kulayangkan padamu sejak beberapa bulan silam. Aku lupa kapan tepatnya.

Ya. Ini tentang pilihan dari jawaban yang pernah kamu lontarkan. Setelah obrolan kita di ujung telepon kala itu, aku dan kamu nyaris tidak pernah lagi bertukar kabar. Sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mungkin, kamu sudah tidak ingat dengan percakapan kita setahun silam. Tetapi aku terus terngiang-ngiang. Bertanya-tanya. Merasa ada yang mengganjal. Sesuatu yang keliru.

Pilihanku, Ar. Sepertinya keliru!

Sejak awal kamu pasti sudah tahu, dimana letak kekeliruanku, tapi kamu sengaja diam. Membenarkanku. Kan?

Jahat banget sih, Ar. Kenapa gak jujur saja dari awal.

Iya aku egois. Egois banget. Cuma mikir diri sendiri. Mikir perasaan sendiri. Gak mikir, lelaki yang tidak mencintaiku, apa mau menerimaku atau tidak. Mending kalau dia mau terima, bagaimana kalau tidak?

Lagian mana ada lelaki yang sudi menikahi perempuan yang tidak dicintainya, kecuali mungkin karena terpaksa atau dijodohkan. Hmm.. aku kok baru kepikiran ya.

Luput, setiap orang bisa berubah kapan saja dan dimana saja. Lupa, hati manusia mudah goyah, terombang-ambing, dibolak-balikkan oleh Sang Pemiliknya.

Oh ya, Ar, aku menemukan pemahaman baru. Semoga kamu sepakat dengan pemahamanku ini. Ternyata menikah bukan hanya tentang cinta melainkan juga penerimaan. Jika kamu masih ingat, aku pernah bilang bahwa pernikahan itu harus dilandaskan cinta dua arah namun bila kondisinya persis dengan yang pernah kamu tanyakan (cinta satu arah) maka harus ada satu pihak yang mengalah. Pihak yang harus mengalah itu adalah yang tidak mencinta.

Lho kok, kenapa yang tidak mencintai yang harus mengalah? Seandainya kita berbincang lewat udara kamu pasti akan menyerbuku dengan pertanyaan demikian.

Sederhananya seperti ini, Ar, Kita belum tentu menikah dengan orang yang kita cintai tetapi orang yang menikah dengan kita adalah orang yang harus kita cintai.

Ia harus mengalah dengan cara menerima pasangan yang mencintainya. Bukan karena terpaksa. Cinta kan gak boleh dipaksa. Mari, kita percaya saja, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu dan mekar karena kebersamaan. Namun akan sangat sulit menumbuhkan atau memekarkan cinta bila sedari awal kita sudah lebih dahulu menanam sugesti penolakan, tidak mau menerima.

Tidak mudah memang menghadirkan cinta, butuh proses. Makanya kita kudu ikhtiar, belajar mencintai dengan cara menerima, membuka hati. Jangan alpa turut berdoa, mohon pada Sang Maha Cinta agar memberi cinta yang abadi, mencinta dan dicinta karena-Nya.

Nah, karena pemahaman baru itu, aku sampai nulis panjang lebar kayak gini sebagai dalih mengklarifikasi jawabanku. Aku hendak mengubah pilihan yang pernah kamu tawarkan. Oke, aku akui, option pertama yang aku pilih ketika itu adalah jawaban asal, kurang aku cerna sebelumnya, hanya mengikuti nafsu semata. Sedangkan jawabanku kali ini adalah pilihan yang aku yakini setelah melalui proses yang panjang dan berbelit-belit. Bahwa jawaban pertama yang pernah kuberikan padamu itu bukan sepertinya keliru tetapi memang keliru.

Begini Ar, aku tidak mau dicap sebagai perempuan egois hanya demi kebahagiaanku sendiri padahal aku juga belum tentu bahagia. Maksudku, seandainya aku menikah dengan lelaki yang tidak mencintaiku padahal aku sangat mencintainya maka aku tetap tidak akan bahagia selama lelaki itu tidak bisa menerima diriku dalam kehidupannya.

Aku tidak punya kuasa mengontrol raga dan jiwanya. Tetapi aku sanggup mengontrol diri dan perasaanku sendiri. Lelaki yang tidak mencintaiku belum pasti bisa menerimaku. Sedang lelaki yang tidak kucintai, in syaa Allaah aku siap menerimanya dan akan belajar mencintainya; sebab siapapun lelaki yang menikahiku adalah sosok yang harus kuhormati, kumuliakan, padanyalah aku harus tunduk dan patuh sebagai seorang istri.

Pada akhirnya, aku rela melepas cintaku demi kebahagiaan orang yang aku cintai. Menyaksikan lelaki yang kucintai menikah dengan wanita lain memang akan sangat menyakitkan. Aku tidak bilang lho, aku bahagia jika dia bahagia. Bukankah telah kupertanyakan, bagaimana seseorang bisa merasai bahagia bila ia melepas cintanya dan bersanding dengan orang yang tak dicintainya?

Ketika itu kamu tidak bisa menjawab. Aku juga. Namun pertanyaan membingungkan itu memberiku satu pencerahan. Seharusnya memang aku percaya pada-Nya saja. Percaya cukup pada Allaah saja bukan pada makhluk-Nya. Setidaknya Allaah tidak pernah mengkhianati janji-Nya. Rencanan-Nya adalah yang terindah dan ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

But, i believe. Dunia tidak akan hancur hanya karena kita tidak menikah dengan orang yang kita cintai. In syaa Allaah aku mampu temukan bahagiaku sendiri.

So, please. Coba kamu tanyakan ulang padaku, Ar.

Menikah dengan lelaki yang kakak cintai atau menikah dengan lelaki yang mencintai kakak?

Bismillaah. Aku pilih option kedua.

Menikah dengan lelaki yang mencintai kakak, meski kakak tidak cinta?

Yup.

Kenapa?

Entah mengapa aku merasa; aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak lagi mencintaiku.

. . .

Ps. Jika dia tidak mencintaiku maka aku tidak bisa menjamin dia bisa menerimaku. Sebaliknya, Jika dia mencintaiku maka aku bisa menjamin. In syaa Allaah aku siap menerimanya. Siapapun Dia. Masa depanku. Takdirku. Jodohku. Imam yang Allaah kirimkan untukku.

Don't forget. Read also Menikah; Cinta Pilihan Pertama

Posting Komentar untuk "Menikah (Cinta Pilihan Kedua)"