Apa yang Salah dengan Cadar
Beberapa waktu lalu saya sempat nonton video yang lagi viral di youtobe. Tentang pengantin wanita bercadar yang disoroti oleh bapak penceramah ketika sedang memberikan wejangan pernikahan di hadapan para tamu undangan. Bukannya memberi wejangan berupa nasihat yang baik untuk kedua mempelai dalam membina bahterah rumah tangga eh si bapak penceramahnya malah nyerocos panjang lebar mengenai penggunaan cadar yang menurutnya biasa hanya digunakan di lingkungan pesantren atau digunakan oleh mereka yang tamatan pesantren -pesantren kilat yang hanya tiga hari tiga malam kajian- tidak layak digunakan di lingkungan umum. Kalau mau pakai silakan, tetapi cukup pakai di rumah saja; jangan paksa orang yang tidak mau pakai cadar. Begitu penuturan beliau yang terdengar aneh di telinga saya. Memangnya siapa yang maksa orang pakai cadar?
Bapak penceramah juga sempat membanding-bandingkan si mempelai wanita yang bercadar dengan istri dari menteri agama, kanwil agama dan Kandepag yang tidak bercadar. Istri kepala KUA yang tidak bercadar di kecamatan tempat acara tersebut berlangsung malah sampai disuruh berdiri dan disambut dengan suara tepuk tangan para tamu undangan. Beliau pun tak mau ketinggalan, menyebutkan dirinya yang tamatan pesantren plus alumni IAIN dan istrinya tidak bercadar.
Bapak penceramah juga sempat membanding-bandingkan si mempelai wanita yang bercadar dengan istri dari menteri agama, kanwil agama dan Kandepag yang tidak bercadar. Istri kepala KUA yang tidak bercadar di kecamatan tempat acara tersebut berlangsung malah sampai disuruh berdiri dan disambut dengan suara tepuk tangan para tamu undangan. Beliau pun tak mau ketinggalan, menyebutkan dirinya yang tamatan pesantren plus alumni IAIN dan istrinya tidak bercadar.
Menurut beliau lagi nih, wanita yang bercadar itu biasa menganggap dirinya paling jago, paling pintar bahkan orang tua saja dianggap najis *astaghfirullaah yang kemudian disambut dengan anggukan dan sorak-sorai para hadirin. Video selengkapnya bisa disimak di bawah ini.
Reaksi saya waktu pertama kali nonton video ini, uh, gemes banget deh. Pengen ketawa dengar ceramah si bapak yang entah ngomongnya itu pakai akal atau nggak, tapi sedih juga karena si mempelai terutama mempelai wanitanya sampai disudutkan kayak gitu di hadapan para tamu undangannya sendiri. Well, Kalau saya di pihak mempelai wanita dan diperlakukan kayak gitu pasti mata saya sudah penuh dengan linangan air atau paling nekadnya saya bakal suruh lelaki yang sudah SAH jadi suami saya ikut angkat suara, memberi pembelaan. Bukan sekadar menyuruh untuk membela istrinya yang telah dipermalukan di depan umum, tetapi lebih dari itu. Membela syariat Allah yang telah dilecehkan oleh si bapak penceramah yang sepertinya sangat anti dengan wanita yang bercadar.
Padahal beliau sendiri bilang; Islam itu banyak maksudnya Islam itu satu, penganutnya yang bikin banyak perbedaan. Seolah-olah beliau menyalahkan penganut Islam (terutama wanita yang bercadar) sementara beliau sendiri mengakui tamatan pesantren, alumni IAIN, seharusnya sudah sangat pahamlah dengan konteks perbedaan yang ada dalam Islam. Toh, para ulama saja banyak yang berbeda pandangan dalam menjalankan syariat Allah terutama yang menyangkut masalah khilafiyah. Pun jika merujuk pada 4 Imam Madzhab, masing-masing punya pandangan sendiri dalam menafsirkan dan mengamalkan syariat yang bersumber pada nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun apakah dengan semua perbedaan yang ada itu membuat umat Islam terpecah belah? Tidak kan!
Eh, saya berkomentar kayak gini bukan karena merasa lebih pandai atau merasa paling jago dari si bapak penceramah di atas ya, hanya saja saya merasa lucu bila menemukan orang yang menganggap dirinya paham agama (bahkan mungkin merasa lebih paham lalu seenaknya merendahkan pemahaman orang yang berlawanan dengannya) namun pemikirannya begitu sempit. Asal menjudge tanpa berpikir terlebih dahulu. Terlalu fantik dengan satu imam atau seorang ulama serta tidak mau menerima perbedaan yang datang dari imam atau ulama lain. Merasa paling benar sendiri. Mengaku berilmu namun sikapnya tidak menunjukkan seorang yang berilmu.
Padahal setahu saya, semakin berilmu seseorang, semakin terbuka pemikirannya. Semakin bertambah wawasan, semakin meluas pemahamannya. Tapi lihat video yang menyudutkan si mempelai wanita bercadar dan terang-terangan menyatakan cadar hanya layak digunakan di lingkungan pesantren atau di rumah bukan di lingkungan umum ini. Ah, rasanya bukan cuma bikin saya gemes tapi greget banget pengen berkoar-koar ikut bersuara. Apalagi belakangan ini, kerap muncul berita-berita aneh yang yang seakan-akan menjadikan cadar sebagai kambing hitam, mempermasalahkan penggunaan cadar bahkan barangkali ada pihak-pihak tertentu yang memang sengaja mempermainkan cadar dengan maksud melecehkan syariat Islam.
Rektor di salah satu Universitas berlatar Islam malah sempat mengeluarkan maklumat Larangan bagi Mahasiswi Bercadar beberapa waktu lalu. Maklumat tersebut tentu saja mengundang pro dan kontra. Ada yang langsung menyetujui namun tidak sedikit pula pihak yang merasa keberatan dengan larangan tersebut, termasuk saya, - yang baru mau ikut berkomentar setelah berita yang sempat viral itu berlalu, hehe.
Saya cukup tercengang dan heran pake banget saat tahu ada larangan yang kayak gitu, kejadiannya di Universitas Islam pula. Universitas yang labelnya sama dengan tempat saya berkuliah dulu. Entah apa alasannya sampai si Rektor berani mengeluarkan larangan tersebut yang menurut saya sangat nggak logis. Logisnya dimana coba? Jika alasannya karena masalah pedagogis atau menganggap kehadiran mahasiswi bercadar selama kelas berlangsung mengganggu kenyamanan dosen dan teman-temannya, itu sungguh alasan yang menggelikan. Lebih-lebih bila sampai mengaitkan mereka yang bercadar dengan isu radikalisme. Duh, kok saya miris banget ya.
Saya juga pernah kuliah di kampus Islam. Sering bertemu dengan mahasiswi-mahasiswi bercadar. Pun pernah sekelas dengan seorang akhwat yang ketika menginjak semester lima memutuskan menutupi seluruh tubuhnya dengan hijab kecuali mata yang ia biarkan nampak. Lalu apakah saya dan penghuni kelas merasa tidak nyaman dengan teman kami yang bercadar itu? Apakah dosen-dosen yang mengajar merasa terganggu dengan satu-satunya akhwat yang bercadar di kelas kami? Jawabannya tidak. Kelas berjalan lancar seperti biasanya. Sama sekali tidak ada yang terusik. Bahkan jika dipersilakan mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapat, seperti di semester-semester sebelumnya, si akhwat bercadar itu cukup aktif mengangkat tangan dan mengeluarkan suaranya. Tidak ada yang berbeda. Kecuali penampilannya yang memang sangat menonjol di antara kami. Dia dan cadarnya. Apa yang salah?
Justru yang seharusnya merasa risih, resah, gelisah dan tak nyaman ya teman sekelas saya yang bercadar itu. Sebab dengan cadarnya itu, ia menjelma makhluk asing di tengah-tengah kami. Yah, tak bisa dipungkiri, di antara kami mungkin ada yang memandang heran ke arahnya atau sempat berpikiran aneh tentangnya. Entahlah, saya tak tahu pasti gejolak seperti apa yang ia alami sampai akhirnya berani memutuskan menutupi seluruh tubuhnya dan hanya menampakkan bagian mata saja. Itu keputusan yang benar-benar luar biasa. Bukan hal yang ringan dan sungguh tidak mudah. Bahkan menurut pemahaman saya kala itu; mereka yang memutuskan bercadar adalah wanita-wanita yang berlepas diri dari dunia. Dalam artian, fokus mereka hanya akhirat. Tujuan mereka adalah akhirat. Seolah-olah dengan cadarnya itu, mereka berusaha menutup diri dan menjaga jarak dari hal-hal duniawi terutama yang berkaitan dengan interaksi lawan jenis. Sungguh, mereka tidak butuh untuk dipandang terlebih dikenali.
Well, kurang lebih seperti itulah pandangan saya enam tahun lalu tentang muslimah yang memutuskan bercadar. Tapi kalau sekarang ditanya (kembali) tentang penggunaan cadar yang makin fenomenal di negeri ini, mulai dari muslimah kalangan bawah hingga kalangan artis papan atas, pandangan saya jelas telah berubah. Memutuskan menggunakan cadar bukan lagi hal yang teramat sulit. Setidaknya, muslimah zaman sekarang saat pertama memutuskan bercadar tidak lagi sembunyi-sembunyi dan berusaha merahasiakan dari keluarga atau orang-orang sekitar yang menentang sampai akhirnya ia dan cadarnya bisa diterima di lingkungannya. Kini, yang ada, kebanyakan mereka saat memutuskan bercadar malah langsung eksis, menunjukkan pada semua orang dengan mengumbar wajahnya yang tersembunyi di balik cadar ke media sosial. Dengan foto-foto selfienya yang menggunakan berbagai model penutup wajah, entah yang disebut cadar, purdah mau pun niqab. Foto yang meski seluruh tubuh bahkan wajah cantiknya tertutupi namun sungguh sama sekali tidak menutupi keindahan yang ditampakkan oleh sepasang matanya. Malah yang sebenarnya semakin mengundang rasa penasaran yang besar.
Ah, maaf saya tidak bermaksud menyoroti fenomena penggunaan cadar zaman sekarang yang telah mengikuti tren penggunaan hijab syar'i. Menjadi bagian dari dunia fashion. Dunia yang sangat memikat kaum hawa. Tentu, sudah bukan hal yang aneh ketika jilbab syar'i yang dulunya dipandang asing, jadul, nggak modis, kampungan dsb, kini kian diminati banyak muslimah. Munculnya para designer yang berinovasi dengan jilbab-jilbab syar'i yang memesonakan mata memunculkan pula pelanggan -para muslimah- yang tidak lagi malu-malu dan merasa ketinggalan zaman menggunakan jilbab yang panjangnya melewati dada. Begitupula ketika cadar ikut merambah di dunia fashion, penggunanya pun semakin marak.
Alhamdulillaah, dunia fashion memang membawa pengaruh positif yang besar terkait hijrahnya para muslimah di negeri ini. Dari yang pakaiannya masih you can see, mulai tertutup dengan baju panjang, celana panjang dan kerudung lilit. Yang tadinya masih pake jilbab ala kadarnya mulai hijrah dengan jilbab yang sesuai syariat. Yang tadinya masih pake baju ketat celana panjang telah berganti penampilan dengan baju dan rok yang tidak ketat. Bahkan tidak sedikit muslimah yang telah hijrah dengan gamis dan khimar lebarnya. Tak luput kaos kaki ikut setia menyertai langkahnya. Yang telah sempurna menutupi seluruh tubuhnya sesuai sabda Rasul (kecuali wajah dan telapak tangan) dengan hijab syar'i pun masih berhijrah dengan menggunakan cadar. Lantas bagaimana dengan muslimah yang telah sempurna menutupi seluruh tubuhnya? Apakah dengan penampilan hijab syar'i dan cadarnya itu mereka telah menjadi sosok insan yang sempurna?
Nah, jawabannya tentu tidak. Tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan mutlak milik Allah 'azza wa jalla. Jadi sekalipun kita sudah menutupi seluruh tubuh dengan sempurna sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diri kita tetap masih jauh dari sempurna. Lagipula kita berhijrah -menutup aurat- bukan untuk terlihat 'sempurna' di mata manusia, kan? Bukan sekadar ikutan-ikutan tren hijab dan cadar style, kan? Melainkan sebagai bukti penghambaan kita pada-Nya. Kita memutuskan menutup aurat semata-mata karena kita ingin menjadi hamba yang taat. Kita menyembunyikan seluruh keindahan yang ada pada diri karena kita sami'na wa atho'na dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Bukan karena alasan-alasan yang lain dan mudah-mudahan memang niat hijrah kita demikian adanya. Lillaahi ta'ala.
Namun sebatas niat saja nggak cukup kan? Niatnya baik, sudah diaktualisasikan tapi sayangnya kita masih belum sepenuhnya mengetahui makna "menutupi aurat". Kita masih belum mengerti dengan esensi dari hijab dan cadar yang kita kenakan. Kita masih belum memahami maksud Allah dan Rasul-Nya yang memerintahkan para muslimah untuk menyembunyikan perhiasan yang melekat pada dirinya.
Berhijrah secara penampilan saja juga nggak cukup kan? Paling tidak selain niat ikhlas karena Allah ta'ala, kita pun harus tahu tujuan Allah menurunkan perintah menutupi aurat. Jawabannya telah tertera dengan sangat jelas di QS An-Nur : 31 dan Al-Ahzab : 59. Namun yang jadi pertanyaan apakah kita sudah benar-benar mencernanya? Paham dengan maksud kedua ayat tersebut. Jika belum mungkin kita perlu belajar memaknai terlebih dahulu ayat 26 yang tertera di QS Al-A'raf.
Sebaik-baik pakaian adalah takwa.
Pakaian adalah apa yang kita kenakan sedangkan takwa adalah salah satu amalan hati. Artinya apa? Hati dan penampilan kita harus diselaraskan, musti berjalan beriringan. Jangan cuma penampilan saja yang tampak baik tapi hati kita berdebu pun sebaliknya. Ini bukan berarti kita harus membersihkan hati dulu baru kemudian mengubah penampilan (berhijrah, red). Berhijrah memang butuh proses, nggak ada proses yang langsung instan. Orang-orang yang kita anggap sudah sempurna hijrahnya saja masih tetap berproses, apalagi kita yang baru berproses?
Saya saat ini pun masih terus belajar dan berproses. Termasuk tiap kali memosting tulisan di kamar kenangan ini saya anggap juga merupakan bagian dari proses yang saya jalani berdasar atas apa yang saya lihat, dengar, rasakan dan alami. Tidak jarang pula saya sengaja mengeluarkan unek-unek dan opini atas kegelisahan yang mengusik pikiran dan hati saya akan problema yang terjadi di sekitar atau yang sedang ramai diperbincangkan. Sama sekali tanpa bermaksud ikut menghakimi siapa pun. Seperti problema cadar beberapa waktu lalu yang memang cukup menarik perhatian sehingga saya juga ikut tertarik menyuarakan pendapat lewat tulisan yang baru sempat saya posting ini.
Baiklah, saat pertama memulai menulis postingan ini, sekitar tiga atau empat bulan lalu - saya belum bercadar dan nggak ada niat serius bakal menggunakan cadar meski pun suami saya ngotot banget pengen istrinya bercadar. Menurut suami, istrinya ini wajib bercadar karena cantiknya kebangetan, astaghfirullaah padahal saya yakin banget, itu mah di mata dia saja dan memang di mata seorang suami, selain ibunya - istrinyalah wanita yang harus dinilai paling cantik dibanding wanita mana pun di dunia. Lagipula cantik itu relatif kan? Di mata suami, saya memang terlihat sangat cantik, tapi di mata orang lain boleh jadi sebaliknya.
Lalu apa hubungannya cadar dan cantik? Nah, itu dia. Jujur saja, saya juga termasuk orang yang pernah sangat anti, memandang sebelah mata bahkan risih dan nggak suka banget lihat wanita bercadar. Tapi itu dulu, dulu sekali waktu saya masih belum paham makna penggunaan cadar. Sampai ketika kuliah dan mendapati teman sekelas yang memutuskan bercadar pandangan saya mulai berubah. Saya jadi lebih mahfum atas keputusan mereka yang tidak hanya berani menutupi seluruh tubuh namun juga wajahnya. Kira-kira apa sih tujuan dari mereka bercadar kalau bukan semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah.
Waktu itu pemahaman saya belum menjangkau adanya keterkaitan cantik dan cadar, apalagi saya berpegang keyakinan pada sabda Rasul, bahwa wajah bukan bagian dari aurat wanita sehingga tak perlulah sampai ditutupi. Namun, suatu hari saat shalat di masjid salah satu kampus yang ada di Kota Daeng, Allah mempertemukan saya dengan akhwat-akhwat bercadar yang maa syaa Allah ketika kain penutup wajah mereka singkap saat hendak shalat seketika itu pula saya tercengang seakan melihat bidadari-bidadari bermata jeli. Saya tidak bermaksud lebay ya menggambarkan kecantikan yang saya lihat saat itu namun kenyataannya memang di balik cadar - cadar mereka tersembunyi keindahan yang memukau.
Lantas teringatlah saya dengan salah satu sabda Rasul yang mewanti-wanti kaum Adam bahwa tidak ada fitnah yang lebih besar menimpa mereka kecuali fitnah wanita. Maka tak mengherankan bila Rasulullaah juga pernah bersabda bahwa hijab terbaik bagi wanita adalah di rumahnya. Sebab selangkah saja wanita keluar dari rumahnya, ia telah mengundang datangnya fitnah. Ya, semua yang ada pada diri wanita bisa mengundang fitnah, sekali pun seluruh tubuhnya telah tertutupi hijab. Apalagi bila muslimah itu dianugerah paras yang begitu indah. Tentu, paras yang cantik tersebut adalah anugerah namun sekaligus bisa menjelma musibah.
Ketika itu, saya masih belum paham benar tentang esensi bercadar tapi saya menemukan alasan lain selain mengharapkan keridhoan Allah. Cantik. Iya wanita yang dianugerahi kecantikan wajib menjaga anugerahnya itu dengan sebaik-baiknya. Salah satu cara menjaganya yakni dengan ditutupi. Tidak ditampakkan. Tidak membiarkan sembarang mata bebas menikmatinya. Jika tidak demikian, anugerah itu boleh jadi menjadi bomerang. Akan ada banyak lelaki yang merayu dan menggodanya. Akan ada banyak lelaki yang bebas menikmati wajahnya lalu membayangkan yang tidak-tidak. Ini serius deh.
Ah, saya jadi teringat dengan artis cantik mantan personal girl band Bexxa, Inara Idola Rusli yang awal Ramadhan kemarin mulai memutuskan bercadar. Jika ditengok masa lalunya, mungkin kita nggak bakal nyangka ya, artis cantik yang pernah terjun di di dunia musik ini dulunya selalu berpakaian seksi dan terbuka, kini telah bermetamorfosis menjadi muslimah yang tertutup dengan hijab dan cadarnya. Terlebih, suaminya, Virgoun Tambunan, pelantun lagu Cinta untuk Starla adalah seorang muallaf yang notabenenya baru belajar agama namun justru si Virgoun sendiri yang meminta dan mendukung istrinya yang berparas cantik itu bercadar karena sering digoda pria. Padahal saat digoda itu Inara sendiri sudah berhijrah mengenakan pakaian syar'i namun masih banyak pria yang menggodanya. Berikut penuturan ustaz Derry dan Virgoun sendiri mengenai bercadarnya Inara Rusli.
Oh ya, saya sempat juga nonton kisah hijrah Virgoun-Inara di chanel youtobe muslimahdaily yang sungguh mengharukan. Maa syaa Allaah banget, perjalanan hijrah mereka. Benar-benar Allah yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati hati hamba-Nya.
Well, selain alasan mengharapkan keridhoan Allah dan dianugerahi kecantikan, masih ada alasan-alasan lain yang membuat seorang muslimah mantap bercadar. Apa pun alasannya, tentu kita nggak punya hak menyalahkan keputusan mereka. Toh, mereka yang bercadar kenapa kita yang sewot. Kenapa kita yang menjelek-jelekkan? Memang apa yang salah dengan cadar? Nggak ada kan!
Yang salah mungkin kita, yang tidak merasa aneh dengan muslimah berpakaian seksi tapi merasa risih bahkan asing dengan wanita yang berusaha menjaga dirinya, dengan hijab dan cadarnya agar tidak sampai menebar fitnah pada lelaki. Atau kita yang terlalu anti dan mengait-ngaitkan cadar dengan teroris, cadar dengan isu radikalisme. Atau kita yang berpandangan muslimah bercadar itu sok alim, sok shalihah, sok mengklaim dirinya telah menjadi penguhuni surga. Atau barangkali justru karena kita sendirilah yang membuat image cadar menjadi buruk dan negatif di mata masyarakat.
Saat kembali menyelesaikan postingan yang sudah berbulan-bulan tersimpan di draft ini, Qadarullaah, Allah yang menggerakkan hati sehingga akhirnya saya mulai belajar mengenakan cadar sebagaimana harapan suami; tentu bukan karena wajah saya secantik Inara Rusli sehingga cadar menjadi suatu kewajiban bagi saya. Wajah saya mah pas-pasan saja, cantik iya, jelek juga nggak, *eh. Malah ketika memutuskan mengenakan cadar pun saya masih berkeyakinan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan sesuai yang disabdakan Nabi. Namun, bukan berarti saya menafikkan adanya perintah bercadar lho. Bagi saya pribadi, setelah paham dan mengenakannya; hukum cadar adalah sunnah sekali pun ada sebagian ulama yang mewajibkannya. Intinya sih, hukum mengenakan cadar termasuk dalam perintah agama. Jadi kalau ada yang menyalahkan, menjelek-jelekkan, menghujat bahkan sampai menghakimi perintah agama yang satu ini, yang sejatinya sangat memuliakan kaum hawa - coba deh instropeksi diri sendiri. Sebab kita sama sekali nggak berhak asal menjudge apa pun yang menjadi pilihan dan keputusan orang lain dalam mendekatkan diri dengan Rabb-nya.
Ya, jangan sampai karena nggak paham dengan agama sendiri dan asal menjudge kita ikut-ikutan menyamakan konde Ibu Pertiwi dengan cadar Muslimah. Padahal keduanya jelas berbeda. Nah, lho?
Note ; postingan telat tapi semoga tetap bisa menginspirasi siapa saja yang membacanya. Postingan ini ditulis sebatas opini penulis pribadi. Bila berkenan ikut beropini tentang cadar, silakan tinggalkan jejak di kolom komentar ya😊
Posting Komentar untuk "Apa yang Salah dengan Cadar"
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)
Note :
Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.