Lima Fakta Tentang Saya Pasca Wisuda

Penasaran? Yuk cari tahu lima fakta menarik tentang saya setelah menyandang gelar sarjana. Fakta nomor 4 paling ajaib lho.
fakta tentang saya, pasca wisuda

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Kalau ada mantan mahasiswi yang sempat kehilangan arah setelah diwisuda, mungkin saya salah satunya. Waktu teman-teman saya sudah pada fokus kejar tujuan mereka setelah mengantongi ijazah S1, saya masih dilanda kebingungan yang hebat. Alhasil, ketika teman-teman saya itu berhasil meraih tujuannya masing-masing, ada yang lanjut kuliah pascasarjana, ada yang memilih mengabdi jadi tenaga guru honorer di kampungnya, ada pula yang banting stir cari pekerjaan di luar basic pendidikannya, bahkan yang baru wisuda dan berhasil lolos tes CPNS juga ada lho, eh saya masih saja berstatus sebagai pengangguran.

Well, tantangan di hari kelima adalah menulis tentang fakta diri sendiri. Karena fakta terkait diri saya sangat buanyaaak jadi yang saya bahas fakta hidup saya setelah wisuda saja yaak.  Karena wisuda saya sudah berlangsung sejak September tahun 2014 silam, which means fakta yang bakal saya ungkapkan adalah fakta tentang diri saya selama kurang lebih empat tahun terakhir ini.

Salah satu fakta tentang diri saya setelah wisuda adalah sempat nganggur selama hampir setahun. Tapi fakta yang satu ini nggak saya masukkan dalam lima fakta yang bakal saya bahas. Kenapa? Karena fakta jadi pengangguran lepas kuliah itu lumrah, maksud saya sudah biasalah orang yang baru lulus kuliah langsung jadi pengangguran wong yang sudah lama sarjana saja banyak yang masih nganggur, apalagi yang baru-baru lulus. Tergantung rejeki masing-masing orang juga sih karena cari pekerjaan zaman sekarang kan susah-susah gampang 


Oke, sekian dulu prolognya. Langsung saja yuk ke topik inti. Ini dia lima fakta tentang saya setelah wisuda, jreng, jreng, jreng😄


Sebelumnya tidak pernah terbersit secuil pun dalam pikiran, saya bakal bercita-cita jadi IRT. Malah saya sempat memandang sebelah mata perempuan-perempuan yang berstatus IRT. Yup, di mata saya dulu IRT hanyalah sebuah status yang dilekatkan pada perempuan yang telah menikah. Siapa sangka, bila di kemudian hari gadis yang pernah memandang IRT sebelah mata justru menetapkan IRT sebagai cita-citanya.

Jadi lepas kuliah saya memang sempat dilanda kebingungan yang hebat. Bingung, entah kemana harus melangkahkan kaki setelah menanggalkan status kemahasiswiin saya. Padahal sudah ada 'tiket' yang bisa saya pakai untuk ikut tes seleksi CPNS 2014 atau mendaftar kuliah S2 atau melamar pekerjaan sebagai guru honorer. Sayangnya; tiga pilihan tersebut sama sekali tidak menarik perhatian saya.

Otomatis saya juga pusing kan, ini diri maunya apa sih. Otak saya sudah kasih tiga option terbaik tapi nggak ada yang sreg di hati. Alih-alih memilih salah satu atau salah dua dari ketiga option tersebut, hati saya justru memilih option lain, yang tadinya saya juga nggak nyangka. Option itu sekonyong-konyong saja terlintas di otak dan langsung di-ACC hati saya.

Oke, saya ikuti kata hati saya. Demi mewujudkan cita-cita baru saya itu, tiga bulan lepas wisuda saya memutuskan balik ke kampung kelahiran. Niat dan tujuan saya semata-mata cuma satu. Bukan minta agar ortu mencarikan saya jodoh, melainkan ikhlas ingin berbakti. Lagipula saat itu, entah mengapa saya yakin saja, jodoh saya sepertinya ada di tanah Daeng. Cepat atau lambat ia akan segera datang menjemput, membawa saya pergi dari rumah orang tua saya. 

Jadi yang tergambar dalam pikiran saya, untuk menggapai cita-cita saya itu, saya harus pulang, saya harus berbakti, saya harus menghabiskan banyak waktu dengan orang tua saya sebelum jodoh saya benar-benar datang. Because i know, kehidupanku setelah menikah nanti tentu tidak akan sama lagi dengan kehidupan saat masih menjadi tanggung jawab kedua orang tua saya. 

Lha bagaimana cita-cita sebagai IRT bisa terwujud kalau nggak fokus cari jodoh? 

Bila ada yang bertanya demikian, saya hanya ingin menanggapi seperti ini. Kalau urusan jodoh mah nggak usah dicari. Ngapain sibuk-sibuk mencari jodoh, toh jodoh kita nggak hilang, nggak kemana-mana. Sudah ditetapkan Tuhan. Bahkan nama kita yang disandingkan dengan nama sang jodoh pun sebenarnya telah diabadikan di kitab lauhulmahfuz limapuluhribu tahun sebelum dunia dan segala isinya ini diciptakan. Jadi kalau mau ketemu jodoh sesegera mungkin, ya nggak usah dicari, tapi dijemput. Karena jodoh ada di tangan Tuhan dan selamanya akan tetap berada di tangan Tuhan bila kita tidak datang menjemputnya. Nah, bagi saya salah satu cara menjemput jodoh adalah dengan berbakti pada orang tua.


Oh ya barangkali ada yang pengen celetuk ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau cita-citanya cuma pengen jadi Ibu Rumah Tangga.

Silakan baca tanggapan saya terkait pertanyaan tersebut di artikel ini Pasca Wisuda Ingin Jadi IRT, Lima Hal Ini Alasannya


Jangan tanyakan bagaimana rasanya pertama kali naik pesawat, seorang diri pula. Saya sampai terjaga sepanjang malam. Tidak bisa tidur di atas pesawat saking tegangnya😅

Yup, saya baru pertama kali naik pesawat setelah berhasil menyabet gelar sarjana. Telat bangeet yaak, orang-orang sudah sering PP naik pesawat di umur belasan tahun eh saya malah baru pertama kali naik pesawat di umur yang sudah menginjak angka 22. But no problem, baru bisa mencicipi sensasi mendebarkan naik pesawat setelah lulus kuliah daripada nggak pernah sama sekali.

Oh ya, hari ketika saya pertama kali naik pesawat sama dengan hari dimana terjadi tragedi jatuhnya sebuah pesawat. Ada yang masih ingat tragedi pesawat apa yang jatuh tanggal 28 Desember 2014? Yup, tragedi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata yang terjadi tidak lama setelah pesawat Garuda yang saya tumpangi berhasil mendarat dengan sempurna di Bandara Franskaisepo.

Syukurnya, tragedi tersebut terjadi setelah saya tiba di rumah dengan selamat. Tak terbayangkan bagaimana berkecamuknya pikiran saya bila tragedi tersebut terjadi sebelum jadwal penerbanganku tiba. Pas lihat beritanya muncul di TV saja saya langsung shock dan membayang hal yang aneh-aneh, apalagi bila kejadiannya berlangsung sebelum saya naik pesawat. Bisa-bisa tiket pesawat yang sudah saya booking jauh-jauh hari itu saya biarkan hangus saja dan memilih pulang ke Papua lewat jalur laut meski perjalanan yang ditempuh sampai berhari-hari🙊

FYI, tujuan penerbangan saya waktu itu dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar menuju bandara Franskaisepo, Biak dengan durasi perjalanan dua setengah jam. Yes, saya pulang kampung. Balik Papua, kejar cita-cita jadi IRT, hehe. Tepatnya ke tanah kelahiran saya di Serui, Kepulauan Yapen. Kalau sudah sampai di Biak masih harus menyeberang pulau lagi (karena belum ada penerbangan yang langsung ke bandara Serui). Sekitar tujuh jam kalau naik kapal pelni, tapi kalau pake pesawat kecil yang muatnya kurang lebih 40 penumpang cuma duapuluh menit saja. Nah, dari bandara Serui itu (ups saya lupa nama bandaranya) masih harus naik mobil lagi kurang lebih satu jam baru bisa nyampe di rumah ortu. 

Lumayan jauh juga yaak perjalanan dari Makassar ke Serui😅 jadi salut banget dengan lelaki yang tak disangka-sangka berani menyusul saya ke tanah Papua lantas membawa saya kembali ke tanah Daeng.

Siapa sangka kurang dari tiga tahun kemudian saya bisa naik pesawat lagi untuk kedua kalinya dan menginjakkan kaki kembali di Bandara Sultan Hasanuddin dengan jodoh saya. Rasanya, sungguh seperti mimpi. 



Bukan kebetulan tantangan hari ini bertepatan dengan hari guru. Ingatan saya langsung melayang ke masa-masa dimana waktu saya lebih banyak tersita dengan kegiatan mengajar yang cukup padat. Pagi-siang ngajar di dua-tiga sekolah sekaligus, sorenya ngajar ngaji anak-anak madrasah aliyah, malamnya masih lanjut ngajar private. Begitu aktivitas harian saya sejak masih tinggal di Papua. Capek? Lumayan. Bosan? Nggak.

Saya malah menikmatinya, bahkan sampai sekarang-pun setiap kali mengenang masa-masa itu hati saya langsung dibanjiri rindu. Rindu dengan celoteh murid-murid saya. Rindu dengan panggilan mereka yang memanggil saya ibu. Rindu dengan wajah-wajah ceria mereka. Ah, betapa banyak rindu yang sulit diobati karena waktu yang tak mungkin kembali dan jarak yang terbentang.

Beidewei, niat utama saya kembali ke Papua memang pengen berbakti, bukan pengen jadi guru. Pengennya kerja di rumah saja. Bukan di sekolah. Tapi karena mama dan papa saya termasuk tipe ortu pada umumnya yang pengen anaknya punya kerjaan dan penghasilan sendiri so saya manut. Toh, termasuk berbaktinya seorang anak adalah dengan memenuhi keinginan orang tuanya selama tidak bertentangan dengan perintah Tuhan.

Lagipula, waktu itu saya berpikir, nggak ada salahnya juga belajar jadi IRT dari murid-murid saya. Terutama belajar menghadapi dan memahami tingkah mereka. Setidaknya saya bisa belajar sabar dengan menjadi ibu dari murid-murid saya di sekolah selama dua tahun itu, sebelum menjadi sebenar-benar ibu. Apalagi setelah menjadi guru, baru saya rasakan betapa menghadapi anak-anak bukanlah pekerjaan yang mudah. 

Seorang Ibu baik sebagai guru maupun orang tua akan selalu butuh stok SABAR yang banyak, kan?

Baca Juga Istri Rumah Tangga


Mana saya sangka kalau jodoh saya ternyata adalah lelaki yang tiga tahun sebelumnya pernah saya temui hanya sekali dan sesaat dalam suatu meet up komunitas. Yang sempat beberapa kali menyapa saya lewat BBM lalu menghilang bak ditelan bumi. Yang ketika muncul kembali langsung menyatakan niat baiknya ingin berproses dengan saya setelah memastikan bahwa saya tidak sedang berproses dengan siapa-siapa lewat perantara kami.

Mana saya duga lelaki yang berani mengajukan lamaran pada kedua orang tua saya adalah lelaki yang tak pernah menunjukkan ketertarikannya pada saya, yang tak pernah bilang i love you atau berusaha mendekati saya dengan cara-cara yang tak halal, yang saya kenali identitasnya sebatas lewat lembaran biodata ta'aruf.

Mana saya kira lelaki yang bersanding di pelaminan dengan saya adalah lelaki yang sungguh di luar sangkaan saya. Yang tak pernah terbetik dalam pikiran saya secuil pun bahwa dia adalah jodoh terbaik yang ditakdirkan Allah untuk saya. 

See! Keyakinan saya terbukti. Entah mengapa saya yakin saja, jodoh saya sepertinya ada di tanah Daeng. Tapi selepas wisuda saya  malah memutuskan pulang ke tanah Papua. Semakin jauh dari jodoh yang saya yakini ada di Tanah Daeng. Iya, semakin jauh tapi jodoh saya nggak kemana-mana, kan? Malah menyusul saya ke tanah Papua lalu membawa saya kembali ke tanah Daeng. 

So, biar ke ujian dunia pun kalau Allah sudah tetapkan jodoh ya pasti berjodoh. Kalau nggak ya nggak. Sesederhana itu masalah jodoh. 



Yes, now i'am a wife and mom full at home. Alhamdulillaah menginjak tujuh bulan usia pernikahan saya dan suami, Allah menitipkan kehidupan baru di dalam rahim saya. Kehidupan yang telah lama saya nanti-nantikan, bahkan sebelum diri ini menyandang status sebagai seorang. Karena sebelum menikah pun saya sudah terlebih dahulu membangun cita-cita baru sebagai Ibu Rumah Tangga. Cita-cita yang mustahil terwujud tanpa hadirnya seorang suami dan buah hati dalam hidup saya.

Kurang lebih sebulan setelah menikah saya memutuskan resign dari pekerjaan saya sebagai guru. Keputusan tersebut tentu saja tidak berat bagi saya namun disayangkan oleh banyak pihak, terutama orang tua saya. Betapa besar harapan mereka agar anak perempuannya ini bisa mandiri dan tidak menggantungkan penghasilan semata-mata dari gaji suami. Harapan mereka itu bahkan telah tumbuh sejak saya masih berusia kanak-kanak. Mereka berjuang keras membiayai pendidikan saya hingga di perguruan tinggi demi menatap keberhasilan anaknya di masa depan. Lantas setelah menikah, anak yang mereka harapkan mandiri itu justru memilih jadi IRT.

Pa, Ma, maafkan anakmu ini😢

Bukan tanpa alasan ketika akhirnya saya memutuskan menjadi IRT. Surga yang ingin saya persembahkan pada kedua orang tuaku. Surga yang ingin saya raih bersama suamiku. Surga pula yang ingin saya berikan pada anak-anakku. Dan saya hanya tak menemukan pekerjaan yang paling mendekatkan saya dengan surga atau profesi yang paling mulia bagi seorang perempuan selain menjadi Istri dan Ibu Rumah Tangga (IRT)

Yap, IRT yang pernah saya pandang sebelah mata itu bukan lagi sebatas status yang melekat pada perempuan yang telah menikah atau memiliki anak melainkan pekerjaan yang paling mendekatkan seorang perempuan dengan surga Tuhannya.


Sekian dulu  postingan terkait lima fakta tentang diri saya setelah wisuda,  kalau fakta tentang diri kalian apa nih? Share yuk di kolom komentar :)

Posting Komentar untuk "Lima Fakta Tentang Saya Pasca Wisuda"