Perempuan dan Kekerasan Seksual


Perempuan dan Kekerasan Seksual - Ketika di  lingkungan tempat tinggal kita ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan, apa reaksi kita? Akankah peduli dan berempati atau justru menyalahkan, menghakimi dan menghujat perempuan tersebut.

"Siapa suruh malam-malam masih suka bekeliaran di luar rumah"
"Begitu kalau terlalu genit sama laki-laki"
"Makanya jangan suka pakai baju yang seksi-seksi"

Kenyataannya komentar senada seperti itu kan yang kerap terlontar ketika ada kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Jangankan menunjukkan empati, simpati saja tidak ada.

Jujur, reaksi yang demikian memunculkan tanda tanya besar di kepala saya. Saya benar-benar tidak mengerti, mengapa perempuan yang mengalami kekerasan seksual selalu menjadi pihak yang disudutkan dan diperlakukan tidak adil?

Nah, pertanyaan tersebut akhirnya terjawab setelah saya ikut sharing time yang diadakan komunitas Indonesian Content Creator (ICC) pada hari Senin, 11 Januari 2021 kemarin.

Sharing yang berlangsung via Zoom ini menghadirkan Mbak Muyassaroh Hafidzoh, dengan bahasan tema yang sangat menarik yaitu Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual.

Muyassaroh Hafidzoh adalah Penulis Novel Hilda dan Cinta dalam Mimpi. Salah satu novelnya yaitu Hilda adalah novel yang mengangkat tema kekerasan seksual. Tema ituah yang kemudian dipilih menjadi topik sharing time pertama bersama peserta ODOP ICC.

Berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan  

Kasus kekerasan seksual terutama terhadap perempuan adalah kasus yang hingga saat ini belum menemukan titik terang.

Bahkan boleh dibilang kasus ini bagai fenomena gunung es, hanya tampak di permukaan saja, namun yang tidak terlihat jauh lebih banyak.
 
Itulah yang melatarbelakangi ibu dari 3 anak ini menulis Novel Hilda, karena merasa resah terhadap masalah kekerasan seksual yang menimpa perempuan. 

Keresahannya bukan semata-mata karena jumlah kasus pelecehan seksual yang terus meningkat tetapi lebih kepada perlakuan yang diterima perempuan selaku korban.

Berkenaan dengan hal tersebut, Mbak Muyassaroh sengaja mengawali sharing kali ini dengan terlebih dahulu menampilkan sebuah cerita fiktif di layar lalu meminta kami berkomentar 1 kata. Beliau ingin tahu bagaimana respon kami.


Ada yang menjawab gila, astaga, astaghirullaaah, dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak sempat menjawab karena lagi berusaha menenangkan anak saat itu jadi tidak fokus memperhatikan layar Zoom.

Well, kira-kira apa 1 kata dari kamu setelah membaca cerita di atas? Apakah komentar kamu juga bermakna mencurigai atau kamu punya tanggapan berbeda?

Ya sekilas kalau membaca cerita tersebut kalimat-kalimatnya menggiring kita untuk berpikiran yang "tidak-tidak".

Padahal yang sebenarnya adalah ya tidak masalah Si Bupati memberikan izin istrinya menemani Direktur Utama PT Pertamina yang periode 2018. Kenapa?

Coba googling siapa Direktur Utama PT Pertamina yang menjabat tahun 2018? Yes,  Nicke Widyawati, seorang perempuan😄

Duh, kami terkecoh, hehe. Tapi dari cerita sederhana tersebut ada pelajaran yang bisa dipetik, bahwa ketika mendapatkan informasi apa pun itu apalagi yang menyangkut masalah kekerasan seksual, sikap yang harus dilakukan adalah tabayyun, bukannya langsung berprasangka buruk dan menghakimi.

Lalu apa hubungannya dengan materi yang akan disampaikan? Sabar! Masih ada pertanyaan kedua dari Mbak Muyas.


Nah, di sini saya baru bisa ikut bersuara dengan menuliskan jawaban di kolom chat.  Jawaban saya adalah "disalahkan, dihujat". Peserta lainnya juga rata-rata menjawab demikian. 

Intinya salah satu ketidakadilan yang diterima perempuan setelah mengalami pelecehan seksual adalah tetap dianggap bersalah sekalipun dia adalah korban.

Lebih lanjut Mbak Muyas menjelaskan berbagai bentuk ketidakadilan yang kerap dialami perempuan.

Ada lima bentuk ketidakadilan pada perempuan yang beliau sebutkan, yaitu marginalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotype dan beban ganda yang dipaksakan.  Berikut ini penjelasannya.

Marginalisasi

Marginaliasasi yang dimaksud di sini adalah proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin. 

Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi sasaran utama.

Contohnya nih, ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.

Atau masih ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok bekerja dengan jabatan yang rendah, tidak perlu terlalu tinggi. Alasannya, ketika perempuan menempati posisi yang tinggi laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. 

Padahal akar permasalahannya yang memang salah sebab masih kuatnya budaya patriarki.

Subordinasi

Setiap orang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, pendidikan, jabatan dan karier, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. 

Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus diubah..

Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab

Kekerasan

Sudah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. 

Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.

Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. 

Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Tentu ini adalah ironi yang masih banyak ditemui di lingkungan sekitar kita.

Pelabelan negatif

Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. 

Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.

Beban ganda yang dipaksakan

Umumnya yang terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarir di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapa pun.

Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. 

Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.

Itulah beberapa perilaku tidak adil yang kerap dialami perempuan pada umumnya lalu bagaimana ketidakadilan yang didapatkannya bila menjadi korban kekerasan seksual?

Ketika perempuan menjadi korban kekerasan seksual

Tidak ada perempuan yang mau menjadi korban kekerasan seksual, apalagi jika yang dialami adalah kasus pemerkosaan.

Namun  dalam kasus ini, tidak sedikit korban yang malah dianggap sebagai pihak yang mengundang terjadinya pelecehan. 

Sehingga ketika perempuan menjadi korban kekerasan seksual, ketidakadilan seperti inilah yang akan diterimanya :

Disalahkan

Seperti yang sudah saya singgung beberapa kali di atas, salah satu ketidakadilan yang diterima perempuan paska mengalami pecelehan seksual adalah disalahkan sekalipun dia adalah korban.

Sebagian masyarakat menganggap perempuan yang mengalami kekerasan seksual adalah akibat ulahnya sendiri sehingga wajar dilecehkan.

Mereka mengaitkannya dengan cara perempuan tersebut berpakaian. Di mata masyarakat cara berpakaian perempuan adalah yang menentukan dia harus dimuliakan atau dilecehkan. 

Padahal menurut Mbak Muyassaroh, mengutip kata Dr. Nur Rofi’ah, “Perempuan telanjang pun, tidak boleh diperkosa.” 

Tidak memiliki bukti laporan yang kuat

Jika korban tidak hamil dan melaporkan dirinya ke kantor polisi atau pihak yang berwenang menangani kasus ini, maka visum perlu dilakukan untuk mendapat bukti. Namun yang sering terjadi visum tidak bisa menjadi bukti kuat. 

Visum baru bisa dijadikan bukti jika menunjukkan adanya robekan (selaput dara) akan tetapi bila robekannya rapi, maka tidak cukup kuat sebagai bukti.

Dinikahkan dengan pelaku

Nah, ini juga jadi salah satu ketidakadilan yang kerap dialami korban lantaran masih banyak masyarakat yang menyamakan zina dan perkosaan. Padahal jelas sekali perbedaan antara zina dan perkosaan.

Zina dilakukan tanpa paksaan, sedangkan perkosaan adalah aksi seksual yang dilakukan dengan paksaan. 

Tentu saja perkosaan akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi wanita. Mirisnya, masyarakat yang tidak paham dan mengabaikan sisi psikologis korban malah menerapkan aturan dimana perempuan yang hamil di luar nikah akan dinikahkan dengan yang menghamilinya, tidak peduli apakah itu akibat perzinaan atau kekerasan seksual.

Bayangkan jika perempuan yang merupakan korban kekerasan seksual justru dinikahkan dengan pelakunya, pastilah sangat berat kehidupan yang dia jalani.

Dikucilkan dari keluarga

Perlakuan tidak adil yang diterimma korban tidak hanya datang dari masyarakat melainkan juga dari orang terdekatnya sendiri.

Bukannya melindungi, banyak orang-orang terdekat yang justru merasa malu dan menganggap korban adalah aib dalam keluarga yang harus dikucilkan bahkan lebih parahnya ada yang sampai mengusir.

Dikeluarkan dari sekolah

Tidak hanya pihak keluarga, jika perempuan yang dilecehkan ini masih berstatus pelajar maka pihak sekolah juga akan menganggapnya sebagai aib dan keberadaannya dapat mencoreng nama baik sekolah. 

Sehingga tindakan yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah mengeluarkan korban sekalipun mungkin pada saat itu ia tinggal menempuh ujian akhir, seperti yang dialami Hilda, dalam novelnya Mbak Muyas.

Kelima perilaku tidak adil di atas adalah yang sempat disinggung Mbak Muyas di sesi sharing time kemarin, tapi kalau kita mau telusuri lebih jauh lagi tentu masih banyak ketidakadilan yang diterima korban kasus kekerasan seksual.

Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap korban pelecehan seksual?

Perempuan yang mengalami kasus kekerasan seksual sudah sangat menderita. Jangan lagi kita menambah beban yang membuatnya semakin hancur.

Jangan salahkan korban walau bagaimana pun pakaian atau pergaulannya karena korban tetaplah korban yang seharusnya dilindungi bukan dihakimi.

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita terhadap korban. Berikut ini poin-poin yang dijelaskan Mbak Muyas.

Melindungi korban supaya tidak mengalami ketidakadilan

Kekerasan seksual adalah perilaku kejam tidak bermoral dan pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Perilaku bejat ini telah meninggalkan luka batin sedalam-dalamnya dan dan sangat sulit untuk disembuhkan.

Korban menanggung luka tersebut seumur hidup. Bahkan jika lemah iman bisa saja si korban memutus untuk mengakhiri hidupnya.

Kasus korban kekerasan seksual yang lebih memilih bunuh diri daripada bertahan hidup dalam kubangan penderitaan sudah sering terjadi lho

Apalagi jika si korban tidak mendapatkan perlindungan dan dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarganya.

Mengenai hal ini, ada peserta yang bertanya, bagaimana jika pelaku kekerasan justru datang dari orang terdekat? Memang tidak dinafikkan masih banyak kasus pelecehan yang  menimpa perempuan dan pelakunya bukan orang asing.

Seperti salah satu pembaca novel Hilda yang diceritakan Mbak Muyas. Pembacanya ini menjadi korban kekerasan seksual dan pelakunya adalah orang satu rumah.

Mirisnya ketika dia melaporkan ke orang tuanya, ayah dan ibu si korban ini tidak percaya. Korban pun menjadi frustasi bahkan sampai melakukan percobaan bunuh diri hinga tiga kali berturut-turut. 

Si korban berpikir untuk apa hidup, dia juga berputus asa, tidak tahu minta tolong pada siapa. Lantaran orang tuanya sendiri tidak percaya dengannya, apalagi orang lain.

Namun ketika ditanya mengapa dia bisa bertahan hingga statusnya kini bukan lagi korban tetapi telah menjadi penyintas kekerasan seksual, maka perempuan itu menjawab karena Allah. 

Dia sudah lebih dari sekali melakukan tindakan yang bisa menghilangkan nyawanya tetapi selalu gagal. Namun baru pada percobaan ketiga dia menyadari, betapa Allah sayang padanya sebab sudah tiga kali dia berusaha bunuh diri tapi tidak pernah berhasil. 

Dari kisah nyata tersebut tentunya kita bisa mengambil hikmah, bahwa korban kekerasan seksual harus mendapat perlindungan dan perlakuan seadil-adilnya. Pembaca novel tersebut masih beruntung, masih ada iman yang terjaga di hatinya bagaimana dengan yang tidak. 

Tentunya kita tidak ingin bukan menjadi penyebab kematian seseorang sebab perlakuan tidak adil yang kita berikan.

Mendukung sepenuhnya korban supaya bangkit kembali

Saya belum membaca novel Hilda, tapi sempat disinggung oleh Mbak Muyas, menjawab pertanyaan Mbak Iffia Rahman pendiri ICC sekaligus menjadi host pada sesi sharing ini.

Kurang lebih seperti ini pertanyaan ibu dari Kafabilah ini, apa yang membuat Hilda bisa bangkit setelah mengalami nasib yang sangat buruk. Sudah menjadi korban pelecehan seksual, pelakunya tidak diadili, hamil di luar nikah, dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan dari lingkungan hingga melahirkan serta merawat anaknya tanpa suami.

Tentu bukan hal mudah melalui semua ujian itu?

Lalu apa jawab Mbak Muyas. Ibunya. Ya sosok si ibu dalam novel Hilda lah yang berperan penting sehingga membuat anaknya tetap  bertahan bahkan mampu bangkit dari keterpurukan. 

Si ibu yang ketika mendapati anaknya pulang dengan keadaan telah dinodai tidak serta menodongnya dengan rentetan pertanyaan. Si ibu hanya bisa berdzikir kemudian menanyakan keadaan anaknya.

Bagaimana keadaanmu, Nak? Kamu baik-baik saja? Pertanyaan itulah yang meluncur dari mulut Ibunya Hilda, bukan langsung meneror apalagi sampai menyalahkan.

Mendapati perlakuan lembut seperti yang dilakukan Ibu Hilda inilah yang dibutuhkan korban kekerasan seksual. Korban yang mendapat dukungan sepenuhnya tentu akan lebih mudah untuk bangkit.

Melakukan proses hukum dengan meminta bantuan LBH terdekat

Salah satu bentuk ketidakadilan yang diterima korban adalah ketika pelakunya masih bebas berkeliaran di luar tanpa mendapat hukuman yang setimpal.

Walau dihukum pun sebenarnya tidak dapat menyembuhkan luka yang diderita korban namun setidaknya pelaku tetap harus diadili.

Oleh sebab itu korban harus bersuara dan melaporkan perlakuan tidak senonoh yang menimpanya kepada pihak berwenang. Kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Nah, sikap yang semestinya kita lalukan terhadap korban bukan malah meyudutkan tapi membantu dan mendukungnya melewati proses hukum atau meminta bantuan Badan Lembaga Hukum (BLH) agar perlakunya bisa segera diadili.

Turut mengobati korban, baik luka secara fisik ataupun psikis

Korban kasus kekerasan seksual pasti mengalami luka yang teramat berat. Alangkah buruknya kita ketika mendapati saudara terlebih sesama perempuan mengalami kejadiaan naas, kesuciannya dinodai tetapi kita malah menyalahkan dan menghujatnya.

Sikap terbaik yang seharusnya kita lakukan jika masih memiliki rasa kemanusian adalah membantu mengobati luka yang dialami korban, baik secara fisik maupun psikis.

Mendampingi korban sampai bisa kembali pulih lebih baik

Ketika perempuan masih menjadi korban ia akan hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan trauma akibat pelecehan seksual yang ia alami. Dia baru bisa dikatakan penyintas ketika bisa menata kembali hidupnya dan bangkit dari keterpurukan.

But of course, bangkit dari keterpurukan setelah mengalami mimpi yang sangat buruk adalah hal yang sungguh tidak mudah. Korban sangat membutuhkan kepedulian kita. Minimal tunjukkan rasa simpati. Namun akan lebih baik bila kita mau berempati.

Ayo dampingi korban, katakan padanya bahwa dia tidak sendiri, ada kita yang membersamai. Bantu dia keluar dari keterpurukan hingga ia berhasil menjadi penyintas.

Penutup

Sharing time odop icc
Sharing time ODOP ICC

Sebagai penutup saya ingin mengutip satu kalimat yang menjadi alasan Mbak Muyassaroh menuliskan novel Hilda. Karena perempuan adalah manusia seutuhnya sehingga ia pun berhak menjalani hidupnya dengan bahagia. Sekali pun dalam perjalanan musibah buruk menerjangnya. 
Menjadi korban kekerasan seksual  adalah nasib terburuk yang dialami kebanyakan perempuan. Percayalah, tidak ada perempuan yang ingin kehormatannya direngut secara paksa. 
Namun kenyataan pahit itu telah terjadi. Hidupnya hancur seketika. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita terhadap korban?

Sebagai seorang perempuan atau lelaki yang memiliki ibu, istri dan anak perempuan, janganlah kita membuatnya semakin hancur karena sikap kita yang tidak adil. 

Kalau pun kita masih tidak bisa bersikap adil, coba bayangkan kalau kita yang berada di posisi tersebut.

Demikian sharing saya mengenai Perempuan dan Kekerasan Seksual yang saya dapatkan dari sesi sharing time ODOP ICC bersama Mbak Muyassaroh Hafidzah. Semoga bermanfaat.

Salam,

Posting Komentar untuk "Perempuan dan Kekerasan Seksual"