9 Tradisi Unik di Papua, Bakar Batu Hingga Potong Jari

Papua menyimpan banyak keunikan terutama yang berkaitan dengan tradisi. Yuk intip tradisi unik di Papua, dari bakar batu hingga potong jari.

Tradisi unik papua, bakar batu hingga potong jari
Gambar : @lensaindonesiatimur
Walau berdomisili di Parepare (berdasarkan KTP) dan asli suku Bugis-Makassar namun saya merasa lebih dekat dengan Papua dibanding Sulawesi Selatan. 

Sampai sekarang pun saya masih lebih fasih berbicara dengan logat Papua ketimbang logat Makassar, hehe.

Bukan hal yang aneh sih. Papua adalah kampung kelahiran saya. Di sanalah saya lahir dan dibesarkan. Umur saya sekarang 28 tahun dan saya telah menjalani  20 tahun hidup di Papua.

Nah, kalau bicara tentang Papua pasti yang terbersit di benak teman-teman adalah keindahan dan kekayaan alamnya. Namun tidak hanya itu, Papua juga menyimpan banyak keunikan, terutama dalam tradisi dan adat istiadatnya.

Tradisi Unik di Papua, Ada juga yang Ekstrem

Tradisi yang ada di Papua tidak hanya unik lho teman-teman tetapi ada juga terbilang aneh dan ekstrem, seperti menjadikan darah manusia sebagai pengganti lem dan ada juga suku yang punya ritual memotong jari sendiri.

Duh, ngeri ya tapi untuk lebih jelasnya mari kita bahas satu-satu

Tradisi Bakar Batu

Tradisi papua bakar batu
Gambar : voinews.id
Salah satu tradisi yang terkenal di Papua adalah tradisi bakar batu. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dengan mengumpulkan warga satu kampung untuk merayakan kebahagiaan atas kelahiran, perkawinan adat, atau penobatan kepala suku.

Kalau saya melihat tradisi ini semacam pesta syukuran dengan membuat acara masak-masak dan makan bersama. Uniknya makanan yang dimasak untuk acara syukuran ini menggunakan bahan bakar berupa batu. 

Itulah sebabnya disebut tradisi bakar batu karena memang benar-benar bebatuan yang dibakar hingga panas membara. Setelah itu baru diletakkan di atasnya makanan yang akan dimasak.

Tradisi ini umumya dilakukan oleh suku asli Papua yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan seperti di Lembah Baliem, Panaiai, Nabire Pegunungan Bintang, dan lain-lain. 

Namun di setiap daerah memiliki penyebutan tersendiri mengenai tradisi ini, seperti di Paniai disebut Gapiia, di Wamena disebut Kit Oba Isogoa, sedangkan di Jayawijaya tradisi bakar batu lebih dikenal dengan nama Barapen.

Tradisi Ararem 

Tradisi selanjutnya adalah "Ararem" yang dalam bahasa Biak berarti mas kawin. Kalau biasanya yang kamu lihat di acara pernikahan adalah pengantaran calon pengantin laki-laki ke kediaman perempuan, di Papua tepatnya di Biak ini tradisinya cukup unik karena yang diantar adalah mas kawin.

Pengantaran mas kawin dilakukan dengan berjalan kaki secara arak-arakan dan dengan disertai tarian yospan (Yosin Pamcar) maupun nyanyian mulai dari kediaman mempelai pria menuju kediaman mempelai wanita.

Uniknya lagi, rombongan arak-arakan calon mempelai pria, selain membawa mas kawin, mereka juga membawa bendera merah putih. Wah, orang Papua sangat nasionalis ya?

Tradisi Mansorandak

Sambutan apa yang biasa teman-teman dapatkan dari merantau selama bertahun-tahun? Apa hanya berupa pelukan hangat, hehe.

Kalau di Papua ada tradisi unik nih. Namanya mansorandak atau dikenal juga dengan tradisi injak piring.

Iya, injak piring. Saya pernah lihat anak tetangga yang ketika baru kembali ke rumahnya setelah bertahun-tahun merantau disambut dengan tradisi ini.

Dimana ketika pertama kali masuk rumah kakinya langsung menginjak piring kemudian disirami dengan air.

Dari informasi yang saya baca mengenai mansorandak, dulunya tradisi ini diawali dengan prosesi mandi kembang berbagai rupa di atas piring adat.  Mandi kembang tersebut bertujuan untuk menghilangkan roh-roh jahat yang mungkin menempel pada tubuh perantau dari tempat sebelumnya.

Setelah itu anggota keluarga yang baru pulang dari tanah perantauan akan dibawa ke ruangan khusus di dalam rumah bersama dengan keluarga besarnya dan harus mengitari sembilan piring adat sebanyak sembilan kali putaran. Angka sembilan melambangkan sembilan marga suku Doreri di Manokwari. 

Selanjutnya ada proses penginjakan replika buaya sebagai lambang tantangan, penderitaan dan cobaan hidup yang akan menyertai jalan hidup sang perantau. 

Prosesi ini berakhir dengan kegiatan makan bersama. Uniknya makanan yang akan dimakan bersama seperti daging, ikan, hingga sirih dan pinang tidak dihidangkan di atas meja melainkan digantung di bagian atas rumah dan baru boleh disantap setelah mendapat aba-aba dari sesepuh Doreri.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, tradisi ini sekarang hanya dilakukan dengan penginjakan piring dan menyiramkan air pada anggota keluarga yang baru pulang merantau sebelum masuk ke rumah tanpa pengitaran piring maupun  makan bersama.

Tradisi Tanam Sasi

Tradisi unik di Papua berikutnya adalah tanam sasi,  yaitu upacara adat kematian yang berkembang di Kabupaten Merauke tepatnya dilakukan oleh suku Marind.

Sasi sendiri merupakan sejenis kayu yang menjadi media utama dari rangkaian upacara adat kematian. Namun sasi atau kayu yang digunakan bukan sembarang kayu.

Sasi tersebut ditanam selama empat puluh hari setelah kematian seseorang yang ada di daerah tempat tinggal Suku Marind dan baru akan akan dicabut setelah 1.000 hari ditanam. 

Tradisi ini dilakukan Suku Marind sebagai ungkapan duka cita bagi keluarga yang sedang berduka. Sedangkan bagi keluarga yang ditinggalkan, upacara adat ini menjadi pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di desa mereka ada yang meninggal. 

Tradisi Festival Lembah Baliem

Setiap bulan Agustus dan selama tiga hari berturut-turut di Papua tepatnya di sekitar Lembah Baliem diadakan Festival yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tradisi tersebut kemudian dikenal dengan nama Festival Lembah Baliem.

Festival Lembah Baliem merupakan tradisi perang antarsuku Papua yang dilakukan sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan.

Pada acara festival ini, suku-suku asli di Papua mulai dari Suku Dani, Suku Lani hingga Suku Yani yang tersebar di beberapa lokasi akan berkumpul di lembah Baliem. Kemudia para prajurit kebanggaan suku-suku tersebut akan diturunkan untuk adu kekuatan.

Nah, meski dalam festival ini terjadi praktik peperangan atau adu kekuatan antar suku namun tetap aman untuk ditonton. 

Apalagi selain peperangan banyak juga atraksi lainnya seperti tarian tradisional, pertunjukan musik menggunakan pikon, aksi teatrikal, lomba panahan dan lempar tombak, peragaan memasak dengan cara tradisional, pameran kerajinan tangan masyarakat suku adat dan masih banyak lainnya.

Tentunya tradisi tahunan yang jatuh di bulan Kemerdekaan Indonesia ini sangat menarik bahkan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Para turis atau wisatawan asing saja banyak yang sangat ingin ke Papua untuk menyaksikan Festival Lembah Baliem.

Tradisi Tifa Darah

Tifa adalah alat musik khas Indonesia Timur yang dibuat dari kayu dan dibungkus kulit binatang tertentu.

Di Maluku dan Papua, tifa biasa dibuat dari kulit rusa yang dikeringkan kemudian dengan rotan atau bambu di atas kayu ukiran yang telah dilubangi.

Nah, dalam pembuatan tifa ini yang cukup ekstrem bahkan bisa dibilang menyeramkan. 

Umumnya pembuatan alat musik ini menggunakan lem sebagai perekatnya namun ada salah satu suku di Papua, yakni Suku Kamoro yang mempunyai ritual menampung darah untuk digunakan sebagai perekat dalam membuat tifa.

Pembuatan tifa dengan darah dipercaya dapat membuat alat tersebut menjadi lebih kuat dan awet. Bahkan tradisi tifa darah sudah menjadi kebanggan pria Kamoro.

Tradisi Tato

Tradisi selanjut yang tidak kalah unik adalah Tato. Ya, bukan cuma Suku Dayak di Kalimantan atau masyarakat Mentawai di Sumatera Barat yang punya budaya tato. Masyarakat Papua pun punya tradisi mengukir gambar di tubuhnya

Salah satu suku yang terkenal dengan budaya tatonya adalah Suku Moi atau suku Malamoi. Budaya tato yang berkembang di Papua khususnya pada Suku Moi ini dikenalkan oleh penutur Austronesia dari Asia Tenggara  pada zaman neolitik.

Motif tato yang digunakan suku Moi berupa geometris atau semacam garis-garis melingkar dan dilengkapi dengan titik-titik segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan dengan rapi. 

Tato tersebut dibuat dengan cara mencelupkan duri pohon sagu atau tulang ikan pada campuran arang halus yang disebut dengan Yak Kibi, dan juga Loum atau getah pohon.

Kemudian, duri atau tulang ikan tersebut digunakan untuk membuat tato pada bagian tubuh, seperti punggung, dada, betis, pinggul, dan kelopak mata. 

Sayang tradisi ini di Papua mulai punah lantaran anak-anak muda Suku Moi menolak tubuhnya ditato sehingga hanya generasi tua yang masih bertahan dengan tatonya.

Tradisi Mumi

Tradisi mumi papua
(Instagram/@roel_riot)
Hayoo kamu sudah tahu belum kalau Papua punya Mumi. Ya, ternyata mumifikasi jenazah bukan hanya ada di Mesir lho tetapi ada juga di Papua. 

Namun tidak semua suku di Papua melakukan tradisi ini. Hanya ada 5 suku yang menerapkan tradisi mengubah jenazah menjadi mumi, yaitu Suku Mek di Pegunungan Bintang, Suku Dani di Lembah Baliem, Suku Moni di Intan Jaya, Suku Yali di Kurima dan Suku Mee di Dogiyai.

Jenazah yang dijadikan mumi pun bukanlah jenazah orang sembarangan melainkan jenazah seseorang yang dinilai berjasa bagi sukunya, baik itu merupakan kepala suku, panglima perang atau orang yang sangat dihormati.

Teknik mumifikasi sendiri dilakukan dengan menjemur dan mengeringkan jenazah di dalam goa, kemudian ditusuk dengan tulang babi dan diletakkan diatas perapian.

Tradisi Potong Jari

Tradisi potong jari papua
(Instagram/@ethnicvibes.id)
Tradisi iki palek atau lebih dikenal dengan potong jari adalah tradisi yang dilakukan oleh Suku Dani di Papua.

Bagi kita tradisi ini pasti kedengarannya aneh dan sangat sadis ya namun tidak bagi suku Dani. Justru bagi mereka ini adalah tradisi yang wajar dan harus mereka lakukan sebab memotong satu ruas jari dianggap sebagai bentuk kesetiaan terhadap orang terdekat mereka yang meninggal.

Bagi masyrakat Suku Dani, menangis saja tidak cukup untuk melambangkan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan lantaran ditinggal orang tercinta.

Nah, rasa sakit dari memotong jari dianggap dapay mewakili hati dan jiwa  mereka yang tercabik-cabik karena kehilangan. 

Selain itu, alasan mereka memutuskan untuk melakukan tradisi Iki Palek adalah karena jari dianggap sebagai simbol harmoni, persatuan, kekuatan dan kekeluargaan.

Uniknya ritual Iki Palek dilakukan oleh kaum wanita saja. Jadi, ketika kerabat dekat, suami atau anak meninggal maka jariwanita dari Suku Dani akan memotong jarinya.

Untuk memotong ruas jari mereka menggunakan kapak atau pisau tradisional. Bahkan tak sedikit yang menggigit jari mereka sendiri hingga terputus. Duh, tradisinya benar-benar ekstrem namun memiliki makna yang luar biasa.

Penutup

Demikian beberapa tradisi yang ada di Papua, mulai dari yang unik hingga ekstrem.
Pasti masih banyak yang belum tahu, kan? 

Ah, jangankan kalian, saya yang sudah berbelas tahun lamanya tinggal di Papua saja baru tahu kalau di Papua ada mumi, hehe.

Tapi nggak heran kok karena kebanyakan tradisi di atas terutama yang ekstrem itu adanya di daerah pedalaman, wong kampung kelahiran saya kan adanya di Kota tepatnya di Serui, Kepulauan Yapen (silakan teman-teman kepoin di Google Map)

Oke, sekian dulu sharing saya mengenai tradisi unik di Papua. Semoga postingan ini bisa menambah wawasan kalian tentang budaya Papua ya.

Sumber : 
wikipedia
https://www.google.com/amp/s/phinemo.com/7-tradisi-orang-papua-paling-aneh-dan-ekstrem-yang-jarang-diketahui/


Posting Komentar untuk "9 Tradisi Unik di Papua, Bakar Batu Hingga Potong Jari"