Pengalaman Melahirkan Normal Anak Kedua Sebelum Pandemi

Setelah sekian lama akhirnya tayang juga cerita pengalaman melahirkan normal anak kedua saya yang berlangsung sebelum pandemi. Yuk simak birth story-nya di sini.

Pengalaman melahirkan normal anak kedua sebelum pandemi

Alhamdulillaahil-ladzii bini’matihi tatimmush-saalihaat, tepat di tanggal 12 Desember 2019 pukul 23.15 WITA anak kedua saya lahir ke dunia dengan selamat. Nggak nyangka juga si adek lahirnya pas Harbolnas, hehe.

Usianya sekarang sudah menginjak lima bulan dan saya sangat-sangat bersyukur karena semenjak lahir si adek bayi kalem banget. 

Nggak rewel. Nggak suka juga ngajak ayah bundanya begadang. Paling begadangnya kalau lagi mengalami grow sputh saja. Itu pun nggak pakai acara nangis segala asal dikasih nenen. 

Nggak sama kayak kakaknya dulu, hampir tiap malam kerjaannya nangis sampai pagi. Apalagi kalau lagi kolik, maa syaa Allaah, nangisnya bisa sampai menjerit-jerit kayak bayi kerasukan. Dan itu jadi drama banget buat saya yang baru merasakan beratnya mengasuh bayi newborn.

Tapi memang yah, karakter setiap bayi beda-beda. Padahal sebelumnya saya sempat nggak percaya kalau ada bayi yang baru lahir trus nggak rewel gitu. Sekalinya dianugerahi bayi yang kalem baru deh saya akui, ternyata nggak semua bayi hobi ngajak orang tuanya begadang😅

Jadi urusan mengasuh bayi kedua ini nggak terlalu  berat buat saya, makanya saya masih bisa ngeblog dengan rajin, hehe. 

Toh si adek juga kerjaannya sepanjang hari sepanjang malam tidur doang. Bangun hanya pas mau nenen atau dikasih mandi. Ini malah kakaknya yang lebih rewel. Untung si adek pengertian banget.

Pengertiannya bahkan sudah dari dalam kandungan lho. Anggap saja seperti itu, karena selama mengandung si adek saya tidak mengalami drama seperti yang saya alami saat hamil anak pertama atau seperti yang dialami ibu-ibu hamil pada umumnya, seperti mual muntah, kaki bengkak hingga ngidam yang aneh-aneh. 

At least kehamilan kali kedua ini bisa saya jalani dengan lebih santuy tanpa banyak keluhan. Malah terlihat seperti tidak sedang hamil. 

Barangkali kalau tidak saya 'umumkan' tidak ada yang tahu kali ya saya tengah berbadan dua atau tahu tapi setelah perut saya membuncit😊

Oh ya, bukan cuma masa mengandung saja yang berjalan lancar, proses kelahiran si adek pun tak kalah lancarnya. 

Ini yang bikin saya speechless banget. Mungkin karena saking pengertiannya, si adek tidak ingin bundanya menanggung gelombang cinta yang begitu dahsyat darinya  hingga berjam-jam lamanya. 

Apalagi saat itu tidak ada ayahnya yang mendampingi. Si adek akhirnya memutuskan "keluar" lebih cepat dari yang kami perkirakan. 

Well, di postingan cerita kehamilan kedua trimester ketiga saya sudah kasih 'spoiler' ya! Anak kedua saya lahirnya lumayan cepat karena waktu tiba di rumah sakit di-VT sudah pembukaan 9. Kurang lebih sejam kemudian dia lahir. 

Nah, ini dia cerita selengkapnya tentang pengalaman saya melahirkan anak kedua. Baca sampai selesai ya :)

Galau bin Dilema yang Melanda Kala Mendekati HPL (Hari Perkiraan Lahir)

Hari perkiraan lahir (HPL) si adek jatuh tanggal 23 Desember 2019. Ini berdasarkan perhitungan dari bidan puskesmas dan juga dokter Nursia di RSIA Ananda Trifa Parepare yang saya datangi waktu masih hamil 19 weeks

Kalau berdasarkan hasil pemeriksaan dokter Tiwi Palma di RSIA Ananda Makassar jatuhnya tanggal 21 Desember 2019.

Mana yang benar? Entahlah, tapi saya prefer ikut HPL dari dokter Tiwi yang bakal menangani persalinan saya nantinya. 

Lagipula meski sudah ditentukan HPL, belum tentu juga si adek bakal lahir tanggal segitu, kan? Namanya juga hari perkiraan lahir ya, bukan hari pasti lahir jadi masih ada kemungkinan due date-nya maju atau bisa jadi mundur.

Perkiraan saya sih bakal maju seperti pengalaman melahirkan sebelumnya.  Yah, kalau asumsi saya benar, si adek akan lahir di usia kehamilan yang sama dengan kakaknya, 38 weeks. 

Tapi inilah minusnya bila ingin melahirkan secara spontan, nggak bisa ditentukan harinya. Saya yang harus sabar menunggu datangnya gelombang cinta dari si jabang bayi.

Nah, karena nggak tahu kapan pastinya akan melahirkan, saya sempat galau bin dilema. Masalahnya saya sudah setuju dengan saran suami, kalau ingin tetap melahirkan di Makassar si kakak terpaksa harus dititip sementara di rumah neneknya di Parepare.

FYI, perjalanan dari rumah mertua saya di Parepare ke RSIA Ananda Makassar itu makan waktu kurang lebih sekira 4 jam, bahkan bisa lebih dari itu jika jalanan macet. 

Nggak mungkin kan gelombang cinta dari si adek muncul baru saya berangkat ke Makassar, bisa-bisa brojol di jalan lagi, hehe.

Jadi mau nggak mau, mendekati HPL saya sudah harus di Makassar. You know itu artinya apa? 

Yup, semakin cepat saya berangkat ke Makassar semakin lama pula saya akan berpisah dengan si kakak. 

Ini nih yang bikin galau dan dilema. Apalagi semenjak lahir si kakak nggak pernah libur ASI. Bahkan sekalipun sudah minum susu selain susu bundanya sejak produksi ASI saya menurun drastis efek hormon kehamilan, nenennya tetap jalan.

Ini juga nambah pikiran karena kalau kami pisah berarti si kakak minumnya sufor saja. Saya jadi khawatir dong, bagaimana kalau bertemu kembali si kakak menolak nenen padahal saya berencana setelah adiknya lahir bakal tandem nursing

Karena teman saya ada yang kayak gitu,  niatnya paska melahirkan juga mau tandem eh tapi setelah anak keduanya lahir, si anak pertama nggak mau minum ASI lagi.

Sebenarnya si kakak bisa saja dibawa sekaligus cuma di Makassar nggak ada yang bantu buat jagain. 

So far, saya pengennya sih setelah sehari atau dua hari di Makassar bisa langsung melahirkan gitu biar pisahnya dengan kakak nggak lama. Karena rencananya si kakak baru diperbolehkan menyusul saya setelah adiknya lahir.

Pengennya gitu tapi kan persalinan yang hendak saya jalani bukan sesar melainkan pervaginam. Kalau sesar mah saya bisa dengan bebas request jadwal persalinan ke dokter obgyn yang menangani asal sudah masuk fase aman untuk melahirkan tapi kalau spontan, jelas saya yang harus BERSABAR menunggu kode dari si jabang bayi.

Drama Menjelang Keberangkatan ke Makassar

Berhubung sudah punya pengalaman melahirkan sebelumnya dan berasumsi kemungkinan besar bakal lahiran di usia kehamilan 38 weeks, jadi saya berencana paling lambat ke Makassar saat usia kehamilan kedua menginjak 37 weeks akhir. 

Itu rencana saya, suami beda lagi. Dia maunya sekaligus setelah gajian saja baru berangkat.
Sayangnya sampai lewat 37 weeks nggak ada tanda-tanda suami bakal gajian. 

Jadwal gajian dari perusahaannya memang nggak menentu, paling sering terlambat, hehe. Akhirnya kami baru berangkat ke Makassar hari Senin, 8 Desember 2019 saat usia kandungan saya sudah masuk 38 weeks awal. 

Itu juga berangkatnya nyaris batal karena subuhnya saya terbangun dengan  perut yang mendadak sakit sekali. Seperti terlilit bahkan serasa dikoyak-koyak. 

Saya terserang diare.

Duh, kenapa juga pas mau berangkat saya malah kena diare akut. Bayangkan dari subuh sampai sekira jam 12 siang, entah berapa kali saya bolak-balik WC untuk buang hajat. 

Saya nggak hitung berapa persisnya, yang pasti kondisi saya setelah berkali-kali BAB jadi lelah dan lemas banget.

Saya jadi mempertimbangkan ulang rencana keberangkatan ke Makassar hari itu. Apa mesti ditunda atau sekaligus dibatalkan saja? 

Apalagi dengan kondisi seperti itu, apa mungkin saya bisa menempuh perjalanan jauh. Mana mau naik kendaraan umum pula. 

Kalau naik kendaraan pribadi sih masih mending, saya bebas minta berhenti di mesjid, SPBU atau tempat-tempat yang menyediakan toilet umum setiap dorongan untuk buang hajat muncul tapi kalau naik kendaraan umum nggak bisa seenak itu, kan? Yang ada bisa menghambat perjalanan dan pastinya penumpang lain akan protes.

Mau naik kendaraan pribadi juga tetap bikin perjalanan nggak bakal nyaman. Masalahnya ini diare, Gaes. 

Gimana kalau sebelum sampai di tempat yang ada toiletnya saya kebelet mencret duluan, wkwk. Kalaupun kejadiannya nggak sampai kayak gitu tetap saja bagi saya buang hajat di toilet umum itu nggak nyaman. 

Mending kalau dapat toilet yang benar-benar terjaga kebersihannya, kalau tidak?

Pada akhirnya saya dan suami tetap berangkat hari itu juga. Nekat banget ya, hihi. Syukur yang saya khawatirkan nggak terjadi selama di perjalanan. 

Jadi setelah capek bolak-balik WC dari pagi, siangnya itu sekira jam 12 saya akhirnya muntah. Setelah muntah baru deh kondisi saya agak baikan. 

Saya juga akhirnya tahu penyebab kenapa bisa terserang diare setelah melihat makanan yang saya muntahkan.

Tahu nggak apa penyebabnya? Air kelapa dan mangga. Jadi ceritanya sehari sebelum berangkat saya banyak sekali minum air kelapa dan makan buah mangga. 

Bukan kebetulan waktu hari Ahad,  7 Desember 2018 itu adik ipar saya bawah mangga daging yang besarnya seukuran buah pepaya sedang. Malah mangganya kelihatan seperti buah pepaya gitu. 

Baru makan 1 buah saja sebenarnya sudah mengenyangkan tapi saya dan suami kalap, makannya sampai 2-3 buah, haha. 

Ditambah lagi seharian itu sepertinya  saya cuma minum air kelapa. Selama hamil terutama masuk trimester tiga akhir saya memang rutin minum air kelapa muda. 

Bukan semata-mata karena khasiatnya yang bagus tapi karena sayanya juga doyan, hehe. Hanya saja air kelapa muda yang saya konsumsi hari itu sepertinya sudah masuk kategori berlebihan deh makanya sampai berujung diare. 

Bahkan boleh dibilang itu diare terparah yang pernah saya alami. Biasa saya kalau terserang diare nggak lama, sehari dua hari sembuh.

Lha ini sampai lima hari bo',  terhitung dari sebelum melahirkan tanggal 8 Desember 2019 hingga sehari paska melahirkan pun saya masih bolak-balik toilet.

Kebayang nggak gimana proses persalinan yang saya jalani dalam kondisi masih diare parah dan lebih parahnya lagi nggak ada suami yang mendampingi? Haha soal ini saya skip dulu.

Drama menjelang keberangkatan saya dan suami ke Makassar bukan cuma tentang diare. Menit-menit menjelang berpisah dengan kakak itu yang menurut saya jauh lebih dramatis.

Belum berpisah saja saya sudah mewek duluan. Menangis sambik terisak-isak. Dada saya sampai berguncang hebat. 

Berat sekali rasanya tapi apa boleh buat, saya sendiri yang ambil keputusan melahirkan di Makassar, suami cuma ikut kemauan istrinya jadi itulah konsekuensi yang harus saya terima. Berpisah sementara dengan Zhaf.

Bagi suami sih perpisahan ini nggak terlalu berat toh sedari bayi dia sudah sering berjarak dengan anaknya tapi bagi saya yang tidak pernah melewati hari tanpa kehadiran Zhaf sejak ia lahir ke dunia, sumpah ini berat banget. Belum lagi pikiran-pikiran negatif yang merecoki otak saya. 

Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada saat proses persalinan, bagaimana bila paska melahirkan saya tidak bisa bertemu Zhaf kembali, bagaimana kalau Allah takdirkan perpisahan dengan anak pertama saya ini bukan hanya sementara tetapi selamanya. Astaghfirullaah.

Saya benar-benar takut akan kemungkinan tersebut tapi saya ingat lagi, saya sedang hamil, saya nggak boleh sedih, saya nggak boleh cemas berlebihan. Saya harus bahagia, saya harus optimis semua akan baik-baik saja. Lantas pikiran usil tersebut segera saya buang jauh-jauh. 
In syaa Allaah, persalinan kedua saya akan  berjalan lancar dan kita akan segera bertemu kembali Nak, bukan cuma bertiga dengan ayah tapi berempat dengan adikmu.

Menanti Gelombang Cinta dari Si Jabang Bayi

Rupanya sesampai di Makassar saya tidak perlu menanti lama karena gelombang cinta itu hadir sesuai dugaan, bahkan lebih cepat dari yang saya perkirakan. 

Perkiraan saya kalau waktu kelahiran si adek sama seperti kakaknya, berarti kemungkinan dia bakal lahir saat usia kehamilan saya menginjak 38 weeks 6 days.

Dugaan saya nyaris tidak meleset, tapi qadarullaah si adek memilih keluar lebih cepat, tepatnya saat usia kehamilan saya memasuki 38 weeks 5 days (hanya kurang 45 menit masuk 6 days). 

Baiklah sebelum lanjut kita flashback dulu ya ke H-3

Senin, 9 Desember 2019 (38 weeks 2 days)

Sekitar jam 2 siang saya dan suami baru berangkat dari Parepare menuju kota Makassar dengan menumpangi bus antar kota milik pemerintah yang biasa disebut DAMRI. Pas berangkat itu kondisi perut saya sudah lumayan baikan. 

Hati saya saja yang belum sepenuhnya baik karena setiap ingat Zhaf pasti rasanya sesak dan mata saya seketika menganak sungai. Untung saya pakai kacamata dan masker jadi nggak keliatan lagi nangis, haha.

Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari tiga jam itu perut saya syukurnya bisa diajak kompromi, walau saya tidak yakin sudah terbebas sepenuhnya dari diare. 

Eh benar saja sesampai di tujuan, di rumah orang tua yang ditinggali kakak dan keluarga kecilnya, dorongan untuk buang hajat kembali membuncah. 

Baru tiba saja saya sudah kebelet ke belakang. Diare saya kambuh lagi. Untungnya penyakit yang menguras tenaga saya ini tidak kumat di tengah jalan. 

Selasa, 10 Desember 2019 (38 weeks 3 days)

Hari ini saya terbangun dan merasakan suasana yang berbeda. Rasanya sudah lama sekali saya tidak menikmati me time seperti ini.

Sejak si kakak lahir saya tidak memiliki banyak waktu untuk diri saya sendiri. Hampir seluruh waktu saya tersita untuk si kecil. 

Tentunya kondisi seperti ini masih akan berlanjut setelah saya melahirkan anak kedua. Paska melahirkan saya akan kembali menjalani rutinitas sebagai ibu baru dengan waktu istirahat yang minim. Jadi kalau saya nggak refreshing saat ini kapan lagi coba.

Jauh dari kakak memang bikin sedih tapi harus saya akui menjelang waktu persalinan yang semakin dekat ini saya butuh sejenak beristirahat dari kepenatan mengurus rumah tangga. 

Ibu yang bekerja saja kalau mau melahirkan dapat kesempatan cuti, kan? Jadi anggap saja saya sedang liburan sekaligus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari persalinan yang semakin dekat.

Di kehamilan kedua ini saya nggak terlalu banyak persiapan, malah terkesan lebih santai. Padahal waktu hamil anak pertama, dari masuk usia 9 bulan kehamilan  perlengkapan bayi sudah beres semua dalam tas.

Lha di kehamilan kedua ini, HPL sudah di depan mata eh saya masih mau hunting peralatan bayi lagi. 

Jadi hari ini tuh saya sudah titip pesan ke suami kalau pulang kerja nanti sekaligus singgah ke Toko Sangir Talaud di jalan Perintis Kemerdekan KM 9, cari perlengkapan yang saya butuhkan. Sayangnya pas pulang tokonya sudah tutup.

Sebenarnya waktu di Parepare saya dan suami sudah berkunjung ke toko perlengkapan bayi dan beli beberapa kebutuhan di sana. 

Namun sengaja nggak semua kebutuhan melahirkan yang sudah saya list saya beli karena niatnya memang mau cari di Sangir Talaud yang perlengkapannya terbilang lebih lengkap dan lebih banyak pilihan.

Eh tak disangka kami ke Makassarnya mepet dengan waktu HPL, mana ternyata jadwal buka toko itu hanya sampai pukul 18.00 WITA, otomatis ketika suami pulang kerja tokonya juga sudah tutup.

Untungnya suami besok masuk setengah hari jadi rencananya sebelum berangkat kerja dia bakal menemani saya dulu ke Sangir Talaud yang ada di jalan Hertasning. 

Sekalian juga besok kita mau jenguk salah seorang kerabat yang sakit di RS Awal Bros tempat saya periksa retina mata dulu.

Nah, untuk hari ini sebenarnya saya nggak ada agenda mau keluar rumah meski ada panggilan ke rumah sepupu yang mengadakan syukuran wisuda sekaligus syukuran masuk rumah barunya setelah direnovasi besar-besaran. 

Pasalnya saya ngerti suami baru pulang kerja pasti capek. Namun tak disangka dia bersedia menghadiri acara syukuran tersebut. Malah dia yang menawari.

Okelah. Malam ini kami keluar, ke rumah yang sama dengan rumah yang saya dan suami datangi tahun lalu saat kondisi saya juga lagi hamil tua dan tengah merasakan kontraksi.

Tahun lalu saya datang ke sana dengan tujuan menjenguk om saya yang sakit. Siapa sangka itu adalah pertemuan terakhir saya dengan beliau rahimahullaah

Masih jelas sekali dalam ingatan, sepulang dari rumah itu gelombang cinta yang menerjang saya semakin kuat dan intens. Dini hari itu juga saya dibawa ke rumah sakit dan alhamdulillaah keesokkan paginya setelah melalui pembukaan 2, 4, 8 dan 10 si kakak akhirnya lahir.

Apakah gelombang cinta dari si adek juga menyapa sepulang dari rumah itu? 

Rabu, 11 Desember 2019 (38 weeks 3 days)

Jawabannya sudah jelas ya. Masih belum ada tanda-tanda gelombang cinta dari si adek meski semakin sering saya merasakan kontraksi palsu. 

Badan saya juga semakin berat dibawa jalan, meski begitu masih kuat dan semangat kalau diajak naik motor, hehe.

Seperti yang sudah direncanakan kemarin, agenda kami pagi ini hunting perlengkapan bayi dan jenguk salah seorang kerabat kami yang sedang dirawat di RS Awal Bros. 

Karena nggak mungkin kami menjenguk sambil bawa perlengkapan bayi yang baru dibeli sehingga kami memutuskan ke rumah sakit terlebih dahulu. 

Sepulang dari RS Awal Bross kami langsung meluncur ke Sangir Talaud. Mungkin ada yang bertanya, hamil anak ke dua kok masih beli perlengkapan bayi lagi? Lahir jarak dekat, kan? Perlengkapan yang ada sebelumnya mana?

Jujur saja, waktu anak pertama saya nggak terlalu banyak beli perlengkapan bayi karena semua yang saya butuhkan mulai dari pakaian bayi, popok kain, selimut hingga bra menyusui dan korset sudah disediakan sama kakak saya. 

Ya, pokoknya perlengkapan bayi punya kakak yang dikasih ke saya waktu melahirkan anak pertama masih lengkap. Kalau pun ada yang saya tambahkan, jumlahnya nggak seberapa dan itu juga dia yang bikin listnya.

Namun semua perlengkapan bayi yang digunakan Zhaf dulu sudah saya kembalikan sebab enam bulan kemudian kakak saya melahirkan anak keduanya. 

Saya bisa saja sih ambil perlengkapan bayi turun temurun itu lagi karena ponakan juga sudah agak gedean tapi rasanya ya malas saja.

Sebaliknya justru di kehamilan kedua ini saya lebih antusias dan bersemangat beli perlengkapan baru sesuai list yang sudah saya susun sendiri. 

That's why, kalau mau dibandingkan, belanjaan saya lebih banyak pas hamil kedua daripada waktu hamil anak pertama.

Oh ya, selain ke Awal Bross dan Sangir Talaud, hari ini juga sebenarnya kami dapat panggilan ke acara aqiqahan sepupu. 

Sayangnya suami nggak bisa menemani, dia harus berangkat kerja. Badan saya pun rasanya sudah remuk banget, nggak kuat lagi kalau mau jalan padahal baru setengah hari di luar rumah, hehe. 

Mana saya juga masih diare. Jadi ya sudah setelah urusan belanja selesai, suami segera mengantar saya balik ke rumah dan dia lanjut pergi kerja tepatnya ke tempat proyeknya yang ada di Barru. 

Daerah Barru ini lokasinya lumayan jauh, memakan waktu sekitar 4 jam perjalanan dari Gowa dengan kendaraan roda dua.

Nah, karena saya merasa belum ada tanda-tanda akan melahirkan seperti keluar bercak maupun kontraksi persalinan kecuali kontraksi palsu yang semakin sering sehingga saya dengan ringan hati mengijinkan suami nginap di Barru. Lagipula jadwal kami check up di dokter Tiwi masih tiga hari lagi. 

Suami sendiri berencana balik hari Jumat karena sepulang kerja nanti dia akan lanjut ke Parepare ketemu Zhaf sekaligus ambil motor yang ditinggalkan saat kami berangkat ke Makassar.

Rencana yang sungguh sempurna. Manusia memang cuma bisa berencana, kan?

Kamis 12 Desember 2019 (38 weeks 5 days)

Seriously, nggak ada firasat sama sekali kalau saya bakal melahirkan hari ini. Jangankan firasat, terlintas di pikiran pun tidak. 

Seharian ini saya asyik berkutat dengan blog, menyelesaikan beberapa postingan sponsored post dan menuntaskan satu postingan organik terkait tumbuh kembang Zhaf.

Masih sempat juga buka shopee dan pilih-pilih baju yang ingin saya belikan untuk Zhaf, mumpung lagi harbolnas. 

Sorenya suami nelpon menanyakan kondisi saya, apakah belum ada tanda-tanda?  Apakah aman? Saya jawab saja iya karena memang belum ada tanda apa-apa. 

Hanya saja sampai hari ini saya masih sering bolak-balik WC. Diare saya tak kunjung sembuh malah sepertinya makin parah. Mau minum obat nggak berani, saya cuma memperbanyak minum air putih.

Jadi nggak papa nih saya ke Parepare dulu ketemu Zhaf sekaligus ambil motor?

Beneran nggak papa?

Tanya suami, berkali-kali memastikan. Jawaban saya tetap sama. Iya, nggak papa. Akhirnya atas izin dari istrinya, suami berangkat ke Parepare. 

And you know what, beberapa jam kemudian, saat suami sudah dalam perjalanan menemui Zhaf, gelombang cinta dari sang adik tiba-tiba menyapa. Benar-benar tak terduga.

Ketika Gelombang Cinta itu Kembali Menyapa

Selepas shalat maghrib saya sempat berbaring di kamar sambil mengelus-ngelus perut.  Saya kasih affirmasi ke adik agar dia mau bersabar menunggu sampai ayahnya datang.

Entah si adik yang masih dalam perut ini salah tangkap pesan atau memang nggak mau keluar kalau ada ayahnya karena tidak lama setelah itu dia mulai bereaksi. 

Awalnya saya hanya merasa nggak nyaman dengan bagian selangkangan yang terasa basah. 

Pas cek di kamar mandi, benar saja sudah banyak lendir yang keluar. Kemudian saya mulai merasa nyeri seperti kram haid gitu tapi masih ringan.

Sekitar jam 7 lewat baru saya curiga karena rasa nyeri yang tadinya ringan mulai kuat dan semakin sering muncul. 

Kak Vhie yang mengetahui saya sudah merasa kesakitan mendesak saya agar segera menelpon suami tapi dengan santainya saya bilang tunggu dulu. 

Saya ingat waktu anak pertama, keluar flek dari sore kemudian disusul dengan kontraksi sampai sekira jam 8 malam masih bisa saya tahan. 

Tetapi semakin malam rasanya semakin kuat hingga saya nggak bisa menahan lagi. Akhirnya dini hari itu juga saya dibawa ke rumah sakit. Pas dicek eh ternyata baru pembukaan dua dan si kakak baru lahir jam setengah 9 pagi.

Namun gelombang cinta dari si adik ini memang cepat banget. Bayangkan saja, baru sekitar jam 7 saya mulai merasa sakit-sakit eh belum jam setengah 8  nyerinya sudah kuat dengan interval teratur di bawah 10 menit.  

Akhirnya saya ikuti saran kakak. Saat nyeri kontraksi reda saya segera telpon suami tapi nomornya tidak aktif. Pasti lowbet. Saya tahu karena suami nggak pegang cas. Cas hapenya dikasih ke saya karena punya saya rusak.

Saya tidak kehilangan akal dong. Saya cari nomor kontak mama mertua dan tekan tombol call. Tersambung.

Hallo. Assalamu'alaykum, Ma ayahnya Zhaf ada di situ? Saya telpon ke nomornya nggak aktif

Wa'alaykumsalam. Iya, ada di sini, baru saja sampai.

Mama menyerahkan hapenya ke sua saatmi.

Tunggu ya, saya aktifkan hp dulu. Nanti biar video call saja.

Dari ujung telpon saya dengar tante-tantenya pada bilang, Zhaf mau bicara sama bunda ya? Ini bunda lagi nelpon.

Belum sempat saya angkat bicara, hape neneknya sudah berpindah ke tangan Zhaf. Meski tidak melihat tapi saya bisa menebak, Zhaf langsung menempelkan hape di telinganya. 

Kalau pegang hape dia memang suka menirukan gaya seolah sedang menelpon even cuma bisa bilang halo, halo, hehe.

"Halo..  Zhaf. Ini Bunda. Mana ayah, Nak. Kasih hp ke ayah dulu ya, Bunda mau bicara". 

Sebenarnya saya masih pengen menikmati waktu bersama Zhaf lewat telpon walau hanya mendengar napas atau ucapan halo dari mulut mungilnya, tetapi keadaan benar-benar tidak memungkinkan.

Saya hanya punya kesempatan bicara saat gelombang cinta dari si adek mereda. Saat saya telpon intervalnya semakin singkat, kayaknya hanya sekira lima menit. 

Namun sampai gelombang cinta yang dahsyat itu datang lagi hape masih di tangan Zhaf, dia gak mau menyerahkan ke ayahnya. 

Terpaksa telpon saya akhiri dan saya kembali berjuang 'menikmati' gelombang cinta yang rasanya sungguh luar biasa. 

Setelah gelombang itu pergi saya buru-buru kirim pesan ke suami lewat Whatsapp. Saya sampaikan ke suami kalau saya mulai merasakan kontraksi dan akan segera dibawa ke rumah sakit.

"Apa nggak bisa ditahan dulu?

"Apa nggak bisa tunggu saya sampai dulu baru ke rumah sakit?"

Pengennya sih begitu, apalagi suami juga baru tiba di Parepare. Pastinya masih capek. Setidaknya dia butuh istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan dari Parepare ke Makassar.

Namun keadaan benar-benar tidak terduga dan sangat mendesak. Masalahnya tanda-tanda saya bakal melahirkan sudah di depan mata lho.

Saya nggak tahu sudah pembukaan berapa, yang jelas intervalnya semakin singkat dengan durasi yang intens. 

So far, kalau nunggu suami datang baru ke rumah sakit ya bisa-bisa saya brojol di rumah.

"Nyusul saja ya, nanti kita ketemu di rumah sakit" 

Setelah itu saya tidak sempat lagi cek hape. Saya segera bergegas. Untung semua perlengkapan sudah siap jadi bisa langsung berangkat. 

Saya bahkan tidak sempat ganti pakaian karena sepertinya baru sejenak melawan rasa sakit eh kontraksi datang lagi.

Alhasil saya ke rumah sakit masih pakai pakaian rumahan aka daster yang saya lapisi dengan jaket dan kerudung panjang.

Ditemani kakak, kakak ipar dan dua anaknya kami melaju membelah jalan Hertasning Gowa hingga tiba di RSIA Ananda Makassar.

Selama perjalanan entah berapa kali saya merasakan kontraksi. Saat kontrakasi itu datang saya cuma bisa memejamkan mata menggenggam tangan kakak sedikit kuat dan berusaha mengatur napas.

Kalau suami yang mendampingi pasti sudah saya cengkeram kuat tangannya atau saya jambak rambutnya sambil mengaduh kesakitan dengan suara keras.

Namun kondisi memang tidak memungkinkan saya untuk melakukan tindakan brutal itu, haha. 

Ilmu yang saya dapat dari buku Bebas Takut Hamil dan Melahirkan yang ditulis oleh Bidan Yesie Aprilia itulah yang berusaha saya praktikkan. 

Kuncinya adalah sadari napas.

Waktu persalinan anak pertama saya juga sempat menerapkan teknik ini untuk meredakan rasa sakit saat kontraksi tapi selalu gagal. 

Mungkin karena ada suami yang mendampingi. Yah, kehadirannya bukan membuat saya semakin kuat tapi malah sebaliknya, membuat saya semakin tidak berdaya, hehe

Tidak dimungkiri, kalau ada suami saya memang manja. Tapi lihatlah, saat saya tengah berjuang menghadapi gelombang cinta tanpa kehadiran suami, saya justru terlihat lebih  kuat dan mandiri.

Bahkan saya mampu mengatur napas dengan baik hingga berhasil melewati kontraksi yang menyapa dalam perjalanan ke rumah sakit tanpa rasa sakit yang hebat. 

Kala itu barulah saya benar-benar menyadari betapa pentingnya napas. Benar, kalau kita bisa menyadari napas, sakitnya kontraksi seolah tidak ada apa-apanya. Yang ada kita malah bisa menikmati rasa sakit itu.

Padahal kontraksi yang saya rasakan selama dalam perjalanan ke rumah sakit terasa jauh lebih berat. Sakit akibat kontraksi saja rasanya sudah luar biasa, ini ditambah lagi dengan goncangan mobil.

Si kakak ipar sepertinya keburuk panik dengan kondisi saya saat itu jadi dia bawa mobil agak ngebut biar kami bisa cepat sampai di rumah sakit.

Mungkin dia pikirnya daripada adik iparnya keburu melahirkan mending dia yang ngegas, huhu. Untungnya malam itu jalanan lengang, tidak macet jadi tidak sampai setengah jam kami sudah tiba di RSIA Ananada Makassar.

Melahirkan tanpa Didampingi Suami

Sekitar jam 10 malam kami sampai di rumah sakit. Saya langsung diarahkan ke ruang IGD, cuma belum tiba di ruangan eh saya merasa ada yang keluar.

Bukan melanjutkan perjalanan saya memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di depan ruangan IGD. Masih sempat pula kepikiran mau ke WC dulu soalnya saya rasa yang keluar itu kotoran🙊

Yap, kondisi saya saat itu kan masih diare. Mana suami belum tiba. Kalau ada kan bisa bantu bersihin saya dulu, huhu. 

Duh, kacau banget. Saya sudah gugup duluan kalau misal yang keluar itu beneran kotoran tapi kayaknya bukan deh karena nggak ada aroma yang menyengat, wkwk.

Nah, masalahnya saat saya duduk, tiba-tiba ada dorongan kuat yang bikin saya ingin mengejan. Saya bahkan sempat mengejan di kursi itu. Kakak yang menemani auto panik.

Untungnya perawat segera datang dan membaw saya ke ruang IGD. Sesampai di IGD saya segera diperiksa dan alangkah kagetnya saya saat bidan bilang sudah pembukaan 9.

Reaksi saya antara kaget, tidak percaya, senang tapi bingung juga. Soalnya saya masih berharap bakal melahirkan setelah ayahnya datang.

Ya, perkiraan saya mungkin baru pembukaan 3 atau 5 gitu. Sama sekali nggak terlintas di benak saya kalau sudah mau pembukaan lengkap. Pantes saja waktu baru sampai tadi ada dorongan mau mengejan.

Saat itu juga bidan dan perawatnya langsung bersiap-siap. Kata perawatnya karena ruangan bersalin full jadi tindakan persalinan akan dilakukan di ruang IGD juga.

Eh tapi sebelum mengambil tindakan mereka menghubungi dokter Tiwi Palma yang seharusnya menangani persalinan saya sayangnya beliau tidak bertugas malam itu. Jadi yah lagi-lagi proses persalinan kedua saya diambil alih bidan dan perawat.

Setelah menghubungi dokter Tiwi, proses persalinan saya yang rencananya dilakukan di ruang IGD batal. Intruksi dari dokter Tiwi, saya harus melahirkan di ruang bersalin.

Nah, lho tadi bilangnya kamar bersalin penuh. Tapi setelah dapat perintah dari dokter Tiwi  entah bagaimana langsung ada satu ranjang bersalin yang kosong dan bisa saya tempati.

Cuma saya memang sempat worry saat akan dipindahkan dari ruang IGD ke ruang bersalin. Soalnya kan sudah menuju pembukaan lengkap, mana pas di ruang IGD itu ketuban saya sudah pecah. Namun kata bidannya masih sempat.

Saat itu juga saya langsung diboyong pake kursi roda ke ruang bersalin yang ada di lantai berapa ya, haha maafkan saya nggak ingat😅

Nah, yang sampai sekarang saya masih ingat jelas itu perkataan perawat yang mendorong kursi roda saya. Saat baru memasuki ruang bersalin perawat itu langsung celetuk dengan semangatnya.

Pembukaan 9, Gaess.

Well, seingat saya di pembukaan 9 ini saya sudah tidak merasakan sakitnya kontraksi. Jadi tinggal nunggu pembukaan lengkap saja.

Sesampai di ruang bersalin saya dibaringkan di ranjang bersalin, diperiksa  tekanan darah, di-VT lagi dan disuntik juga.

Ada dua bidan yang mendampingi proses persalinan saya saat itu. Salah satunya sempat mempertanyakan kondisi mata saya yang minus. 

"Matanya minus, kan? Apa dokter Tiwi yang menyarankan lahiran normal?"

Saya mengangguk. Iya, waktu anak pertama juga normal.

Selama di ruang bersalin itu kakak saya sempat sekali atau dua kali masuk untuk mengecek keadaan saya. 

Tadinya dia mau menemani saya di ruang bersalin tapi saat tiba di rumah sakit itu ternyata kakak ipar saya terserang diare. Katanya keracunan gara-gara makan kerang.

Jadi yang bantu angkat barang, urus berkas dan lain sebagainya, semua ditangani sendiri oleh kakak saya. Mana ada dua bocil yang harus dia jaga juga dan tidak bisa dibawa masuk ke dalam ruangan.

Duh, saya merasa tidak enak banget karena sudah merepotkan kakak saya, even kakak sendiri. Benar-benar jasanya tidak terlupakan. Terima kasih banyak Kak Vhie, semoga Allaah membalas semua kebaikanmu. 

Malam di tanggal 12.12 itu saya memang di ruang bersalin sendiri tanpa temani suami maupun keluarga, namun sejatinya saya tidak sedang berjuang sendiri. 

Ada doa yang dilangitkan suami di sepanjang perjalanan untuk menemui saya dan anaknya yang akan segera lahir ke dunia. Ada doa yang dipanjatkan kedua orang tua saya. Ada doa yang tulus dari mama mertua. Doa dari saudara-saudara, teman-teman dan kerabat.

Doa-doa yang mengalir deras untuk kelancaran persalinan saya di malam itulah yang menguatkan saya hingga setelah berulang kali mengambil nafas untuk dapat mengedan sekuat mungkin akhirnya tangis si adek pecah tepat pukul 23.15 WITA 

Maa syaa Allaah taabarakallaah.
Selamat datang ke dunia, anakku
Semoga kelak kau tumbuh menjadi anak yang shalih, penyejuk mata ayah dan bunda 

Penutup

Setiap kelahiran punya ceritanya masing-masing. Bagi saya kelahiran anak kedua ini tidak kalah berkesan dengan kelahiran anak pertama.

Meski tidak didampingi suami namun tidak mengurangi rasa syukur saya karena seperti itulah takdir yang Allah tetapkan.

Manusia hanya berencana, Allah yang menentukan. Padahal dari pertama kali hamil hingga hamil anak kedua, suami adalah sosok yang selalu setia membersamai saya, yang rela mengambil cuti demi bisa menemani saya periksa kehamilan di dokter.

Dokter Tiwi bahkan mengakui kalau suami saya sosok suami siaga. Tapi itu di persalinan anak pertama. 

Persalinan yang kedua ini bukannya tidak siaga. Hanya meleset dari rencana dan tidak ada yang perlu disesali. 

Ditemani atau tidak, sama saja, yang penting ibu dan bayinya berhasil melalui proses kelahiran dengan selamat dan sehat. Ya kan? 

Di sebelah ranjang saya malah ada seorang ibu yang setia didampingi suaminya. Sudah lebih dulu masuk di ruang bersalin tapi pembukaannya berjalan sangat lambat padahal sudah dibantu dengan induksi

Hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk menyuruh si ayah keluar. Entah dapat pemikiran darimana tapi mereka beranggapan, barangkali si adek nggak mau keluar karena ada ayahnya

Eh benar saja tidak lama setelah suaminya hilang dari balik pintu ruang bersalin si ibu itu akhirnya melahirkan. 

Nah, mungkin si adek juga begitu. Saat tahu ayahnya tidak bersama bunda dia langsung mengirim gelombang cinta yang dahsyat dalam waktu singkat.

Langsung pembukaan 9, 10 dan lahir tanpa menunggu ayahnya. Si ayah sendiri baru datang kurang lebih sejam setelah anaknya lahir.

Begitulah. Setiap kelahiran punya ceritanya masing-masing.

Semoga ada yang bisa dipetik dari cerita pengalaman melahirkan anak kedua saya ini yang berlangsung sebelum pandemi.

Salam,
Note : Sebagian pengalaman ini sudah saya tuliskan sejak si adek baru berusia sekian bulan namun maaf karena kesoksibukan bundanya postingan ini akhirnya baru bisa saya selesaikan dan tayang di H-12 hari lahirnya yang kedua.

Posting Komentar untuk "Pengalaman Melahirkan Normal Anak Kedua Sebelum Pandemi"