Sepi dan Sunyi

Ia menyebut dirinya perempuan pecinta sepi. Bagi perempuan itu, sepi adalah sahabat terbaiknya. Ia mencintai sepi bak embun yang berjatuhan di pagi hari. Sejuk dan meneduhkan. Ia mencintai sepi bak senja yang pamit perlahan membias jingganya. Hangat dan mendamaikan. Ia mencintai sepi bak malam yang temerang berhias rembulan dan bintang. Terang dan bercahaya.

Sepi. Begitu aku menggodanya. Perempuan itu tersenyum tipis setiap kali aku berceloteh tentang kesepiannya.


"Apa kau tak bosan hidup seperti itu, sepi?" Tanyaku di suatu sore yang diam-diam mencemburui hujan

Ia menggeleng.

"Kenapa? Apa kau menikmatinya?"

Kali ini ia mengangguk mantap.

Kupalingkan wajah lalu menatapnya lekat. Matanya bulat bercahaya mendung jelas memamerkan warna abu-abu. Hampa dan buram. Tapi aku tak menemukan kesedihan di sana, sama sekali tidak.

Perempuan yang aneh. Selama ini kau hidup seperti apa? Apa kau bahagia? Apa kau tak rindu dengan hiruk-pikuk dunia? Apa kau tidak menginginkan hidup lebih berwarna? Gumamku kecil pada diri sendiri.

"SEPI itulah duniaku. Dunia yang membawaku pada hakikatnya sebuah kebahagiaan. Jika kau mengira hidupku kelabu, kau keliru. Aku justru menemukan indahnya pelangi dalam sepi?" Ucap perempuan itu menanggapi gumaman kecilku

"Sudah lama aku berubah haluan. Yah, kau pasti tak menyangka, bahwa perempuan di hadapanmu ini dulunya bukan seorang penyepi. Gelap adalah musuhku, aku tidak suka hitam, dan paling benci bila ditinggal sendiri. Karenanya, aku selalu berlari menuju keramaian, aku selalu berbaur di tengah-tengah orang banyak, dan memaksa diri bercampur bersama mereka sekalipun aku sadar banyak yang tidak mengharapkan kehadiranku" tambahnya antusias

Alisku terangkat satu.

"Tidak mengharapkan kehadiranmu? apa maksudnya, Sepi?"

"Oh iya, aku pikir kau juga harus tahu fakta tentangku. Aku adalah salah satu dari ribuan atau jutaan anak yang tidak diharapkan lahir ke dunia" ucap Sepi dengan wajah datar

Dahiku mengerut.

"Maaf, Sepi jika aku menyinggung privasimu"

"Tak mengapa, aku justru senang bila kau memang ingin mengoreknya. Kadang aku merasa hidup ini benar-benar tidak adil. Sangat tidak adil. Bukannya aku ingin menggunggat Tuhan atas takdir yang Dia berlakukan untukku, tapi bisakah kau jelaskan, dimana letak kesalahan seorang anak yang harus menanggung aib dan menjadi korban akibat kebodohan orang tuanya?"

Aku tersentak mendengar penuturan Sepi. Sejenak tercipta hening. Pikiranku mengembara pada sosok Sepi yang baru sebulan akrab denganku padahal sudah hampir setahun kami tinggal seatap.

Tepatnya, sejak aku pindah di sebuah kos baru dan mendapati seorang tetangga kamar yang jarang sekali kelihatan batang hidungnya. Bayangkan saja, sepanjang hari, sepanjang minggu pintu kamarnya selalu tertutup. Seolah tak berpenghuni.

Kapan ia keluar kamar? Hanya bila ada keperluan mendesak di luar sana, kalau tidak jangan harap aku bisa melihatnya. Ah, kalau saja aku bukan tetangga bawel, kalau saja aku bukan perempuan yang suka kepo dan suka sok-sok'an dekat sok akrab, mungkin sampai detik ini aku tidak mampu meruntuhkan pertahanan Sepi yang sudah terbiasa tenggelam dengan kesendiriannya.

"Siapa bilang kau salah? Kau tidak pernah salah, Sepi. Bukan kau yang harus menanggung beban itu. Orang tuamu lah yang salah. Jika mereka tidak menghendaki kehadiranmu, seharusnya mereka tidak melakukan perbuatan yang hina"

"Kalau aku tidak salah, kenapa aku dibuang? Kenapa aku ditelantarkan? kenapa mereka menghinaku?"

"Sepi... " lirihku dengan badan yang refleks menghambur dalam pelukannya. Kedua tanganku melingkar erat dipundak perempuan itu. Perlahan bulir-bulir air berjatuhan dari mataku. Membentuk anak sungai.

"Pliss... jangan ngomong seperti itu, Sepi" kataku sesenggukan

"Kau menangis?" Tanya Sepi. Ia melepas pelukanku dan menatap heran.

"Kenapa kau menangis? Aku menceritakan ini padamu bukan dengan maksud agar kau seenaknya bisa mengasihani diriku. Sungguh, aku tidak suka dikasihani"

"Hah... siapa yang mengasihani dirimu. Aku memang begini. Cepat tersentuh. Tapi sungguh Sepi, air mata ini jatuh karena aku sadar bahwa..."

"Bahwa apa?"

"Aku menyayangimu, Sepi. Aku sangat menyangimu. Aku merasa kau adalah saudariku"

Mata Sepi melotot. Kemudian ia memamerkan senyuman. Bukan senyuman tipis seperti biasanya. Kurasa itu adalah senyuman termanisnya. Tangannya yang lembut perlahan mengusap air mataku. Diiringi dengan bulir-bulir yang berhasil berpindah dan turun di matanya. Ia tergugu. Dadanya bergetar hebat.

Sedetik kemudian, ia merengkuhku dan melampiaskan tangisannya di pundakku. Air yang sempat terhenti, kembali mengucur deras membasahi pipiku. Kami sama-sama tersedu-sedan.

"Ya Allah beginikah indahnya sebuah ukhuwah. Sabda Rasulullah kemudian menari riang dibenakku.

"Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
(HR. Bukhari-Muslim)

***



posted from Bloggeroid

Posting Komentar untuk "Sepi dan Sunyi"