Bercermin pada Mama

"Ika sudah juz berapa?" Tanya mama di ujung telpon.

"Baru juz segini, Kalau mama?" Tanyaku balik, lalu terperangah dengan jawaban beliau yang tak kusangka-sangka.

Rupanya mama telah mendahuluiku, jauh melewati garis start, seperti ramadhan yang lalu-lalu saat kami masih tinggal seatap. Meramaikan rumah dengan lantunan ayat-ayat al-qur'an memang sudah menjadi kebiasaan kami di bulan penuh kemuliaan. Sebenarnya bukan ramadhan saja sih, bulan-bulan di luar Ramadhan pun Alqur-an tetap kami gemakan, kata mama biar rumah kami tidak serupa sabda rasul yang mengumpamakan sebuah rumah tanpa bacaan al-qur'an laiknya kuburan. Hanya saja, karena ramadhan adalah bulan special dimana setiap amal ibadah yang dilakukan di bulan itu pasti dilipatgandakan, maka bacaan al-qur'an kami pun makin gencar.


Biasanya, di awal ramadhan saya selalu bisa mengungguli bacaan al-qura'an mama. Iya, di awal ramadhan. Tapi pas memasuki pertengahan, atau lebih tepatnya ketika tamu bulanan datang menyambangi, bisa dipastikan mama dengan bacaan al-qur'annya yang lancar namun lamban itu selalu bisa melambung kiri bacaan al-qur'an saya.

Yah, kalau saya ibaratkan nih, bacaan alqur'an mama kecepatannya bagaikan kura-kura yang berjalan, sementara bacaan al-qur'an saya kecepatannya bagaikan seekor kancil yang berlari. Kalian coba deh bayangkan, bagaimana mungkin seekor kura-kura yang jalannya lamban banget bisa mengalahkan seekor kancil yang lincah berlari. Tapi, serupa di dongeng fabel, tentang kisah si kura-kura dan si kancil, di bagian ending diceritakan bahwa kura-kura mampu mengalahkan kelinci. Seperti itu pulalah yang saya alami.

Ramadhan kali ini, saya kalah lagi. Mama saya memang hebat. Beliau adalah sosok perempuan masa kini yang luar biasa menurut saya. Tidak perlulah saya melirik perempuan-perempuan lain dan mengidolakan mereka sebab saya sudah punya perempuan yang sangat pantas untuk diidolakan sepanjang hidup.

Sayangnya saya terlambat sadar. Setelah sekian lama ramadhan datang dan berlalu, kini baru saya sadari kelemahan yang ada pada diri ini dan menemukan jawaban mengapa di akhir ramadhan mama yang selalu menang mengungguli saya?

Ini bukan lagi berbicara tentang perihal kecepatan dan kelincahan. Mulanya, saya sering beranggapan bahwa bacaan mengaji saya yang fasih dan lincah akan membuat saya sampai lebih dahulu di garis finish ketimbang mama. Sekalipun di pertengahan mama berhasil mendahului, tapi dengan entengnya saya sok pede mengaku akan melambung beliau kembali.

Kalau kalian pernah membaca dongeng si kancil dan si kura-kura, pasti kalian bisa tebak sendiri mengapa kancil bisa dikalahkan oleh kura-kura, dan mengetahui bagaimana perangai kedua hewan tersebut? Nah, pelajaran yang bisa dipetik dari dongeng fabel yang familiar di telinga saya semasa kecil itu kurang lebih ada miripnya dengan kisah saya dan mama yang sempat diungkit di atas.

Anggap saja saya dan mama sedang melakukan perlombaan membaca al-qur'an, tapi perlombaan ini bukan dalam rangka berlomba-lomba membaca ayat-ayat Allah agar cepat khatam, melainkan dalam rangka ber-fastabiqul khaerat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Bukankah membaca al-qura'an kan termasuk kebaikan? Allah sendiri yang berfirman

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
(QS. Al Abaqarah 148).

Pertanyaannya, mengapa di perlombaan ini saya selalu kalah dari mama? Padahal, jelas-jelas jika diibaratkan mama bak kura-kura sedangkan saya bagaikan kancil. Nah, salah satu jawabannya karena saya sempat menganggap "lemah" lawan, merasa karena bacaan qur'an saya fasih, lancar dan tidak lamban maka saya yakin dengan seyakin-yakinnya saya yang akan menang. Astaghfirullah, semoga anggapan tersebut bukan merupakan bagian dari sifat takabbur.

Pada akhirnya harus saya akui bahwa saya yang lemah, saya yang belum bisa menyamai sikap mama. Yang kutahu Mama adalah perempuan yang istiqomah dalam segala hal. Beliau istiqomah dengan kesederhanaannya, istiqomah dalam berbagi, istiqomah menjadi istri yang patuh pada suami, istiqomah menutup auratnya, istiqomah menyayangi kami keempat putrinya... pun keistiqomahan itu melekat ketika beliau membaca al-qur'an.

Dan ternyata, keistiqomahan itulah yang menjadi kunci kemenangan beliau untuk kesekian kali. Lamban tapi istiqomah tentu jauh lebih baik daripada lincah tapi tak istiqomah. Bukankah begitu?

Yap, ini bukan perihal tentang kecepatan maupun kelincahan, melainkan keistiqomahan. Kalian tahu betapa istiqomah itu bukanlah perkara yang mudah, apatahlagi bila dihadapkan dengan iman yang naik-turun. Kadang khilaf masih terselip, salah masih suka bertengger, dosa-dosa pun masih sering tersemat.

Oleh sebab itu, di penghujung ramadhan ini saya hendak bercermin pada mama (Ah... mama, ajari saya istiqomah sepertimu). Keistiqomahan yang akan membawa saya setidaknya bisa menyaingi mama, dan menciptakan akhir yang indah untuk kami. Awal memang penting, tapi akhirlah yang menentukan. Dan karena Allah juga menilai sebuah proses, maka sebelum ramadhan pergi meninggalkan kami, satu asa yang saya pinta.

ALLAH, Istiqomakanlah

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik
(Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). ”

Samata,
tergores di 30 Ramadhan 1435 H


Nb : baru sempat di posting :)

posted from Bloggeroid

Posting Komentar untuk "Bercermin pada Mama"