Ada Apa dengan Selfie

Bismillahirrahmaanirrahiim

Dulu itu saya orangnya paling gak pede berhadapan dengan kamera. Apalagi kalau fotonya bareng teman-teman se-sekolahan. Alamak! Mendadak badan saya meradang, gemetar. Terlebih bila mendapati gambar diri saya yang hasilnya gak bagus, beda jauh dengan gambar teman-teman saya yang gayanya selalu oke pake bingit. Bikin ngiri. Nyali saya kemudian menciut. Kayaknya, saya emang gak punya bakat jadi foto model. Karena itu, saking gak pedenya saya lebih sering menjepret diri sendiri.

Ups! Saya baru nyadar, dari dulu saya udah doyan selfie rupanya. Cuma bedanya, kalau dulu (saat istilah selfie belum muncul di permukaan) saya ngejepret diri sendiri karena gak PD maka sekarang (ketika selfie telah terkenal bahkan menjadi trend) saya menjepret diri sendiri karena kelewat PD. Mungkin.

Sekarang saya memang udah gak demam bila berhadapan dengan kamera. Malah sebaliknya, setiap ngumpul bareng teman selalu saja ada moment yang kami abadikan lewat bidikan lensa yang merekam gambar. Kalau dulu saya yang paling gak berani menawarkan diri buat foto bareng kecuali bila diajak, maka sekarang saya yang paling getol ngajak foto bareng. Dulu juga, saya kalau selfie selalu dalam kamar yang sengaja ditutup rapat lalu dikunci biar gak ada yang ngintipin. Malu dilihat orang. Nah sekarang, jangan ditanya lagi, jangankan di luar kamar, di luar rumah, di tempat umum pula saya udah gak segan-segan buat berselfie ria.

Entah kemana perginya ketidak-PD-an yang melekat pada diri saya dulu. Seharusnya saya senang karena udah gak katrok bila dijepret, udah berani foto bareng teman, pun tak malu-malu memperlihatkan hasil selfie saya pada banyak orang, tapi makin ke sini hati saya kok malah resah. Merasa ada yang tidak beres dengan sikap saya yang suka pasang gaya setiap melihat kamera. Merasa ganjil dengan setiap foto diri sendiri yang saya unggah ke media sosial.

Bermula dari reaksi gembira ketika mendapati hasil jepretan saya bagus, kalaupun hasilnya kurang memuaskan saya akan menghabiskan banyak waktu untuk selfie berulang kali sampai mendapatkan hasil terbaik. Atau biar instan saya langsung mengandalkan aplikasi semacam camera360, beautyplus, retrica, dkk. Setelah memilah-milah foto yang menurut saya paling bagus maka dengan lekas tangan saya mengunggahnya ke media sosial. Menunggu reaksi orang-orang yang melihat. Tidak jarang pula saya membandingkan foto saya dengan foto teman saya yang terpajang bebas di media sosial.

Nah, hal-hal inilah yang membuat saya merasa ada yang salah, ada yang keliru, ada yang menyimpang. Ah, tapi apa? Beberapa waktu lalu saya sempat gelisah dihantui berbagai momok pertanyaan sampai akhirnya saya menemukan sebuah jawaban.

Lalu semenjak meninggalkan kota Daeng akhir tahun 2014 lalu, saya pun memutuskan untuk tidak lagi mengunggah foto saya di media manapun. Saya berusaha mengekang sekuat mungkin keinginan untuk berhenti memajang apapun yang menampakkan wajah saya. Baiklah, harus saya akui, keputusan ini ternyata bukan perkara yang mudah. Terlebih bagi yang udah kena candu kamera dan hobi menguploadnya ke media sosial kayak saya. Sangat berat. Banyak godaan sana sini, bikin gak tahan. Tapi semakin kencang godaan itu semakin saya menengok keadaan hati, bagaimana kabarnya? Ternyata masih rapuh. Masih belum kuat.

Tentu, saya tidak menganggap aktivitas berfoto baik itu selfie maupun difoto lalu mengupdatenya ke media sosial adalah sesuatu yang salah. Sama sekali tidak. Sebab masalahnya bukan terletak pada foto diri saya. Tapi, masalahnya ada pada hati saya.

Masalahnya begini; jika saya selfie lalu tetiba muncul rasa bangga dan takjub karena melihat hasilnya yang tampak cantik, maka rasa bangga dan takjub terhadap diri saya itulah yang salah. Dan ketika saya sengaja mengunggah foto selfie agar dilihat banyak orang lalu berharap akan adanya pujian yang mungkin bisa dihitung dari banyaknya likes atau koment maka alasan agar dilihat dan dipuji orang itulah yang salah. Terlebih, bila saya mulai membandingkan diri saya dengan orang lain, menganggap foto saya lebih cantik, maka anggapan saya itulah yang salah.

Jika ditanya mengapa salah maka jawabannya adalah karena reaksi dari aktivitas tersebut rawan mendatangkan suatu penyakit yang namanya penyakit hati. Merasa bangga pada diri sendiri melahirkan UJUB. Memamerkan apa yang sejatinya bukan milik menumbuhkan RIYA. Merasa diri paling hebat memunculkan TAKABBUR.

UJUB, RIYA, dan TAKABBUR adalah tiga penyakit paling berbahaya yang ampuh mematikan hati. Segala amalan pun akan sia-sia bila salah satu atau ketiganya bersarang di hati. Ibarat kata sebanyak apapun amal ibadah yang dilakukan bila dicampuri dengan UJUB, RIYA ataupun TAKABBUR maka oleh Allah SWT akan dikalikan dengan NOL sehingga hasilnya juga NOL.

Dan masalahnya lagi, betapa rentannya hati saya terhadap penyakit tersebut. Meski saya tidak serta merta mengakui namun selalu saja ada bersitan yang sekonyong-konyong membelokkan niatan. Sungguh, tidak bisa saya pungkiri betapa perkara menjaga hati adalah sangat berat, jauh lebih berat daripada menjaga lisan.

Kadang-kadang saya berpikir, apakah bersitan semacam itu telah mendatangkan dosa? Padahal awalnya saya sama sekali gak punya maksud bangga pada diri sendiri, mau pamer sama orang, apalagi sampai berlaku merendahkan orang lain, cuma mau have fun, cuma mau berbagi aja, gak ada maksud apa-apa. Ah, tapi tahu sendiri kan, syaitan itu godaannya macam apa. Pandai sekali membuat tipu muslihat. Pintar sekali memperdaya manusia.

Coba saja tengok, bagaimana iblis dan syaitan memperdaya manusia. Allah SWT mengisahkan dalam Al-Qur'an bahwa iblis yang diusir dari surga telah bersumpah akan menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara, taktik maupun strategi.

"Iblis menjawab : “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).(Al-A’raf : 16-17)

Begitupun dalam surah yang lain, Allah menerangkan bahwa syaitan akan membisikkan segala macam perkataan-perkatan yang indah agar dapat menjerumuskan manusia.

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan"
”(QS. Al-An’am : 112-113)

Tentu, saya tidak mau terjerat dalam tipu daya syaitan maupun iblis. Karena itu, bukankah sudah seharusnya diri ini berwaspada, termasuk dengan cara menjauhi perkara-perkara yang condong menimbulkan mudharat ketimbang maslahat.

Lalu timbul pertanyaan; apakah menampakkan foto diri sendiri di media sosial mendatangkan maslahat? Adakah manfaatnya menampakkan postur tubuh kita pada khalayak umum?

Tapi kan saya udah berhijab syar'i, yang saya tampakkan cuma wajah saya, aurat saya tertutup kok.

Kemarin-kemarin saya ngelesnya kayak gitu. Berdalih pada hijab yang saya kenakan, yang saya kira tidak akan mendatangkan fitnah, tidak akan mengundang syahwat. Tapi bukankah Allah tidak hanya memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menutupkan aurat melainkan juga agar mereka menundukkan pandangan.

Ya, mungkin selama ini pikiran saya yang keliru, mengira "menundukkan pandangan" hanya berlaku di dunia nyata, tidak untuk dunia maya. Di dunia nyata saya berusaha keras menundukkan pandangan bahkan sebenarnya saya tak pernah berani menatap mata lelaki yang bukan mahram saya, tapi nyatanya di dunia maya saya bebas memandang wajahnya yang terbingkai dalam foto Mengaguminya dari jauh dan....

Bukan tidak mungkin, di luar sana pun ada seorang yang bebas memandang wajah saya yang telah beredar luas di media sosial, membiarkan orang lain membayangkannya, mengaguminya lalu ketika ada yang memuji, saya mengelak, tampak merendah, meski diam-diam dalam hati rupanya merona. Merasa tersanjung. Benar, saya mungkin memang tidak mengharapkan pujian, tapi bukankah dengan memperlihatkan foto diri sendiri secara tidak langsung saya telah mengundang orang lain untuk memuji yang boleh jadi pujian itu justru melambungkan diri.

Maka kalau boleh menjawab jujur; menampakkan foto diri sendiri bukanlah sesuatu yang mendatangkan maslahat. Kalaupun ada maka mudharatnyalah yang lebih banyak. Masalahnya ternyata bukan cuma terletak pada hati saya, tapi bagaimana orang lain nanti menyikapinya. Apalagi saya ini seorang muslimah. Muslimah kan seharusnya begini, begini dan begini.

Oke, mungkin pikiran saya terlalu jauh mengembara. Bukan maksud berprasangka buruk, tapi ini beneran lho. Dua tahun lalu saya pernah dikirim sebuah pesan lewat inbox facebook oleh seseorang yang isi pesannya itu menceritakan curahan hati seorang lelaki yang merasa gelisah karena wanita-wanita yang suka menampakkan fotonya di FB. Pesan itu sengaja dikirim kepada saya seolah sebagai teguran. Mungkin, karena kala itu saya memang hobi sekali mengunggah foto diri sendiri di FB. Perasaan tersinggung, jelas ada. Tapi dengan mudahnya pula saya mengabaikan pesan tersebut.

Sekarang, setelah dua tahun berlalu barulah saya menyadari betapa kelirunya saya telah mengabaikan pesan tersebut ;( Pemahaman itu datang terlambat, tapi lebih baik telat paham kan daripada tidak pernah paham sekali. Insya Allah di catatan selanjutnya saya akan share terkait pesan tersebut. Khusus catatan ini, ada nasehat yang sangat bijak dari seorang saudara yang sangat peduli pada saudaranya yang ingin saya bagikan. Nasehat ini sekaligus juga menjawab keresahan hati saya.

~

Kultweet ustad Felix tentang Selfie

Selfie itu kebanyakan berujung pada TAKABBUR, RIYA, sedikitnya UJUB buat cewek apalagi cowok, lebih baik hindari yang namanya foto selfie, nggak ada manfaatnya banyak mudharatnya

bila kita berfoto selfie lalu takjub dengan hasil foto itu, bahkan mencari-cari pose terbaik dengan foto itu, lalu mengagumi hasilnya, mengagumi diri sendiri, maka khawatir itu termasuk UJUB

bila kita berfoto selfie lalu mengunggah di media sosial, lalu berharap ianya di-komen, di-like, di-view atau apalah, bahkan kita merasa senang ketika mendapatkan apresiasi, lalu ber-selfie ria dengan alasan ingin mengunggahnya sehingga jadi semisal seleb, maka kita masuk dalam perangkap RIYA

bila kita berfoto selfie, lalu dengannya kita membanding-bandingkan dengan orang lain, merasa lebih baik dari yang lain karenanya, merasa lebih hebat karenanya, jatuhlah kita pada hal yang paling buruk yaitu TAKABBUR

ketiganya mematikan hati, membakar habis amal, dan membuatnya layu bahkan sebelum ia mekar
memang ini bahasan niat, dan tiada yang mengetahuinya kecuali hati sendiri dan Allah, dan kami pun tiada ingin menelisik maksud dalam hati, hanya sekedar bernasihat pada diri sendiri dan juga menggugurkan kewajiban

teringat masa lalu, kami masih merasakan masa dimana memfoto diri sendiri adalah aib, sesuatu yang aneh, tidak biasa, dan cenderung gila, narsis di masa kami bukan sesuatu kebiasaan

zaman sekarang malah terbalik, cewek-cewek Muslimah tanpa ada malu memasang fotonya di media sosial, satu foto 9 frame, dengan pose wajah yang -innalillahi- segala macem, saat malu sudah ditinggal, dimana lagi kemuliaan wanita?

alhamdulillah, sebelum Muslim apalagi sesudahnya, tak pernah sekalipun kami ber-selfie ria, kecuali tatkala harus membuat video di Roma, dan tidak ada yang bisa mengambil gambar sendiri, selain batu yang menjadi penolong, hehe..

alhamdulillah, nggak pernah selfie, karena selalu adayang mau fotoin dan ada yang bisa diajak foto > @ummualila, andai dulu @ummualila demen selfie-an, tentu saya nggak ajak untuk dua-duaan hehe..

jadi hati-hati yang doyan selfie, bisa-bisa selfie terus seumur-umur. Saudaramu yang nulis ini karena sayang kamu,

@felixsiauw

~

Dan ini pandangan ustad Felix tentang Selfie

Bila seseorang betul-betul mengetahui fakta selfie, maka mereka akan memahami betul bahwa selfie yang dilakukan kebanyakan remaja Muslimah bahkan menjangkiti ibu-ibu pun, bukan lagi terkait dengan teknik foto, namun sudah
banyak masuk ke dalam ranah perilaku narsis, benar-benar sudah berlebihan. Bagi yang memahami betul fenomena ini, akan mengetahui tingkah polah kaum Muslimah yang desperately terlihat cantik, mati-matian cari perhatian dan komentar dengan foto selfienya, dengan berbagai macam pose, mimik, dan gaya, andalannya duck-face (wajah dengan bibir yang dibuat seperti bebek).

Padahal Allah berpesan pada Muslimah;

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka tundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya" (QS 24:31)

Perintah Allah sudah jelas, bahwa wanita harus menjaga diri mereka, menjaga rasa malu dan kemaluan, tidak justru menampakkan perhiasannya, atau bahkan memamerkan dirinya pada publik.

Dalam ayat yang lain Allah singgung pula tentang
perilaku tabarruj, yaitu segala sesuatu tindakan berhias yang ditujukan agar diperhatikan oleh lelaki.“

"Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu" (QS 33:33)

Menurut Ibnu Mandzur, arti tabarruj adalah wanita yang memperlihatkan keindahan dan perhiasannya dengan sengaja kepada lelaki.

Imam Qatadah menambahkan tatkala menafsirkan ayat ini, bahwa tabarruj adalah wanita yang saat berjalan keluar dari rumahnya berlenggak-lenggok lagi menggoda lelaki. Sampai disini saja, kita semua harus bermuhasabah, memang ini perkara amalan hati, namun alangkah baiknya bila kita bertanya pada diri sendiri, apakah amanah yang Allah pinta untuk kita jaga itu, rasa malu itu sudah kita tunaikan? Ataukah kita menggerusnya terus-menerus dengan melatih memamerkan diri kita pada oranglain? Salah satunya dengan selfie?

Kedua, bila kita memperhatikan fakta secara mendalam, maka kita akan memperhatikan bahwa fenomena selfie ini sangat berkaitan dengan materialisme. Bahwa segala sesuatu diukur dengan kepuasan fisik, mencari perhatian dari yang fana dan tertagih untuk melakukan hal tersebut terus-menerus. Karenanya bahaya selfie ini dikhawatirkan akan mengantarkan kita paling banyak pada takabbur, riya, dan paling sedikit sifat ujub, yang ketiganya adalah penghancur amal salih.

Kita tidak sedang mengatakan bahwa selfie pasti ujub, riya, takabbur, tidak pernah. Kita pun tidak membahas halal dan haramnya. Selfie kita kembalikan lagi sebagai salah satu teknik foto, dan berfoto adalah boleh. Namun apakah salah ketika kita bernasihat bahwa hati-hati seringnya selfie ini berujung pada ujub, riya, takabbur?

Tiga dosa yang membinasakan, sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya” (HR Thabrani)

Apa yang sebenarnya orang inginkan tatkala melakukan selfie? Tentu ada banyak niat. Hanya saja bila kita perhatikan kebanyakan foto yang dihasilkan? Berbagai pose yang dibuat dengan mimik yang tak kalah ganasnya, mengagumi diri sendiri, takjub pada diri sendiri, bukankah
ini namanya ujub?

Naik lagi satu tingkat, selfie ini dilakukan agar bisa diunggah ke media sosial, agar dikomentari dan di-likes, mulailah dia berbuat karena orang lain, bukan karena Allah SWT, bukankah ini namanya riya?

Naik lagi satu tingkat, dengan mengagumi foto, dipuja-puji oleh orang lain, lalu dia menganggap dirinya lebih dari orang lain, bukankah ini takabbur?

Bila diantara kita bebas daripada sifat-sifat begitu, tentu kita bersyukur. Dan jikalau kita tidak memiliki hal-hal seperti itu saat melakukan selfie, maka silakan saja. Hanya saja hati-hati, hati yang berpenyakit, seringkali tidak menyadari.

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri” (HR Muslim)

Jadi jelas disini, tidak pernah sekalipun saya
menyatakan selfie itu haram, yang ada hanya nasihat dari seorang Muslim pada Muslim yang lainnya. Jika ada kebaikan mudah-mudahan kita dapat menyadari, bila tidak ada kebaikan maka campakkan saja.

Semoga kita semakin memahami bahaya
selfie ini, dan bisa menangkap nasihat yang disampaikan ini dengan kebaikan. Bukan ingin menghakimi, namun hanya ingin berbagi, karena kami peduli. Di akhir bahasan ini mari kami kutipkan nasihat Rasulullah bagi kita semua.

Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah
satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya” (HR Hakim)

Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka” (HR Ahmad)

Bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saat saya beraktivitas di media sosial, mengunggah foto, berdakwah lewat tulisan, dan sebagainya lantas saya bebas dari ujub, riya dan takabbur?
Bebas dari narsisme? Tidak ada yang bisa menjamin. Karenanya saya sampaikan dari awal bahwa ini adalah nasihat dari seorang Muslim kepada Muslim yang lainnya, itu saja. Bila tetap suka, silakan lanjutkan, toh tugas saya hanya menasihati. Bila ada kebaikan, itu semua dari
Allah semata. Bilapun masih ada yang bersikeras menuduh selepas penjelasan ini, maka biarlah mereka dengan pendiriannya, toh bukan karena manusia saya menasihati diri sendiri dan
berdakwah pada ummat Muslim. Cukup kita sampaikan hadits Rasulullah padanya,

Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari)

Akhukum fillah
@felixsiauw

~

Serupa yang disampaikan ustad Felix terkait bahaya Selfie yang selaras dengan apa yang
memang menjadi keresahan saya selama ini. Bahwa yang dikhawatirkan dari bahaya selfie adalah terjerat pada perasaan ujub, riya dan takabbur.

Memang benar perkara hati hanya Allah SWT yang Maha Tahu. Namun siapalah yang bisa menjamin diri terbebas dari tipu daya syaitan yang senantiasa membisikkan perasaan-perasaan semacam itu? Dan karena saya menyadari betapa hati saya ini masih sedemikian rapuh maka hal terbaik yang semestinya dilakukan adalah menjaga (hati) dengan sangat baik, yakni dengan mencegah masuknya penyakit tersebut. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Oh ya, catatan ini ditulis ketika foto-foto diri saya yang lalu-lalu masih banyak bertebaran di dunia maya. Bukan berarti saya membiarkannya begitu saja, niat menghapusnya sudah lama terselip sayangnya sampai sekarang saya belum menemui kesempatan yang tepat. Insya Allah ke depannya saya bertekad menghapus semua foto-foto diri saya yang berpose sendiri. Makanya catatan ini sengaja ditulis sebagai pengingat sekaligus menasehati diri sendiri. Agar kelak ketika niatan untuk kembali selfie atau menggunggah foto di media sosial begitu kuat, akan saya tengok kembali catatan ini. Tersebab; apa yang telah dituliskan itulah yang harus dilakukan.

Demikian catatan ini tertoreh, semoga bisa menginpirasi. Bagi yang resah, bagi yang gelisah, bagi yang tak tenang, sila bisa diambil kebaikannya saja. Sungguh, segala kebenaran datangnya dari Allah SWT dan segala kekhilafan datangnya dari saya pribadi.

Wallahua'lam bisshawab

Serui, April 2015

posted from Bloggeroid

Posting Komentar untuk "Ada Apa dengan Selfie"