Kamar Kenangan

  • Home
  • About Me
  • Disclosure
  • Sitemap
Ar, pilihanku sepertinya keliru!

Kalimat itu seharusnya sudah kulayangkan padamu sejak beberapa bulan silam. Aku lupa kapan tepatnya.

Ya. Ini tentang pilihan dari jawaban yang pernah kamu lontarkan. Setelah obrolan kita di ujung telepon kala itu, aku dan kamu nyaris tidak pernah lagi bertukar kabar. Sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mungkin, kamu sudah tidak ingat dengan percakapan kita setahun silam. Tetapi aku terus terngiang-ngiang. Bertanya-tanya. Merasa ada yang mengganjal. Sesuatu yang keliru.

Pilihanku, Ar. Sepertinya keliru!

Sejak awal kamu pasti sudah tahu, dimana letak kekeliruanku, tapi kamu sengaja diam. Membenarkanku. Kan?

Jahat banget sih, Ar. Kenapa gak jujur saja dari awal.

Iya aku egois. Egois banget. Cuma mikir diri sendiri. Mikir perasaan sendiri. Gak mikir, lelaki yang tidak mencintaiku, apa mau menerimaku atau tidak. Mending kalau dia mau terima, bagaimana kalau tidak?

Lagian mana ada lelaki yang sudi menikahi perempuan yang tidak dicintainya, kecuali mungkin karena terpaksa atau dijodohkan. Hmm.. aku kok baru kepikiran ya.

Luput, setiap orang bisa berubah kapan saja dan dimana saja. Lupa, hati manusia mudah goyah, terombang-ambing, dibolak-balikkan oleh Sang Pemiliknya.

Oh ya, Ar, aku menemukan pemahaman baru. Semoga kamu sepakat dengan pemahamanku ini. Ternyata menikah bukan hanya tentang cinta melainkan juga penerimaan. Jika kamu masih ingat, aku pernah bilang bahwa pernikahan itu harus dilandaskan cinta dua arah namun bila kondisinya persis dengan yang pernah kamu tanyakan (cinta satu arah) maka harus ada satu pihak yang mengalah. Pihak yang harus mengalah itu adalah yang tidak mencinta.

Lho kok, kenapa yang tidak mencintai yang harus mengalah? Seandainya kita berbincang lewat udara kamu pasti akan menyerbuku dengan pertanyaan demikian.

Sederhananya seperti ini, Ar, Kita belum tentu menikah dengan orang yang kita cintai tetapi orang yang menikah dengan kita adalah orang yang harus kita cintai.

Ia harus mengalah dengan cara menerima pasangan yang mencintainya. Bukan karena terpaksa. Cinta kan gak boleh dipaksa. Mari, kita percaya saja, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu dan mekar karena kebersamaan. Namun akan sangat sulit menumbuhkan atau memekarkan cinta bila sedari awal kita sudah lebih dahulu menanam sugesti penolakan, tidak mau menerima.

Tidak mudah memang menghadirkan cinta, butuh proses. Makanya kita kudu ikhtiar, belajar mencintai dengan cara menerima, membuka hati. Jangan alpa turut berdoa, mohon pada Sang Maha Cinta agar memberi cinta yang abadi, mencinta dan dicinta karena-Nya.

Nah, karena pemahaman baru itu, aku sampai nulis panjang lebar kayak gini sebagai dalih mengklarifikasi jawabanku. Aku hendak mengubah pilihan yang pernah kamu tawarkan. Oke, aku akui, option pertama yang aku pilih ketika itu adalah jawaban asal, kurang aku cerna sebelumnya, hanya mengikuti nafsu semata. Sedangkan jawabanku kali ini adalah pilihan yang aku yakini setelah melalui proses yang panjang dan berbelit-belit. Bahwa jawaban pertama yang pernah kuberikan padamu itu bukan sepertinya keliru tetapi memang keliru.

Begini Ar, aku tidak mau dicap sebagai perempuan egois hanya demi kebahagiaanku sendiri padahal aku juga belum tentu bahagia. Maksudku, seandainya aku menikah dengan lelaki yang tidak mencintaiku padahal aku sangat mencintainya maka aku tetap tidak akan bahagia selama lelaki itu tidak bisa menerima diriku dalam kehidupannya.

Aku tidak punya kuasa mengontrol raga dan jiwanya. Tetapi aku sanggup mengontrol diri dan perasaanku sendiri. Lelaki yang tidak mencintaiku belum pasti bisa menerimaku. Sedang lelaki yang tidak kucintai, in syaa Allaah aku siap menerimanya dan akan belajar mencintainya; sebab siapapun lelaki yang menikahiku adalah sosok yang harus kuhormati, kumuliakan, padanyalah aku harus tunduk dan patuh sebagai seorang istri.

Pada akhirnya, aku rela melepas cintaku demi kebahagiaan orang yang aku cintai. Menyaksikan lelaki yang kucintai menikah dengan wanita lain memang akan sangat menyakitkan. Aku tidak bilang lho, aku bahagia jika dia bahagia. Bukankah telah kupertanyakan, bagaimana seseorang bisa merasai bahagia bila ia melepas cintanya dan bersanding dengan orang yang tak dicintainya?

Ketika itu kamu tidak bisa menjawab. Aku juga. Namun pertanyaan membingungkan itu memberiku satu pencerahan. Seharusnya memang aku percaya pada-Nya saja. Percaya cukup pada Allaah saja bukan pada makhluk-Nya. Setidaknya Allaah tidak pernah mengkhianati janji-Nya. Rencanan-Nya adalah yang terindah dan ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

But, i believe. Dunia tidak akan hancur hanya karena kita tidak menikah dengan orang yang kita cintai. In syaa Allaah aku mampu temukan bahagiaku sendiri.

So, please. Coba kamu tanyakan ulang padaku, Ar.

Menikah dengan lelaki yang kakak cintai atau menikah dengan lelaki yang mencintai kakak?

Bismillaah. Aku pilih option kedua.

Menikah dengan lelaki yang mencintai kakak, meski kakak tidak cinta?

Yup.

Kenapa?

Entah mengapa aku merasa; aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak lagi mencintaiku.

. . .

Ps. Jika dia tidak mencintaiku maka aku tidak bisa menjamin dia bisa menerimaku. Sebaliknya, Jika dia mencintaiku maka aku bisa menjamin. In syaa Allaah aku siap menerimanya. Siapapun Dia. Masa depanku. Takdirku. Jodohku. Imam yang Allaah kirimkan untukku.

Don't forget. Read also Menikah; Cinta Pilihan Pertama
Share
Tweet
Pin
No comments
"Menikah dengan orang yang kakak cintai atau menikah dengan orang yang mencintai kakak, pilih mana hayoo?" Tanyamu semangat di ujung sana. Spontan aku terbahak. Geli mendengar nada suaramu yang seketika berubah.

Padahal baru saja kamu mengeluhkan setumpuk tugas kuliah plus seabreg kegiatanmu sebagai aktivis. Mulai dari A-Z kamu tumpahkan semuanya dengan nada diberat-beratkan, lagaknya seolah-olah dirimu sedang memikul beban sebagai mahasiswa ter-sibuk.

Anehnya, walau sesibuk apapun kamu selalu rutin meluangkan waktu hampir tiap akhir pekan untukku. Entah sekadar bertanya kabar, bertukar pikir atau memuntahkan unek-unek. Lebih aneh lagi, karena baru kali ini aku mau meladeni dan bersedia menjadi pendengar setia dari adik tingkat yang "cerewetnya" minta ampun macam kamu.

Cerewetnya kamu sengaja aku pakein tanda kutip. Berlaku hanya bila kita bersua suara lewat udara. Kalau berpapasan langsung di area kampus, duh jangan ditanya, sebab saat itu kamu telah menjelma sebagai cowok kalem yang pendiamnya melebihi diamnya patung.

Mungkin, teman-temanmu juga gak akan nyangka kalau cowok yang tampangnya pendiam kayak kamu aslinya sungguh co cweet alias cowok cerewet yang ternyata lihai pake banget mengalihkan pembicaraan. Aku sampai hapal benar dengan obrolan-obrolan kita yang tidak pernah tidak keluar jalur. Yang mulanya just say hellolalu basa-basi ngomongin masalah kuliah lanjut ke kegiatan organisasi dan ujung-ujungnya pasti nyangkut ke persoalan "Hati". Ehm.

Oh ya, perihal pekerjaan juga sering kamu luapkan ke aku dengan berlagak minder. Huh. Dasar tukang modus, pura-pura malu padahal bisa aku pastikan kamu adalah orang yang pedenya lumayan tinggi. Buktinya, kalau benaran minder gak mungkin kan kamu mau bocorin ke aku soal pekerjaan yang tampaknya ganjil bila dilakoni oleh mahasiswa. Apalagi mahasiswa gagah macam kamu :-P

Sebuah pekerjaan yang mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang atau mungkin juga masih ada yang beranggapan bahwa pekerjaan itu sungguh tidak layak bagi mereka yang sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Entahlah, mungkin di luar sana ada sekian mahasiswa yang memilih kuliah nyambi kerja "yang tidak biasa" kayak kerjaan kamu. Mereka tidak banyak, mungkin hanya segelintir atau mungkin, mereka banyak hanya tidak nampak di permukaan. Atau barangkali aku saja yang kudet. Baru tahu kalau jaman sekarang ternyata masih ada mahasiswa yang diluar ke-maha-annya sebagai siswa mau berprofesi sebagai tukang bemtor*.

Kamu... kamu adalah salah satunya, atau kamu... kamu mungkin satu-satunya mahasiswa sekaligus tukang bemtor yang ada di Kota Daeng atau daerah Gowa dan sekitarnya. Toh, semisal ada yang lain selain kamu, aku tetap anggap satu saja. Kan, cuma kamu mahasiswa si tukang bemtor yang aku kenal.

Sebagai kakak tingkat, aku jelas bangga dong punya junior yang mandiri seperti dirimu. Tidak sebatas bangga. Belakangan, aku juga rada iri ngelihat kamu yang berjarak empat semester di bawahku, sudah berpikiran jauh ke depan dan gigih berikhtiar demi membiayai kuliah serta kebutuhan hidupmu selama di kota perantauan tanpa harus merepotkan orang tua di Kampung. Nah, aku... ihiks... boro-boro mau bayar uang kuliah sendiri, kebutuhan sehari-hari saja masih minta sama ortu, sudah ngajar private juga tapi gajinya selalu terkuras habis buat shoping macam-macam.

Tapi, aku heran deh sama kamu. Di luar sana masih banyak lowongan pekerjaan bagi mahasiswa yang lebih layak, apalagi bagi mahasiswa jurusan pendidikan matematika, peluang sebagai tutor, ngajar private atau bimbel bertebaran dimana-mana. Kenapa gak coba ikut jejakku saja, kan sesuai juga dengan bidangnya kita, daripada jadi tukang bemtor?

Ups! Maaf, bukan maksudku merendahkan. Pekerjaanmu bukannya tak layak, sangat layak kok hanya saja kalau ada pekerjaan lain yang lebih ringan, lebih nyantai, gajinya juga lumayan kenapa musti milih pekerjaan yang banyak menyita waktu dan tenaga. Apa gak capek? Pagi-pagi pergi kuliah, pulangnya masih harus berhadapan dengan tugas dari dosen yang membludak, ditambah dengan amanah organisasi serta kegiatan ekstrakurikuler lainnya, dan kamu masih sempat nyelipin waktu buat narik, keliling-keliling cari penumpang, gitu!

Hmmm... kamu yang jalani kok aku yang pusing mikirnya. Oke, skip. Kita bicara soal hati saja ya! Eh, maksudku, melanjutkan pertanyaanmu yang luar biasa kebangetan itu. Masa' seniormu kamu todong dengan pertanyaan semacam itu. Junior lain mana ada yang seberani kamu.

"Menurutmu?" Tanyaku balik

"Lho kok balik nanya sih. Emang kakak pilih yang mana, option pertama atau yang kedua?"

"Ya jelaslah, aku pilih dua-duanya"

"Gak boleh pilih dua kak, harus pilih satu"

"Kenapa gak boleh. Dengar yah, Ar. Aku pengennya menikah dengan seseorang yang aku cintai dan juga mencintaiku. Itu saja. Titik."

"Harapan ideal setiap orang memang seperti itu kak, bukan cuma kakak doang. Aku juga mengharapkan hal yang sama. Tapi kan, harapan tidak selalu beriringan dengan kenyataan... "

"Maksudmu?"

"Bagaimana bila seseorang yang datang melamar kakak bukanlah seseorang yang kakak cintai? Sebaliknya, seseorang yang yang kakak cintai dan sangat kakak harapkan menjadi pendamping hidup kakak kelak malah memilih wanita lain?"

Deg. Rentetan kalimatmu kali ini seakan menghantamku. Cukup keras. Sebelumnya, aku tak pernah berpikir sejauh yang kamu pikirkan. Tidak pernah pula bertanya hal serupa pada diri sendiri. Kalau pun pernah terlintas, pasti sudah kuacuhkan. Maksudku, aku belum pernah membayangkan akan hidup bersama seseorang yang tidak aku cintai. Selama ini, aku hanya memupuk mimpi sendiri. Membangun imagi sekendak hati. Mencipta rencana sempurna sebatas angan.

"Bagaimana kak?" Tanyamu ulang ketika aku tetiba membisu, tak kunjung menjawab.

Entah harus menjawab apa. Sesuatu yang sebelumnya tidak ingin aku pikirkan dan kamu dengan beraninya mengajakku berpikir ke arah sana. Harus kuakui pikiranmu itu terlalu dewasa. Itulah sebabnya, aku enggan memanggilmu adik. Sekalipun kamu adalah juniorku di kampus, namun tetap saja, tidak bisa kunafikkan umurmu yang terpaut setahun di atasku. Kenyataannya kamu yang lebih tua,jadi mustinya aku yang memanggilmu kakak, bukan?

Oh ya, terkait pertanyaanmu itu, aku jadi teringat dengan doa Zainab dan Hamid dalam film "Di bawah Lindungan Kabbah". Kalau gak salah bunyi doanya seperti ini. " Ya Allaah satukanlah aku dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku"

Menurutku, itu adalah untaian doa yang sungguh indah untuk sepasang insan yang saling mencintai. Karena perasaan cinta saja tidak cukup, kan? Cinta pasti menuntut lebih. Memiliki.

"Tapi, cinta kan gak harus saling memiliki kak"

Ya, aku tahu, kamu pasti menyanggah bila kukatakan demikian. Karena cinta memang tidak selamanya harus memiliki. Aku pun sepakat denganmu tentang hal itu. Tapi aku tidak akan percaya dengan seseorang yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja setelah melepaskan cintanya. Seseorang yang dengan sok tegarnya mengatakan "kalau kamu bahagia, aku pun akan bahagia". Padahal kebahagiaan itu tidak mereka rengkuh bersama.

"Coba jelaskan padaku, bagaimana bisa merasai bahagia bila tak bersama dengan orang yang kita cintai?"

Kamu sengaja membungkam beberapa saat. Seolah mencari jawab dari pertanyaanku yang sekonyong-konyong terlontar.

"Susah kan. Sama susahnya dengan pertanyaanmu. Menurutku menikah dengan orang yang tidak kita cintai, sama saja bunuh diri. Atau menikah dengan orang yang hanya mencintai kita itu sama saja cari mati. Pernikahan itu harus dilandaskan cinta dua arah. Bukan hanya satu arah. Kamu mengerti kan, Ar?"

"Oke aku mengerti. Tapi kalau misalnya kakak dihadapkan dengan kondisi semacam itu dan kakak wajib memilih salah satu. Pokoknya harus pilih satu ya, gak boleh pilih dua dan gak boleh gak pilih keduanya. Kakak akan pilih yang mana?"

"Aissh... kamu mah gitu. Aku terus yang didesak"

"Apa kak?"

"Hmmm... Ada deh. Mau tahu aja"

"Ayolah kak, jawab dong. Pliiiss. Kan, ini cuma misalnya doang. Nanti yang benerannya itu, aku doain deh biar kakak berjodoh sama kakak A . . . ., hihihi.)"

"Tssssst. Maksa banget sih. Baiklah... baik, aku jawab nih. Hmmmm... aku milih option yang pertama"

"Menikah dengan orang yang kakak cintai, meski dia gak cinta?"

"Yup"

"Kenapa?"

"Entahlah. Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai"

***

posted from Bloggeroid
Share
Tweet
Pin
2 comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Yang duluan kuliah belum tentu duluan wisuda. Yang duluan wisuda belum tentu duluan kerja. Yang duluan kerja belum tentu duluan nikah. Yang duluan nikah juga belum tentu duluan punya momongan. Demikian seterusnya.

Tidak semua yang duluan itu yang pertama. Mungkin dalam suatu fase kita yang mendahului dan di fase lain kitalah yang didahului.

Pun tidak selamanya yang duluan lahir yang akan duluan mati. (Iya kan?)

Dalam hidup, segalanya telah ada yang mengatur. Sekalipun kita telah merancang masa depan sesempurna mungkin, menentukan target-target hidup tanpa cela sedikitpun, tetap saja mustahil melampaui ketetapan Tuhan.

Yup, kita manusia; hanya pandai berencana, tetapi keputusan selalu ada di tangan Tuhan. Bahwa; kenyataannya ada terlalu banyak hal (di luar nalar) yang memang tidak akan pernah mampu kita kendalikan.

Itulah sebabnya; kenapa kita harus terus memohon, berdoa pada-Nya, selalu gigih berjuang, Ikhtiar pada-Nya lalu totalitas memasrahkan diri, Tawakkal pada-Nya.

Karena kita lemah, rapuh, tak punya kekuatan apa-apa untuk mengendalikan takdir-Nya. Namun setidaknya, dengan Doa, Ikhtiar dan Tawakkal, kita bisa (sedikit) memengaruhi apa yang tidak bisa kita kendalikan.

#Takdir Tuhan.

Bukankah Allaah sendiri yang bilang;

"Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan" (QS 40 : 60)

Entah itu rejeki, jodoh, anak, bahkan kematian. Believe Semua pasti datang tepat pada waktunya. Esok, lusa, atau nanti. Kita hanya perlu menjalani, menanti dengan penuh kesabaran. Ingat! Sabar itu bukan berarti diam. Bukan berarti pasif. Sabar adalah ekspresi usaha tanpa henti. Maka selama masa penantian itu; mari mempersiapkan diri. Jemput takdir Tuhan yang lebih baik dengan cara yang baik. In syaa Allaah, semoga segala kebaikan yang tercurah pada kita nantinya. Barakaallaahu fiikum ^_^

#reminder #notetomyself #justshare

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Maa Syaa Allaah. Baca tulisan mbak Afifah Afrah yang satu ini, langsung dibuat takjub, terpana dan terkesima. Bisa menjadi bahan instropeksi diri bagi para perempuan yang telah bersuami ataupun yang masih sendiri dalam penantian.

SIAPAKAH KAU PEREMPUAN SEMPURNA?

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan. Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang yang sudah cukup matang. Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya dengan suami saya. Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim.

Sebenarnya, sebagian besar ayat dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah.

Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti. Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”,

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman.

Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu? IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?).

Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin…

Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbukumul a’la.”

Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ”Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih).

Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut. Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran.

Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah Istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu? Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits.

Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-raba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami.

Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Rasul terkasih Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam, seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib ra, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri.

Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina? Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita. Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita. Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga, mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama.

Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman.

Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah.

Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas korupsi aja…”

Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah Ta’ala!

Wallahu a’lam bish-shawwab.

(By: Afifah Afra)

Semoga Bermanfaat

#repost #copas #reminder #perempuansempurna #wanitashalihah

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments
Seandainya boleh memilih

Aku ingin mengembangkan sayap
Terbang semakin tinggi mengikuti arah angin
Hasratku merantau lebih jauh lagi
Mauku menjejakkan kaki di tanah yang belum pernah kujamah
Mimpiku berkelana menelusuri ayat-ayat Tuhan yang bertebaran di muka bumi

Namun naluriku sebagai anak (perempuan)
Mematahkan sayapku
Menjatuhkan egoku
Meredamkan hasratku
Menghentikan mauku
Memalingkan mimpiku

Aku sungguh tak punya pilihan
Selain pulang ke rumah 'kalian'
Menuntaskan rindu yang berkepanjangan
Melanjutkan bakti yang sempat terputus oleh jarak
Menuai kembali asa yang pernah diredupkan oleh kata perpisahan

Mama, Papa
Selagi waktu masih berpihak
Mari kita bersama lagi
Seperti dulu
Tanpa (memendam) rindu
Tanpa jarak
Tanpa pisah

Tanpa Nanti.
:')



Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Kal Ho Na Ho (Hari Esok Mungkin Tidak Akan Ada Lagi)

Seketika termenung. Memandang ke sekeliling. Orang-orang tercinta. Keluarga, sanak saudara, sahabat, teman, kerabat. Melihat ke sekitar; barang-barang berharga. Barang-barang kesayangan. Semua-semuanya.

Kelak; segalanya akan hilang dari jangkauan. Entah, karena diri yang meninggalkan atau diri yang ditinggalkan. Entah; karena sesuatu itu diambil oleh Pemiliknya atau karena kita yang lalai dari menjaganya.

Wallahua'lam. Kalau kita saja bisa memanjangkan angan; bahwa hari esok mungkin ada. Lalu sedemikian lihainya kita merangkai seabreg agenda, menyusun rencana demi rencana, mengukir sejuta mimpi indah di masa depan. Membayangkan; hari esok akan seideal dan serealistis apa yang terlintas di otak maupun terbetik di hati. Mengapa tidak kita juga melebarkan khayal; bahwa hari esok mungkin tidak akan ada lagi. Lantas apa yang kita akan perbuat... bila... bila saja esok memang tidak akan ada lagi?

Bila memang esok tidak ada lagi; agenda apa yang akan kita rangkai, rencana apa yang akan kita susun dan mimpi indah seperti apa yang akan kita ukir?

Masihkah kita akan bahagia menyambutnya? Menyambut kepergian yang sejatinya adalah kepulangan. Masihkah kita melengkungkan bibir serupa bulan sabit ketika diberi kabar; esok adalah batas akhir hidup kita. Hari kita yang tersisa hanyalah hari ini; hari yang sedang kita jalani saat ini.

Andai ketiadaan kita di hari esok adalah pasti. Tentu; Orang-orang mungkin akan menangisi. Namun kita bisa saja memilih untuk tetap tersenyum. Bukankah seharusnya memang kita merasa bahagia; (akan) pulang ke tempat dimana seharusnya kita berada. Meski itu berarti kita sudah harus siap melepaskan apapun yang tak pernah benar-benar menjadi milik kita.

Manakala diri menyadari; segalanya hanyalah titipan. Titipan yang pasti diambil kembali oleh Pemilik Sebenarnya. Entah kapan?

Boleh jadi esok, lusa atau kapan pun.

Apapun yang telah kita agendakan, rencanakan atau impikan bukanlah sesuatu yang keliru. Adalah lumrah ketika kita mendamba hidup yang cerah di masa mendatang.

Bertemu dengan pasangan yang setia, mempunyai keturunan, mengejar gelar, mencari pangkat, mengumpulkan materi, membahagiakan orang tua, keliling dunia dan lain sebagainya.

Sungguh hebat agenda-agenda kita. Sungguh menakjubkan rencana-rencana kita. Dan sungguh luar biasanya mimpi-mimpi kita. Namun, betapa semua itu hanya menyoal kefanaan. Sedikit, sedikit sekali dari kita yang memikirkan kehidupan setelah ini.

Kebanyakan; sibuk mengurus dunia. Lupa; umur kita ada batasnya. Luput; mengingat hari akhir. Lalai memikirkan mati. Mengira; di umur yang berbilang muda, kematian masih teramat jauh.

Padahal, ia telah tampak di depan mata. Sedemikian dekatnya. Bukankah kita semua telah menyabet gelar "calon mayat", tinggal menunggu antrian menjadi mayat. Malaikat maut (pun) telah mengintai.

Sudah siapkah kita?

Pertanyaan itu begitu menohok. Entah; harus menjawab apa. Tentu saja; kita tidak akan siap bila kita tidak pernah mempersiapkan diri.

Dulu saya begitu takut berbicara menyinggung kematian. Jangankan berbicara, memikirkan mati saja saya tidak mau. Hingga bertahun-tahun berlalu; waktu saya banyak terbuang sia-sia:( Sekarang saya sudah berada di titik ini. Di umur yang telah memeluk angka dua (tidak lagi muda). Dan sejauh ini, saya merasa belum punya persiapan apa-apa. Amal saya masih secuil, bahkan mungkin masih nihil :'(

Mungkin; kita sama. Sama-sama merasa belum punya persiapan apa-apa menghadapi kematian kita kelak. Namun, selagi nyawa belum sampai di tenggorokan, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Allah masih beri waktu, peluang itu masih terbuka lebar, kenapa tidak kita segera meraihnya.

Karena hanya di dunia ini saja Allah kasih kesempatan kita untuk bisa beramal.

**Tulisan ini sekadar renungan saya pribadi. #Notetomyself #justshare #selfreminder
Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Mama bilang; hari kelahiranmu adalah hari Kamis. Tepatnya, tanggal delapanbelas Juni di dua puluh tiga tahun silam.

Entahlah; sepanjang itu sudah berapa Kamis yang berpapasan dengan tanggal lahirmu. Mungkin, pernah dulu; sekali dua kali. Ah, maaf ingatanku benar-benar payah. Tak pernah sekalipun aku merekam jejak kelahiranmu dengan pasti. Sekadar menganggap 'special' lalu mengabaikan.

Seperti hari ini yang akan segera terlupakan. Tersebab itu, sebelum ia beranjak biar kuabadikan dalam jepretan kata-kata. Tidak peduli apa reaksimu. Meski kau bersungut dengan dalih "tak penting".

Duh, siapa bilang tak penting?

Bertemu hari, tanggal dan bulan yang sama dengan waktu kelahiranmu adalah sesuatu yang langka. Tahun depan "harinya" tentu sudah berbeda. Atau kau harus menunggu belasan atau puluhan tahun lagi untuk bisa menjumpai hari yang senada dengan tahun ini. Atau mungkin; waktu yang sama ini tidak akan kau jumpai lagi di masa mendatang.

Tentu, aku paham betul. Kau berbohong ketika bilang tidak ingin menuliskan apa-apa tentang hari lahirmu. Berusaha menafikkannya padahal hatimu sangat ingin.

Sebab hari ini hanya datang sekali dalam setahun; mana mungkin kau melewatinya begitu saja. Iya kan?

Meski tanpa perayaan, tanpa ucapan, tanpa doa, tanpa kue, tanpa lilin, tanpa sahabat, tanpa keluarga... dan kau... kau sendiri?

Kelak, ketika masa hidupmu di dunia berakhir
kau pun akan pergi seorang diri; tanpa ditemani sesiapa(pun). Jadi tak perlulah kau sebegitu gusar sampai memendungkan wajah.

Toh, ada aku, ada Allaah... dan mungkin, mungkin saja di luar sana masih ada seseorang yang begitu peduli padamu. Begitu sayang padamu. Begitu mencintaimu. Seseorang itu tidak menunjukkan dirinya. Tidak pula mengirimkan ucapan maupun rentetan kata semoga. Namun diam-diam tanpa sepengetahuanmu; dia telah memintal banyak permohonan untuk keberkahan umurmu dan segala kebaikanmu yang sertamerta ia kirimkan langsung pada Tuhan.

Kalaupun tidak ada orang yang semacam itu di luar sana, yang tulus mendoakan tanpa harus kau mengetahuinya; cukuplah dengan munajat orang tuamu selama ini yang tak pernah meminta imbal.

Juga doa-doa yang kau untai sebagai pengharapanmu pada-Nya di sisa hidupmu. Malah semestinya kau banyak-banyak mengungkap syukur. Betapa keberkahan berlimpah ruah hari ini.

Qadarrallah; Delapanbelas Juni kali ini rupanya bukan hanya menyoal waktu kelahiranmu. Untuk kali pertama Ramadhan menyapa tepat di hari jadimu yang berulang; disambut dengan suka cita oleh semua umat muslim. Bahkan langit di kotamu pun ikut terharu. Hingga meneteskan bulir-bulir kerinduan (yang selama ini didekapnya) lewat rinai yang berkepanjangan. Maa syaa Allah.

Allah jua yang masih memberimu waktu memeluk umur yang sekarang. Masih memberimu kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan. Masih mengabulkan pintamu berkumpul dengan orang-orang tercinta di tanah lahirmu.

Lantas nikmat-Nya yang manalagi yang kau dustakan, Ika?

Tidak cukupkah dengan berucap hamdallah. Mensyukuri segala yang dilimpahkan-Nya sepanjang dua puluh tiga tahun hidupmu ini. Tanpa harus mengeluh, tanpa kegundahan, tidak pula dengan air mata bila semua itu kau tumpahkan hanya karena perkara dunia.

Tidak cukupkah Allah saja yang menjadi alasan dari segala luapan suka dan dukamu, bahagia dan sedihmu serta tawa dan tangismu?

Apapun yang terjadi padamu hari ini dan kedepannya, entah baik atau buruk, kumohon sikapilah dengan bijak, Ika. Kau tidak harus menderita hanya kerana sesuatu yang tidak pernah bisa kau miliki. Belajarlah mengikhlaskan; lapangkan dadamu, luaskan hatimu, terimalah dengan kesabaran yang terbaik segala yang tetakdir.

Yakin; rencana Allaah jauh lebih indah. Dia akan berikan apa yang kau butuhkan bukan sekadar yang kau inginkan. Karena hanya Dia satu-satunya yang kuasa memahamimu. Hanya Dia pula yang tahu apa yang terbaik untukmu, untuk kehidupanmu.

Maka Nikmat Tuhanmu yang manalagi yang kau dustakan, Ika?

Fabiayyi 'alaa i rabbikumaa tukadzibaan?

Ayat yang berulang-ulang sebanyak tigapuluhsatu kali di surah kelimapuluhlima itu coba kau tanyakan pada diri setiapkali sesak menghimpit dadamu atau perih menohok hatimu?

Bukankah hidup sudah cukup untuk disyukuri saja. Berterima kasihlah pada Dia yang masih memberimu nafas hingga detik ini. Berterima kasihlah pada Dia yang masih sudi merengkuhmu, masih bersedia menyentilmu. Berterima kasihlah karena Dia, kau ada.

Maaf bila di hari lahir yang ke duapuluhtiga ini aku tidak memberimu 'kado' seperti yang lalu-lalu. Kadoku kali ini hanya berupa surah yang kau sukai. "Ar-Rahmaan" dekaplah Ia dalam hatimu. Jagalah Ia dalam ingatanmu. Pahami dan maknailah ia dalam hidupmu. Kau bisa membacanya kapan saja, bila kau nelangsa, bila kau gundah, bila kau menderita dan rasailah kehadiran-Nya. Dia yang tak pernah sekalipun meninggalkanmu.

Sanah Hilwah. In syaa Allah. Doaku selalu yang terbaik untukmu. Tetaplah berbahagia. Barakallahu fii umrik, Ika.

-sdw-
Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Kalau seseorang yang masih single suka share status di media sosial perihal jodoh belum tentu ia udah ngebet banget pengen ketemu jodohnya. Pun kalau ada seseorang yang masih jomblo trus hobinya nulis status tentang nikah belum tentu ia udah ngebet banget pengen nikah. Ya, mungkin aja kan doi sekadar iseng doang atau emang sengaja mau ngasih signal gitu. (Tssst... dalamnya hati seseorang siapa yang tahu).

Yah, bisa saja gegara biasa nge-share dan nulis status macam demikian (apalagi bila di akhir kalimat dibumbuhi dengan kata semoga kemudian banyak yang memberi jempol dan komentar "Aamiin") pertemuan dengan jodohnya pun dipercepat oleh Allah. Iya, kan! Bisa saja seperti itu.

Duh, ini kok kayak nyinggung diri sendiri ya? -_- Emang sih, akhir-akhir ini saya rada tertarik dengan segala hal yang menjurus ke sana. Mulai dari senang membaca artikel-artikel tentang jodoh, mendengar pembahasan perihal pernikahan sampai yang berbau rumah tangga, termasuk suka nge-share dan menulis status itu lho. Ehm.

Tidak sebatas itu, belakangan ini dalam tidur pun saya kerap diusik dengan mimpi menikah. Ampun dah. Mimpi demikian bukannya bikin saya senyam-senyum senang, yang ada malah sebaliknya. Bangun dengan wajah tertekuk. Galau abis. Gimana gak galau, kalau momen yang terasa indah nan manis itu ternyata hanya dalam mimpi. Ihiks. Nyatanya cuma bikin saya nambah nyesek bin kesel.

Tuh, kesannya kan kayak saya yang udah ngebet banget pengen segera menikah, padahal TIDAK. Suer! Okelah, kalau keinginan untuk menikah dalam waktu dekat ini saya akui IYA. Tapi baru sekadar ingin semata, selebihnya belum kepikiran.

Bahkan keinginan tersebut, kali pertama terbersit bukan baru sekarang, udah dari umur kepala satu malah. Saat masih berseragam putih-abuabu diam-diam saya telah merangkai mimpi; pengen menikah dini, tepatnya menikah di umur 20 tahun. Yup, itu adalah salah satu impian saya yang gak kesampaian. Yang akhirnya saya lepaskan demi menuntaskan mimpi yang lain.

Lagian waktu itu yang benar-benar mau SERIUS sama saya belum ada. Kalau sekarang, entahlah? Ada tidaknya bukanlah hal yang patut saya risaukan. Cukup saya percaya, Allah menciptakan semua makhluk-Nya berpasang-pasangan. Jangankan makhluk yang bisa bergerak, benda mati aja punya pasangan. Jadi meskipun saat ini saya jomblo alias masih single bukan berarti saya tidak punya pasangan. Pasangan saya ada kok. Beneran! Beribu-ribu tahun silam bahkan jauh sebelum saya dilahirkan ke dunia, Allah telah mempersiapkannya, telah tercatat dengan rapi di Kitab Lauh Mahfudz-Nya.

Nah, perihal kapan akan bertemu dan siapa pasangan yang akan ditakdirkan menjadi imam saya kelak, itu dia yang masih dirahasiakan Allah. Waktunya hanya Allah yang tahu. Sosoknya pun masih tersembunyi di balik tabir. Jadi, dua pertanyaan sensitif di atas tolong jangan dulu diajukan ke saya yah, karena jawabannya Allah masih simpan. In syaa Allah, nanti pasti terjawab di waktu yang tepat.

Oh ya, kemarin-kemarin ada sih yang sempat nanya menyoal nikah ke saya, tapi nada pertanyaannya sedikit berbeda. Bukan pertanyaan horor yang sering ditimpuk kepada mereka yang udah sarjana dan dapet kerja tapi masih melajang. Bunyi pertanyaannya kayak gini;

Ukhti udah siap nikah belum?

Gleg. Untung saja, untung saja yang melontar tanya itu bukan immawan atau ikhwan, kalau iya mungkin angan saya udah melambung sampai ke angkasa, gegara kegeeran duluan. Dikira bakal diajak nikah. Hahaha. Syukurnya karena yang nanya itu adalah sahabat sekaligus saudari shalihat saya yang empat tahun kemarin sempat terpisah namun qadarallah lepas kuliah kami dipertemukan kembali di kota penuh kenangan ini.

Namun tetap saja, pertanyaan tersebut meski terlontar dari mulut seorang akhwat sekalipun tetap memengaruhi ekspresi wajah dan tubuh saya yang kala itu mendadak merona dan agak canggung. Lalu tanpa pikir panjang, lekas saya menanggapinya.

BELUM. Jawab saya mantap tanpa mengada-ngada.

Jujur, saya emang belum siap menikah meski hati kecil saya telah begitu mendambakan sebuah pernikahan. Tidak bisa saya pungkiri betapa keinginan tersebut kian hari kian menguat namun semakin gigih pula saya menepis. Betapa saya ingin menjadi pengantin, duduk di pelaminan bersanding bersama seorang lelaki yang mencintai saya dengan sederhana lalu berdua kami merajut kasih setia dan membangun tangga dalam rumah dengan penuh ketakwaan. Betapa saya ingin menjadi seorang istri yang shalihah dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya kelak. Betapa saya sungguh memimpikan hidup bahagia, mencipta baiti jannati bersama "keluarga kecil" saya kelak.

Dan betapa... semua itu sekali lagi saya katakan baru sebatas keinginan tanpa aksi. Saya bahkan baru memulai, baru merangkak dari awal. Semisal ada sepuluh anak tangga, maka saya berada di anak tangga pertama sedang untuk sampai ke anak tangga teratas masih ada sembilan anak tangga tersisa yang harus saya pijaki.

Astaghfirullah! Bagaimana bisa saya sampai segitu lancangnya berpikiran menikah sementara persiapan saya, NIHIL? Saya tidak mau menikah buru-buru terlebih asal-asalan. Asal ada yang lamar langsung terima. Asal calonnya cakep dan sreg di hati langsung terima. Asal doi udah punya pekerjaan tetap, langsung terima. Asal yang meng-khitbah adalah immawan atau ikhwan langsung terima. Dan asal-asalan yang lain.

Setidaknya, ada tiga hal utama yang perlu saya persiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Pertama adalah diri pribadi. Kalau hubungan sama Tuhan aja belum baik gimana mau ngejalin hubungan dengan seseorang yang telah terikat janji suci. Kalau urus diri sendiri aja masih gak becus gimana mau urus anaknya orang. Kedua, yang tak kalah penting adalah ridho orang tua. Kalau sama orang tua aja belum berbakti sepenuhnya gimana mau berbakti pada suami. Kalau sama ayah dan ibu aja sering tidak patuh gimana mau jadi istri yang shalihah. Ketiga; Menguatkan mental baik fisik maupun psikis. Kalau masalah-masalah kecil aja belum mampu diatasi gimana bisa mengatasi masalah-masalah pelik dalam biduk rumah tangga. Kalau emosi aja masih sering meluap-luap gimana bisa menahan gejolak jiwa dalam hubungan pernikahan.

Sungguh, saya masih perlu belajar lebih banyak lagi. Memahami lebih banyak lagi. Memaknai lebih banyak lagi. Saya tidak bisa serta merta menikah tanpa persiapan apa-apa. Sekalipun mungkin secara materi udah siap, umur udah matang tapi kalau mental masih rapuh, bagaimana mungkin bisa menjalaninya?

Nikah aja kok ribet banget sih. Yang penting ada calon, ada wali, ada saksi, ada mahar, ada proses ijab kabul. Udah. SAH! Gak perlu belajar, nanti juga paham sendiri. Gak perlu khawatir, nanti juga mentalnya terbentuk sendiri.

Masalahanya menikah bukan perkara gampang lho! Bukan main-main. Bukan kayak orang pacaran yang semudah itu putus-nyambung, putus-nyambung. Bukan macam menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya sekejap, bukan cuma setahun dua tahun, tapi seumur hidup. In syaa Allah.

Menikah berarti; kita akan menjalani hidup bersama seseorang yang mungkin ketika itu kita belum kenal betul, entah bagaimana watak dan perangainya, entah bagaimana dirinya yang sebenarnya. Bahkan mungkin, ia masih seorang yang asing di mata kita. Yang kita tahu baru sebatas identitas dan rupa. Mungkin pula, yang kita terima baru sebatas luarannya, walau udah ngaku-ngaku bisa nerima doi apa adanya. Lalu bagaimana dalamnya? Bagaimana bila setelah menikah kita tak menemui kecocokan? Bagaimana bila pada akhirnya kita tidak bisa nerima doi sepenuhnya?

Mungkin, setahun dua tahun sampai lima tahun ke depan kita masih bisa menyesapi nikmatnya masa-masa indah sebagai pengantin muda dengan buah hati yang masih kecil-kecil, memasuki tahun keenam dan seterusnya mulai timbul rasa jengah, satu per satu konflik pun bermunculan, entah urusan yang sepele sampai yang bukan masalah pun bisa menjadi konflik besar.

Duh, jangankan sama keluarga yang udah hidup bersama kita bertahun-tahun lamanya, sama kawan karib yang walau tidak tinggal seatap aja kita masih sering terlibat cekcok, masih sering timbul prasangka dan segala macam, apalagi dengan pasangan yang akan kita temui setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.

Nyatanya, menikah emang tak segampang membalikkan telapak tangan. Nikah juga butuh ilmu. Kalau tanpa ilmu nikah bagaimana bisa kita membangun tangga yang kokoh dalam rumah kita? bagaimana bisa kita bertahan dari kencangnya terjangan badai yang sewaktu-waktu menerpa istana kita? bagaimana bisa kita menciptakan baiti jannati dengan pesona sakinah mawaddah wa rahmah dalam mahligai pernikahan kita?

Lihat; berapa banyak lelaki dan wanita yang bersanding di pelaminan dengan pesta pernikahan yang begitu megah nan memukau, ucapan selamat dan doa-doa membanjiri, bahkan tak sedikit yang mengharapkan ikatan suci mereka langgeng sampai kakek-nenek, namun apa yang terjadi selang sekian tahun kemudian. Ternyata ijab kabul yang pernah dilantangkan itu tak mampu menjadi tameng. Atas dasar cinta dan kasih sayang yang pernah menyatukan itu tak kuasa menjadi perekat yang awet. Sang buah hati pun tak berhasil meluruhkan ego. Perpisahan terpaksa menjadi keputusan terakhir ketika mereka tak menemukan kebahagiaan dari pasangan masing-masing.

Bahagia rupanya tidak cukup menjadi alasan menikah. Mengira, cinta yang akan mendatangkan bahagia, atau paras yang akan mengundang bahagia, atau harta yang akan meluapkan bahagia atau jabatan yang akan memanggil bahagia atau keturunan yang akan memunculkan bahagia. Jikalau semua itu melekat pada diri pasangan kita namun rasa bahagia tak kunjung ditemui lantas kemana lagi kita harus mencarinya?

Maaf bila terlampau jauh saya menerawang. Yang saya jabarkan di atas hanya sebagian kecil kemungkinan. Sebagian kemungkinan yang lain masih dapat kita saksikan.

Perhatikan; Betapa banyak lelaki dan wanita yang pernikahannya sederhana, cintanya sederhana, rumah tangganya sederhana namun ikatan suci mereka luar biasa, bertahan sampai maut memisahkan. Mengapa bisa demikian?

Jawaban dari pertanyaan itulah yang sedang saya cari. Saya pun mencari kebahagiaan dalam pernikahan saya. nantinya. Entah dengan sesiapapun itu; saya tak ingin menikah dengan orang yang salah. Tersebab itu; menurut saya selektif dalam memilih pasangan adalah hal yang sangat wajar. Tentu, karena kita tidak ingin menyesal setelah menikah bukan?

Namun selektif memilih bukan berarti kita harus mencari yang sempurna. Yakin deh, bila kesempurnanaan yang kita cari maka sampai kapanpun kita tidak akan pernah menemukannya. Bahkan boleh jadi, karena mencari yang sempurna itu kita akan kehilangan yang terbaik.

Karenanya, kriteria lelaki ideal yang saya dambakan menjadi imam saya kelak bukanlah seseorang yang luar biasa dengan segala kelebihannya, melainkan ia yang bersahaja, yang dengan kesederhanaannya mampu menawan hati saya.

Kemarin-kemarin sih saya sempat ngarep berjodoh sama yang se-ikatan. Ups! Tapi sekarang gak lagi kok. Siapa saja yang Allah datangkan, entah itu IMMawan, ikhwan, ustad #Eh atau mantan preman sekalipun in syaa Allah itu pasti yang terbaik buat saya.

Tapi jujur nih, dari dulu saya gak pernah ngarepin berjodoh dengan lelaki yang alim pake banget. Itu juga karena saya nyadar diri, saya bukan wanita yang sebegitu alimnya. Kalaupun saat ini saya memutuskan mengenakan jilbab yang menutupi hampir seluruh tubuh dan kerudung yang menjuntai sampai melewati *maaf bokong bukan berarti saya adalah wanita alim. Toh, alimnya seseorang tidak bisa dinilai dari penampilan semata.

Justru karena betapa hina dinanya diri ini betapa kerdilnya raga ini, betapa bergelimangnya dosa-dosa saya selama ini hingga tiada sanggup saya menebusnya selain berusaha menjadi hamba yang taat. Dimana salah satu bentuk ketaatan Hamba (wanita) kepada Tuhan-Nya adalah dengan menutup aurat sesuai dengan yang diperintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam Q.S An-Nur : 31 dan Al-Ahzab : 59.

Nah, terlepas dari penampilan yang terkesan sok alim itu, saya sungguh berharap pada Allah agar mempertemukan saya dengan ia yang meski bukan ahli agama, bukan ahli ibadah namun tetap bisa menuntun saya menempuh jalan yang lurus dengan kesahajaannya. Ia yang meski bukan ustad, bukan pula hafidz 30 juz namun tetap bisa membimbing saya dunia akhirat dengan kesederhanaanya. Ia yang hatinya merunduk, dadanya lapang dan ringan mengulurkan tangan. Ia yang bisa mensyukuri kehadiran saya dalam hidupnya.

Ia yang SABAR...
Yang kini tengah memantaskan pribadinya
Yang sedang berikhtiar menata hati memperbaiki diri
Yang sedang belajar mendalami agama
Yang kini tengah mengadu pada Rabb-Nya
Yang sedang memintal harap pada Ilahi
Yang sedang mengejar cintaNya....

Maka, cukuplah Allah yang menjadi alasan pertemuan saya dengannya. Cukuplah Allah yang menyatukan saya dengannya. Cukuplah karena Allah; alasan kebahagiaan kami kelak! Sesiapapun dia...

Saya masih menunggu.

Di dua puluh tiga;
Semoga #Aamiin

Serui, 17 Mei 2015
posted from Bloggeroid
Share
Tweet
Pin
2 comments
Bismillahirrahmaanirrahiim

Kalau kita adalah aktivis dakwah yang gigih berjuang di jalan Allah; bukan berarti kita adalah orang yang paling paham agama.

Kalau kita laki-laki yang berjenggot, dahi mencuat hitam, celana jingkrang atau perempuan berjilbab yang kerudungnya menjuntai sampai ke lutut atau bahkan bercadar; bukan berarti kita adalah orang yang paling alim.

Kalau kita adalah orang yang sering menunduk, tak mau menatap pun bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram; bukan berarti kita adalah orang yang paling suci.

Kalau kita adalah orang yang sering berceramah, sering menasihati, sering mengeluarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis lewat lisan maupun tulisan dan menguasai kaidah-kaidah fiqh; bukan berarti kita adalah orang yang paling benar.

Kalau kita adalah orang yang tiap hari berkawan dengan Al-Qur'an, tidak sekadar membaca namun juga mentadabburi, menghafal, mengajarkan dan mengamalkannya; bukan berarti kita adalah orang yang paling ahli Al-Qur'an.

Kalau kita adalah orang yang suka berbagi, rajin bersedekah, rutin berinfak; bukan berarti kita adalah orang yang paling dermawan.

Kalau kita adalah orang yang giat menuntut ilmu di majelis-majelis, di masjid-masjid di mana saja di bumi Allah; bukan berarti kita adalah orang yang paling berilmu.

Kalau kita adalah orang yang shalat wajibnya selalu tepat waktu dan berjamaah di masjid (bagi laki-laki) juga tidak pernah meninggalkan shalat malam, dhuha dan puasa senin kamis, bahkan puasa daud; bukan berarti kita adalah orang yang paling ahli dalam beribadah.

Kalau kita tidak pernah mengeluh, selalu menerima dengan rela dan lapang dada segala ujian yang Allah berikan, baik ditinggalkan orang tercinta atau ditimpa musibah sebesar dan sebanyak apapun itu, bukan berarti kita adalah orang yang paling sabar.

Kalau kita senantiasa bersikap qana'ah, tidak pernah alpa mengucapkan kalimat hamdallah dan selalu bersujud ketika mendapat rezeki dari Allah walau sekecil apapun itu, bukan berarti kita adalah orang yang paling bersyukur.

Kalau kita adalah orang yang pernah naik haji dan umrah berkali-kali bukan berarti kita adalah orang yang paling mabrur.

Kalau kita adalah seorang pemimpin baik memimpin diri sendiri, keluarga, lembaga/organisasi atau negara sekalipun, bukan berarti kita adalah orang yang paling hebat.

Kalau kita adalah orang yang istiqomah dalam mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya bukan berarti kita adalah orang yang paling bertakwa.

Kalau kita adalah orang yang suka menolong orang lain yang kesusahan, membantu orang lain yang ditimpa musibah dan ramah pada semua orang, bukan berarti kita adalah orang yang paling baik.

Apapun dan bagaimanapun pandangan orang tentang kita, entah itu dicerca atau dipuji; janganlah sampai membuat diri lengah. Tetaplah merendahkan hati. Tetaplah tawadhu'. Belajarlah dari tanaman padi; semakin berisi semakin merunduklah ia.

Merasa "PALING" hanya akan membuat KITA lupa diri. Lupa, kalau bukan karena petunjuk Allah mana mungkin kita bisa melangkah di jalan yang diridhoi-Nya. Kalau bukan karena nikmat Allah mana mungkin kita bisa meneguk manisnya iman. Kalau bukan karena rahmat-Nya mana mungkin kita bisa menjadi hamba yang taat.

Merasa "PALING" hanya akan meninggikan hati lalu orang lain pun menjadi rendah dalam pandangan kita. Padahal mereka yang saat ini belum paham agama boleh jadi adalah orang yang amalnya lebih banyak daripada kita yang paham tapi dipenuhi rasa ujub. Mereka yang saat ini belum menutup aurat boleh jadi adalah wanita yang ketika mendapat hidayah akhlaknya jauh lebih karimah daripada kita yang meski sudah lama menutup aurat namun masih kerap memandang sebelah mata. Mereka yang saat ini terjerat dalam kubang kemaksiatan boleh jadi adalah orang yang akan meninggal dalam keadaan khusunul khatimah karena selalu terngiang dosa-dosanya sehingga ia senantiasa memohon ampun pada Allah dengan penuh pengharapan dan rasa takut daripada kita yang walau rajin beramal namun tidak sadar hati telah disesaki riya, sum'ah dan sejenisnya.

Awal memang penting, namun akhirlah yang menentukan. Kita tidak pernah tahu akhir hidup seseorang akan seperti apa, jadi jangan pernah menjugdge, merendahkan atau meremehkan orang lain.

Kalau kata Almarhum Olga Syaputra; jangan pernah merendahkan orang lain karena kita tidak pernah tahu kapan seseorang itu diangkat derajatnya oleh Allah.

Jangan sampai nasib kita naas seperti iblis yang konon telah menyembah Allah beribu-ribu tahun namun akhirnya dikutuk dan terusir dari surga karena merendahkan manusia (Nabi Adam as) yang terbuat dari tanah liat kering hitam lagi berlumpur sedang ia tercipta dari api yang sangat panas.

Jangan sampai kita pun tergelincir dengan tipu daya dan bujuk rayu syaitan yang selama masa penangguhannya akan selalu berusaha menjerumuskan anak cucu adam ke jalan yang sesat.

Jangan mengira dengan menjadi orang shalih/shalihah kita telah terbebas dari gangguan syaitan. Justru di saat keimanan seorang hamba semakin kuat semakin kencang pula syaitan menggoda. Entah itu dengan memengaruhi hati agar condong melakukan amalan karena makhluk atau membisik-bisikkan sesuatu yang membuat diri merasa takjub dengan ibadahnya, dengan penampilann syar'inya, dengan hapalan Al-Qur'annya, dengan shalat malamnya, dengan puasa senin-kamisnya dan lain sebagainya.

Jangan sangka dengan banyaknya ibadah yang dilakukan kita pun merasa telah terbebas dari jilatan api neraka, bahkan merasa telah menggenggam surga.

Jangan sampai kita pun menganggap kuantitas ibadahlah yang akan memasukkan kita ke dalam surga, seperti sabda Rasulullah yang dikisahkan oleh malaikat jibril tentang si ahli ibadah yang telah beribadah selama 500 tahun. Ketika meninggal si ahli ibadah itu dihadapkan kepada Allah. Allah hendak memasukkannya ke dalam surga karena rahmat-Nya tetapi ia ngotot ingin masuk surga karena amal ibadahnya. Kemudian ditimbanglah antara amalan ibadahnya dan satu nikmat yang Allah berikan yaitu nikmat penglihatan. Sungguhn satu nikmat Allah itu jauh lebih berat daripada timbangan amalan ibadahnya selama lima ratus tahun. Allah pun memerintahkan malaikat agar menyeret si ahli ibadah itu masuk ke dalam neraka. Jika bukan karena pada akhirnya ia mengakui rahmat Allah-lah yang memasukkannya ke surga maka tentu akan sia-sia semua amal ibadahnya selama lima ratus tahun. Malah tiada artinya sama sekali bila dibandingkan dengan satu saja nikmat dari Allah.

Lalu bagaimana dengan kita? Berapa lama kita akan hidup? Sudah berapa banyak ibadah yang kita kerjakan? Jika seseorang yang menghabiskan masa hidupnya selama lima ratus hanya untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla saja hampir di masukkan ke dalam neraka bahkan banyaknya amal ibadah yang ia lakukan selama itu tiada sebanding dengan satu nikmat Allah maka masih pantaskah kita memamer-mamer, memuji-muji, berbangga-bangga dan merasa ter-Paling.

Jangan sampai selama ini tubuh kita saja yang sibuk beramal lalu sedikit sekali kita menghadirkan hati dalam beribadah. Malah hati kita menyimpang sehingga yang timbul adalah perasaan semacam ujub, riya dan sombong. Ketahuilah, ketiga penyakit tersebut bukan menjangkiti pelaku maksiat, justru ketiganya menyerang orang-orang shalih/shalihah, para aktivis dakwah dsb. Bahayanya jauh lebih besar dari orang yang bermaksiat. Para pelaku maksiat mengetahui yang mereka lakukan adalah dosa dan ia mudah memohon ampun sementara orang-orang yang dijangkit rasa ujub, riya dan sombong tidak sadar dan mengira amalannya telah diterima oleh Allah Azza Wa jalla.

Jangan sampai karena anggapan merasa diri PALING, paling paham, paling alim, paling suci, paling ahli, paling baik, paling benar, paling dermawan, paling hebat, paling sabar, paling syukur, dan paling-paling yang lain membuat Allah pun ikut berPALING dari kita. Naudzubillahi min dzalik.

Tersebab demikian, maka sangat penting bagi kita untuk selalu berikhtiar menjaga hati dengan sebaik-baiknya dan menghalau kuat segala bisikan-bisikan syaitan. Beramallah dengan merunduk dan beribadahlah dengan tawadhu'. Sungguh, Allah menyukai mereka yang menghadap-Nya dengan penuh kerendahan hati, rasa takut dan harap. Bukan mereka yang meninggi hatinya, congkak lagi mengharap pujian dari manusia. Jika memang mau amal ibadah ibadah kita diterima maka lakukanlah segalanya dengan IKHLAS tanpa rasa ujub maupun merendahkan orang lain.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Rasulullah bersabda, Allah berfirman; "Aku adalah sekutu yang Maha Kaya dari persekutuan. Siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan, dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku padanya, Aku membiarkannya dengan sekutunya itu. Apabila hari kiamat tiba dihadirkan lembaran-lembaran yang telah distempel, ditegakkan dihadapan Allah lalu Allah berfirman kepada para malaikat-Nya. "Terimalah yang ini (masuk syurga) dan lemparkanlah yang ini (masuk neraka)." Para malaikat berkata "Demi keagungan-Mu, kami selalu melihat kebaikan padanya". Allah berfirman, "Ya, benar, tetapi itu selain Aku, dan pada hari ini, Aku hanya menerima orang yang hanya mengharap ridha dan pahala-Ku semata (ikhlas)"" (HR Muslim)

Rasulullah juga bersabda; "Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan UJUBnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri" (HR at-Thobroni)

Sekian, segala kebenaran datangnya dari Allah Azza wa jalla dan segala luput khilaf datangnya dari diri pribadi.

Wallahua'lam bisshawab

Serui, 19 April 2015

#noteofmyself #selfreminder #justoshare

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments
#Berhentilah

Berhentilah mengejar dunia; kau takkan dapat apa-apa kecuali penyesalan.

Berhentilah merutuk diri dan mematut kesalahan masa lalu; Percuma! segalanya telah berlalu.

Berhentilah menuruti hawa nafsu; kalau tak mau celaka.

Berhentilah merendahkan orang lain; dirimu saja belum tentu baik.

Berhentilah berkhayal terlampau tinggi; bila jatuh sakitnya bukan main.

Berhentilah berharap pada manusia; pasti kan kecewa.

Berhentilah mencintai seseorang secara berlebihan dan terang-terangan, toh ia belum tentu jodohmu

Berhentilah beramal karena pujian; tak ada gunanya, sia-sia saja!

Berhentilah bertingkah pongah, membusungkan dada dan meninggikan hati; ketahuilah orang sombong pasti binasa.

Berhentilah menjadi orang yang tak paham agama, bisanya cuma ikut-ikutan; hati-hati nanti tersesat.

#Mulailah

Mulailah mengejar akhirat; niscaya kan beruntung.

Mulailah memperbaiki diri saat ini juga, jadikan kesalahan masa lalu sebagai ibrah; Masa depanmu in syaa Allah cemerlang.

Mulailah ikuti kata hati, turuti naluri; pasti kau selamat.

Mulailah menebar kebaikan pada semua orang: dengan begitu kau akan disayangi.

Mulailah mengukir mimpi yang indah; percayalah, suatu hari mimpimu akan menjelma nyata.

Mulailah menjulang harapan yang tinggi pada Allah; sungguh Allah tidak akan pernah mengecewakan hati.

Mulailah mencintai seseorang dengan sederhana dan diam-diam; Yakin! kalau jodoh pasti bertamu.

Mulailah beramal hanya karena Allah; balasannya nanti di syurga.

Mulailah bersikap tawadhu', merendahkan hati; Serupa padi, semakin berisi semakin merunduklah ia, semakin banyak pula yang cinta..

Mulailah belajar agama, cari ilmunya, pahami, amalkan dan bagikan; niscaya Allah akan menunjuki jalan yang lurus.

Aamiin Allahumma Aamiin

#Noteofmyself #Selfreminder

Serui, 15 April 2015

posted from Bloggeroid

Share
Tweet
Pin
No comments

Bismillahirrahmaanirrahiim


Apa kau tahu, berapa banyak dosa yang telah kuperbuat selama hidupku ini? Coba kau hitung ikan-ikan di lautan atau bintang-bintang di langit, sebanyak itulah dosa-dosa yang menyelimuti diriku. Bagaimana? Apa kau sudah menghitungnya? Aih, kau pasti mengira aku sekadar berguyon menyuruhmu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung, iya kan? Tapi aku tidak sedang berkelakar, aku serius! Kalau kau tidak bisa menghitungnya, tidak mengapa, sebab kau maupun aku memang tidak akan pernah sanggup menghitung ciptaan Allah yang terhampar luas di langit dan di laut. Cukup kau tahu, seperti itulah dosa-dosaku. Tak berbilang jumlahnya.

Karena itu, berhentilah menyanjungku, sudahilah mengeluarkan kata-kata fantastis seolah kau begitu takjub. Jangan lagi memujiku dengan kalimat apapun. Apa yang kau lihat pada diriku, mungkin hanyalah fatamorgana. Kau bahkan sama sekali tak tahu apa-apa tentangku. Yang kau tahu hanyalah apa yang kutampakkan. Padahal yang kutampakkan belum tentu yang sebenarnya. Namun, memang demikianlah adanya. Selama ini aku hanya menampakkan yang baik-baik di depanmu, layaknya tak punya cela sehelaipun. Berlagak pura-pura, selalu berusaha tampil sesempurna mungkin, bukan saja di hadapanmu tetapi juga di hadapan semua orang.

Nyatanya aku tidak pernah sesempurna itu, tidak pernah sebaik yang kau kira. Bahkan kebaikan yang melekat tidak seberapa bila dibanding dengan keburukan-keburukan yang tak pernah aku tunjukkan padamu. Ketahuilah, kebaikanku hanya secuil sedang keburukanku menggunung tinggi. Mungkin sama banyaknya dengan dosa-dosa(ku) yang tiada bisa kau hitung itu.

Andai saja kau mengetahui segala keburukan yang kumiliki maka lidahmu itu pasti akan tertahan dan kau takkan lagi memuji-muji sedemikian rupa, sebaliknya kau akan menghujatku, menghina sejadi-jadinya atau malah berpaling, meninggalkanku selama-lamanya.

Dan bila hal itu benar terjadi, aku mungkin akan kehilangan muka. Namun, kini aku tiada peduli. Entah kau atau siapapun tahu atau tidak nantinya. Aku tiada akan peduli dengan semua hujatan, hinaan dan cacian yang dilemparkan manusia padaku. Bahkan sekalipun kau dan semua orang meninggalkanku, sungguh aku tiada peduli. Walau sesakit bagaimanapun rasanya. Aku benar-benar tiada lagi ingin peduli dengan semua itu.

Kau tahu, kenapa?

Karena aku tidak punya alasan apapun untuk malu padamu atau pada sesiapapun. Mungkin, aku telat menyadari ini. Setelah seringnya pujian datang silih berganti, barulah aku tersentak, menyadari bahwa sesungguhnya segala pujian itu tidak layak kuterima. Pujianmu saat ini hanya akan membuatku bersedih. Akan lebih baik bila kau caci maci diriku saja.

Sungguh, aku lebih rela bila kau menghinaku sepuasmu daripada mendengar ucapan yang tidak semestinya kau alamatkan padaku. Tersebab, setiap pujian yang kau layangkan kerap mengubah mimikku seketika. Entah tersipu atau merona. Kadang-kadang malah salah tingkah. Perubahan itu jelas mengundang resah gelisah, pun rasa takut.

Tahukah kau, pujianmu tampak begitu menyeramkan. Jauh lebih seram dari sekadar menonton film horor tengah malam. Bukan membuat senang, hatiku justru ketar-ketir ketakutan. Sayangnya kau tidak akan pernah tahu, seberapa kerasnya aku berjuang menghalau bisikan-bisikan syaitan agar tak sampai hatiku meninggi. Aku takut, takut sekali bila karena pujianmu diriku melambung. Ya, kau memang tidak akan pernah tahu apa yang selalu kurahasiakan darimu.

Sampai di sini, masih tidak sadarkah kebaikan siapa yang sedang kau puji itu? Atau janganlah terlalu jauh menyinggung kebaikan, apa saja yang kau lihat pada diriku. Paras, penampilan, kecerdasan atau apa? Sebutkanlah semua hal yang membuatmu lancang menyanjungku. Lantas setelah itu masih tidak sadarkah kau, milik siapa yang sedang kau puji itu? Jangan bilang kau juga mengira semua itu adalah milikku. Bukan, itu semua bukan milikku.

Sejatinya, semua yang melekat pada diriku ini adalah titipan dan nikmat yang Dia anugerahkan kepadaku. Jadi, jika kau ingin memuji maka jangan puji diriku, tetapi pujilah Dia yang telah mencurahkan segala kebaikan dan menutupi segala aib yang terselubung dalam setiap diri manusia. Dia-lah satu-satunya yang berhak menerima segala pujian, bukan aku pun kau. KITA hanyalah hamba-Nya yang dhoif lagi kerdil. Sedang Dia adalah Sang Penguasa yang Maha Besar.

Dialah ALLAH Azza Wa Jalla

"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat ( Al-Fatihah: 2-7)"

~

Apa kau tahu, berapa banyak nikmat yang Allah curahkan selama hidupku ini? Tenang saja, aku tidak lagi memintamu menghitung sesuatu yang mustahil bisa kau hitung. Tetapi coba kau perkirakan, jika jumlah ciptaan Allah yang ada di langit dan laut kau gabungkan, ditambah dengan yang ada di daratan dan di seluruh alam jagat raya ini maka semua itu masih sangat kurang untuk menyamai jumlah nikmat yang telah Allah berikan padaku. Nikmat-Nya sungguh lebih tak berhingga dibanding jumlah dosa-dosaku selama ini. Karunia-Nya sungguh jauh tak terkira dibanding segala aib yang melekat pada diriku.
Rahmat-Nya bahkan jauh lebih luas dari yang tak pernah kau bayangkan.

Aku pun tak kuasa melukiskannya. Oleh karena itu, ijinkanlah aku membagi beberapa kisah yang pernah aku temui kala menjelajahi dunia maya. Jika kau sudah pernah mendengar kisah ini sebelumnya, maka aku sekadar ingin mengingatkan kembali, jikapun tidak pernah kau mendengarnya, maka aku sekadar ingin agar kau pun tahu. Bacalah kisahnya dengan penuh penghayatan dan rasailah betapa deras kasih-Nya Allah kepada kita. Kalau perlu basahilah pipimu dengan air mata. Semoga dengan begitu, hatimu kian melembut.

#Kisah Pertama

Di masa nabi Musa as suatu kali lama tidak turun hujan dan menyebabkan musim kemarau berpanjangan. Orang-orang datang menghadap nabi Musa as dan mengatakan,

Dirikanlah shalat hujan bagi kami!”

Nabi Musa as mengajak kaumnya mendirikan shalat hujan dan memohon kepada Allah swt agar menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Orang yang shalat bersama nabi Musa as lebih dari 70.000 orang. Sekeras apapun mereka berusaha berdoa hujan tak kunjung turun.

Nabi Musapun bertanya pada Allah ; Ya Allah mengapa hujan tidak turun? Apakah kedudukanku di sisi-Mu tidak ada artinya ?”

Allah mewahyukan kepada nabi Musa as, Engkau mulia di sisi-Ku. Akan tetapi di tengah kalian terdapat seseorang yang telah bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Katakanlah padanya agar ia keluar dari barisan shalat sehingga
Aku menurunkan rahmat-Ku.

Namun Musa as berkata,“Ya Allah, suaraku amat lemah. Bagaimana mungkin suaraku dapat terdengar oleh 70.000 orang?”

Allah taala berfirman,“"Wahai Musa, sampaikan apa yang Kuperintahkan padamu. Aku akan jadikan mereka semua mendengar suaramu". Dengar suara lantang, nabi Musa as menyampaikan,

Barangsiapa di antara kalian yang telah bermaksiat kepada Allah taala selama 40 tahun maka hendaklah dia berdiri dan meninggalkan tempat ini. Dikarenakan perbuatan dosa dan
keburukannya Allah enggan menurunkan rahmat-Nya kepada kita.

Orang yang berbuat maksiat itu menoleh ke sekitarnya. Dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari barisan shalat. Dia sadar dirinyalah yang dimaksud. Dia berkata pada diri sendiri,

Apa yang harus kulakukan? Jika aku bangkit berdiri maka orang-orang akan melihatku dan mengenalku. Aku akan malu di hadapan mereka Tetapi jika aku tidak keluar maka Allah tidak
akan menurukan hujan.

Pada saat itulah orang itu benar-benar bertaubat kepada Allah dari kedalaman hatinya dan menyesali segala perbuatan dosanya.

Tiba-tiba awan mendung datang dan hujan turun dengan lebatnya. Dengan penuh keheranan nabi Musa as bertanya kepada Allah,

Ya Allah tak seorangpun yang keluar dari barisan namun mengapa hujan turun juga?” Allah taala mewahyukan, Aku menurunkan hujan kepada kalian dikarenakan taubat orang yang telah menghalangi rahmat-Ku turun pada kalian.

Nabi Musa as memohon, Ya Allah, tunjukkanlah padaku siapa orang itu?” Allah taalag mewahyukan, Wahai Musa, ketika hamba itu bermaksiat pada-Ku, Aku menutupi dosa-dosanya. Dan ketika dia bertaubat pada-Ku maka Aku pun merahasiakan dirinya.

#Kisah Kedua

Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah acara di masjid Sunda Kelapa pernah bercerita tentang orang-orang yang berjuang move on dari berbagai ujian yang datang kepada mereka.

Beliau bercerita tentang Nabi Yusuf a.s. Di tengah-tengah cerita, beliau bertanya kepada jama'ah, Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf as?”

Zulaikha,” jawab jama'ah kompak.

Dari mana tahunya bahwa nama perempuan itu Zulaikha? Allah tidak menyebutnya dalam Qur'an.”
Reflek jama'ah menjawab, “Dari hadits. Hadits mendukung kisah yang ada dalam Qur'an dengan lebih detil.

Mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha dalam Qur'an?”

Semua jama'ah diam. Ustadz Salim melanjutkan
penjelasannya.

Karena perempuan ini MASIH MEMILIKI RASA MALU. Apa buktinya bahwa ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.

Dan Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya dalam Qur'an.”

Betapa Allah Maha Baik. Tak hanya sekali, namun berulang kali Allah menutup dosa-dosa kita. Hanya karena masih memiliki rasa malu, Allah tidak membuka identitas kita.

Pernahkah ada seseorang yang nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua karena begitu banyaknya kebaikan yang dilakukan orang itu?
Atau karena Allah telah menutupi aib orang itu?
Mungkin ada yang mengganggap saya, kamu, kita adalah orang yang baik.

Jika saja mau jujur, sungguh itu bukan karena kebaikan kita. Itu semata karena Allah masih menutupi segala aib kita. Jika tidak, maka
habislah kita. Terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Malu, semalu-malunya. Hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.

Kita harus berusaha menutupi aib orang lain sebagaimana Allah yang Maha Baik telah menutupi aib kita selama ini. Mari berdoa seperti yang dicontohkan sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a,

"Ya Allah, jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."

Sekian, catatan ini tergores. Petiklah apa yang bisa dipetik. Adapun segala kebaikan datangnya dari Allah swt dan segala keburukan berasal dari diri yang kerdil ini.

Wallahu a'lam bisshawab

Share
Tweet
Pin
No comments
Bismillahirrahmaanirrahiim


27 Juli 2013. Seseorang mengirim sebuah pesan yang ia layangkan ke inbox facebook saya. Saya lalu menelusuri rangkaian kata yang tertera di sana dengan napas seketika sesak sambil sesekali menelan ludah. Isinya berupa curahan hati seorang lelaki menyoal wanita. Wajah saya sempurna pias ketika sampai di baris terakhir dan mendapati pertanyaan yang menghentakkan naluri saya sebagai seorang wanita yang mengaku diri muslimah. Malu? Tentu saja. Apalagi yang menyampaikan pesan tersebut adalah seseorang yang juga lelaki. Bagai kedapatan dipergoki tengah melakukan kesalahan. Saya seolah ditegur, dinasehati baik-baik olehnya. Saya tahu, lelaki itu sama sekali tidak bermaksud menyudutkan terlebih menghakimi namun pesannya jelas-jelas membuat saya tersinggung. Sangat. Saya malu, malu sekali.

~

Pernah ada seorang laki-laki curhat, Beliau GELISAH dengan kondisi "Wanita-Wanita" yang
suka menampakan foto-fotonya di FB. Terlihat begitu kecewa melihat realita yang terjadi di
kalangan kaum hawa saat ini. Dengan nada lirih, mungkin dari lubuk hatinya yang terdalam,
beliau menyampaikan "saya tidak TERTARIK dengan Wanita-wanita yang memajang fotonya di FB, harusnya mereka bisa lebih menjaga, bukan calon pasangan IDEAL karena BELUM BISA menjaga IZZAHNYA (Kehormatannya) dan membiarkan kecantikanya dinikmati oleh orang-orang yang TIDAK BERHAK"

Seorang Wanita yang menampakkan foto dirinya di internet mungkin telah melanggar larangan untuk tidak tabarruj dan sufur.

Tabarruj artinya seorang wanita menampakkan sebagian anggota tubuhnya atau perhiasannya di
hadapan laki-laki asing. Sedangkan Sufur adalah seorang wanita menampak-nampak kan wajah di hadapan lelaki lain. Oleh karena itu Tabarruj lebih umum cakupannya daripada sufur, karena mencakup wajah dan anggota tubuh lainnya.

Tabarruj diharamkan dalam syariat berdasarkan ayat al- Qur’an dan juga hadits, antara lain : “"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ada dua kelompok penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang memukuli orang-orang dengannya dan para wanita yang berbaju tapi mereka telanjang, berlenggak lenggok


kepala mereka bagaikan punuk unta yang bergoyang. Wanita-wanita itu tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga bisa tercium sejauh sekian dan sekian. (H.R Muslim no. 3971 & 5098)

Apabila seorang Wanita menampakkan gambar dirinya di internet lalu dimanakah esensi hijab sebagai al Haya’ (RASA MALU). Sebagai seorang muslimah sejati, tentulah saudariku akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal yang demikian.


Padahal Rasullullah Shallallahu’alaih wa sallam bersabda yang artinya: "Sesungguhnya setiap
agama itu memiliki akhlaq dan akhlaq Islam adalah malu"” sabda beliau yang lain; “"Malu adalah
bagian dari Iman dan Iman tempatnya di Surga".
Allah Azza wa Jalla juga menjadikan kewajiban berhijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan
diri dari maksiat) dalam firman-Nya; "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu , anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Ahzab: 59

Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan
jelek (dosa), karena itu “mereka tidak diganggu. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah ; karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka. Wallahua'lam

Maka pertanyaan terakhir, Sudah siapkah anda MENEKAN DELETE BUTTON di FB anda (saudariku)? Redhakah laki-laki yang sudah
dipersiapkan Allah untuk menjadi pasangan hidupmu? karena mereka lah yang berhak terhadap kecantikan yang kamu miliki.
Ataukh lebih redha fotomu dilihat jutaan mata? Jawabnya: ITU HAK SAUDARIKU MUSLIMAH, KAMI HANYA IKUT MENYAMPAIKAN

~

Demikian isi pesan tersebut. Bagaimana tidak tersinggung bila isinya terang-terangan menyangkut kebiasaan saya selama ini yang begitu hobi memajang foto di FB? Bagaimana tidak malu bila teguran itu justru berasal dari kaum adam bukan datang dari kaum hawa? Lantas bagaimana reaksi saya setelahnya?

Diam, acuh saja, tidak peduli atau bersikap antusias menanggapi. Ah, nyatanya rasa malu dan ketersinggungan yang muncul tidak serta merta menghentikan kebiasaan saya mengunggah foto di FB. Walau hati kecil berkata iya, membenarkan pesan tersebut. Seharusnya sebagai wanita yang mengaku muslimah, saya lebih bisa menjaga izzah dan tidak menampakkan apa yang bisa menarik perhatian lelaki. Toh, kalau pun pesan tersebut tidak benar mana mungkin saya tersinggung? Bukankah orang-orang hanya akan tersinggung bila memang benar adanya demikian.

Awalnya memang saya malu dan tersinggung. Karena itu untuk beberapa saat setelah menerima pesan tersebut saya sengaja mengganti foto profil dengan foto yang bukan foto diri saya, sesaat pula saya tidak lagi mengunggah foto yang menampakkan diri saya. Namun sesaat kemudian, sehari setelahnya akal saya mulai memungkiri kata hati yang sempat terselip.

Apa salahnya menggunggah foto di FB, FB kan cuma dunia maya, apalagi foto yang saya unggah juga tidak menampakkan aurat kok?

Akhirnya saya berdalih. Mencari-cari pembenaran. Mengabaikan pesan tersebut. Layaknya nasehat yang sekejap masuk melalui telinga kanan sekejap pula keluar lewat telinga kiri. Bahkan saya hampir lupa dengan pesan tersebut hingga kini, dua tahun sudah berlalu.

Dan di sinilah saya sekarang. Setelah beberapa hari lalu sengaja mengubek-ubek pesan masuk di FB demi mencari keberadaan pesan tersebut. Bersyukur, karena pesan dari lelaki itu masih bisa saya temukan dalam keadaan utuh.

Dan di sinilah saya hari ini. Setelah berulang-ulang membaca kembali nasehat yang ditujukan pada saya (dan seyogyanya juga tertuju pada setiap wanita yang mengaku muslimah) otak saya seperti direcoki berbagai rupa pikiran perihal kebiasaan memajang foto diri di FB.

Lalu pertanyaan yang dua tahun lalu sempat terbesit tetiba menyergap...

Apa salahnya?

Dari Usmah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalanku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.” [HR. Muslim
(2740)]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam bersabda, Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani Isra’il adalah
dalam masalah wanita.” [HR. Muslim (2742)]

Di masa lalu, saya pernah menyalahkan lelaki menganggap mereka semua brengsek, lantas berkesimpulan bahwa tidak ada lelaki yang benar-benar baik dan begitu tulus mencintai wanita. Statmen itu sekonyong-konyong saya tumpahkan lewat tulisan karena hati yang sudah terlanjur sering kecewa dan disakiti oleh beberapa orang dari jenis mereka. Tidak semuanya memang. Tetapi ah, sama saja. Mereka kerap bilang begini; jangan samakan saya dengan yang lain, lalu apa bedanya bila akhirnya yang selalu saya temui adalah lelaki yang hanya datang menawarkan cinta dan pergi meninggalkan luka.

Dan lihatlah apa yang saya lakukan. Berkali-kali disakiti tidak membuat saya jera untuk kembali menjalin hubungan dengan lelaki lain. Berulang-ulang kecewa pun tidak menghentikan saya untuk berharap dan memintal asmara yang baru? Bukankah itu berarti saya sendiri yang membuka peluang untuk disakiti?

Seringpula saya turut melimpahkan semua kesalahan pada lelaki yang tidak mau bertanggung jawab setelah menghamili wanita yang diklaimnya sebagai kekasih. Seperti pandangan pada umumnya, mana ada wanita yang memperkosa lelaki, selama ini kan yang paling sering menjadi korban dalam kasus pemerkosaan adalah wanita. Jelas dong, lelaki yang paling patut dipersalahkan bila terjadi kasus pemerkosaan maupun married bye accident yang menimpa wanita. Dan selama itu, saya selalu lebih memihak pada wanita, walau sebenarnya di antara keduanya (terutama bagi lelaki dan wanita yang melakukan hubungan intim di luar pernikahan atas dasar suka sama suka) tidak ada yang paling patut dipersalahkan karena keduanya sama besar salahnya.

Namun sekarang, saya hendak mengemukakan pandangan berbeda. Mungkin lebih tepatnya saya tidak lagi berpihak pada wanita yang selama ini diberitakan paling banyak menjadi korban seksual laki-laki. Lewat catatan ini saya ingin menyatakan keberpihakan saya pada kaum lelaki meskipun saya sangat membenci perilaku mereka yang seenaknya merengut kehormatan wanita begitu saja.

Sungguh, wanita yang menyerahkan kehormatan dirinya pada lelaki itulah yang bodoh. SANGAT BODOH. Mana ada api kalau tidak ada asap. Mana ada semut kalau tidak ada gula. Mana ada lelaki yang berani mendekat kalau bukan karena wanita itu sendiri yang memberi peluang agar dirinya bisa didekati? Mana mungkin seorang lelaki berani menyentuh wanita kalau bukan karena wanita itu sendiri yang membiarkan dirinya untuk disentuh?

Coba deh pikirkan, mengapa gula selalu dimasukkan ke dalam sebuah toples atau tempat yang tertutup rapat? Jawabannya tentu karena gula rasanya manis dan semut selalu suka dengan yang manis-manis. Pesona manisnya gula yang begitu menggodalah yang mampu mengundang datangnya semut. Sehingga apabila penutup tempat berisikan gula dibiarkan terbuka, maka tunggulah, tidak perlu waktu lama bagi semut untuk datang mengerubungi dan mencicipi manisnya gula itu.

Jika diibaratkan; wanita adalah gula dan semut adalah lelaki. Maka seperti halnya gula yang memiliki pesona manis, dalam diri wanita pun tersimpan pesona yang begitu indah nan memukau yang bila ia dibiarkan terbuka akan mengundang datangnya sembarang lelaki.

Sayangnya, gula cuma benda mati sehingga ia tidak bisa memberontak atau mempertahankan diri bila dikeroyoki semut. Semut pun meski tergolong makhluk hidup namun ia tidak dianugerahi akal serupa manusia. Semut hanya mengikuti instingnya saja tanpa peduli boleh tidaknya mencicipi manisnya gula yang bukan miliknya.

Sedangkan lelaki dan wanita adalah sama-sama makhluk hidup dan juga sama-sama memiliki akal, yang dengan akalnya itulah mereka seharusnya mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Wanita yang berakal tentu tidak akan membuka dirinya sendiri. Membuka diri yang saya maksud di sini adalah menampakkan aurat dengan berpakaian seksi, bersikap tabbaruj (berhias demi menarik perhatian kaum adam) serta membiarkan dirinya didekati dan disentuh oleh para lelaki. Karena ia tahu perbuatan membuka diri adalah perbuatan yang salah. Lelaki yang berakal pun akan berusaha menahan godaan untuk tidak menyentuh wanita yang bukan mahramnya, karena ia tahu bahwa perbuatan menyentuh sesuatu yang bukan miliknya adalah menyimpang dari kebenaran.

Namun ternyata, memiliki akal saja belum cukup menjamin lelaki dan wanita dapat selamat dari perkara keji yang menjerumuskan ke dalam lembah kemaksiatan. Ilmu harus disertai dengan iman. Maka keimananlah yang dapat menyelamatkan. Sebab, seseorang tidak akan melakukan perbuatan keji sedang ia dalam keadaan beriman.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina ketika berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri ketika mencuri itu dalam keadaan beriman dan tidaklah seorang peminum khamr itu ketika meminumnya dalam keadaan beriman" (HR Bukhari)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda, "Apabila seorang lelaki berzina, keimanan akan keluar dari (hati)nya dan iman itu bagaikan tenda baginya, apabila dia mencabutnya (dosanya) dengan taubat dan meminta ampunan, maka keimanan itu akan kembali lagi kepadanya" (HR Abu Dawud)

Sebagaimana kisah nabi Yusuf as yang berhasil terlepas dari godaan Zulaikha, majikannya yang merupakan wanita cantik dan juga kaya raya. Jika bukan karena iman yang terpatri kuat dalam hati mana mungkinlah seorang nabi Yusuf as terlepas dari jeratan Zulaikha dan dapat berkata seperti ini: “"Ya Allah, lebih baik hamba dipenjara daripada harus bermaksiat kepada-Mu."

Maka pantaslah Allah Azza Wa jalla menggolongkan seorang lelaki yang apabila dirayu oleh wanita bangsawan (kaya) lagi rupawan (cantik) maka ia berkata ; "sesungguhnya saya Takut kepada Allah" ke dalam salah satu dari tujuh golongan yang akan dinaungi pada hari dimana tiada naungan selain naungan-Nya. Oleh sebab wanita adalah cobaan terberat sekaligus paling membahayakan bagi para lelaki. Buktinya, lihatlah di sekeliling; betapa banyak lelaki di luaran sana yang telah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan karena (fitnah) para wanita.

Sampai di sini, mungkin sudah jelas, akar permasalahan utama timbulnya perzinahan bersumber dari wanita. Apabila wanita pandai menjaga izzah, tidak asal tebar pesona, tidak sufur maupun tabbaruj atau sengaja memamerkan/menampakkan wajah dan postur tubuhnya kepada yang bukan mahramnya mengingat semua yang ada pada dirinya adalah fitnah paling berbahaya bagi kaum lelaki, maka insya Allah kasus-kasus semacam kekerasan seksual, hamil di luar nikah dan aborsi pun tidak akan sampai merajalela dimana-mana.

Saya tetiba jadi berpikir seperti ini; meskipun wanita dikatakan sebagai sumber fitnah terbesar bagi lelaki, sekaligus menjadi akar dari timbulnya perzinahan namun bukan berarti kesalahan patut dilimpahkan sepenuhnya kepada mereka. Baiklah, sekarang saya tidak akan lagi berpihak pada keduanya, baik lelaki maupun wanita. Tetapi saya ingin katakan seperti ini. Betapa sempurnanya Islam. Betapa Allah sangat memuliakan kaum wanita. Ia menurunkan perintah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh (Al-Ahzab : 59) dan menutup kain kudung ke dada (An-Nur : 31) hanya khusus kepada kaum wanita. Dan karena semua yang melekat pada diri wanita adalah fitnah maka Allah mewajibkan setiap wanita muslimah yang sudah baligh untuk berhijab atau menutupi aurat mereka yang hampir meliputi seluruh tubuh (kecuali wajah dan telapak tangan). Yang dengan hijabnya itulah seorang wanita akan senantiasa terlindungi dan terjaga izzahnya. Sebaliknya, perintah berhijab itu juga mendatangkan rasa aman bagi kaum lelaki. Karena setidaknya, dengan berhijabnya seorang wanita maka berkurang pulalah beban lelaki dalam menghadapi cobaan paling membahayakan mereka yakni fitnah (wanita).

Sebaliknya, perintah menudukkan pandangan Allah turunkan tidak hanya dikhususkan bagi kaum lelaki saja atau wanita saja. Tetapi bagi keduanya. Mungkin karena hal demikian sehingga si lelaki itu sengaja mengirimkan pesan tersebut kepada saya. Sebagai lelaki muslim wajarlah kiranya bila ia senantiasa berusaha menundukkan pandangan dalam artian tidak ingin jatuh terpesona pada keindahan wanita yang bukan mahramnya. Namun bagaimana lelaki itu kuasa menundukkan pandangannya bila banyaknya foto wanita yang cantik-cantik dengan gaya yang memukau dan senyuman yang manis berceceran di dunia maya. Tidakkah wanita juga mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangan, baik di nyata maupun maya. Yakni, dengan tidak mempertontonkan bentuk tubuhnya dan memamerkan wajahnya yang dapat menarik perhatian lelaki asing.

Maka di sinilah letak kesalahannya, sebagai wanita muslimah, tidak seharusnya diri menampakkan apa yang bisa menarik perhatian lawan jenisnya, apalagi bila memang niatan memajang foto diri agar bisa dilihat dan dipuji orang banyak. Kalaupun belum bisa menjaga pandangan, tidakkah cukup dengan membantu saudara-saudara (lelaki) di maya untuk menundukkan pandangannya, dengan tidak lagi memajang foto yang dapat menggoda, menyadari betapa berbahayanya (fitnah) diri bagi mereka

Tapi kan cuma di dunia maya?

Dunia maya ya dunia maya. Dunia nyata ya dunia nyata. Dulu, iya, di awal-awal baru mengenal internet saya sempat berpikiran semacam itu. Memisahkan dunia maya dan dunia nyata. Menganggap dunia maya tidak terkait dengan dunia nyata. Tetapi, sekarang saya mendapati dunia maya telah menyatu dengan dunia nyata. Toh, baik dunia maya maupun dunia nyata sama saja, sama-sama masih berinteraksi di dunia. Bedanya, hanya tidak berinteraksi secara langsung. Itu saja, kan?

Nah, belakangan kemarin saya sempat kaget dengan beberapa pemberitaan media sosial terkait orang-orang yang karena sembarang update status di dunia maya, entah itu karena menghina suatu daerah, menjelek-jelekkan kepala negara atau karena curhat tentang gurunya sehingga mereka sampai diseret ke ranah hukum. Bahkan ada yang sampai di penjara. Padahal, kan cuma dunia maya?

Dunia maya sendiri baru berkembang pesat di negeri ini setelah memasuki tahun 2000-an. Malahan di tahun 2010, saat saya baru memesiunkan seragam putih-biru pesatnya belum sampai seheboh sekarang. Setidaknya belum ada aturan, hukum dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat dunia maya. Sejauh ini yang diperketat hanya situs-situs yang berbau pornografi dan pornoaksi, meski begitu masih banyak ditemukan anak-anak di bawah umur yang bebas mengakses situs tersebut. Anehnya, dari sekian banyak situs berbau porno yang masih bebas diakses oleh masyarakat luas, pemerintah(menkominfo dan BNPT) malah memblokir beberapa situs islam yang katanya radikal dengan alasan khawatir beberapa konten yang dimuat dapat memengaruhi pemikiran kawula muda.

Sampai di sini, saya tidak ingin membahas lebih jauh terkait dunia maya, mengingat catatan ini sudah lumayan panjang. Namun saat menyinggungnya, saya baru tersentak akan satu hal; ternyata tugas syaitan jaman sekarang tidak hanya menggoda manusia di dunia nyata melainkan juga di dunia maya. Mungkin tanpa disadari, fitnah (wanita) di dunia maya boleh jadi lebih berbahaya daripada dunia nyata. Terlebih, di dunia maya kan belum ada aturan-aturan pasti dan hukum tetap yang berlaku. Sehingga orang-orang masih bebas berekspresi, berbuat sesukanya, diam-diam tanpa malu-malu. Maka, sebagai seorang muslimah tidakkah sebaiknya lebih berwaspada. Walau memang cuma di dunia maya, namun bukan berarti tidak ada fitnah di sana. Orang-orang bahkan sebenarnya lebih berani unjuk muka di dunia maya daripada dunia nyata.

Awalnya sih dari pertemanan biasa di salah satu jejaring sosial. Si cewek rupanya hobi banget upload foto-foto dirinya yang memesona di facebook. Gegara foto-fotonya yang begitu menggoda, kepincutlah si cowok. Maka demi ngegaet perhatian si cewek, si cowok mulai mengeluarkan jurus pedekate. Mulai dari memberi jempol setiap kali si cewek update status atau upload gambar, juga tidak pernah ketinggalan meninggalkan komentar, sok kenal sok akrab gitu. Duh, cewek siapa sih yang gak suka status atau gambarnya dilike dan dikomentarin. Mulai ke-GR-an lah si cewek. Suatu hari si cowok pun memberanikan diri menyapa si cewek lewat inbox dan si cewek karena sudah ke-GR-an lebih dulu dengan senang hati membalas sapaan tersebut. Mereka lalu berkenalan. Kemudian hari-hari berikutnya mereka jadi keseringan ngobrol via inbox FB. Entah itu sekadar bertanya kabar atau berbincang basa-basi. Lama-lama semakin akrablah mereka di dunia maya. Sampai akhirnya si cowok ngajakin ketemuan di dunia nyata dan si ceweknya tanpa pikir panjang mau-mau aja ketemu sama cowok yang belum pernah ia temui dan baru dikenalnya beberapa waktu lalu di dunia maya. Mending, kalau si cowok yang ngajak ketemuan itu adalah cowok yang baik-baik, lha bagaimana kalau tidak?

Akhirnya, sudah banyak kan kasus kriminal baik itu penipuan maupun tindak kekerasan yang bermula dari dunia maya? Remaja yang di culik oleh teman mayanya? Ada, banyak. Wanita yang diperkosa oleh lelaki yang dikenalnya melalui FB? Tidak sedikit. Seseorang yang akhirnya bunuh diri atau membunuh kekasih mayanya hanya gegara wajah yang dikenalinya lewat foto di jejaring sosial tak sama dengan aslinya? Juga ada.

So, masih mau bilang cuma dunia maya? Padahal dunia maya boleh jadi adalah cerminanmu lho di dunia nyata, wahai muslimah. Entah itu, asli, palsu atau sekadar pencitraan. Hanya dirimu dan Allah-lah yang tahu hatimu. Maka biarkan hati tersinggung dengan sabda sentilan Rasulullah saw ini ; Kalau kau tak punya malu, berbuatlah sesukamu, agar tak sampai diri kehilangan HAYa-nya.

Juga tidak menampakkan aurat kok?

Saya pertama kali menutup aurat ketika baru duduk di bangku kelas VII SMP. Kala itu, wanita-wanita yang menutup auratnya di daerah tempat tinggal saya masih bisa dihitung dengan jari. Siswi yang berkerudung di sekolah saya pun masih sangat sedikit, tidak lebih dari lima orang.

Sekarang, setelah sebelas tahun berlalu, masya Allah, perubahan itu sedemikian cepat. Saya bahagia ketika mendapati orang-orang di sekitar saya banyak yang telah memanjangkan pakaiannya dan menutupi mahkota yang ada di kepalanya. Teman-teman wanita saya yang dulunya sebagian besar membiarkan rambutnya tergerai bebas dan pakaianya minim-minim pun alhamdulillah sekarang rata-rata sudah pada berhijab. Malah banyak yang cara berjilbannya lebih rapi, lebih modis dan lebih tertutup daripada saya.

Sebaliknya, saya merasa sangat sedih ketika melihat teman wanita saya yang dulunya berhijab sekarang lebih memilih menampakkan auratnya. Perasaan sedih itu juga yang menyeruak ketika mendapati diri saya yang sudah bertahun-tahun berhijab namun belum paham benar hakikat dari hijab itu sendiri.

Nyatanya, lamanya berhijab bukanlah menjadi penentu paling berimannya seseorang. Saya butuh waktu sepuluh tahun lebih untuk benar-benar paham akan hal ini. Paham, bahwa hijab bukan sekadar kewajiban. Bukan sekadar busana. Bukan sekadar penutup . Tetapi ia adalah suatu bentuk komitmen diri, dari seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Sehingga, ketika seseorang memutuskan berhijab maka bukan cuma hijabnya yang berfungsi menjaga dan melindungi dirinya namun ia pun harus menjaga dan melindungi hijabnya. Inilah yang tidak saya pahami dari awal :') Selama kurang lebih sepuluh tahun, busana yang diperintahkan Allah ini telah melindungi dan menjaga saya dengan sangat baik sebaliknya saya tidak pernah benar-benar menjaga dan melindunginya dengan baik, dengan iman, dengan ibadah, dengan sikap, dengan perangai, dengan akhlak, dengan kecintaan, dengan dzikir, dengan syukur, dengan berbagi, dengan kepatuhan, dengan menundukkan pandangan, dengan menjaga kemaluan, dengan meninggalkan perkara-perkara syubhat, dengan menuntut ilmu, dengan senantiasa menjaga HATI, dsb

Akibatnya, bila seseorang tidak turut menjaga dan melindungi jilbabnya maka mungkin layaknya persis seperti orang yang shalat tanpa khusyuk. Padahal ruhnya shalat adalah khusyuk maka ruhnya hijab adalah akhlak dari pemakainya. Sebab, hijab hanyalah benda mati yang benar-benar baru akan berfungsi ketika pemakainya paham benar. Hijab adalah bukti nyata cinta-Nya Allah kepada wanita dan hijab adalah bentuk kepatuhan wanita pada Tuhan-Nya.

Bukanlah hijab yang sebenarnya memuliakan, tetapi Allah. Bukanlah hijab yang sebenarnya melindungi, tetapi Allah. Bukanlah hijab yang sebenarnya menjaga, tetapi Allah. HIJAB hanyalah sebagai perantara Allah untuk memuliakan, melindungi, menjaga sekaligus membedakan wanita muslimah dengan wanita musyrik maupun kafir. Maka, sesungguhnya esensi dari HIJAB bukanlah pakaian luar yang tampak kasat mata melainkan pakaian dalam yang tersembunyi yang hanya Allah Azza wa jalla yang tahu. Bukankah sebaik-baik pakaian adalah TAKWA?

Rasululah saw bersabda; Sesungguhnya TAKWA itu adanya di sini (beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali) HR. Muslim. Maksudnya yang ada di dalam dada, yakni; HATI.

Dalam hadis yang lain beliau juga bersabda ; "Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan rupa dan harta yang kalian miliki. Tetapi Allah melihat hati dan amalan kalian (HR. Muslim)

Tentu, semua wanita yang ber-TAKWA pasti akan ber-HIJAB namun tidak semua wanita ber-HIJAB adalah wanita yang ber-TAKWA.

Jadi, usah heran bila melihat banyak wanita muslimah sekarang yang alhamdulillah sudah menutup aurat namun belum maksimal, apalagi bagi yang memutuskan berhijab hanya karena ikut-ikutan trend fashion hijab stylish. Tetapi itu bukan masalah, malah merupakan langkah awal yang bagus. Setiap pemahaman kan butuh proses. Ada yang prosesnya lambat, ada yang cepat dan ada juga yang lama. Nikmati saja dulu proses tersebut sambil terus berikhtiar dengan mencari ilmunya dan tak henti meminta pada Allah agar diberi pemahaman yang mendalam mengenai hakikat HIJAB.

Nah, terkait persoalan memajang foto diri sendiri di FB maupun di media sosial lainnya, sekalipun tidak menampakkan aurat alias sudah tertutupi hijab maka saya ingin menanggapinya dengan bertanya terlebih dahulu pada hati.

Sudah benarkah? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah nantinya? Bagaimana bila foto wajah saya menarik perhatian lelaki asing yang melihatnya? Sebenarnya sih wajah saya kalau menurut orang lain gak cantik-cantik amat, sedang-sedang saja jadi kalaupun foto diri saya gak sampai menimbulkan fitnah atau mengundang perhatian lelaki maka saya akan sangat bersyukur. Namun, sebagai muslimah saya harus tetap berwaspada. Seperti yang sudah saya jelaskan sedikit di catatan Ada Apa dengan Selfie bahwa yang dikhawatirkan dari seseorang yang berfoto baik selfie maupun difoto orang lain adalah timbulnya penyakit hati, yakni ujub, riya dan takabbur.

Apakah sudah yakin nih, dengan mengupload foto berhijab di FB maupun jejaring sosial lainnya tidak akan memunculkan ketiga penyakit hati tersebut? Kalau yakin, ya silahkan, sah-sah saja. Kalau saya sih gak yakin, apalagi setelah menyadari gak ada gunanya pajang foto yang menampakkan wajah saya. Apalagi selama ini foto yang saya pajang di media sosial adalah foto-foto yang memang sudah dipilah pilih sebelumnya. Dari dulu saya memang tidak pernah berani mengupload hasil foto diri yang saya anggap jelek ke media sosial. Artinya, benar kan? Memang niatnya cuma biar dilihat banyak orang :( __

Bahkan bukan cuma foto menampakkan wajah, belakangan ini saya juga mulai terusik dengan foto-foto diri yang sengaja diambil dari belakang atau samping dan hanya menampakkan jilbab saya yang menjuntai. Foto macam itu insya Allah memang tidak akan menimbulkan fitnah bagi lelaki, tetapi bagaimana dengan hati saya?

~

Allah, jauhkanlah saya dari segala penyakit hati yang semacam itu. Saya tidak ingin terjerembab dalam kubangan dosa yang tidak saya sadari. Saat menulis catatan ini pun, hati saya kerapkali diselimuti kekhawatiran. Di satu sisi diri merasa masih belum pantas namun di sisi lain tiada maksud selain menjadikan catatan ini sebagai media untuk menasihati dan menginstropeksi diri sendiri sekaligus hanya ingin berbagi kebaikan.

Adapun sebagian besar tulisan dalam catatan ini adalah opini saya pribadi berdasarkan apa yang pernah saya baca, nonton, lihat, dengar dan rasakan, dengan menyelipkan untaian nasehat kepada kaum wanita yang sengaja saya copas dari pesan yang pernah dikirimkan seseorang kepada saya serta mengutip beberapa firman Allah Azza Wa Jalla dan sabda Rasulullah saw yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.

Akhirnya, segala pilihan kembali pada diri. Setiap orang berhak menentukan pilihan, namun kalau boleh saya menyarankan, pilihlah yang terbaik. Sesuai kata hati. Jangan hanya menuruti nafsu. Entah masih ingin pajang foto di FB maupun media sosial lainnya atau tidak, itu adalah hak masing-masing individu. Sepeti kalimat tertera dalam pesan di atas yang sengaja saya kutip kembali di sini ; ITU HAK SAUDARIKU, MUSLIMAH. KAMI HANYA IKUT MENYAMPAIKAN.

Sesungguhnya segala kesempurnaan itu hanya milik Allah Azza Wa Jalla dan segala kekeliruan maupun kesalahan yang terpoles dalam catan ini semata-mata adalah karena kesalahan saya pribadi.

Wallahu a'lam bisshawab

Serui, 12 April 2014.
posted from Bloggeroid
Share
Tweet
Pin
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Hallo, perkenalkan
Nama saya Siska Dwyta
Seorang ibu rumah tangga
yang doyan ngeblog.

Ingin bekerja sama?
Contact me : dwy.siska@gmail.com

Read More About Me

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram

Labels

artikel Birth Story blogging fiksi jodoh keluarga kesehatan lomba blog media sosial menyusui Motherhood MPASI muslimah opini pernikahan personal Pregnancy reminder review tips

recent posts

Blog Archive

  • ►  2013 (54)
    • ►  March (1)
    • ►  April (2)
    • ►  May (5)
    • ►  June (4)
    • ►  July (7)
    • ►  August (4)
    • ►  September (6)
    • ►  October (5)
    • ►  November (8)
    • ►  December (12)
  • ►  2014 (76)
    • ►  January (9)
    • ►  March (2)
    • ►  April (8)
    • ►  May (8)
    • ►  June (14)
    • ►  July (11)
    • ►  August (5)
    • ►  September (1)
    • ►  October (3)
    • ►  November (8)
    • ►  December (7)
  • ▼  2015 (16)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  April (5)
      • Yuk Foto Diri dengan Bermuhasabah
      • Pujian; Antara Dosaku & Nikmat-Nya
      • [Sajak Kecil] Berhentilah & Mulailah
      • P A L I N G
    • ►  May (1)
      • Basa Basi ; Nikah
    • ►  June (2)
      • Dear Ika . . .
      • Kal Ho Na Ho
    • ►  July (1)
      • Ma, Pa :')
    • ►  October (1)
      • Perempuan Sempurna
    • ▼  December (3)
      • Takdir Tuhan Akan Datang di Waktu yang Tepat
      • Menikah (Cinta Pilihan Pertama)
      • Menikah (Cinta Pilihan Kedua)
  • ►  2016 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2017 (41)
    • ►  September (4)
    • ►  October (26)
    • ►  November (7)
    • ►  December (4)
  • ►  2018 (48)
    • ►  January (1)
    • ►  February (2)
    • ►  March (1)
    • ►  May (2)
    • ►  July (2)
    • ►  September (3)
    • ►  October (2)
    • ►  November (13)
    • ►  December (22)
  • ►  2019 (151)
    • ►  January (11)
    • ►  February (11)
    • ►  March (13)
    • ►  April (6)
    • ►  May (35)
    • ►  June (6)
    • ►  July (3)
    • ►  August (3)
    • ►  September (24)
    • ►  October (17)
    • ►  November (19)
    • ►  December (3)

Popular Posts

  • Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Fossil Gen 5 Smartwatch
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Semakin Produktif dan Tampil Stylish dengan Gen 5 Fossil Smartwatch . Pekerjaan sebagai ibu rumah tan...
  • Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Tiga Pertanyaan dari Kisah #LayanganPutus . Setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing. Ujiannya...
  • Cerita MPASI Bunay 6 Bulan : Belajar Makan
    Tak terasa sudah genap sebulan Bunay makan makanan selain ASI. So, di postingan kali ini saya pengen cuap-cuap dulu mengenai MPASI Bunay ...
  • Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar
    Bismillaahirrahmaanirrahiim Parent Session #MenjagaKasihIbu bersama Nakita dan Asifit di Hotel Santika Makassar   - Pekan lalu say...
  • Tentang Anging Mammiri, Komunitas Blogger Makassar yang Berembus Sejak Tahun 2006
    gambar latar : pxhere.com Bismillaahirrahmaanirrahiim "Kemana saja saya selama ini. Ngakunya Blogger Makassar kok baru gabung ...

MEMBER OF

Blogger Perempuan

Followers

Facebook Twitter Instagram
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by Siska Dwyta @copyright 2019 BeautyTemplates