Menikah Karena Allah

Kita lihat saja nanti, entah siapa yang akan kamu nikahi dan siapa yang akan menikahiku; semoga, kelak bila saat itu tiba, kita sudah benar-benar memahami dan memaknai bahwa menikah bukan hanya tentang cinta dan cinta bukan segala-galanya dalam pernikahan 

Hai, Ar. Kamu pasti tidak percaya ini. Sama. Aku juga masih sulit memercayai takdir yang sekonyong-konyong menghantamku dengan letupan cahaya semacam kembang api. Sekejap lalu menghilang. 

Bedanya, cahaya yang menghilang itu seolah membekas menjelma nyata. Sepertinya, baru sepersekian detik kecepatan cahaya 'kembang api' itu muncul kemudian lenyap lantas hidupku berubah begitu saja. 

Sesuatu yang tidak aku bayangkan namun menjadi mimpi benar-benar terjadi dalam hidupku, Ar. Maksudku, aku tidak pernah membayangkan takdir yang kelak kujalani akan seperti itu. Aku cuma bermimpi. 

Kamu tahu kan, aku gadis pemimpi. Suka sekali bermimpi macam-macam. Aneh-aneh pula. Namun, aku sungguh tidak main-main dengan mimpiku yang satu ini. Mimpi yang sempat kuutarakan padamu sampai tiga kali. 

Tiga kali, Ar, dan itu sudah cukup membuktikan; aku benar-benar serius dengan pilihanku. Tidak lagi plin-plan seperti saat aku memilih pilihan pertama kemudian dengan yakinnya mengubah pilihanku menjadi pilihan kedua dan akhirnya malah memilih pilihan yang tidak ada dalam opsi pilihan yang kamu tawarkan. 

Tentang pilihan-pilihan itu, kamu harusnya masih ingat. Aku sengaja tidak mengutarakannya dengan lisan sebab apa-apa yang diucapkan lidah mudah sekali terhapus angin waktu. Ditambah dengan kapasitas otak kita yang terbatas, kebanyakan lupa daripada ingatnya. 

Beda halnya, bila diutarakan dengan tulisan, maka apa-apa yang telah aku tuliskan akan tetap ada meski nanti aku telah tiada. Bahkan setelah dua tahun berlalu. 

Lihatlah; tulisan-tulisan itu masih utuh di kamar ini. Sesekali aku membacanya bukan untuk mengenang, sekadar mengukur jarak dan waktu yang berhasil aku taklukkan. Selama ini, aku yang selalu kalah pun mengalah. Tidak mau egois dengan diri sendiri. 

Baru sejak dua tahun, ketika pertama kali menuliskan 'mimpi' yang ada sangkutpautnya dengan pilihan yang kamu tanyakan, aku mulai berpikir logis, tidak melulu terbawa perasaan. 

Pengalaman telah mendewasakan diri. Semua 'rasa' yang telah kucicipi hingga menjelang seperempat abad sudah cukup menguatkan hingga aku berani mengambil keputusan terpenting dalam hidupku. 

Menikah. 

Yes. I am now married. 

What! Seriously? Kapan. Dimana. Dengan siapa. Kok aku nggak diundang sih kak. Andai saja kita masih seakrab dulu reaksi kamu kira-kira bakal begitu. Menodongku dengan rententan pertanyaan sekaligus. 

Tapi, karena sekarang kita sudah menjadi dua orang yang berjauhan jadi cukup kamu tahunya lewat dunia maya saja. Toh, kita berteman di salah satu situs jejaring sosial. 

Tepat sehari sebelum hari H, aku mengumumkan undangan pernikahanku di sana. Barangkali, kamu juga sudah melihatnya, sama halnya ketika aku juga cuma mengetahui kabar kelulusanmu - di bulan yang sama, dua tahun setelah kelulusanku - lewat jejaring sosial itu. 

Bila pun tahu setidaknya kamu bakal meninggalkan jejak di kolom komentar, mengucapkan salam dan menuturkan doa seperti yang juga kulakukan di hari kelulusanmu. Bukannya diam berlagak tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau memang tidak ingin tahu. 

Aku bukannya mengharapkan ucapan dari orang-orang yang aku kenal, termasuk kamu, tapi setidaknya karena kita pernah saling kenal bahkan akrab, apa salahnya turut mengekspresikan kebahagiaan di hari bahagianya teman/saudara kita meski sebatas lewat kata-kata. 

Atau jangan-jangan, pas tahu kabar pernikahanku kamu malah tidak bahagia, tidak rela aku menikah duluan sementara kamu belum. Hehe. Just kidding. Aku yakin, kamu juga pasti sudah paham mengenai konsep 'waktu yang tepat'. 

Sebuah konsep dengan alur yang baru aku pahami ketika berkutat dengan tugas akhirku sebagai mahasiswi. Mulai dari memasukkan judul, bimbingan, menyusun skripsi, melakukan penelitian, ujian kompren sampai munaqasyah, hingga yudisium dan wisuda. 

Aku mengerjakan semuanya mandiri namun tidak sendirian. Bersama kakak-kakak tingkatmu yang lain; mahasiswa tingkat akhir seangkatanku, kami sama-sama melangkah di awal. Tapi, seperti yang juga telah kamu alami, langkah-langkah yang sama di awal akan menapak di jalan yang berbeda, medan yang dilalui juga akan berbeda meski akhir yang dituju adalah sama. 

Ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang terhalang, ada yang tertinggal. Ada yang duluan diterima judulnya namun lambat di bimbingan. Ada yang judulnya ditolak berkali-kali namun mulus bimbingannya. Ada yang bimbingannya sudah ACC terhalang di penelitian. Ada yang penelitiannya lancar, dipersulit di ujian. Ada yang belakangan diterima judulnya malah duluan yudisium. Sebaliknya, ada yang duluan diterima judulnya malah lama yudisium. 

Proses menuju wisuda itu tampak seperti perlombaan lari. Aku benar merasakannya, Ar. Namun ketika berhasil mengenakan toga, baru aku sadari; ternyata proses yang telah kulewati itu bukan perlombaan. 

Begitupun dengan hidup yang kujalani sebelum dan sesudahnya. Hidup bukan perlombaan; lebih-lebih perlombaan lari. Siapa yang cepat dia yang dapat. Siapa yang duluan dia yang menang. Siapa yang lambat dia yang kalah. Nyatanya hidup tidak sesederhana itu, Ar. Tidak seperti aturan yang dibuat manusia. 

Ketimbang mengibaratkan hidup adalah perlombaan, akan lebih cocok menyandangkan hidup dengan perjalanan. Perjalanan yang dimulai dari alam rahim menuju alam dunia kemudian memasuki alam kubur dan berakhir di alam akhirat; surga atau neraka. 

Dalam perjalanan itu, tidak ada yang berlari saling mendahului atau saling meninggalkan sebab hakikatnya langkah-langkah kita telah diukur pun telah ditentukan start dan finish-nya oleh Dia yang menjadikan hidup manusia sebagai perjalanan mencari bekal kebaikan sebanyak-banyaknya. 

Allaah "Demi Masa"-Nya hanya mengisyaratkan agar kita (manusia) saling menasihati dalam menaati kebenaran dan kesabaran. Bukan saling kejar mengejar dalam hal-hal yang bahkan tidak mampu dicapai oleh nalar pikiran kita. 

Selain rejeki dan kematian; menikah termasuk salah satunya. Sama halnya ketika kita kekurangan materi lalu rejeki tiba-tiba datang dari arah yang tak disangka-sangka, atau kematian yang tak pernah mengenal usia, bisa dimana saja dan dalam keadaan apapun. 

Begitupula dengan persoalan menikah. Ketiganya adalah mutlak rahasia ALLAH yang akan tersingkap tabirnya bila memang telah tiba masanya - di waktu yang tepat - sesuai dengan ketetapan Allah yang telah dituangkan pena-Nya di Lauhul Mahfuzh jauh sebelum manusia diciptakan. 

In syaa Allah; baik kematian, rejeki, maupun jodoh -semua akan menghampiri kita di waktu yang tepat. Maka cukuplah kita percaya dengan janji Allah itu, bahkan Allah sampai bersumpah "demi masa, demi waktu"; kita (manusia) sungguh akan merugi, kecuali di sepanjang waktu perjalanan hidup, kita beriman pada-Nya dan mengerjakan amal shalih sebagai bekal yang akan kita bawa ke alam akhirat. 

Bukan sebatas itu, isyarat saling menasihati untuk tetap taat dalam kebenaran dan kesabaran adalah isyarat yang jelas-jelas memberi kita petunjuk terbaik, agar tetap berjalan di rel kebenaran-Nya dan tetap bersabar dengan ketetapan-Nya. Tidak perlu mendahului takdir yang sudah Dia tetapkan. 

Mati. Setiap yang bernyawa akan mati. Tidak perlu melakukan hal-hal yang membunuh diri sendiri hanya karena masalah duniawi. Bunuh diri sama halnya mendahului takdir Tuhan. 

Lantas apa bedanya dengan pencuri, koruptor - yang mengambil hak orang lain. Bukankah mereka juga telah mendahului takdir Tuhan dengan mengambil rejeki yang bukan rejekinya. Padahal Allah telah menetapkan rejekinya sendiri. 

Apa bedanya pula dengan mereka yang memacari jodoh orang lain. Bukankah itu juga termasuk tindakan yang mendahului takdir Tuhan. Sebab jodohnya telah Allaah tetapkan. Belum tentu seseorang yang menjalin kasih dengan lawan jenisnya sebelum akad bertahun-tahun lamanya akan bersanding di pelaminan yang sama.
Bahkan sekalipun seseorang berjodoh dengan kekasihnya sebelum halal tetap saja hubungan yang mereka jalin sebelum tiba waktunya termasuk tindakan mendahului takdir Tuhan. 

Karena ketidaksabaran, orang-orang yang bunuh diri. orang-orang yang mencuri, koruptor, termasuk orang-orang yang berpacaran adalah orang-orang yang berjalan di luar real kebenaran-Nya.

Mereka mungkin beriman tapi keimanannya begitu kerdil. Ragu terhadap janji Allah, merugikan diri mereka sendiri. Padahal, kalau saja mereka bisa lebih menahan diri. Sungguh Allah selalu menepati janji-Nya. Ketetapan-Nya tidak pernah terlambat. Kita (manusia) saja yang enggan bersabar. Ah, andai kita bisa bersabar sedikit lagi. 

Astaghfirullaah, barangkali aku termasuk orang-orang yang merugi itu, Ar. Menghabiskan banyak waktu, menguras emosi demi hal-hal yang sama sekali tidak mendatangkan kebaikan pada diriku. Betapa banyak waktuku terbuang sia-sia karena memikirkan apa-apa yang tidak pernah menjadi takdirku. Betapa lancangnya diriku mendahului takdir Tuhan. Astaghfirullaah. Mudah-mudahan Allah mengampuni semua kekhilafanku di masa lalu. 

Maaf, Ar, bukannya menjawab reaksimu seumpama kamu baru tahu kabar pernikahanku atau biarlah kita asumsikan saja kamu memang belum tahu mengingat aku tidak mengabarimu secara langsung terlebih kamu memang jarang online di situs jejaring sosial dimana kita berteman, lagi-lagi aku malah larut terbawa suasana. Ingat masa suram. Ingat dosa. Ingat mati. Astaghfirullaah. 

Kita kembali ke topik menikah saja, khawatirnya kalau semakin larut aku kian hanyut. Terlepas dari tahu atau tidak tahunya kamu, aku merasa tetap harus memberitahumu lewat tulisan ini, karena bermula dari pertanyaanmu menyoal Menikah (Cinta Pilihan Pertama) dan Menikah (Cinta Pilihan Kedua), aku banyak berpikir dan mencerna dua pertanyaan itu hingga akhirnya aku berani mengambil keputusan sendiri. Memilih Menikah (Cinta Pilihan Terakhir)

Qadarullaah, nyaris sebulan sesudah memosting tulisan yang menyatakan kebulatan tekadku memilih menikah (Cinta Pilihan Terakhir) - padahal saat itu aku belum punya calon yang bisa dijadikan jodoh dan sama sekali belum ada tanda-tanda aku bakal segera menikah- Allah menghadirkan seseorang yang melalui perantara sepasang suami istri -teman kuliahnya dan teman kuliahku- menyatakan niat baiknya untuk berta'aruf denganku. 

Kamu tahu betapa ragunya aku saat itu, Ar. Keraguan yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Entah, aku ragu pada seseorang itu atau ragu pada diriku sendiri. Aku lalu teringat dengan tiga postinganku menyoal menikah. 

Cinta Pilihan Pertama . Cinta Pilihan Kedua, dan Cinta Pilihan Ketiga, dan aku merasa kembali ragu dengan semua yang telah aku tuliskan, terutama dengan keputusanku memilih menikah dengan menjadikan cinta sebagai pilihan terakhir. Apa aku benar-benar bisa menjalani pernikahan dengan seseorang yang, ah, entahlah? 

Aku akan menikah dengan seseorang yang hanya kukenali lewat lembaran kertas. Dengan seseorang yang bahkan aku tak tahu persis bagaimana sosoknya, seperti apa rupanya. Kami memang pernah bertemu namun hanya sekali dan kejadian itu sudah berlalu tiga tahun silam. 

Aku benar-benar tidak ingat. Sampai sepekan sebelum menikah pun aku belum bisa menggambarkan secara detail sosok lelaki yang namanya telah bersanding dengan namaku di secarik undangan berwarna coklat. Lalu, Cinta? 

Aih, jangan tanyakan tentang cinta. Barangkali, kamu akan mengatakan "nekat sekali menerima lamaran lelaki yang sosoknya baru kamu lihat jelas di foto". Eh, sebenarnya bila dikatakan jelas juga tidak, mengingat jaman sekarang gambar dalam bidikan kamera gampang sekali dimanipulasi. 

Atau kamu mengira aku sudah kebelet menikah, karena postingan-postingan di hampir semua akun media sosialku melulu tentang menikah, jodoh dan embel-embelnya, tapi perkiraanmu itu sudah pasti keliru. 

Aku sampai tiga kali mengubah pilihan menikahku lho, Kamu baca ulang deh. Baca pelan-pelan dan hayati dalam-dalam, biar kamu tahu apa yang aku rasakan dan apa yang sudah aku alami. 

Kalau hanya kebelet alasanku menikah. Mungkin dari tahun tahun kemarin aku sudah nikah. Di tiga postingan tersebut juga aku nggak membahas masalah waktu. Sumpah, aku sama sekali nggak galau dan bertanya-tanya kenapa sampai di umur melewati target yang pernah aku tuliskan, aku belum nikah-nikah juga, kalaupun sempat galau itu karena banyaknya pertanyaan "kapan" yang menimpukku sementara aku nggak punya jawabannya. Justru yang bikin aku dilema dan ini yang menurut aku lebih utama dibanding pertanyaan kapan. 

Aku nggak galau masalah waktu karena aku yakin jodohku akan datang di waktu yang tepat. Pertanyaan tentang siapa sosok yang akan menghalalkanku itulah yang lebih menggalaukan. 

Kamu lihat sendiri kan. bagaimana galaunya aku sampai-sampai aku mungkin terlihat plin plan di matamu. But up to you, terserah apapun penilaianmu terhadapku. Menganggap konyol. Tak berpendirian. Tak berprinsip. Mudah goyah. Rapuh. Whatever. Aku tidak peduli asalkan bisa menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang tepat meski dengan begitu aku harus plin plan dulu. 

Coba saja bayangkan, Ar. Bagaimana bila aku tetap ngotot memilih ingin menikah dengan orang yang aku cintai meski orang itu tak mencintaiku. Atau bagaimana jika aku terpaksa merelakan diriku menerima lamaran dari lelaki yang sama sekali tak aku cintai meski ia mencintaiku. Bagaimana bila aku fix memutuskan akan menggenapkan separuh dienku hanya karena alasan cinta. 

Astaghfirullaah, hina sekali niatanku bila menjadikan cinta semata sebagai alasan menikah. Sedang menikah adalah perkara ibadah. Dan semua ibadah pasti tertolak bila niatnya selain karena Allah. 

Termasuk bila menikah hanya karena cinta. Di postingan sebelumnya, aku sudah berusaha menjelaskan tentang menikah dan cinta, meski tidak mendetail tapi aku merasa tidak perlu membahasnya lagi. Barangkali kata-kata yang sengaja aku kutip dari penggalan ceramah ustad Khalid Basalamah lebih dari cukup untuk membuat kita sama-sama paham. 

"Tidak ada dalam islam ibadah yang umur dan panen pahalanya sebesar rumah tangga. Intinya kita sedang berada di sebuah bahterah, namanya rumah tangga. Dalam rumah tangga, perdetiknya kita sedang menjalankan ibadah sebenarnya. Karena tumah tangga adalah ibadah, perintah dalam agama. Rumah tanggamu ibadahmu. Maka ikhlaslan niatmu menikah (berumah tangga) karena Allah. Menikah itu jangan karena disuruh orang tua. Jangan menikah karena terdesak. Jangan menikah hanya karena SUKA. Jangan menikah karena semua teman-teman sudah menikah, tinggal kita sendiri. Saya menikah karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana saya shalat karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana saya puasa karena perintah Allaah dan Rasul-Nya" 

Atau bila kita masih saja beranggapan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta tidak akan bahagia maka biarlah untaian indah dari ust. Salim A. Fillaah ini yang bergema di relung hati-hati kita 


“Kita menikah bukan untuk berbahagia.

Lalu, buat apa menikah?

Kita menikah bukan untuk berbahagia. Kita menikah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Pernikahan itu menjadi bagian dari misi ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka, di dalam pernikahan itu, supaya kita mampu melaksanakan visi ibadah kepada Allah Ta’ala itu, yang kita cari adalah keberkahannya.

Karena, berkah itu ziyaadatul khairi fii kulli hal, bertambahnya kebaikan di segala keadaan; semakin mesra kepada Allah Ta’ala di semua peristiwa; semakin dekat kepada Allah Ta’ala di berbagai ujian hidup-lapang ataupun sempitnya, susah ataupun senangnya, kehilangan ataupun mendapatkannya. Semua keadaan itu dalam rangka ibadah. Maka kita mengharapkan ada barakah.

Di mana letak kebahagiaan? Bahagia hanya makmum bagi keduanya. Kebahagiaan hanyalah makmum di dalam kehidupan pernikahan kita. Hanyalah makmum bagi ibadah dan berkah yang kemudian kita tegakkan" 

Right. Berkah. Itu kuncinya, Ar. Setidaknya setiap orang yang paham agama pasti mengharapkan keberkahan dalam pernikahannya. Karena itu doa untuk pengantin baru yang dianjurkan dalam islam bukan sekadar mendoakan semoga langgeng dunia akhirat atau semoga cepat dapat momongan atau sakinah mawaddah warahmah namun lebih dari itu, ada satu doa yang telah merangkum semuanya. 

Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jamaa bainakumaa fii khayr. Semoga Allah karuniakan barakah kepadamu dan semoga Dia limpahkan barakah atasmu, dan semoga Dia himpun kalian berdua dalam kebaikan. 

Doa yang sungguh indah. Aku sungguh berharap dari sekian banyak orang yang mengetahui kabar pernikahanku, ada yang diam-diam turut mendoakan aku dan suami dengan doa tersebut lalu doa itu melesat naik ke langit, diaamiiinkan oleh para malaikat dan diijabah oleh Allah azza wa jalla. 

Akan tetapi, sejatinya berkah dalam pernikahan bukan baru mau dicari dan dimohonkan ketika melangsungkan walimah atau setelah walimah itu berlangsung. Keberkahan itu sudah seharusnya dicari sejak awal berproses, tentu dengan cara-cara yang mengundang keridhaan Allah. 

Jika proses yang dijalani adalah dengan menjalin hubungan kekasih sebelum halal apakah Allah ridha? Atau bila kita memulai proses menuju akad dengan melanggar aturan-Nya apakah mungkin berkah itu dapat kita raih? 

Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benakku sebelum akhirnya aku sampai pada pemahaman bahwa pondasi dalam pernikahan bukanlah cinta melainkan ketaatan. Taat kepada Allah. Taat kepada Rasul-Nya. 

Dan kelak setelah menikah aku pun dituntut untuk taat kepada suamiku. Ketaatan itulah yang akan membuahkan berkah, dan keberkahan yang berperan mendatangkan kebaikan-kebaikan di sepanjang biduk rumah tangga yang akan diarungi bersama. 

Seperti layaknya ombak di lautan tidak selamanya tenang, begitupula dengan bahterah rumah tangga. Ada saatnya ombak itu mengganas. Ada kalanya ombak itu mengundang badai yang dahsyat. Namun selama ketaatan menjadi pondasi dalam sebuah rumah tangga, bahterah itu akan berhasil melewati badai walau seganas dan sedahsyat apapun. Badai itu bahkan akan menjelma sebagai keajaiban yang amat menakjubkan. 

Sebab begitulah perkara orang-orang yang beriman; yakni mereka yang sudah pasti taat pada-Nya. Seperti yang disabdakan Sang Nabi. 

"Sungguh menakjubkan orang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada orang yang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah ia bersabar, dan sabar itu baik baginya"(H.R Abu Dawud dan Tirmidzi). 

Maa syaa Allah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila aku menikah dan menjadikan cinta sebagai pondasinya. Rumah tangga yang dibangun hanya atas dasar cinta pasti mudah sekali goyah. Jangankan bertahun-tahun. Berbilang bulan pun ada. 

Mereka yang konon menikah karena saling mencintai namun entah dengan alasan apa, cinta itu mendadak hilang begitu saja lantas perpisahan menjadi akhir dari bahterah rumah tangga tersebut. Naudzubillaahi min dzalik. 

You know, Ar. Ini rahasia yang tidak lagi menjadi rahasia setelah aku memutuskan untuk memberitahumu saat aku menuliskan postingan ini. Tanpa bermaksud menggurui. Kata-kataku boleh saja kamu acuhkan bila memang tidak ada baiknya sama sekali untukmu. Tapi bila ada secuil yang menyentuh hatimu, kamu boleh memercayainya. 

Ternyata jodoh kita akan datang ketika kita benar-benar telah siap dan bersedia. Aku terlambat menyadarinya. Aku kira selama ini (semenjak lulus kuliah) aku sudah siap dan bersedia untuk menikah. 

Nyatanya aku keliru. Aku salah mengenali jodohku. Memaksa seseorang untuk menjadi jodoh pun adalah kesalahan yang besar. Boleh jadi, justru karena tindakan-tindakan mendahului takdir Tuhan yang menghalangi datangnya jodoh.

Semisal; jodohku terhalang oleh cinta yang fana. Ketika sebab-sebab yang menjadi penghalang jodoh itu tersingkir barulah jodoh mulai menampakkan dirinya bahkan dengan cara yang tak pernah terlintas dalam benakmu sekalipun. 

Itu yang aku alami, Ar. Kamu boleh percaya atau tidak. Atau barangkali kamu akan mengalami hal yang berbeda denganku. Kalaupun iya, aku harap setelah membaca tulisan ini, yang akan menjadi tulisan terakhir aku mengaitkan dirimu, kamu juga akan mengambil keputusan penting untuk separuh agamamu, dengan tidak menjadikan dirimu sebagai penghalang bagi jodoh orang lain. 

Jemputlah jodohmu dengan cara yang terhormat. Dengan tidak asal mengumbar perasaan dan menebar janji-janji yang kamu sendiri tidak yakin memenuhinya. 

Wanita mana yang berani menolak lamaran lelaki baik-baik yang datang dengan cara terhormat. Hanya lelaki baiklah yang berani menjemput jodohnya dengan cara yang sama baiknya. Kalau pun penolakan yang kamu dapati, berarti wanita itu yang memang tidak baik untukmu. 

Namun, kamu tidak perlu bersusah hati karena sesungguhnya dibalik penolakan itu Allah telah persiapkan wanita yang jauh lebih baik untukmu. Yakinlah. Rencana Allah pasti yang terindah. 

Aku pernah berada dalam posisi wanita seperti itu, Ar. Wanita yang diselimuti dengan keraguan. Aku tidak punya alasan untuk menerima dan tak punya alasan menolak lelaki yang datang padaku dengan niatan baik. 

Masalahnya, bagaimana bisa aku menerima lelaki yang aku tidak ada 'rasa' padanya, aku juga tidak sepenuhnya mengenalinya, menerimanya begitu saja adalah hal yang konyol. Lalu, bagaimana pula aku menolak niatan baik lelaki nan shalih yang jauh-jauh dari pulau seberang memilih diriku, padahal bila dia mau ada banyak wanita di sekelilingnya yang barangkali jauh lebih baik ketimbang diriku. 

Aku sangat ragu, Ar. Nyaris saja aku jadi wanita terbodoh karena menolak lamaran lelaki sebaik dirinya. Bersyukur, aku dikaruniai seorang saudari yang begitu peduli dan menguatkanku dengan kata-katanya yang menyejukkan hati. "Siapapun yang datang patut kita tanyakan pada Allah, dek". Nasihat saudariku di suatu ketika itu terus terngiang-ngiang. menjelma menjadi bisikan tanya dalam hati. 

Bagaimana mungkin aku memutuskan untuk menerima atau menolak seseorang tanpa bertanya terlebih dahulu pada Tuhanku?

Lantas, berhari-hari hatiku berbisik pada-Nya. Bermalam-malam aku memohon petunjuk terbaik dari-Nya. Aku merasa tak kuasa untuk memilih jadi dalam munajatku aku pasrahkan keputusanku pada-Nya. 

Semua pertimbangan duniawi mulai dari masalah feel, fisik, financial aku singkirkan. Cukuplah Allah yang menjadi alasan utamaku. Biar Allah yang memilih. Allah yang menetapkan. Jika memang lelaki itu ditakdirkan untukku. 

Finally, ternyata dia-lah takdirku. Allah-lah yang memilih dan menetapkannya menjadi pasangan hidupku di dunia dan insyaa Allah hingga di surga-Nya kelak. Aamiin. Pasti kamu heran dan penasaran kan. Kok aku bisa tahu dia adalah jodoh pilihan Allah untukku, atau bagaimana cara Allah memberikan petunjuk-Nya. 

Aih, jangankan kamu. Aku juga heran dan bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Tapi, begitulah. Ada saja cara ajaib Tuhan menyatukan dua insan yang berjodoh walau sejauh apapun dan memisahkan yang tak berjodoh walau sedekat apapun. 

Sebenarnya beberapa bulan sebelum berproses sama dia yang kini telah sah berstatus sebagai suamiku, aku banyak banget ngalamin "something" berturut-turut. 'Something" yang nggak bakal aku jelaskan di sini terlepas ada sangkutpautnya atau tidak, entahlah, sampai ketika dia yang datang baru aku tersentak, menyadari satu hal. 

Seolah "something" yang aku alami merupakan tanda-tanda jodohku bakal segera datang. Semacam Allah sudah men-skenariokan jalan ceritanya bakal seperti itu. Ternyata benar, pas dia yang datang, aku punya firasat. 

Lantas, keraguanku yang teramat sangat pada sosok yang baru kukenal sebatas nama itu perlahan memudar lamat-lamat berubah menjadi keyakinan. Entah seperti apa cara kerjanya hingga hatiku bisa berubah sedemikian cepat. Tidak sampai hitungan bulan. 

Proses ta'aruf kami cuma dua pekan, Ar. Tanpa nazhar (saling melihat calon masing-masing) hanya bertukar foto. Padahal tahap nazhar dalam proses ta'aruf itu penting. Karena jangan sampai ibaratnya semacam membeli kucing dalam karung. Namun, jauhnya jarak dan pekerjaan menjadi urusan yang sangat pelik. Qadarullaah, urusan yang sangat pelik itu perlahan teratasi, kedepannya malah dilancarkan sama Allah. 

Aku saja tidak menyangka, proses kami menuju pelaminan bakal secepat itu padahal semuanya dikomunikasikan hanya dengan mengandalkan jaringan. Mulai dari ta'aruf, khitbah sampai persiapan walimah. Aku bahkan baru bertemu langsung dengan calon suamiku di hadapan keluarga sehari sebelum hari H. Gila kan. Ar. 

Tapi kamu nggak usah pasang tampang shock gitu. Di luar sana banyak kok 'kasus pernikahan' yang malah lebih gila daripada 'kasus' kami yang belum seberapa. Pernikahan-pernikahan luar biasa dari pasangan-pasangan yang bahkan tak mengenal istilah pacaran dan tak terlalu memusingkan masalah perasaan namun cukup dengan modal komitmen pada Allah, mereka berani membuat perjanjian yang kuat "mitzaqon gholizah" pada wanita yang barangkali baru ditemuinya selepas akad, tanpa khawatir sekalipun kalau-kalau mereka salah memilih pasangan hidup. Begitupun dengan sang wanita yang dengan tawakkalnya pada Allah, rela menyerahkan hidupnya pada lelaki asing yang baru dikenalinya sebatas yang tampak oleh mata. 

Ah, setiap orang punya kisah pernikahannya masing-masing. Kisah yang bila ditelusuri sering membuat kita tak habis pikir dan tak henti tertakjub-takjub menyaksikan takdir Allah penuh keajaiban. Percayalah, Ar. Kamu juga akan merasai keajaiban itu bila berjalan di alur yang telah Allah tetapkan. Jangan cemaskan masalah jodohmu sebab tanpa kamu cemaskan pun "jodoh(mu) telah tertulis di lauhul mahfuz. Mau diambil dengan jalan halal ataukah haram dapatnya yang itu juga. Yang beda rasa berkahnya", Nasihat teduh ust. Salim A. Fillah itu juga yang aku yakini dalam memaknai perkara jodoh. 

Nah, sepertinya sudah cukup panjang aku berceloteh. Setidaknya aku lega dengan memberimu jawaban pasti yang bukan sekadar opini. So, pertemuan kita di atas layar sampai di catatan ini saja ya, Ar. Setelahnya, aku tidak lagi melibatkanmu dalam gejolak kebimbanganku antara memilih menikah dengan orang yang aku cintai namun dia tidak mencintaiku, atau menikah dengan orang yang mencintaiku tapi aku tidak cinta; karena sejak tertanggal 15 April 2017 kemarin aku telah menikah dengan lelaki yang menyatakan cintanya padaku bukan lewat surat, chattingan atau omongan manis di bibir belaka namun di hadapan penghulu dan kedua orang tuaku, disaksikan oleh Allah dan para malaikat-Nya dengan lafal suci "Saya terima nikahnya Siska Dian Wahyunita binti Ali Jami dengan mas kawin tersebut dibayar tunai karena Allah" dan sejak detik itulah bibit cinta tumbuh bermekaran di hatiku. Aku menerima cinta lelaki itu dan (akan) mencintainya selamanya karena Allah :) 

Mudah-mudahan, kelak bila tiba giliranmu, Allah juga yang menjadi satu-satunya alasanmu menikah, Ar. In syaa Allah, takdir Allah yang terbaik akan segera menyapa. Tidak lama lagi. Dan terkesimalah. 

Salam,

1 komentar untuk "Menikah Karena Allah"

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.