Pertimbangan untuk Tinggal di dan Pindah Dari Rumah Mertua

Pertimbangan untuk tinggal atau pindah dari rumah mertua. Idealnya tinggal berdua setelah melangsungkan pernikahan adalah dambaan setiap pengantin baru. Begitupula ekspektasi saya yang bahkan sebelum dijemput dengan sang jodoh saya sudah lebih dulu menargetkan ingin tinggal seatap dengan pasangan hidup saya kelak tanpa numpang di rumah orang tua mau pun mertua. Tak apa kalau harus kontrak rumah dulu atau tinggal di kos-kosan sederhana, diajak tinggal di gubuk tua pun saya mau asal tinggalnya berdua saja. Ups. Tapi realitas pasca akad nikah, duh jauh dari ekspektasi. Tidak sesuai dengan bayangan saya.

Sebelum menikah, suami memang telah memiliki rumah yang rencananya bakal dia tinggali bersama jodohnya yang ternyata adalah saya, hehe. Namun setelah bersanding dengan saya di pelaminan, rumahnya itu tetap saja tak bisa ditinggali karena jauhnya yang kebangetan. Kerjanya dimana. Rumahnya dimana. Ujung ke ujung bo'. Ah, saya yang nggak tegaan membiarkan suami menempuh perjalanan jauh pulang balik dari rumah-kantor tiap harinya, belum ditambah dengan kekhawatiran saya yang sekonyong-konyong muncul dan berkali lipat semenjak menjadi seorang istri.

Saya prefer tinggal di kos-kosan atau cari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja suami ketimbang tinggal di rumah sendiri yang jaraknya berkilo-kilo dari tempat kerja. Alhasil, kami sempat mencari kos-kosan yang jaraknya terjangkau ke tempat kerja suami. Tapi belum ketemu kos yang tepat eh suami malah dipindahtugaskan ke daerah lain yang membuat semua rencana ideal kami pasca nikah kacau balau. Hiks.

Daerah tempat kerja suami yang baru lumayan dekat dengan dengan rumah mertua meski tidak bisa dibilang benar-benar dekat. Pasalnya suami masih harus menempuh perjalanan sekitar sejaman naik kendaraan roda dua dari kantor ke rumah orang tuanya. Perjalanan yang menurut saya cukup jauh dan masih mengundang kekhawatiran. Entah kenapa semenjak menikah saya jadi gampang khawatir. Suami pulang kerjanya telat dikit saja saya sudah panik duluan. Pikiran-pikiran aneh juga cepat merasuki otak saya. Khawatir ada apa-apa atau gimana-gimana gitu di jalan. Saya baru bisa menghela napas lega ketika suami tiba di rumah. Hmm mungkin perasaan setiap istri terutama yang baru nikah begitu kali yaa? Hehe Over dan sensitifnya makin menjadi-jadi, tidak seperti saat masih lajang.

Nah, berhubung jarak kantor suami ke rumah mertua lumayan dekat, suami akhirnya mengambil keputusan agar kami tinggal sementara di rumah orang tuanya alias rumah mertua saya dengan macam-macam pertimbangan yang akhirnya cuma bisa saya tanggapi dengan anggukan. Iya. Well, sebagai makmum saya punya kewajiban mematuhi semua perintah suami selama tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Tinggal bersama mertua nggak pernah ada dalam list rencana hidup saya setelah menikah. Kalau nginap cuma sekali tiga kali atau sekali-kali nggak masalah tapi kalau tiap hari? Oke. Saya nggak berani menentang suami atau memaksa untuk pindah dari rumah mertua yang bisa saya lakukan hanya manut dan banyak-banyak bersabar.

Lagian apa salahnya tinggal dengan mertua? Saya menodong diri saya sendiri dengan pertanyaan tersebut. Nggak ada salahnya kok. Itu jawaban yang saya dapatkan setelah berusaha mencari banyak alasan lain yang bikin hati saya mantap dan bersedia tinggal dengan keluarga suami. Namun satu-satunya alasan yang bikin saya akhirnya bertahan adalah suami sendiri. Iya, saya harus memahami satu hal ini. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan melainkan dua keluarga. Ketika kita memutuskan menikah dengan dia yang menjadi imam dalam rumah tangga kita maka kita pun harus menerima seluruh keluarganya begitu pun sebaliknya. Jangan maunya menerima si suami saja dan ogah menerima keluarganya atau sebaliknya. Atau jangan sampai ada dari pihak keluarga yang tidak bisa menerima kehadiran kita.

Oleh karena itu di awal berproses dengan suami yang ketika itu belum menjadi calon, satu hal yang paling saya tekankan adalah ridho keluarga terutama ridho orang tuanya. Kalau orang tuanya nggak ridho anak lelakinya menikah dengan saya ya mending saya mundur saja. Atau kalau orang tua saya yang nggak ridho saya menikah dengannya ya mending nggak usah diteruskan. Jangan hanya karena cinta kita sampai memaksakan pernikahan yang ujung-ujungnya nggak diridhoi oleh Allah karena orang tua nggak ridho. Etapi kan saya dan suami nggak mengawali pernikahan kami dengan cinta. Ups!

Yowes. Intinya ridho orang tua dalam pernikahan anaknya itu sangat penting. Kalau sejak awal orang tua atau calon mertua sudah nggak ridho dan kitanya tetap ngotot menikah dengan calon pilihan kita ya berarti kita yang harus siap menerima konsekuensi kalau-kalau hubungan kita dengan orang tua menjadi renggang atau mendapati mertua yang menunjukkan sikap acuh dan tidak peduli dengan keberadaan kita. Biasa sih ada mertua yang nggak cocok dengan menantunya karena sejak awal sudah nggak ridho.

Kalau saya dan mertua, hmm gimana mau cocok di awal? Ketemu dan berkomunikasi saja belum pernah (sebelum menikah dengan anaknya). Anehnya saat ditunjukkan foto yang saya lampirkan berbarengan dengan bidoata ta'aruf ke suami yang waktu itu masih bakal calon, beliau langsung memberi respon yang baik alias meridhoi. Saking percayanya beliau dengan pilihan anaknya padahal baru melihat bakal calon menantunya lewat foto, belum tahu aslinya kayak gimane, hehe.

Sepekan selepas akad nikah saya baru berkesempatan bertemu dengan mertua dan saudara-saudara suami yang jumlahnya hampir dua kali lipat dari jumlah saudara saya. Mereka memang nggak sempat datang menghadiri acara pernikahan kami karena acaranya berlangsung di Papua. Suami saya memang terbilang nekat, jemput jodohnya jauh banget. Padahal ada yang dekat-dekat tapi maunya sama perempuan yang tinggal di ujung Timur. Haha. Namanya juga jodoh.

Ya, karena saya baru bertemu dengan mertua dan saudara-saudaranya selepas nikah jadi saya pikir nggak ada salahnya tinggal serumah dengan mereka. Toh saya juga merasa perlu membangun hubungan keakraban dengan keluarga suami. 

Saya sangat bersyukur dikaruniai mertua yang baik banget sama menantunya juga dikelilingi oleh adik-adik yang juga baik dengan kakak iparnya. Well, sebulan, dua bulan hingga empat bulan. Saya masih betah tinggal di rumah mertua. Memasuki bulan kelima, eh tiba-tiba saya mulai jenuh dengan kehidupan saya yang itu-itu saja. Lalu saya keinget lagi dengan mimpi-mimpi yang saya dambakan setelah menikah. Saya yang ingin fokus meniti karir sebagai IRT. Full ekstra melayani suami dan menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri sebagaimana semestinya. Tapi rasanya semua itu sungguh tak bisa saya penuhi selama masih numpang tinggal di rumah mertua. Jadi lagi-lagi yang bisa saya lakukan hanya bersabar. Saya tidak mau memaksakan keinginan semata. Kalau pun ingin pindah harus berdasarkan keputusan bersama, bukan keputusan saya pribadi.

Finally, kesabaran saya berbuah hasil. Entah ada gerangan apa, di enam bulan pernikahan kami suami mendadak pengen cari kos di sekitar tempat kerjanya. Barangkali dia juga capek tiap hari harus bolak balik dari tempat kerjanya ke rumah tempat tinggal kami sementara yang sebenarnya jaraknya bukan lumayan dekat tapi cukup jauh. Sejam perjalanan lho. Tentu saja keinginannya itu segera saya sambut dengan begitu agresif, hehe. Tidak butuh lama, akhirnya suami dapat rumah kosan yang sesuai dengan ekspektasi saya.

Nah, berikut ini adalah poin-poin (berdasarkan pengalaman say yang perlu diperhatikan bagi kalian yang akan dan atau masih bingung bin dilema memilih tinggal di rumah mertua atau rumah kosan. Yuk, disimak.

  • Tinggal di rumah orang tua atau mertua sungguh di luar rencana saya dan suami. Bila kalian mengalami kondisi yang sama, Percayalah! Ketika suami menyarankan kita tinggal di rumah orang tuanya untuk sementara selepas nikah itu bukan karena keinginannya semata. Sebab keinginannya pun sama dengan kita. Tinggal berdua dengan pasangan. Toh dia mengatakan hanya sementara. Artinya dia sedang berpikir. Sedang mengusahakan. Mencari jalan yang terbaik. Keep be patient. Jangan mendesak suami untuk segera pindah karena desakan kita hanya akan menambah beban di pikirannya. Cukup, pahami.
  • Apa yang perlu dipahami? Keadaan. Iya, keadaan yang tak selamanya berpihak pada kita. Apalagi kondisi pasca nikah. Bukan hal yang aneh bila kita mendapati pasangan pengantin baru yang hidup serba pas-pasan setelah menikah karena tabungannya sudah terkuras habis-habisan saat menyelenggarakan pesta walimahan yang hanya sehari. Bahkan ada yang terpaksa numpang tinggal di rumah orang tua / mertua karena keadaan yang belum memungkinkan mereka untuk tinggal berdua. Kondisi saya dan suami sepenuhnya sih nggak seperti itu. Tapi untuk mempersiapkan segala keperluan rumah tangga yang butuh budget tak sedikit, tinggal di rumah orang tua/ mertua bisa jadi alternatif terbaik sebelum memutuskan tinggal mandiri.
  • Lebih-lebih bagi kalian yang sama sekali belum ada persiapan untuk keperluan rumah tangga. Kondisi seperti ini sih biasa dialami oleh pasangan yang lama nggak ada kabar beritanya, sekalinya muncul eh langsung tebar undangan. Yap, mereka yang menjalani proses menuju halal dalam jangka waktu singkat. Seperti proses yang saya jalani dengan suami. Ta'aruf nggak nyampe sebulan. Sebulan kemudian khitbah. Lalu sebulan setelah khitbah langsung nikah. Dalam jangka waktu sesingkat itu mana sempat kami mempersiapkan keperluan rumah tangga, yang ada kami hanya sibuk mempersiapkan pernikahan yang tinggal sebulan. Selepas nikah baru deh kami kebingungan, mau tinggal dimana, hehe.
  • Tapi nggak perlu bingung, rumah orang tua atau mertua bisa menjadi solusi lho, hihi. Dengan catatan rumah orang tua atau mertua yang hendak ditinggali masih terjangkau dari tempat kerja suami. Nggak mungkin kan kami numpang tinggal di rumah orang tua saya atau mertua suami wong tinggalnya di Papua, sementara kami di Sulsel, hehe. Jadi solusi yang paling memungkinkan adalah tinggal di rumah orang tua suami alias mertua saya.
  • Anggap saja rumah mertua seperti rumah orang tua sendiri. Toh, orang tua suami adalah orang tua kita juga. Berhubung saya baru pertama kali bertemu mertua sepekan selepas nikah, so keputusan tinggal bareng mertua bisa jadi momen yang tepat bagi saya untuk menjalin keakraban dengan mertua dan saudara-saudaranya yang lain. Kalian juga bisa melakukan hal yang sama. Membangun kedekatan dengan kelurga suami itu penting lho. Dan bagusnya memang dilakukan di masa-masa awal pernikahan. Satu-satunya hal yang bikin sebuah hubungan cepat dekat dan akrab adalah dengan banyaknya interaksi dan interaksi sudah pasti ada setiap hari bagi mereka yang tinggal seatap. Iya kan?
  • Namun tidak menutup kemungkinan interaksi yang terlalu sering juga bisa mengundang prasangka, perselisihan, pertengkaran dll. Well, kurang lebih lima bulan saya tinggal di rumah mertua dan sejauh ini semua baik-baik saja. Nggak ada cekcok, selisih apalagi sampai bertengkar. Mertua saya baik. Saudara-saudara ipar saya baik. Suami saya lebih-lebih. Sangat baik. Perasaan dan pikiran-pikiran saya saja yang tidak baik. Saya yang mulai jenuh. Saya yang nggak enakan. Saya yang suka berprasangka. Dan saya yang ingin pindah. Saya yang lebih menginginkan tinggal di rumah kosan ketimbang rumah mertua. Wajar kan? Mungkin kalian juga akan merasakan seperti yang saya rasakan setelah berbulan-bulan tinggal di rumah mertua.
  • Lima bulan menjalin keakraban dengan keluarga suami sudah lebih dari cukup. Saya banyak belajar selama tinggal di rumah mertua. Pun menemukan banyak berkah di rumah itu. You know, saya sebenarnya sangat suka tinggal di rumah mertua. Di sana ramai. Banyak adik-adik yang suka bercanda dan ketawa bareng. Saya juga nggak perlu menguras banyak tenaga mengerjakan pekerjaan rumah karena ada dua adik perempuan suami yang lincah dan cekatan, selain mama mertua. Perlengkapan rumah tangga di rumah mertua juga lengkap. Saya nggak perlu pusing cari ini itu karena semua ada. Intinya saya nyaman dan enak tinggal di sana.
  • Sementara di sini. Di hunian kami yang baru. Sepi. Suami pergi kerja dari pagi dan pulang menjelang maghrib. Saya jadi nggak punya teman ngobrol seharian. Ada tetangga sih, tapi karena saya bukan orang yang mudah beradaptasi di lingkungan baru so rada susah, hehe. Dan lagi, kami pindahan dengan membawa perlengkapan minim seadanya saja. Nyaris mulai dari nol. Haha. But whatever, seenak dan senyaman apa pun tinggal di rumah orang tua (mertua), tinggal di rumah kosan tentu lebih baik. 
  • All right, kita harus keluar dari zona nyaman. Nggak mungkin kan selamanya mau numpang tinggal di rumah orang tua mulu. Kita sudah punya rumah tangga sendiri jadi bangunlah rumah tangga kita dengan mandiri, kecuali bagi kalian yang betah dan nggak bisa jauh dari orang tua, ya silakan.
Oke. Terakhir saran saya terkhusus bagi diri pribadi. Jangan lupa. Stok syukur dan sabar harus diperbanyak, baik saat tinggal di rumah mertua atau tinggal di rumah kosan. Bisa tinggal di rumah sendiri atau rumah kosan ya alhamdulillaah. Tinggal di rumah mertua juga tetap harus alhamdulillaah dong. Bayangkan, mungkin masih banyak pasangan di luar sana yang tuna wisma atau punya rumah tapi tinggalnya di gubuk-gubuk reyot. Lha kita? Tinggal di rumah mertua ngeluh. Tinggal di rumah sendiri masih saja ada yang ngeluh. Kapan bersyukurnya. 

Kalau nggak sabaran memang susah. Nggak ada orang yang naik tangga bisa langsung tiba di lantai atas. Semua butuh proses. Kita baru bisa menapak di lantai atas setelah menjejaki anak tangga satu per satu dari bawah. Begitu pun dalam menapaki rumah tangga. Kita menjejak dari bawah ke atas. Bukan dari atas turun ke bawah.

Sabar. Semua akan indah pada waktunya :)

#ODOPOKT19

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia


Posting Komentar untuk "Pertimbangan untuk Tinggal di dan Pindah Dari Rumah Mertua "