Catatan Seputar Khitbah dalam Islam



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Khitbah lewat media komunikasi seperti via telpon, sms, chat maupun video call tentu bukan hal yang aneh lagi di era sekarang. Sudah banyak yang mempraktikkan, termasuk lelaki yang mengkhitbah saya tepat di malam tanggal 12 Maret 2017 lalu.

Mulanya saya dan keluarga juga tidak menyangka kalau malam itu bakal terjadi proses khitbah. Lelaki yang tengah menjalani proses taaruf dengan saya pun tak kalah kaget lantaran saat berbicara dengan papa lewat telpon, si kakek yang merupakan walinya langsung menyatakan maksud dan niat baik cucunya yang ingin meminang dan bila disetujui oleh keluarga saya pinangan tersebut akan berlangsung malam itu juga.

Eng ing eng, demi mengetahui saya akan segera dipinang jantung saya seolah berdentum keras bahkan seperti mau lompat keluar, wkwk.

Padahal rencana awal sebelum melangkah ke proses khitbah, Si lelaki ini ingin ada pembicaraan terlebih dahulu dari pihak keluarganya dan keluarga saya. Makanya malam itu dia nelpon dan menyerahkan telpon tersebut pada si Kakek yang dalam hal ini mewakili pihak keluarganya untuk melakukan pembicaraan dengan keluarga saya yang diwakili oleh papa. Istilahnya pembicaraan malam itu sebatas perkenalan antara keluarga saya dan keluarga dia. Sementara rencana acara khitbah sendiri akan dilaksanakan di rumah mertua kakak saya di Gowa.

Maklum, saya dan suami saat itu hanya menjalani proses taaruf jarak jauh. Jadi ta’aruf yang berlangsung diantara kami sebatas mengandalkan media komunikasi. Begitupula saat ia pertama kali mengutarakan niat dan keseriusannya ingin menikahi saya pada papa dan mama, itu pun dilakukan lewat komunikasi jarak jauh.

Tapi rasanya memang kurang afdhol ya kalau komunikasi hanya berlangsung antara dia dan keluarga saya sementara belum ada komunikasi  dari pihak keluarganya dan keluarga saya. Maka terjadilah komunikasi via telpon antar keluarga kami di malam tanggal 12 Maret 2017 itu yang berujung dengan proses khitbah.

Ya, pada akhirnya orang tua saya setuju dengan tawaran si Kakek. Lagipula kalau dipikir-pikir, ngapain juga pergi lamaran ke Gowa sementara anak perempuan yang hendak dilamar dan orang tuanya ada di Serui, ya mending khitbahnya langsung ke yang bersangkutan.

Pinangan (meminang/melamar) atau dalam istilah bahasa arab disebut Al-Khitbah yang bermakna pendahuluan (mukaddimah). Ya, khitbah merupakan gerbang menuju pernikahan atau proses yang dilalui sebelum terjadinya akad nikah. Proses ini ditandai dengan adanya permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan calon istri baik langsung disampaikan oleh si lelaki maupun pihak dari lelaki.

Dari pengertian tersebut jelas sekali ya, bila ada seorang lelaki yang meminta persetujuan untuk menikahi atau menjadikan istri langsung kepada wali wanita maka itu sudah termasuk khitbah. Makanya saya anggap proses taaruf yang saya jalani dengan suami tidak sampai sebulan. Oh ya, kami mengawali taaruf awal Januari 2017 dan mantap melangkah ke tahap selanjutnya di akhir bulan yang sama. Ya, boleh dibilang proses taaruf kami terbilang cepat.

Well, seperti yang sudah saya singgung di atas, setelah sama-sama yakin dengan keputusan untuk maju ke tahap selanjutnya yakni khitbah, baru kemudian akhir Januari itu juga suami menghubungi orang tua saya, memperkenalkan diri lalu menyatakan niat dan keseriusannya ingin membina rumah tangga dengan saya *eaa

Hanya dengan menyampaikan niat dan keseriusan ingin menikahi saja itu sudah termaksud khitbah lho. Jadi kalau sesuai dengan konsep Khitbah yang sebenarnya, setelah si lelaki menyampaikan niat baik kepada wali wanita maka yang berhak mengambil keputusan diterima atau ditolaknya pinangan tersebut adalah si wanita bukan walinya.

Yap, wali atau orang tua harus meminta pendapat dari anak perempuaannya. Jelas dong, karena yang akan menjalani rumah tangga adalah si anak  bukan orang tuanya. Namun yang terjadi, meski ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya masih banyak orang tua yang mengambil keputusan sendiri tanpa meminta persetujuan dari anak perempuannya. Dalam hal ini, ridho orang tua juga sangat penting akan tetapi pendapat atau persetujuan dari anak yang dilamar pun tidak boleh diabaikan.


Lewat hadis tersebut Rasulullaah melarang menikahkan wanita baik yang masih gadis maupun janda tanpa didimintai persetujuannya. Bedanya wali harus mendapat persetujuan dari janda secara terang-terangan ketika hendak dinikahkan sedangkan pada gadis, persetujuannya cukup dengan diamnya. Karena Rasulullaah paham benar nih, yang namanya gadis biasa masih malu-malu menyatakan persetujuan secara terang-terangan.Perlu diperhatikan juga bahwa diamnya karena ridha ya, bukan karena menolak. Biasanya sih wali atau orang tua tidak akan sulit mengartikan makna diam anak perempuannya yang tengah dilamar.

Nah, itu kalau sesuai dengan konsep khitbah yang disunnahkan Rasul ya. Kenyataannya, proses khitbah di masyarakat terutama yang memegang teguh adat istiadat tidak sesederhana itu, guys. Sebut saja adat bugis yang mewajibkan adanya uang panaik. Bahkan uang panaik ini menjadi salah satu syarat diterimanya khitbah seorang lelaki yang ingin melamar wanita bugis. Tidak tanggung-tanggung syarat uang panaik ini ditetapkan tinggi oleh pihak wanita. Bisa sampai ratusan juta bo. Belum terhitung dengan biaya yang harus dikeluarkan calon pengantin laki-laki untuk mas kawin dan keperluan lainnya seperti erang-erangan (berbagai macam barang hantaran dari keluarga laki-laki untuk perempuan).

Tak heran kalau banyak pinangan lelaki bugis yang ditolak karena tidak mampu menyanggupi permintaan wali perempuan yang mematok uang panaik selangit. Oiya, mungkin ada diantara kamu yang belum tahu tentang uang panaik. Atau mungkin kamu mengira uang panaik sama dengan mahar atau mas kawin. Kalau mengira demikian berarti kamu keliru, karena uang panaik dan mahar adalah dua hal yang berbeda

Sebagaimana kita ketahui, mahar merupakan salah satu syarat sahnya suatu pernikahan sedangkan yang dimaksud uang panaik dalam istilah bugis adalah uang belanja atau uang yang digunakan pihak perempuan untuk berbelanja semua yang terkait dengan kebutuhan pesta pernikahan. Jelas uang panaik merupakan adat istiadat atau kebiasaan dari masyarakat bugis yang sudah turun temurun. But for me, seharusnya bukan sesuatu yang patut dijadikan syarat utama dalam menerima pinangan seseorang. Kenapa?

Oke, saya tidak akan membahas panjang lebar tentang uang panaik di postingan ini. Fyi saja nih saya orang bugis dan ketika suami menyatakan niatnya ingin menikahi saya,  orang tua terutama mama mensyaratkan uang panaik yang lumayaaaan tinggi. Selain itu, beliau juga ingin anak keduanya ini diberi mahar seperangkat emas sekian gram.

Duh, mengetahui syarat yang menurut saya cukup berat itu juga bikin saya rada keberatan. Tapi yah mau bagaimana lagi, sebagai anak saya cuma bisa manut dengan keinginan keduanya. Di sisi lain saya juga mahfum dengan uang panaik yang ditetapkan orang tua. Mereka menetapkan nominal segitu juga bukan tanpa pertimbangan. You knowlah, harga sembako dan segala macamnya di Papua itu berkali-kali lipat lebih muahal daripada harga sembako di daerah wilayah bagian barat dan tengah. Sementara pesta pernikahan itu butuh biaya yang tidak sedikit.

Kalau saya dan suami pribadi sih pengennya walimah yang sederhana saja. Cukup dengan mengundang sanak saudara, kerabat atau teman-teman dekat dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Nah, masalahnya, pernikahan ini bukan cuma urusan kedua calon mempelai saja melainkan juga menyangkut urusan dua keluarga. Jadi kami tidak bisa mengambil keputusan sepihak, keputusan dari keluarga juga patut jadi bahan pertimbangan. Apalagi jika keputusan tersebut berkaitan dengan keinginan orang tua.

Saya paham, mengkondisikan orang tua agar paham dan bersedia mengikuti keinginan kita bukanlah perkara sederhana. Alih-alih setuju dengan keinginan kita yang ada malah bikin masalah dan jadi tambah runyam.

See! Gara-gara syarat tersebut juga proses saya dan lelaki yang sudah sama-sama yakin dan mantap menjalin hubungan yang  serius (baca: pernikahan) sempat terhambat. Bahkan saya sempat menyangka lelaki itu bakal mundur teratur dari proses menuju halal yang kami ikhtiarkan karena terhalang uang panaik.

Qadarullaah, syarat yang diajukan orang tua berhasil ia penuhi. Namanya jodoh ya sebesar apapun tantangangannya pasti bisa ditaklukkan. Sebaliknya bila bukan jodoh akan selalu ada saja halangannya. Jadi sebenarnya keliru juga kalau kita menjadikan uang panaik sebagai penghalang sebuah pernikahan sekalipun di sisi lain, kita bisa menilai kegigihan dan perjuangan lelaki dalam menyanggupi syarat yang diajukan pihak perempuan dengan adat bugis yang satu ini.

Namun terlepas dari hal tersebut, pertimbangan utama dalam menerima atau menolak pinangan lelaki seharusnya sesuai dengan syariat bukan adat istiadat masyarakat setempat. Yap! Pertimbangan yang utama adalah agama, sebagaimana yang disabdakan Rasul.

gambar : inspiradata.com

Fyi sampai di sini saja catatan ini sudah mencapai seribu lebih kata dan pembahasan tentang Khitbah ini belum usai. Masih banyak hal tentang proses khitbah yang ingin saya ulas di postingan ini. Tapi untuk sementara saya cukupkan sampai di sini dulu ya.

*In syaa Allaah postingan ini masih akan berlanjut😊


Posting Komentar untuk "Catatan Seputar Khitbah dalam Islam"