#Menuju Halal, Ta'aruf dengan Sang Jodoh (2)


Bismillaahirrahmaanirrahiim

Masih terekam jelas, waktu itu di penghujung Desember 2016. Tinggal hitungan bulan, umur saya akan segera menyentuh angka seperempat abad. Ah, target ingin menikah sebelum memasuki umur 25 rasanya semakin mustahil lantaran proses taaruf yang kembali saya jalani untuk kesekian kali tak kunjung membuahkan hasil.

Ya, saat itu saya baru saja memutuskan mengakhiri taaruf dengan seseorang setelah sampai pada tahap tukar biodata. Bukan tidak cocok dengan profil yang ada pada biodata orang tersebut, saya hanya tak kunjung mendapat kabar kejelasan. Entah lanjut atau tidak?

Entah kenapa pula setiap kali menjalani proses taaruf saya seperti orang yang tak sabaran. Kerap resah dan gelisah. Baiklah, mungkin itu juga termasuk jawaban dari istikharah. 

Tak lama berselang, sepertinya belum genap sehari setelah memutuskan mengakhiri proses taaruf yang kesekian kali itu, saya tetiba menerima DM. Dari Ana, teman semasa kuliah saya di UIN dulu.

Kami nggak terlalu dekat sih, sejurusan tapi beda kelas soalnya. Seingat saya, kami juga nyaris tidak pernah komunikasi via chat baik di WA maupun DM. Interaksi kami paling sebatas di media sosial saja. Itupun karena saya dan Ana sama-sama cukup aktif di Instagram jadi biasanya kami cuma suka saling like postingan di feed. Saling komen-komen pun jarang. Makanya saya sempat heran waktu dapat DM dari Ana. Tumben.

Keheranan saya seketika menjelma curiga saat baca isi DMnya. Setelah bertanya kabar, Ana tanpa basi basi langsung menodong saya dengan pertanyaan

"Ukh, adami niatta mau menikah?" Tanya Ana dengan logat Makassar

Ditodong pertanyaan kayak gitu saya jadi bingung mau jawab apa, haha, untung Ana nanyanya lewat DM.

"Belumpi, eh kalau niat nikah udah ada sih" jawab saya malu-malu kucing,hehe.

Oya, sebenarnya saat Ana tiba-tiba DM dan langsung nyinggung soal nikah saya sudah curiga duluan. Kecurigaan saya ternyata benar, bahkan saya bisa tebak dengan pasti ikhwa siapa yang Ana maksud.

"Iyye ukh, ada tanya-tanyaki ikhwa ukh, kebetulan skali teman kuliahnya suamiku, kagetja juga nah, masyaa Allah sempit skali dunia

Ia kah, ikhwa siapa? Kalau teman kuliahnya suamita kayaknya sy kenal 😄

Masa ukh? Kita kenal?
Siapa bede ukh? hahaha

Yap, siapa lagi teman kuliah suaminya kalau bukan eng ing eng😅 Ujung-ujungnya malah saya yang sebut sendiri nama si Ikhwa tersebut, wkwkw.

Mungkin kamu penasaran, kenapa saya bisa langsung menebak dengan tepat  nama si Ikhwa yang Ana maksud? Lha saya kenal dengan suaminya Ana saja nggak, apalagi temannya? Teman kuliah yang mana?

Jadi gini ceritanya, waktu Ana nyebar undangan pernikahannya di medsos, saya sempat kepoin akun FB calon suaminya. Ups! Ada yang punya kebiasaan sama dengan saya nggak, suka kepo gitu, haha. Sempat terbesit pula dalam hati, maa syaa Allaah beruntungnya Ana dapat jodoh alumni teknik.

Pas saya kepoin akun FB calon suami Ana (waktu itu memang masih calon ya karena Ana baru sebar undangan nikah) itulah saya menemukan satu pertemanan yang sama. Akun FB si Ikhwa tersebut yang nongol. Jadilah saya bisa langsung ambil kesimpulan, kalau teman kuliah suaminya yang Ana maksud pasti si Ikhwa itu. 

Faktanya bukan cuma saya saja yang kepo lho karena etelah menikah suami saya mengaku, dia juga melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, haha. Kepoin akun FB calon istri teman kuliahnya itu lalu menemukan satu pertemanan yang sama. Akun FB saya yang muncul. 

Nah, karena tahu saya ada hubungan pertemanan dengan istri temannya sehingga beberapa bulan kemudian, ketika muncul niat ingin berproses taaruf dengan saya, si ikhwa ini minta tolong ke temannya itu. Teman kuliahnya dan sang istri yang tak lain juga merupakan teman kuliah saya pun dengan senang hati membantu.

Pertemuan dengan Sang Jodoh


Kenapa si ikhwa tersebut mau berproses dengan saya? Padahal kenal nggak, eh maksud saya kenalnya baru sebatas nama doang. Pernah ketemu sih tapi cuma sekali. Komunikasi langsung pun nggak pernah, cuma sempat beberapa kali ngobrol via BBM. Itu juga terakhir kami ngobrol di BBM waktu saya balik ke Papua akhir 2014 silam.

Setelahnya kami seperti dua orang yang loss contact, event masih berteman di kontak BBM tapi nggak pernah ada komunikasi sampai akhirnya di penghujung tahun 2016 dia tetiba muncul lewat perantara Ana. Menyampaikan niat baiknya yang ingin berproses dengan saya.

Herannya lagi, dia tahu persis posisi saya saat itu di Papua, sementara dia di Makassar. Kenapa coba nggak berproses sama yang dekat saja, kenapa mau berproses dengan yang jauh? Apa karena diam-diam si ikhwa ini mengalami yang namanya love at the first sight, sejak bertemu dengan saya dan diam-diam memendam perasaan itu.

Saya kok jadi geer banget ya, wkwk. Intinya saya benar-benar nggak habis pikir kok si ikhwa ini nekat banget mau berproses dengan perempuan jauh yang bahkan baru ditemuinya hanya sekali. Kenapa pula saya ikut-ikutan nekat menerima tawaran taaruf dengan lelaki yang baru saya kenali sebatas nama. Bahkan meskipun kami sudah pernah bertemu, sosok dan rupanya seperti apa tetap samar dalam ingatan saya. 

Masalahnya, waktu ketemu saya sama sekali nggak tertarik dan perhatikan baik-baik orangnya seperti apa. Lagipula itu kejadiannya sudah lama banget, sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Bayangkan! Tapi ah, sudahlah semakin lama dipikir semakin tak masuk di akal saya.  

Begitulah jodoh, memang nggak perlu pake logika, kan? Datangnya sungguh tak disangka-sangka. Hadirnya benar-benar tak tertuga. Wajar, karena perkara yang satu ini langsung Allah yang turun tangan, bukan kita. Tugas kita mah cuma bisa ikhtiar, memohon dan meminta. Selebihnya, Allah yang tentukan, Allah yang kasih.

Saya percaya di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanya kebenaran. Bahwa semua yang terjadi adalah ketetapan Tuhan. Termasuk pertemuan pertama saya dengan sang jodoh. Allah sudah atur itu 

Kami pertama kali dipertemukan di Cafe Lovers Urip Sumaharjo Makassar saat menghadiri acara meet up komunitas Lentera Negeri yang berlangsung bulan Mei 2014 silam. Siapa sangka tiga tahun kemudian, tepatnya di bulan April 2017 kami baru bisa bertemu lagi. Pertemuan kedua kami berlangsung di rumah saya di Serui-Papua dengan status kami yang telah sampai pada tahap khitbah. Alhamdulillaah, keesokkan harinya, di pertemuan ketiga kami kembali bertemu setelah akad nikah dengan status yang sama-sama telah sebagai pasangan suami istri. 

Maa syaa Allaah, ternyata saya hanya butuh dua kali pertemuan sebelum akhirnya bertemu sang jodoh.

Sebuah Firasat, Diakah Jodohku?

FYI, sebelum taaruf dengan sang jodoh, saya sudah beberapa kali menjalani proses ini melalui perantara murabbiyah (baca ; guru ngaji) dan semuanya gagal, pemirsa. Rata-rata sih penyebab gagal lanjutnya setelah proses tukar biodata dengan alasan masing-masing. Entah karena nggak cocok, kurang sreg atau apalah.

But it's OK, gagal nikah karena proses taaruf terhenti di tengah jalan mah biasa, nggak terlalu berefek yang gimana-gimana gitu. Paling efeknya cuma sedikit kecewa saja lantaran target nikah semakin mepet sementara proses taaruf yang dijalani nggak kunjung berhasil. Kalau sudah gitu jadi berpikiran kok rasanya jodoh saya semakin jauh ya, semakin tak kuasa saya jangkau. Hiks.

Beda kali dengan efek yang dirasakan  orang-orang yang gagal nikah karena putus di tengah jalan, padahal pacarannya sudah bertahun-tahun. Duh, pasti sakitnya bukan main. Kecewanya berlipat-lipat. 

That's why, daripada pacaran mending taarufan even keduanya belum tentu berujung di pelaminan. Setidaknya dengan memilih taaruf, kita telah berusaha menjemput jodoh dengan cara yang baik, yang Allah pun ridho.

Tapi yah apapun hasilnya, kita tetap kudu berprasangka baik pada Allah, taaruf gagal artinya bukan jodoh. Jadi kalau mau taaruf komitmennya nggak boleh pantang menyerah. Harus tetap usaha sampai berhasil taaruf dengan sang jodoh.

Nah, sang jodoh yang saya maksud di sini adalah sosok yang menjalani fase taaruf dengan kita hingga bersanding ke pelaminan. Ya kan, sudah saya jelaskan juga di postingan sebelumnya, kalau yang menjalani fase taaruf dengan kita masih belum tentu jodoh. Bisa saja prosesnya terhenti setelah tukar biodata maupun setelah nazhar. 

Aih, jangankan yang baru memulai taaruf, yang telah sampai pada tahap khitbah bahkan sudah sebar undangan nikah pun masih belum pasti jodoh. Makanya mulai dari proses taaruf hingga khitbah ini sifatnya tertutup dan sebaiknya memang dirahasiakan. Cukuplah yang tahu hanya orang-orang yang bersangkutan seperti keluarga inti maupun yang berperan sebagai mediator.

Eniwei, ketika taaruf dengan sang jodoh ini saya sebenarnya sudah punya firasat. Jadi sebelum Ana menyampaikan niat baik si ikhwa saya sempat lihat akun FBnya di beranda. Saat itu juga tiba-tiba terlintas di benak saya, kayaknya dulu saya pernah BBM-an dengan ini orang deh, tapi kenapa nggak pernah ada kabarnya lagi ya, padahal kita juga masih berteman kontak di BBM.

Eh nggak lama setelah itu, dia benar-benar muncul lewat perantara Ana. Entah kenapa pula, firasat saya kuat sekali. Saya yakin kalau saya jalani taaruf dengan si ikhwa ini kemungkinan berhasilnya 99%. Haha, sebegitu yakinnya saya. But that's true.

Saya jadi teringat dengan kisah mbak Afifah Afra dalam buku Sayap-Sayap Sakinahnya. Tutur beliau saat bertemu pertama kali dengan sang jodoh (baca: suami) juga merasakan firasat itu. Kalau kamu gimana saat pertama kali bertemu dengan sang jodoh, ada firasat nggak?

*Note ; kisah ini masih bersambung ya😀


Salam,

@siskadwyta



Posting Komentar untuk "#Menuju Halal, Ta'aruf dengan Sang Jodoh (2)"