Pengalaman Setahun Menyusui Zhafran

credit

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Pengalaman Setahun Menyusui Zhafran. Tadinya saya pikir saya sudah bisa bernapas lega setelah Zhafran lulus ASI Eksklusif. Saya pikir perjuangan mengASIhi Zhafran untuk 18 bulan ke depannya akan lebih mudah. Toh, setelah memasuki masa MPASI kebutuhan Zhafran terhadap ASI sudah tidak sebanyak saat dia masih mengonsumsi ASI saja. Namun saya keliru. Saya salah.

Baca juga Pengalaman Enam Bulan Menyusui Zhafran

Saya bertekad ingin tetap lanjut mengASIhi Zhafran hingga usianya 2 tahun namun saya luput dari mempertahankan agar ASI di payudara saya tetap mengalir lancar. Kenyataannya, semakin hari produksi ASI saya semakin seret lantas tidak lagi dapat memuaskan rasa lapar dan dahaga Zhafran saat terbangun tengah malam.

Hamil Saat Masih Menyusui, Apakah ASI Saya Cukup untuk Si Kecil?


gambar : motherandbaby.co.id

Usia Zhafran baru menginjak delapan bulan kala itu. Kala saya mendapati hasil
test pack menunjukkan dua garis merah. Dan entah kenapa sejak saat itu pula Zhafran mengalami perubahan yang drastis. Diawali dengan demam panas selama sepekan, kemudian menjadi lebih rewel hingga selalu terbangun dan menangis tiap malam. Padahal biasanya dia bisa lanjut terlelap setelah menyusu.

Kata kakak saya, sikap anak-anak memang begitu, menjadi lebih rewel kalau mau punya adik lagi. Entah itu mitos atau fakta. Namun saya juga liat sendiri sih, waktu kakak saya hamil anak kedua (bersamaan saat saya mengandung Zhafran), Al, keponakan pertama saya jadi sering rewel, bahkan sering banget tantrum.

Baiklah, entah memang ada kaitannya antara perubahan sikap si calon Kakak dengan kehamilan sang Ibu atau tidak, yang jelas Zhafran mengalaminya. Bahkan perubahan tersebut bukan cuma terjadi pada Zhafran, saya pun mengalaminya. Hanya saja perubahan yang terjadi pada diri saya bukan berkaitan dengan sikap melainkan hormon.

Yup, perubahan hormon kehamilan ini sepertinya memengaruhi produksi ASI yang ada pada tubuh saya. Memang sih, saya tidak pernah tahu seberapa banyak ASI yang diproduksi tubuh ini setiap harinya karena semenjak melahirkan saya menyusui Zhafran secara direct. Selain itu, ASI saya juga nggak pernah sampai merembes deras, eh pernah sih tapi cuma berlangsung sekali dua kali di bulan pertama saya menyusui Zhafran, setelah itu nyaris tidak pernah lagi. Meski demikian, dengan kondisi ASI yang tidak deras, saya tetap yakin ASI saya cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi Zhafran even orang-orang di sekeliling saya asal men-judge kalau ASI saya kurang, ASI saya sedikit makanya si Kecil nangis trus.

Lha, buktinya apa kalau ASI saya kurang dan sedikit? Tahu darimana mereka, wong saya yang menyusui saja nggak tahu. Lagipula bayi yang baru lahir kan memang komunikasinya dengan menangis. Mau dia lapar, kepanasan, merasa sakit atau apapun itu ya pasti menangis. Jadi tidak bisa diartikan tangisan bayi melulu karena lapar.

But whateverlah dengan omongan orang-orang sekalipun itu menyakitkan, saya tetap ngotot dan yakin ASI saya cukup untuk Zhafran. Walau sempat berkecil hati karena ASI saya tidak deras seperti ibu-ibu lain yang ASInya sampai tumpeh-tumpeh membasahi bra dan baju. Namun ada syukurnya juga punya ASI ala kadarnya. Setidaknya kalau kemana-mana saya nggak perlu pake breast pad.

Lagian ASI juga kalau terlalu berlebihan derasnya juga ada efeknya, bisa bikin bayi mudah keselek dan ogah menyusu. Akhirnya saya sampai pada pemahaman, no problem ASI tak deras yang penting cukup untuk bayi saya. Gimana bisa tahu ASI kita cukup untuk si Kecil?

Infografis : ibupedia.com

Ok, pada dasarnya kita memang tidak bisa mengecek langsung seberapa banyak ASI yang dibutuhkan bayi setiap kali menyusu, namun setidaknya ada tanda-tanda yang tampak. Kalau menurut ibupedia.com, ada tujuh tanda kecukupan ASI. Salah satunya, kenaikan BB. Kalau ASI saya dibilang sedikit atau nggak cukup, pastinya BB Zhafran nggak bakal naik saat ditimbang tiap bulannya, buktinya apa?


Alhamdulillaah kenaikan BB Zhafran selama 6 bulan pertamanya bagus. Namun menginjak 7 bulan ke atas jadi seret gitu. Katanya sih wajar kalau anak sudah MPASI kenaikan BBnya dikit. Masalahnya kenaikan BB Zhafran nggak sesuai dengan ada yang di KMS, grafiknya juga menuju garis kuning, meski status gizi masih normal. Entah ada kesalahan dari MPASI yang saya berikan atau karena produksi ASI saya yang menurun akibat hormon kehamilan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut seharusnya saya dan suami konsultasi terlebih dahulu ke dokter spesialis anak. Idealnya begitu, tapi lagi-lagi karena kami bukan tipe orang tua yang sering-sering mendatangi dokter S.PA kecuali dalam keadaan terdesak jadi yowes pertanyaan tersebut kita skip saja.

Nah, masalahnya sekarang kalau ditanya apakah ASI saya cukup untuk Zhafran, saya nggak bisa jawab dengan pede dan seyakin seperti saat Zhafran masih ASI Eksklusif. Kalau dulu mah saya yakin cukup karena kondisi Zhafran memenuhi tujuh tanda kecukupan ASI. But now?

Tanda kecukupan ASI pada bayi yang masih ASI eksklusif mungkin berbeda kali ya dengan tanda kecukupan ASI pada bayi yang sudah MPASI. Apalagi karena nutrisi yang si Kecil dapatkan kini tidak hanya didapatkan dari ASI melainkan juga dari menu 4 bintang plus lemak tambahan yang ia konsumsi semenjak usia 6 bulan.

Jadi semenjak MPASI, Zhafran memang minum ASI pada siang harinya tidak terlalu banyak tapi kalau malam dia kuat banget nenen. FYI, tiap tengah malam Zhafran sering terbangun dua tiga kali buat nenen trus lanjut tidur lagi. Makanya waktu dia mulai terbangun tengah malam dan dikasih nenen bukannya terlelap malah pake acara nangis rewel, tidak seperti biasanya, saya jelas heran dong.

Apalagi kondisi tersebut berlangsung bukan cuma satu atau dua malam doang tapi bermalam-malam. Dikasih nenen pun nggak mempan bikin dia diam. Sepertinya dia nggak puas dengan nenennya. Akhirnya, sejak menyadari produksi ASI saya sepertinya berkurang, saya selalu menyediakan air putih di botol minuman sebelum tidur. For what? Buat menghilangkan rasa lapar dan dahaga Zhafran saat terbangun tengah malam karena saya sadari benar ASI saya sudah tak cukup membuatnya kenyang. :(

Dilema Ingin Menyusui Namun Produksi ASI Menurun


gambar : hallosehat

Ada yang bilang perubahan hormon kehamilan tidak akan memengaruhi produksi ASI selama bayi disusui sesering mungkin. Namun ada juga yang berpendapat penurunan produksi ASI selama kehamilan dapat terjadi sekalipun frekuensi menyusui bayi meningkat. Mana yang benar, entahlah?

Yang jelas kondisi produksi ASI saya semenjak hamil tidak lagi sama seperti kondisi saya sebelumnya. Saya benar-benar luput dengan hal yang satu ini. Mungkin saya terlalu egois,  hanya mementingkan keinginan sendiri, sampai lupa kalau Zhafran masih butuh ASI hingga usianya dua tahun.

Baiklah, saya akui memiliki anak kembar atau paling tidak dua anak dengan jarak berdekatan memang merupakan keinginan saya sejak lama. Tak heran, ketika pertama kali menyadari saya kembali hamil, sungguh saya bahagia menyambut janin kedua yang bertumbuh di rahim ini. Lantas, kebahagiaan itu seketika menjelma sedih manakala saya harus menghadapi  kenyataan, Zhafran kini selalu terbangun dalam keadaan lapar dan ASI saya tidak lagi cukup untuk mengenyangkannya.

Baca juga Kehamilan Kedua

Air putih pun menjadi alternatif yang saya pilih untuk membantu menghilangkan rasa laparnya kalau terbangun tengah malam. Jadi kalau Zhafran sudah nenen dan masih nangis, saya kasih air putih, setelah itu baru dia bisa tertidur lagi walau beberapa jam kemudian terbangun kembali.

Oya, pernah beberapa kali ada kejadian dimana saat Zhafran terbangun, saya berusaha menenangkannya dulu dengan kasih ASI etapi reaksinya, dia malah lepas nenen trus bangun ambil botor minumannya sendiri lalu menyedot sampai puas baru kemudian tidur lagi. Duh, ingat kejadian itu rasanya remuk hati saya. See! Zhafran lebih memilih meneguk air putih di botol minumannya ketimbang nenen di payudara Bundanya. Hiks.

Ya, gimana mau pilih nenen di payudara Bundanya kalau isinya saja dikit, nggak bikin kenyang. Hebatnya lagi, saya tetap NGOTOT ingin menyusui Zhafran dan tidak rela membiarkan dia minum susu selain susu Bundanya. Thats why, saya prefer mengatasi rasa lapar Zhafran dengan air putih ketimbang memberikannya sufor.  Meskipun saya tahu, air putih bukan alternatif yang tepat untuk menghilangkan rasa lapar karena kandungan kalorinya nihil alias nol kalori.

Tadinya rencana saya sih, setelah usia Zhafran genap setahun baru saya bantu dengan susu UHT, no sufor, itupun cukup dibantu di malam hari saja. Nanti setelah lahiran, setelah produksi ASI saya kembali normal barulah saya lanjut kembali full menyusui Zhafran dengan adiknya atau istilahnya tandem nursing.

Kenapa susu UHT, bukan sufor? Barangkali karena saya termasuk ibu yang anti sufor, apalagi saya sudah terlanjur terdoktrin dengan kampanye ASI. Jadi, yang ada di kepala saya ASI selalu menjadi makanan terbaik untuk bayi saya sekalipun disandingkan dengan sufor termahal. Selain alasan tersebut, AIMI juga lebih menyarankan bumil yang kondisinya tidak memungkinkan NWP (nursing while pregnant) untuk mencukupi kebutuhan nutrisi si Kakak dengan tambahan susu UHT bukan sufor. Selanjutnya menurut penjelasan AIMI yang saya dapatkan dari grup AIMI di Facebook, sufor itu sama saja dengan obat sehingga untuk mendapatkannya dibutuhkan resep atau sesuai petunjuk dokter. Thats why, saya lebih sreg memberikan Zhafran susu UHT ketimbang sufor.

Saat itu usia Zhafran masih sebelas bulan. Artinya kami masih harus bersabar satu atau dua bulan lagi karena setahu saya susu UHT baru bisa dikonsumsi bayi menginjak 1 tahun ke atas tepatnya mulai umur 13 bulan. Ok, tidak lama lagi hanya saja masalahnya rewelnya Zhafran tiap terbangun kian menjadi-jadi. Ayahnya juga sudah tidak tahan. So, aku kudu piye?

Setiap ibu pastinya ingin menjadi ideal untuk anak-anaknya. Ideal yang saya maksud di sini adalah memberikan yang terbaik untuk sang buah hati. Saya pun demikian. Saya ingin jadi ibu yang ideal untuk Zhafran. Tapi kata ayahnya saya ibu yang terlalu perfeksionis, hanya karena saya ingin tetap berjuang menyusui Zhafran meski dengan kondisi produksi ASI saya yang berkurang. Sementara si Ayah sudah berulang kali menyarankan saya untuk memberikan Zhafran sufor. Bukan ayahnya saja sih, nenek dan tantenya juga menyarankan demikian tapi saya tetap keras kepala. Apalagi semenjak kenal istilah NWP, semangat saya buat menyusui Zhafran meski dalam keadaan hamil makin menggebu-gebu. Sayangnya saya kurang dapat support system. Bahkan keluarga saya lebih menganjurkan saya untuk menyapih dini Zhafran.

Gara-gara masalah ini juga saya dan ayahnya sering ribut. Lebih tepatnya ribut, karena Zhafran nggak bisa tidur nyenyak tiap malam dan tidur kami pun ikut terganggu. Ini jadi berasa kayak kami kembali ke masa-masa Zhafran newborn, hehe. And you know, kondisi tersebut sudah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dan saya tetap bertahan demi idealisme seorang ibu?

Really, masalah ini begitu pelik, apalagi nggak ada yang dukung saya buat NWP. Ayah Zhafran tadinya pro ASI, tapi karena produksi ASI saya semakin berkurang semenjak hamil, kita jadi bertentangan. Yowes, saya malas ribut melulu dan memperpanjang masalah karena bawaannya bisa bikin stress. As you know, bumil kalau stress larinya bakal ke janin. Produksi ASI saya yang semakin seret pun bakal bertambah parah kalau sayanya stress jadi saya memutuskan untuk mengalah.

Ternyata Begini Rasanya Berada di Posisi Itu


Perubahan hormon kehamilan rupanya tidak hanya mempengaruhi volume ASI melainkan juga rasa dari ASI. Yup, memasuki awal trimester dua atau menjelang trimester tiga tubuh bumil akan memproduksi kolostrum. Menurut beberapa referensi yang saya baca, ASI yang berubah menjadi kolostrum ini rasanya tidak semanis saat masih menjadi susu matang sehingga menyebabkan beberapa bayi tidak suka dengan rasa tersebut.

Akhirnya banyak bayi yang ketika ibunya hamil secara bertahap kehilangan minatnya terhadap menyusu dan menyapih dirinya karena perubahan itu. Akan tetapi, tidak sedikit pula bayi yang tidak peduli dengan perubahan rasa tersebut dan tetap menyusu.

Sayangnya Zhafran termasuk tipe bayi pertama, yang perlahan mulai kehilangan minatnya terhadap menyusu sejak usia kehamilan saya masuk trimester dua. Terlebih semenjak ia mulai mengenal rasa susu selain susu Bundanya. Frekuensi menyusunya dalam sehari pun jadi menurun drastiss. Hiks, ngenes banget.

Dulu, sempat merasa kasihan kalau lihat ada bayi yang menyusu dengan dot dari botol susu bukan dari payudara ibunya. Pun nggak habis pikir kenapa ada ibu yang lebih memilih memberikan sufor pada bayinya ketimbang ASI. Memandang sebelah mata ibu yang tidak mengASIhi anaknya pun pernah. Astaghfirullaah.

But now, saya jadi kasihan dengan diri saya sendiri yang kini berada di posisi yang sama dengan posisi mereka. Ternyata begini rasanya berada dalam posisi tersebut. Menjadi ibu yang tidak lagi sepenuhnya memberikan ASI pada si Kecil.

ASI yang semakin seret, bayi yang mulai kehilangan minatnya untuk menyusu dan berbagai alasan lain. Yah, selalu ada alasan dibalik mengapa seorang ibu akhirnya memberikan bantuan sufor untuk buah hatinya. Apapun itu tidak seharusnya kita merendahkan, kan?

Toh, ibu yang tidak mengASIhi anaknya tetaplah seorang ibu. Ibu yang melahirkan secara sesar tetaplah seorang ibu. Ibu yang lebih memilih bekerja di luar rumah sebagai wanita karir juga tetaplah seorang ibu. Lantas apa yang membedakan?

Apakah hanya ibu yang memberikan full ASI pada anaknya secara eksklusif hingga berlanjut dua tahun yang dikatakan sukses? Apakah perempuan yang melahirkan normal saja yang pantas dipanggil ibu? Apakah ibu terbaik itu hanya berhak disandang oleh mereka yang memilih bekerja sebagai ibu rumah tangga?

Baiklah, bila sebatas memandang dari luar kita memang lihai menjudge, tapi coba kalau mengalami sendiri baru kita rasakan, ternyata begini rasanya berada dalam posisi tersebut. Saya yakin semua ibu di dunia pasti ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya, sayangnya ekspektasi lebih sering berbanding terbalik dengan realita. Menjadi ibu yang ideal untuk anak memang impian semua ibu. Akan tetapi, tidak ada ibu yang benar-benar sempurna.

Ah, saya jadi banyak belajar dari pengalaman menyusui Zhafran selama setahun belakangan ini. Walau pada akhirnya Zhafran gak lulus S1 seperti yang saya harapkan namun setidaknya ia telah tumbuh dengan baik dan sehat. Saya pun masih menyimpan harapan bisa kembali full menyusuinya setelah adiknya lahir nanti. Mohon doanya.

Salam,

@siskadwyta


2 komentar untuk "Pengalaman Setahun Menyusui Zhafran"

Comment Author Avatar
dulu aku juga termasuk ibu idealis, gak mau kasih sufor untuk anak.
tapi setelah dijalani dan ada beberapa kendala saat mengASIhi, akhirnya ku memutuskan untuk memberikan sufor ke anakku. Dokter juga menyarankan seperti itu daripada kekurangan nutrisi, kasihan juga.

Semangat mba.. semoga zhafran sehat selalu :)

Comment Author Avatar
Iya Mbak, setiap ibu pasti punya kendala masing-masing saat menyusui. Nggak semua berjalan lancar tapi setidaknya kita sudah berusaha memberikan yang terbaik :)

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.