Pindah Rumah di Masa Pandemi

Pindah rumah
Ilustrasi gambar : freepik.com
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Pindah rumah bukan hal yang baru bagi saya. Setidaknya karena sudah hampir tiga tahun belakangan ini, tepatnya setelah menikah dan hijrah ikut suami ke Sulsel saya terpaksa harus menjalani hidup nomaden.

Namun pindah tempat tinggal kali ini sungguh berbeda. Ya kan sebelum-sebelumnya saya pindahnya kalau bukan ke rumah kontrakan ke rumah orang tua. Kalau sekarang angkat barangnya ke rumah sendiri, makanya rasanya jelas spesial dong.

Yah walau pindahnya pas lagi masa pandemi. Eh tapi tunggu dulu, kondisi saat ini kan lagi nggak stabil. Semua orang dianjurkan untuk tinggal di rumah saja, pshycal distancing dilakukan dimana-mana sampai PSBB pun diterapkan trus lho kok sempat-sempatnya pindah rumah. Gimana ceritanya?


Rencana tinggal mandiri setelah menikah gagal

Tinggal mandiri paska nikah, Itu rencana yang sempat disanggupi oleh lelaki yang berhasil melamar dan bersanding dengan saya di pelaminan. Apalagi suami memang sudah beli rumah sendiri sebelum nikah jadi saya pikir kemungkinan besar setelah ijab kabul saya bakal diboyong ke rumahnya itu. Nggak perlu pake acara ngontrak segala apalagi sampai numpang tinggal di rumah orang tua.

Tapi eh tapi rencana indah untuk tinggal mandiri setelah menikah gagal total, pemirsa. Bukannya diboyong ke rumahnya sendiri eh saya malah dibawa ke rumah orang tuanya dan tinggal lama di sana. Lho kok bisa? Trus rumahnya mana, kok nggak ditempati?

Ceritanya panjang. Kami cuma  bisa berencana, Tuhan yang menetapkan. Qadarullah, rencana untuk tinggal di rumah yang sudah dibeli suami  saat masih lajang gagal karena setelah menikah dia "dilempar" sama bosnya ngerjain proyek di daerah. Mau nggak mau dia harus pindah dan otomatis sebagai istrinya saya wajib mengekor. 

Sebenarnya kalau mau, kami bisa saja mengambil keputusan untuk menjalani LDM, tapi ogah. Masalahnya LDM bagi kami yang saat itu masih pengantin baru itu rasanya beraaat bangeeet, wkwkw. Lagipula saya juga sudah jauh-jauh hijrah dari Papua ke Sulsel demi bisa lengket selalu sama suami *eaa. Giliran sudah dekat, masa' harus berjarak lagi. Oh No!

Masalahnya lagi, you know-lah, namanya pengantin baru itu biasanya setelah menikah hidupnya lumayan mengenaskan karena isi tabungan terlanjur terkuras habis untuk biaya pesta pernikahan besar-besaran. Jadi kalau mau ngontrak juga rada susah. Kondisi keuangan belum stabil bo', hehe. 

Akhirnya opsi untuk numpang tinggal di rumah orang tua di Parepare menjadi satu-satunya pilihan yang diambil suami. Bukan kebetulan pula rumah mertua  jaraknya tidak begitu jauh ke daerah Barru tempat suami dipindahtugas kerja ketimbang jarak dari rumah yang rencana bakal kami tempati.

Seperti itu cerita singkatnya. Baiklah mulanya sih saya fine-fine saja tinggal di rumah mertua. Toh tadinya saya pikir paling cuma satu atau dua bulan kami tinggal di sana. Ternyata tidak. Lewat tiga bulan saya mulai resah. Menghampiri lima bulan saya merengut. Masuk setengah tahun saya mendesak. Ayo pindah!

Alasan saya pengen segera pindah cuma satu sih. Of course, meski mama mertua saya sangat baik, saudara-saudara ipar saya juga tak kalah baiknya tapi saya masih tetap berpendirian ingin hidup mandiri.

Ya daripada terus-terusan numpang tinggal di rumah orang tua, lebih baik ngontrak. Atau diajak tinggal di gubuk tua pun nggak masalah asal berdua, eh bertiga atau berlima dengan anak-anak nanti, hehe

Permintaan saya yang pengen angkat kaki dari rumah mertua dan pindah ke rumah kontrakan akhirnya disetujui suami. Kami pindah ke kontrakan yang jaraknya jauh lebih dekat dengan kantor suami. 

Kalau sebelumnya dari rumah orang tua ke kantornya suami harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, di kontrakan kami yang baru itu perjalanan suami ke kantor cuma makan waktu sekitar 10 menit doang. Jauh lebih dekat, kan? 😅


Hamil saat pindah ke kontrakan

Keputusan untuk pindah setelah 6 bulan tinggal di rumah mertua itu ternyata mendatangkan berkah yang luar biasa. Gimana nggak berkah coba, berbulan-bulan saya dan suami menanti kehadiran si jabang bayi. Sampai-sampai setiap bulan setelah hidup bersama selalu ada keinginan untuk testpack tapi batal karena si tamu bulanan keburu datang, hiks.

Saya dan suami memang nggak ada niat mau menunda momongan. Pengennya sih bisa segera 'dikasih' setelah menikah, tapi Allah kan punya kehendak lain. Dia mau saya dan suami menunggu dulu, ikhtiar dulu, jangan putus asa tapi tetap tawakal.  

Alhamdulillaah baru sebulan pindah ke rumah kontrakan saya akhirnya hamil. Nah, anehnya di sini. Sebelum hamil kan saya yang paling semangat banget pengen segera angkat kaki dari rumah mertua dan tinggal berdua saja dengan suami di rumah kontrakan.

Eh sekalinya hamil, saya mendadak nggak suka sepi. Jadi kehilangan gairah tinggal di kontrakan. Mana kami cuma berdua. Artinya kalau suami pergi kerja tinggal saya sendiri di rumah. Duh rasanya nggak enak banget. Kalau sudah gitu saya jadi pengen balik lagi ke rumah mertua, di sana rame soalnya😅


Siklus hidup yang berulang

Tinggal di kontrakan nggak bertahan lama sih. Hanya sekira 7 bulan. Masuk usia kehamilan trimester tiga saya memutuskan pindah sementara ke rumah orang tua yang ditinggali kakak saya dan keluarga kecilnya di Gowa karena berencana bakal melahirkan di RSIA Ananda Makassar. At least, jarak dari rumah orang tua saya ke Ananda sendiri tidak memakan waktu sampai 60 menit.

Jadilah saya tinggal di Gowa hampir 5 bulanan, dari usia kehamilan 7 bulan hingga hampir dua bulan paska melahirkan. Setelah itu saya dan suami balik ke Parepare.

Yap, saya akhirnya kembali tinggal di pondok mertua indah dan menjani masa-masa awal as new mom saya di sana hingga si kecil menginjak usia 10 bulan lebih. Lama juga ya? Berarti ada sekira 8 bulanan lah saya tinggal di rumah mertua setelah melahirkan sebelum akhirnya memutuskan untuk hijrah dan kembali ke rumah kontrakan kami yang dulu.

Meski sebelumnya sempat ragu sih kalau pindah lagi ke kontrakan kemungkinan besar juga nggak bakal bertahan lama karena kondisi saya saat itu sementara hamil dan sudah masuk trimester dua. Fyi saya hamil anak kedua saat usia si kakak baru menginjak 7 bulan. 

Tapi yah pada akhirnya kami kembali lagi ke kontrakan yang sama. Dan seperti yang sudah saya tebak, tinggal di sana tidak bertahan lama. Kurang lebih 5 bulan. Karena berencana ingin melahirkan di RSIA yang sama dimana saya melahirkan pertama kali jadi mendekati HPL saya dan suami balik ke Gowa sementara si kakak dititipkan di rumah neneknya di Parepare.

Pada kehamilan kedua ini memang saya sengaja nggak pengen tinggal lama di Gowa. Makanya ke sana pas mendekati HPL. Alhamdulillaah, malam senin tiba di sana, malam jumatnya sudah lahiran dan dua pekan kemudian saya kembali lagi ke Parepare.

Begitulah siklus hidup yang saya jalani sejak hijrah ikut suami tahun 2017 lalu. Berpindah-pindah dari Parepare-Barru-Gowa. Siklus hidup saya berputar di situ-situ saja. Tahun ini pun sepertinya hidup yang saya jalani tidak akan jauh berbeda dengan dua tahun sebelumnya. 

Saya dan keluarga akan kembali tinggal di kontrakan trus kalau misalkan saya hamil lagi ya kami bakal pindah lagi ke Gowa dan atau ke Parepare. Begitu saja seterusnya sampai negara api menyerang. Eh tapi saya nggak ada rencana hamil tahun ini sih, hehe. 

Saya hanya berharap semoga tahun ini saya dikasih keajaiban sama Tuhan bisa hidup menetap dengan keluarga biar siklus hidup saya nggak berulang lagi kayak dua tahun sebelumnya. 

Siapa sangka harapan saya langsung diijabah Tuhan. Keajaiban itu benar-benar terjadi. Gara-gara virus corona saya dan keluarga akhirnya bisa pindah ke rumah sendiri. Sesuatu yang benar-benar di luar perencanaan kami. Maa syaa Allaah. 


Pindah rumah gara-gara pandemi

Pandemi virus corona memang telah menutup banyak pintu dalam kehidupan manusia. Kita tidak lagi bisa menikmati aktivitas normal di tempat-tempat umum dengan bebas. Harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah saja. Bahkan Ramadan kali ini terasa sangat sepi karena kegiatan ibadah di masjid ditiadakan, mau mudik lebaran pun dilarang.

Tidak heran kalau kita jadi lebih sering mengeluh dengan kondisi sekarang. Saya juga begitu awalnya. Tapi semakin ke sini, tepatnya setelah mengikuti sharing about Positive Vibes bareng Coach Ochy saya jadi lebih bisa menghadapi wabah ini dengan sikap positif.

Apalagi setelah saya menyadari pandemi virus corona tidak hanya menutup banyak pintu karena disaat bersamaan masih ada pintu-pintu lain yang terbuka. Salah satunya ya seperti 'pintu terbuka' yang jadi topik bahasan saya di postingan kali ini.

Tahun ini saya dan suami memang sama sekali belum ada rencana menempati rumah sendiri. Project yang dikerjakan suami di Barru masih berjalan dan belum ada kejelasan kapan dia bisa balik lagi di kantor sebelumnya.

Jadi mau nggak mau saya masih harus bersabar untuk tinggal lebih lama di rumah mertua atau pindah lagi ke rumah kontrakan setelah si adik agak gedean. Qadarullaah awal Maret lalu saya mesti balik kembali ke Gowa untuk berkumpul dengan orang tua saya yang sudah jauh-jauh datang dari Papua.

Oya tadinya rencana awal mama dan papa datang ke rumah di Gowa bulan Maret kemarin untuk berangkat umrah (pemberangkatan dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar) sekaligus menghadiri acara wisuda Ners adik saya Aya sepulang dari tanah suci nanti. 

Tapi berhubung pelaksanaan umrah ditiadakan karena merebaknya virus corona dan tiket pesawat juga sudah terlanjur dipesan duluan jadi yah mereka tetap berangkat ke Makassar lebih awal even harus menunggu kurang lebih tiga pekan untuk menghadiri acara wisuda putri ketiganya. 

But you know, gara-gara virus corona acara wisuda yang sedianya berlangsung tanggal 24 Maret itu ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. Papua juga tiba-tiba mengalami lockdwon menyusul dengan Makassar yang menutup semua jalur penerbangan masuk maupun ke luar untuk penumpang hingga awal Juni. Lengkap sudah.

Mama dan papa yang rencananya hanya menghabiskan waktu sebulan bersama kami di Gowa jadi tertahan, belum bisa balik ke Papua. Otomatis saya juga nggak bisa balik ke daerah.

Ya nggak mungkin juga kan saya balik sementara orang tua saya masih ada di Gowa. Mereka sudah jauh-jauh datang dari Papua. Kesempatan emas untuk bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama papa dan mama tentu tidak ingin saya lewatkan begitu saja. Apalagi mereka juga bakal melewati Ramadan dan hari raya di sini.

Oya sebenarnya tahun ini saya berencana mudik karena pengen melewati Ramadan dan lebaran bareng orang tua. Saya rindu kampung kelahiran saya di Serui. Pun rindu dengan suasana selama  bulan suci dan pas hari raya di sana.

But see gara-gara virus corona pintu agar saya bisa mudik tahun ini tertutup namun pintu untuk bisa menjalani ibadah puasa dan lebaran bareng orang tua tetap terbuka. Speechless-nya lagi ada pintu lain yang seketika terbuka dan benar-benar di luar perencanaan saya dan suami.


Yup, pintu untuk menempati rumah kami yang selama ini tertutup tiba-tiba terbuka di tengah pandemi virus corona. Bahkan pandemi itu sendiri yang menjadi alasan kami akhirnya memutuskan pindah ke rumah pribadi yang bukan kebetulan lokasinya memang tidak begitu jauh dari rumah orang tua di Gowa, hanya beda Kecamatan.

Karena kondisi yang memang nggak memungkinkan saya dan anak-anak melakukan perjalanan untuk balik ke Parepare atau ke Barru. Selain seperti yang sudah saya singgung tadi, saya tidak pengen jauh selagi orang tua masih di sini.

Namun di sisi lain saya sudah merasa nggak nyaman tinggal di rumah dimana anak sulung saya yang saat ini lagi super duper aktifnya nggak cocok dengan sepupunya. Hari-hari mereka trus berantem, siapa yang nggak pusing coba? Hehe.

Nah, bukan kebetulan juga project yang dikerjakan suami di Barru sementara ini sudah selesai. Dia juga sudah kembali bekerja di kantor lamanya meski nggak full WFH.  Jadi ya sudahlah, opsi untuk pindah ke rumah pribadi sepertinya menjadi satu-satunya pilihan yang tepat di tengah kondisi pelik saat ini.

Yah meski kondisi rumah kami sebenarnya belum siap untuk ditempati, dapurnya saja belum dibangun. Masih layaknya perumahan yang baru dibangun itu lho. Pindahnya juga kan mendadak banget makanya persiapan juga seadanya saja.

Pindah rumah
dok.pri

Akhirnya pindah ke rumah sendiri

19 April 2020 menjadi hari yang kami pilih untuk pindah rumah. Sebenarnya nggak ada waktu khusus sih, mau pindah hari apa saja bisa. Lagipula barang-barang kami yang sebelumnya terpencar, ada yang di Barru, ada yang di Parepare sudah terkumpul di Gowa, sisa angkut doang.

Tapi memang waktu yang agak lowong pas weekend makanya dipilihlah hari Ahad. Itu juga kami pindahnya pas cuaca lagi tidak bersahabat. Seharian hujan deras bahkan kemungkinan rencana pindah hari itu terancam batal.  

Syukurnya sore menjelang maghrib, hujan mulai reda hingga menyisakan mendung. Diangkatlah barang-barang kami yang banyaknya tidak seberapa. Diangkut sekali jalan dengan dua mobil pick up.

Oya, karena kami pindahnya di masa pandemi jadi memang sengaja tidak melibatkan banyak orang. Tidak ada pula acara syukuran masuk rumah baru dengan memanggil teman, kerabat maupun tetangga sekitar.

Acara syukurannya yah cuma dalam bentuk makan malam keluarga bersama dengan menu spesial (kari ayam dan capcay) plus menikmati  umba-umba, cemilan yang biasa dihidangkan saat masuk rumah baru. Orang luar mengenalnya dengan sebutan klepon atau onde-onde sementara kami orang Makassar menyebutnya umba-umba. 

Demikian cerita saya tentang pengalaman pindah rumah di masa pandemi. Alhamdulillaah sudah sebulan lebih saya dan keluarga menempati rumah sendiri. Lega banget dan memang benar yah rasanya sungguh jauh berbeda antara tinggal di rumah orang tua (mertua), kontrakan dan rumah sendiri. 

Salam,

11 komentar untuk "Pindah Rumah di Masa Pandemi"

Comment Author Avatar
Kebayang deh repotnya pindah2 sambil nyeret2 baby n perut hamil... smg pandemi ini segera berakhir dan kita semua kembali ke kehidupan normal
Comment Author Avatar
Aku juga pernah ngalamin tidak lama setelah menikah lalu LDR, dan rasanya memang beraaatt banget, apalagi setelah itu aku hamil, wah makin melow deh...
Saya salut banget nih dengan keputusan untuk tetap ikut suami, ibarat kata makan nggak makan asal ngumpul hihihi
Comment Author Avatar
Alhamdulillah... Meski berliku, akhirnya pindah ke rumah sendiri. Ortu juga ikut mencoba rumah baru cukup lama. Pasti ada bangga di hati bele.
Comment Author Avatar
Selalu ada hikmah disetiap kejadian ya, mba.
Pandemi membuat bisa menempati rumah baru, Ramadhan dan lebaran jg bisa bareng kedua orangtua.
Selamat berbenah di rumah sendiri, mba.
Comment Author Avatar
Kebayang agak riweh nya apalagi di tengah Pandemi begini ya. Sempet bantuin Ade pindahan riweh juga ternyata
Semoga rumah yang ditinggali saat ini menjadi tempat ternyaman merajut harmonisasi ya mba
Comment Author Avatar
Benar-benar perjalanan luar biasa. Betul meski kita sudah berencana, kita tidak bisa menolak takdir Allah. Saya juga lebih senang jika di rumah sendiri. Meski orang tua dan mertua baik, pasti ada saja yang berbeda pendapat hehe. MasyaaAllah sudah beranak 2, sehat2 selalu ya Mbak demgan keluarganya 🤗
Comment Author Avatar
Benar mbak, tinggal di rumah sendiri memang lebih baik..
Lebih nyaman dan belajar mandiri
Comment Author Avatar
Kalau aku justru takut pindah rumah di masa pandemi. Tapi kalau memang sudah mendesak apa boleh buat ya kan.
Comment Author Avatar
Setuju banget sebaik dan semewah rumah mertua /ortuy, mending hidup mandiri
Ngontrak rumah sederhana juga gapapa
Saya dulu ngontrak ngga ada airnya, harus gali sumur sendiri 😁😁😁
Comment Author Avatar
ada memori dari awal nikah sampe sekarang sudah ada anak anak yang lucu lucu ya mba.
perjuangan ibu muda demi keluarga.
Comment Author Avatar
pengalaman pindah rumah selalu membawa kenangan ya mba.. apalagi kalau pindahnya untuk sesuatu yang ga direncanakan sejak lama... Pandemi ini memang membuat banyak orang mengubah rencana jangka panjang ya.. Semoga betah dan bahagia di istana barunya mba

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Kamar Kenangan @siskadwyta. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

Note :

Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.