Suara untuk Kusta, Stop Stigma Negatif dan Diskriminasi

Ayo kita dukung SUKA, Suara untuk kusta dengan STOP stigma negatif dan diskriminasi pada penderita kusta demi mewujudkan Indonesia Bebas Kusta.

Suara untuk kusta stop stigma negatif dan diskriminasi

Sampai hari masih ada orang yang beranggapan kusta adalah penyakit kutukan. Penyakit yang penderitanya harus dijauhi dan diasingkan karena dapat menular.

Memang benar, kusta adalah adalah penyakit menular, tetapi bukan kutukan, dan bukan pula penyakit guna-guna. Kusta, sama seperti penyakit menular lainnya yang perlu mendapat pengobatan. 

Lagipula meski termasuk penyakit menular, kusta tidak dapat menular dengan mudah. Penyakit yang sudah ada sejak 14 abad sebelum masehi ini bahkan sudah ditemukan obatnya.

Artinya apa? Orang yang menderita penyakit kusta dapat sembuh tuntas hanya jika diobati sejak dini. Sayangnya stigma negatif yang berkembang di masyarakat mengenai kusta membuat penderitanya kerap merasa rendah diri dan enggan keluar rumah karena malu bercak putih dan kemerahan yang muncul di kulitnya dilihat orang lain.

Mereka juga akhirnya lebih memilih menyembunyikan diri di rumah ketimbang pergi ke dokter untuk mendapat penanganan yang tepat. Hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab.

Kusta sudah dianggap sebagai aib di mata masyarakat sehingga penderitanya selalu mendapat perlakuan diskriminasi, bahkan dari keluarga dan kerabatnya sendiri.

Stigma negatif dan diskriminasi inilah yang menjadi hambatan terbesar bagi penderita kusta sehingga terlambat menerima pengobatan.

Akibatnya kebanyakan penderita kusta mengalami disabilitas. Padahal mereka sebenarnya bisa sembuh dan tidak cacat jika sedari awal mendapat dukungan dan tidak dikucilkan oleh siapa pun.

Potret Kusta di Indonesia


Jika kita melihat potret kusta di Indonesia, sungguh masih menjadi masalah kesehatan  yang memprihatinkan. Pasalnya penemuan kasus baru tahunan kusta stagnan selama 10 tahun terakhir ini.

Bahkan Indonesia termasuk negara yang menduduki peringkat ketiga total kasus kusta terbesar di seluruh  dunia.

Pemerintah sendiri sudah menargetkan untuk mengeliminasi kusta pada 2020. Namun kenyataanya belum terwujud.

Berdasarkan data per 13 Januari 2021 dari Kemenkes, terdapat 7 provinsi yang belum bebas dari kusta, yaitu: Papua barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Dimana ada 113 kabupaten/kota belum mencapai eliminasi kusta dari total 514 kab/kota yang tersebar di 22 Provinsi.

Demikian informasi yang saya dapat ketika menghadiri media gathering dalam rangka peluncuran proyek SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta) yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Radio (KBR) bekerjasama dengan NLR Indonesia pada Rabu, 14 April 2021.

Acara tersebut kemudian dilanjutkan dengan talkshow Ruang Publik KBR dengan tajuk "Melihat Potret Kusta di Indonesia" pada Senin, 19 April 2021 dan disiarkan secara live.


Acara yang  saya saksikan lewat channel YouTube KBR dan dipandu oleh host KBR Ines Nirmala itu menghadirkan dua narasumber yaitu dr. Udeng Daman, Technical Advisor Program Pengendalian Kusta NLR Indonesia dan Monika Sinta, Team Leader CSR PT. United Tractor.

Sedikit berbicara mengenai KBR, saya pertama kali mengenal lebih dekat dengan agensi radio yang sudah ada sejak tahun 1999 ini waktu ikut serta dalam talkshow dan dialog publik terkait Penggunaan BBM Ramah Lingkungan yang merupakan program kolaborasinya bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Setelah saya ikuti media sosialnya baru saya tahu, ternyata KBR memiliki banyak program dengan bahasan yang sangat menarik. Ada bahasan tentang Fomo Sapiens, Uang Bicara, Perempuan Disabilitas, Speak Up!, AADC (Ada Apa dengan COVID-19) dan humanity yang dapat kita dengarkan lewat podcast kbrprime.id.

KBR juga sering mengadakan diskusi publik dengan mengangkat isu-isu yang tidak kalah menarik dan merupakan kerjasamanya dengan lembaga-lembaga non pemerintah, seperti dengan NLR ini.

NLR adalah sebuah organisasi non-pemerintahan (LSM) yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta.

Organisasi yang didirikan di Belanda pada tahun 1967 ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 1975 dan memiliki visi dunia yang bebas dari kusta dan konsekuensinya.

NLR Indonesia hadir dengan tujuan agar semua warga Indonesia, terutama mereka yang pernah mengalami kusta atau orang-orang dengan disabilitas dapat menikmati hak-hak mereka di tengah masyarakat inklusif tanpa stigma dan diskriminasi.

Berikut ini beberapa program NLR untuk mewujudkan dunia bebas kusta :
  • Stop Transmisi Kusta, program yang bertujuan untuk mengurangi angka kasus baru kusta hingga nol dan mendeteksi kasus baru sedini mungkin sehingga tidak terjadi kecacatan
  • Pencegahan Disabilitas, lewat program ini, NLR berupaya mengembangkan model pendekatan gabungan bagi orang dengan disabilitas akibat kusta dan limfatik filariasis, yang hasilnya akan digunakan untuk lobi dan advokasi kebijakan pemerintah.
  • Inklusivitas Kaum dengan Disabilitas, program yang berupaya meningkatkan kualitas hidup orang yang terdampak kusta dan disabilitas. 
  • Stop Stigma dan Diskriminasi, yaitu program yang bertujuan untuk edukasi dan advokasi mengenai stigma dan diskriminasi yang dialami penderita kusta melalui kegiatan peningkatan kesadaran dan kapasitas, pelatihan, survey, riset dan artikel-artikel di media.
Nah, untuk mewujudkan visinya, pada kesempatan ini NLR menggandeng KBR serta rekan-rekan blogger dan media untuk mendukung proyek SUKA dengan ikut menyuarakan informasi yang benar seputar Kusta.

Fakta Seputar Kusta yang Penting untuk Diketahui

Jujur, sebelum mengikuti webinar yang membahas seputar kusta ini saya juga sempat terpengaruh dengan stigma negatif pada penderitanya.

Meski saya sudah jarang bertemu dengan orang yang berpenyakit kusta di daerah tempat tinggal saya, tetapi saya masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi saya ketika bertemu dengan mereka yang kulitnya terlihat aneh di mata saya.

Tentu saja saya segera menghindar dan tidak berani mendekat termasuk berinteraksi dengan mereka yang berpenyakit kusta karena saya takut tertular. 

Saya memang tidak sampai menganggap kusta adalah penyakit kutukan namun saya percaya dengan orang-orang yang mengatakan kusta dapat menular dengan mudah.

Nah, itu baru satu mitos, masih banyak mitos atau stigma negatif lainnya tentang lepra (nama lain dari kusta) yang membuat penderitanya tidak bisa menjalani hidup normal karena mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang-orang di sekitarnya.

Ini yang perlu diluruskan. Saya merasa bersyukur telah mendapat edukasi terkait kusta dari program yang diadakan KBR dan NLR.

Untuk itu saya sudah mencatat poin-poin penting dari kegiatan daring yang saya ikuti pertengahan April kemarin terkait fakta seputar kusta dan membagikannya di blog agar kalian yang membaca postingan ini juga ikut teredukasi dan tidak lagi memberi cap buruk dan mendiskriminasikan orang dengan penyakit lepra.

Kusta  bukan penyakit kutukan 

Kusta adalah penyakit yang sudah sangat lawas. Disebutkan bahwa penyakit yang dikenal sebagai the neglected tropical disease (penyakit tropis yang terabaikan) ini sudah ada sejak 1400 SM. 

Bayangkan, sudah dari 14 abad sebelum masehi lho. Dalam kurun waktu itu pula stigma negatif atau mitos yang beredar di masyarakat, kusta adalah penyakit kutukan atau penyakit yang disebabkan oleh guna-guna.

Selain itu, kusta juga dianggap sebagai penyakit turun temurun. Maksudnya ketika ada keluarga yang menderita kusta maka anggota keluarga yang lain atau keturunannya akan tertimpa penyakit serupa.

Benarkah demikian? 

Faktanya, kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bakteri Mycobacterium Leprae. Bakteri tersebut menginfeksi tubuh manusia dengan cara masuk melalui permukaan kulit atau lender saluran pernafasan yang dapat menyerang kulit dan saraf tepi.

Itulah sebabnya orang yang sudah menunjukkan gejala kusta perlu segera mendapat penanganan sebab jika terlambat diobati dapat memicu masalah kesehatan yang serius seperti cacat permanen. Jadi jangan lagi mengatakan kusta adalah kutukan ya.

Kusta bukan penyakit keturunan

Selain kutukan, lepra juga sering disebut sebagi penyakit keturunan. Stigma negatif tersebut berkembang di masyarakat karena kasus dimana dalam sebuah keluarga terdapat satu anggota yang menderita kusta lalu tidak lama kemudian anggota keluarga lainnya juga menderita penyakit yang sama.

Faktanya, kusta adalah penyakit menular namun penularannya tidak mudah. Jadi ketika ada anggota keluarga tertular bisa dipastikan itu disebabkan karena dia sering melakukan kontak fisik secara terus menerus dengan intensitas yang panjang dengan si penderita.

Penyakit kusta sendiri terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
  • Kusta kering atau PB (Pausi Basiler) yang ditandai dengan jumlah bercak kusta 1 hingga 5 dan kerusakan kurang dari 1 saraf tepi dan tidak ditemukan Basil Tahan Asam (BTA negatif) pada pemeriksaan kerusakan kulit.
  • Kusta basah atau MB (Multi Basilier) yang ditandai dengan jumlah bercak kusta lebih dari 5 atau kerusakan lebih dari 1 saraf tepi, atau ditemukan Basil Tahan Asam (BTA positif).

Kusta tidak mudah menular

Penderita kusta seringkali mendapat perlakuan diskriminasi bahkan sampai dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena sebagaian besar masyarakat masih percaya mitos bahwa penyakit kusta dapat menular dengan mudah.

Faktanya, penularan bakteri penyakit kusta tidak semudah hanya dengan melakukan kontak fisik ataupun melalui udara. Tidak seperti penularan yang disebabkan virus corona. 

Menular atau tidaknya bakteri Mycobacterium leprae tergantung dengan seberapa sering intensitas dan frekuensi seseorang melakukan kontak fisik dan udara dengan pengidap kusta. 

Apabila intensitas dan frekuensinya sering yang memang akan ada kemungkinan dapat menular, sedangkan apabila intensitas dan frekuensinya hanya sekali maka penyakit ini tidak akan menular dengan cara yang mudah.

Dijelaskan oleh dr. Udeng Daman, bakteri kusta memiliki masa inkubasi yang panjang yaitu sekitar 2 hingga 5 tahun.  Itu sebabnya penyakit ini sangan sulit menular.

Lebih lanjut beliau menjelaskan, jika dalam kurun waktu tersebut, ada satu orang yang teridentifikasi menderita penyakit kusta dan di sekitarnya ada 100 orang lain, maka 95 orang bisa dipastikan tidak terjangkit dan kemungkinan hanya 5 orang yang tertular. 3 diantaranya dapat sembuh dengan sendirinya dan sisanya 2 orang butuh pengobatan.

Kusta tidak menyebabkan disabilitas jika ditangani dengan cepat dan tepat

Satu lagi mitos terkait kusta yang membuat penyakit ini semakin menjadi momok dan mengerikan di mata masyarakat. Kusta disebut sebagai penyakit yang dapat membuat jari-jari tangan, kaki maupun anggota tubuh lain penderitanya putus.

Kalau kita perhatikan memang banyak penyandang kusta yang jari-jemarinya tampak tidak normal. Namun penyebabnya bukan karena kusta.

Terkait hal ini dr. Udeng menjelaskan bahwa kusta dapat dikenali melalui dua gejala yaitu gejala ringan dan gejala lanjutan.

Gejala ringan penyakit kusta ditandai dengan adanya bercak putih atau kemerahan yang terdapat pada kulit seperti panu. Namun bercak yang timbul pada kulit bersifat mati rasa.

Nah, penderita kusta yang masih mengalami gejala ringan ini bisa sembuh total jika  segera memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan terdekat, baik itu puskesmas, klinik atau rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Akan tetapi jika tidak mendapat pengobatan sedini mungkin, si penderita akan mengalami gejala lanjutan dari penyakit kusta, yaitu terjadi penebalan saraf, gangguan fungsi motorik; sensori dan otonom, hingga yang parah apabila kulit yang mati rasa mengalami infeksi akibat adanya luka yang tidak disadari.

Faktanya kusta bukan penyebab penderitanya mengalami disabilitas. Namun karena bakteri Mycobacterium leprae menyerang saraf-saraf jari tangan dan kaki sehingga penderita akan mengalami mati rasa. 

Akibatnya, jika terjadi  luka pada area yang mati rasa, si penderita bisa saja tidak sadar atau tidak merasakan sakit sama sekali sehingga hal yang tidak diinginkan dapat terjadi. Seperti yang sering dialami penderita dengan gejala lanjutan dimana luka yang tidak disadarinya memicu infeksi dan berujung pada kelumpuhan atau cacat fisik. Itulah yang menyebabkan pasien kusta mengalami disabilitas. 

Padahal mereka sebenarnya bisa terselamatkan dari kecacatan jika segera mendapat pengobatan. Sayangnya, kdbanyakan, pasien dengan penyakit kusta yang datang berobat adalah mereka yang sudah mengalami gejala lanjutan. Sekali lagi faktor kurangnya pengetahuan dan tingginya stigma serta diskriminasi terhadap penyandang kusta yang menjadi penyebab utamanya.

Penderita kusta dapat sembuh total

Mewujudkan dunia termasuk Indonesia bebas kusta  sebenarnya bukan lagi hal yang mustahil karena sudah ditemukan obatnya. Obat yang digunakan untuk mengobati penderita kusta adalah blister pack MDT (multi drug therapy).

Tujuan dari pengobatan kusta semata-mata untuk memutus mata rantai penularan, menyembuhkan penderita dan mencegah penyakit ini menjadi lebih parah atau menimbulkan kecacatan baru.


Pengobatan penyakit ini dibedakan berdasarkan jenis penyakit kustanya. Untuk kusta basah (Multi Basiler) diberikan tiga jenis obat yaitu Rimaficin, DDS dan lemprene dan pengobatan dilakukan selama 12 bulan tanpa putus.

Sedangkan untuk kusta kering (Pausi Basiler) penderitanya cukup mengonsumsi Rimaficin dan DDS saja selama 6 bulan tanpa putus. 

Tentunya penderita kusta dapat sembuh total atau terhindar dari disabilitas jika mendapat penanganan dengan cepat dan tepat.

Dukungan dan motivasi dari keluarga dan orang-orang terdekat juga sangat diperlukan agar penderita dapat patuh menjalani pengobatan.

Kusta bisa menyerang siapa saja

Penderita kusta identik dengan orang dewasa dan manula. Mitos yang beredar juga disebutkan bahwa penyakit ini hanya menyerang orang miskin. 

Faktanya kusta dapat menyerang siapa saja, dari golongan mana saja dan dengan rentang usia berapa pun. Bahkan berdasarkan data terbaru di awal tahun 2021 ini kusta menyerang hampir 10% anak-anak.

Oleh sebab itu kita semua perlu tahu cara mencegah penyakit kusta. Berikut ini beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah lepra :
  • Imunisasi BCG pada bayi
  • Menjaga daya tahan tubuh 
  • Menerapkan gaya hidup bersih dan sehat
  • Segera berobat jika mengalami gejala ringan kusta
  • Minum obat pencegah kusta sesuai prosedur
Itulah informasi dan beberapa fakta seputar penyakit kusta yang penting untuk diketahui agar kita tidak lagi mengucilkan para penderita kusta maupun OYPMK.

Suara untuk Kusta, Stop Stigma dan Diskriminasi Kusta 

Hingga saat ini, masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan stigma negatif yang menyebabkan para penderita maupun keluarganya berusaha menyembunyikan penyakit tersebut karena dianggap sebagai aib.

Padahal sebenarnya penyakit kusta dengan gejala awal yang masih ringan dapat disembuhkan tuntas tanpa berujung pada kelumpuhan atau cacat permanen.

Mirisnya, meskipun penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, status predikat kusta tetap melekat pada dirinya seumur hidup. Status predikat inilah yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada penderita.

Penderita merasa kecewa, takut, dan duka yang mendalam terhadap keadaan dirinya, tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak berharga dan berguna dan kekhawatiran akan dikucilkan.

Belum lagi ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat yang juga menyebabkan penderita kusta dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya sendiri.

Akibatnya masalah yang ditimbulkan kusta bukan hanya medis dan psikologis, melainkan juga masalah sosial, ekonomi  dan pendidikan.

Bagaimana tidak? Orang yang menderita kusta seringkali mendapatkan diskriminasi sehingga tidak dapat menjalani hidupnya dengan normal. 

Jika dia masih usia remaja, dia akan dikeluarkan dari sekolahnya. Atau jika dia merupakan karyawan dan terpapar kusta maka dia akan dipecat dari pekerjaannya. Dikucilkan dan dijauhi oleh semua orang. Bahkan tidak jarang penderita kusta hanya bisa memilih dan menikah dengan sesama penderita. 

Oleh sebab itu edukasi dan memberikan pencerahan pada masyarakat terkait fakta seputar kusta sangat penting agar stigma negatif dan perlakuan tidak adil yabg diterima penderitanya dapat hilang.

Untuk itu kita bisa berkaca pada United Tractors yang diwakili oleh Monica Sinta, selaku Team Leader CSR PT yang ikut menyuarakan tentang pentingnya mengentaskan stigma masyarakat terhadap disabilitas, termasuk disabilitas yang disebabkan oleh penyakit kusta.

Monica Sinta dalam penuturannya pada acara talkshow kemarkn menyampaikan bahwa stigma masyarakat yang terbentuk dari penyandang disabilitas ini disebabkan ketidaktahuan banyak masyarakat bahwa mereka yang memiliki kekurangan juga sebetulnya mempunyai potensi yang tidak kalah besar dengan yang lainnya. Maka, yang harus dibangun ketika program inklusi disabilitas ini dijalankan dalam sebuah perusahaan adalah adaptasi dan rasa nyaman ketika harus bekerja sama dengan teman-teman disabilitas.

Beliau juga menyampaikan bahwa PT. United Tractor sedang berada dalam proses menuju ke arah pembangunan inklusi disabilitas.

Beberapa program yang telah dilaksanakan perusahaannya untuk mendukung inklusi disabilitas antara lain adalah dengan membuka program pemagangan, membangun kerja sama dengan komunitas disabilitas dan non-government organization (NGO) yang memiliki pengetahuan, serta pemodalan inklusi. Termasuk juga ada program pembinaan masyarakat disabilitas seperti program kerajinan.

Nah, ayo kita jangan mau kalah. Kita semua memiliki peran untuk mendukung proyek SUKA yang diluncurkan KBR dan NLR demi mewujudkan Indonesia Bebas Kusta. Dan itu dapat dimulai dengan berhenti berpikoran negatif dan berlakulah sebagaimana semestinya pada penderita maupun mantan penderita kusta.

Terakhir, sebelum menutup postingan ini saya ingin mengutip ucapan Bapak Asken Sinaga, selaku direktur NLR Indonesia saat memberi sambutan dalam acara peluncuran Proyek SUKA #SuarauUntukKusta.
Biasanya dalam SUKA ada DUKA namun dalam upaya pencegahan dan pengendalian kusta dan konsuekuensinya, DUKA yang dimaksud adalah dukungan untuk Indonesia yang bebas kusta
Yuk, kita dukung Indonesia Bebas Kusta dengan memberikan Suara untuk Kusta. Stop stigma negatif dan diskriminasi.


Salam, 

Posting Komentar untuk "Suara untuk Kusta, Stop Stigma Negatif dan Diskriminasi"